SKL 15."Nggak punya malu banget sih, udah jelas-jelas ini pesantren berani sekali berpakaian seperti itu," kesal salah satu satpam. Tangannya bergerak hendak kembali mengusir Dee yang masih disembunyikan Nabila di belakang tubuhnya."Maaf Ustadzah, gadis ini ngaku-ngaku sepupu ustadzah," tambahnya lagi memberitahu Nabila. Nabila hanya mengangguk, sembari kedua tangannya direntangkan untuk menutupi lekuk tubuh Dee. Meskipun tak banyak yang tertutupi, karena tubuh Nabila dan Dee hampir sama langsingnya.Namun, itu sebagai salah satu bentuk usaha Nabila untuk menjauhkan pandangan orang-orang di sana, terutama ustadz Fatih yang sedari tadi hanya menunduk, tak memandang ke arahnya."Dia teman saya, Pak. Maafkan kami."Dua satpam itu saling menatap, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Nabila yang selama ini tampil syar'i ternyata memiliki teman yang bahkan gemar memakai baju tak cukup kain.Di belakang Nabila, Dee hanya mengamati mereka. Diam-diam ia juga mengamati bagaimana ustadz
SKL 16."Nyebelin banget ya santri-santri di sana," ujar Dee dengan wajah yang merah padam. Rasa kesalnya tampak belum berhenti mengingat cara mereka memperlakukannya di sana.Dee mendecak kesal, masih mengomel berapi-api saat ia sampai di rumah Nabila. Gadis itu merasa tersinggung dengan tatapan, ucapan dan perlakuan mereka."Udah gede gitu nggak bisa salat. Nutup auratnya nggak bener, bisa apa ya kira-kira?" "Nggak bener kali hidupnya. Ancur!""Malu-maluin banget nerobos pesantren pake pakaian kayak gitu."Beberapa santri membicarakan Dee saat mereka keluar dari musalla. Masih menggosipkan Dee yang berani berpakaian tidak tertutup dan memasuki area pesantren mereka. Mereka juga menertawakan gadis itu yang salah melakukan gerakan salat. Tatapan miris mereka yang melihat Dee seolah tak berguna, tak bisa melakukan ibadah dengan baik."Heran deh, apa begitu harusnya anak-anak pesantren, wajar?" tanya Dee menghempaskan duduknya di sebuah kursi di depan teras Nabila. "Ngomel mulu kamu,
SKL 17."Ajarkan aku menjadi sepertimu, Bil …!" pinta Dee pada Nabila.Dalam keheningan malam, Dee mendengar Nabila membaca Al-Qur'an dari dalam kamarnya. Seketika bulu kuduknya meremang seolah medasakan ketakutan. Dulu, ia pernah menonton film horor di bioskop bersama temannya. Tokoh dalam film itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an untuk mengusir setan, dan Dee seperti merasakan kembali kengerian itu.Nabila terkejut dan langsung melirik ke arah pintu saat pintu terbuka dan terlihat Dee di sana. Gadis itu membukanya seraya mengucapkan kalimat yang membuat kening Nabila bertaut. Ia baru saja selesai salah di sepertiga malamnya, seperti kebiasaannya sejak masuk kuliah. Hanya lewat sujudnya Nabila bisa membisikkan keluh kesahnya, juga menyampaikan rindu yang teramat untuk kedua orangtuanya.Setelah itu ia melantunkan bacaan ayat suci Al-Quran dengan suara pelan, yang mungkin lama kelamaan membuatnya kusyu membaca dan tanpa sadar bersuara lebih dari yang direncanakan, hingga membangunkan
SKL 18."Biar Dee aja, Nek. Sekalian belajar biar lancar motoran di jalan raya."Dee menawarkan diri untuk memberi bantuan pada nenek yang butuh pertolongan. Hari ini mereka akan membuat seratus nasi kotak untuk seorang dermawan yang akan membagikannya di hari Jumat berkah."Ditemenin Nabila ya," ucap nenek khawatir jika Dee pergi sendirian, mengingat ia bukan berasal dari sini. Beberapa hari ini gadis itu terlihat bersemangat membantunya, juga semangat untuk belajar membaca Al-Qur'an yang belum banyak kemajuan. Melihat perubahan itu, nenek pun jadi lebih menyukai Dee, sebagai bentuk menghargai usahanya."Nggak usah, Nek. Nabila biar di sini bantu Nenek. Kalau saya yang tinggal di rumah, takutnya bukan terbantu malah bikin nambah kerjaan," Dee nyengir pada nenek dan Nabila yang disambut tawa kecil mereka."Oke, lah. Aku yang bantu Nenek biar pesanannya cepat." Nabila akhirnya memutuskan seraya menyerahkan kunci motor pada Dee.Dee berjalan keluar dari rumah untuk membeli beberapa ke
SKL 19."Pesantren?" ulang Nabila seraya menautkan dua alisnya.Dee mengangguk yakin. Entah mengapa saat ia melihat Nabila menangis, rasa bersalahnya menjadi berkali-kali lipat, dan keinginan untuk masuk ke pesantren muncul begitu saja sebagai cara untuk dimaafkan. Dee tak berpikir lama untuk keputusan itu, tapi ia ingin Nabila memaafkannya dan tetap mau menjadi sahabatnya. Mungkin salah satu caranya adalah dengan menjadi lebih baik, dan tidak berpura-pura. Dee pernah beberapa kali diajak Nabila mendengar pengajian di sana. Ia menyimak meski tak sepenuhnya mengerti, tapi ketika ia lihat gadis-gadis di sana menyimak dengan fokus dan berdiskusi tentang materinya, Dee merasa iri. Iri pada cara mereka berbicara yang sopan, cara mereka berdiskusi dan takzim pada Ummi dan Abi. Lalu, setelah ia pikir-pikir mungkin rasa itu bukan iri, melainkan keinginan untuk menjadi seperti mereka, tapi tak bisa.Bahkan saat Dee melihat Ummi menangis dalam memimpin doa, yang diikuti oleh jamaahnya, ia mer
SKL 20.Matahari seolah tepat berada di atas kepala, masih terasa panasnya meski jam telah menunjukkan pukul empat sore hari. Dengan menaiki motor, Nabila membawa Dee ke pesantren seperti janji dan keinginan gadis itu.Jarak rumah Nabila dan pesantren memang tak jauh, hanya beberapa menit jalan kaki. Namun, keduanya membawa barang-barang keperluan Dee selama tinggal di pesantren yang membuat mereka harus membawa motor.Sampai di sana, Dee menatap Nabila yang mematikan mesin motornya dengan tatapan sendu bercampur helaan napas yang kembali meyakinkan diri."Bismillah, Dee. Kamu pasti akan jauh lebih baik di sini." Nabila memberi semangat.Dee hanya mengangguk, lalu saat ia sampai di gerbang ia langkahkan kaki kanannya seraya membaca bismillah, seperti kata Nabila bahwa semua hal yang baik harus dimulai dengan nama Allah.Berbeda dengan beberapa hari yang lalu, kini dua satpam yang berjaga di gerbang mengangguk seraya tersenyum pada Nabila dan Dee. Entah karena ada Nabila, atau mereka
SKL 21.Asshalatu khairum minan naum.Lantunan kumandang adzan subuh terdengar merdu di telinga. Musalla santriwati telah dipenuhi shaf yang berjejer rapi yang diselimuti langit fajar. Pesona pesantren di waktu