Kututup pintu rumah sementara keadaan di luar masih hiruk-pikuk, beberapa orang berusaha menenangkan ibu dan yang lain kembali ke rumahnya masing-masing.Kakak aidil belum pulang dari rumah sakit jadi kuhampiri Rima sambil memegang tas coklat berukuran sedang dan membukanya. Di sana terdapat beberapa lembar uang ratusan ribu dan beberapa kartu identitas milik ibu mertua.Kuambil uangnya dan untuk sementara waktu akan kusimpan dompet itu di belakang lemari agar dia kelabakan mencari KTP dan bpjs-nya. aku tidak peduli tentang dosa atau kedurhakaan sebagai seorang menantu meski rasa bersalah tetap ada. Tapi yang lebih mendominasi adalah dendam yang sudah bertumpuk-tumpuk selama bertahun-tahun. Kucoba bertahan untuk sabar dan berharap bahwa dia akan berubah tapi tidak ada perubahan sama sekali. Yang ada makin hari dia makin bengis dan terus menyakitiku dengan segala tingkah kejamnya."Mana tasku tadi, ada yang melihat dompet besarku?" tanya wanita bersuara keras itu pada orang orang yang
Karena ibu tidak kunjung membuka gembok sumur maka, mau tak mau aku dan suami terpaksa memesan setandon air yang akan kami gunakan untuk mandi dan cuci. Ketika mobil tandon datang, aku dan suamiku sibuk menadah air dan mengisi ember ember kami."Woah, pesan tandon rupanya," ujar ibu mertua yang tidak pernah absen mengurusi hidup kami. Karena merasa tidak penting menanggapinya, aku hanya diam dan sibuk mewadahkan air. Rima putriku sedang asyik bermain sendiri dengan ornamen balita yang kami gantung tepat di atas kepalanya."Berapa satu tandon?" tanya mertua pada tukang air."Lima puluh ribu, Bu.""Hmm, gaya sekali beli beli air, kayak gak punya sumur," ujarnya dengan sewot, sepertinya ia ingin cari muka pada tetangga yang memperhatikan dan pada tukang air itu."Saya gak akan beli kalau sumurnya tidak digembok dan airnya dibatasi," jawabku tidak kalah ketusnya. Tukang tandon terperanjat, tetangga juga sama, sedang ibu langsung mendelik dan pergi dari depan rumahku. Skak mat!"Dik, kaka
"Aku sudah pergi ke dukun, dukunnya bilang kalau pencuri dompetku ada di lingkungan ini," ucapnya yang ujug-ujug datang sambil berkacak pinggang menyambangiku yang sedang menyapu teras di pagi hari.Entah kenapa wanita gila ini sangat antusias untuk pamer dan mengancam orang lain."Oh ya, lalu siapa orangnya?""Ya, pasti di antara kalian, mantuku yang lain tidak ada yang berkonflik denganku jadi kesimpulanku mengerucut pada dirimu, tentu saja iya, aku yakin!""Oh, hahahah, lucu sekali ibu ini.""Apanya yang lucu, wanita itu tambah melotot.""Apakah dukun memperlihatkan bukti kalau saya yang sudah mencurinya, apakah dia memperlihatkan ke mata batin Ibu bagaimana proses saya mencurinya?""Ya tidak ... tapi dia orang pintar!" Mata Ibu berputar-putar menunjukkan tanda kegelisahannya, jelas wanita itu berbohong."Dan yang mendatangi adalah orang bodoh yang ingin minta pendapat ke orang pintar!"Seketika saja tangan besar ibu ingin melayang dan menamparku, mungkin sangat tersinggung, tapi a
Dengan berat hati, kulangkahkan kaki ke rumah bergaya minimalis dengan cat toska terang itu. Pintu rumah nampak terbuka sementara anak Kak Dani nampak duduk di terasnya."Assalamualaikum," ucapku sambil menelan ludah, aku sungguh khawatir dia melaporkan masalah ini ke kantor polisi.Bukankah, bukan hal sulit untuk melacak pelaku dan menyelidiki bukti?"Hmm, aku benar-benar tegang," gumamku sendiri."Walaikum salam," suara jawaban Kak Dani terdengar dari dalam.Ah, aku sungguh malas menjumpainya, malas menatap wajah yang dulu sering menyeringai jahat dan menertawakan kepolosanku, sikapnya sama jahatnya dengan kak Yanto yang suka membentak dan berteriak pada diri ini, sejak pertama aku menginjakkan kaki lingkungan mereka."Masuklah," ujar kak Tina yang mengikuti dari belakang."Baik, Kak," balasku lirih. Ketika ku injakan kaki ke lantai ubin berwarna marmer coklat itu, kak Dani nampak menoleh dari kasurnya yang dihamparkan di depan Tivi."Masuklah Zahra," ujarnya memberi isyarat."Terim
Mendengar teriakan ayah mertua yang sangat melolong di antara magrib dan isya tentu saja penghuni pekarangan kami keluar semua dari rumah mereka. Tak pelak mereka yang mendapati ayah tertancap parang langsung terbelalak panik, menghambur dan mencoba menolong."Astaga, Pak, kenapa bisa begini?" tanya Kak Yanto.dengan paniknya."Aku tergelincir lantai licin dan entah kenapa bisa begini, dasar Setan!"""Ayah jangan mengumpat begitu, tidak baik, itu ujian untuk ayah," ucapku yang tersirat mengejeknya."Ngomong apa sih kamu?" bentak Kak Yanto."Barusan ayah sendiri yang bilang padaku, bahwa masalah dan kesakitan apapun yang terjadi dalam hidup seseorang itu hanya ujian, bukan disebabkan oleh kesalahan orang lain, benar kan Ayah?" tanyaku pada pria yang kini menangis dan lemas."Tolong bawa aku ke mantri kesehatan atau puskesmas, aku akan mati, aku akan mati ....""Jangan bilang begitu, Yah, mati tidaknya Tuhan yang tentukan," balasku."Diam kamu, An****! tak bisakah mulutmu yang cerewet
Bismillah Sebelumnya aku makasih banget buat para pembaca yang masih setia ngikutin cerita ini sampai sekarang. Love you all.**Keesokan pagi, kudengar kabar bahwa ayah mertua akan dibawah pulang karena disarankan untuk dirawat jalan di rumah saja. Kebetulan, katanya beliau sendiri juga tak betah ada di rumah sakit dan terus rewel minta pulang.Dari teras rumah, kulihat kedua iparku dan ibu mertua sibuk membersihkan rumah induk dan menyiapkan kedatangan ayah dari rumah sakit.Mbak Devi terlihat menyapu halaman dan Mbak Tania mengepel, aku yakin rumah mereka akan ramai karena ayah mertua cukup dihormati, jadi tetangga dan orang orang yang mengenalnya pasti akan datang.Kudekato mereka sambil membawa anakku do gendongan, kutawarkan diri untuk membantu mengepel, tapi Kak Tania menolak."Tidak usah mengepel, keberadaanmu disini akan membuat Ibu marah, sebaiknya bantu kak Devi menyapu halaman, itupun andai kau bisa," ujar Kak Tania yang kebaikannya sama seperti Kak Tina, sekalipun sua
Kedua iparku terkejut, tertegun dan langsung bangun dari tempat duduk mereka. Mbak Devi segera memanggil sang suami sedang kak Tania segera mengambilkan air. "Sudah saya bilang gasnya bocor," ucapku lirih."Iya, itu bukan salahmu," jawab Kak Tania yang sibuk mewadahkan air di gelas.Mbak Devi mencoba menyadarkan ibu sementara Kak Yanto dan Aidil langsung panik melihat wajah ibu yang merah dan perlahan melepuh bengkak."Kenapa bisa begitu?""Kelihatannya gasnya bocor," jawab Kak Tania."Astaghfirullah untung tidak meledak dan tidak memakan korban lain," ujar Kak Aidil."Aku masih syok, Kak, aku benar benar tegang," balasku."Bawa ke rumah sakit atau panggilkan bidan desa," ujar suamiku pada kakaknya."Panggil bidan saja, aku khawatir ibu malah tidak betah di rumah sakit.""Tapi mungkin lukanya bisa dibersihkan dengan baik," jawabku lirih."Kamu kenapa gak bilang ke ibu kalau ada bau gas!" tuding kak Yanto dengan amarahnya."Selalu saya yang disalahkan, saya sudah bilang tapi ibu tida
"Jangan fitnah saya dengan tuduhan yang tidak tidak, Saya tidak tahu menahu baru datang ketika kompor itu baru akan meledak. Saya termasuk jarang datang ke rumah induk jangankan untuk masuk ke dapur ke pelataran saja tidak termasuk terinjak olehku.""Jangan coba-coba bohong bilang saja kamu dendam dan kamulah yang telah mencelakakan Dani dan bapak!""Saya capek membela diri atas tuduhan yang tidak masuk akal! Silakan hadir kan bukti kalau ingin menuntut saya saya benar-benar muak dengan keluarga ini!" Balasku tanpa ketakutan sedikitpun. Mereka tidak bisa menyalahkanku, sementara aku punya alibi yang kuat, ditambah diri ini tidak pernah kemana-mana dan berada dalam kondisi lemah."Sebelumnya di dalam keluarga ini tidak ada malapetaka yang beruntun seperti ini, sepertinya musibah ini adalah musibah yang disebabkan oleh manusia, bukan semata kecelakaan.""Kalaupun iya, apakah hanya aku sasaran kalian? Aku hanya wanita yang baru melahirkan dan masih lemah, bahkan ketika kalian mengeroyok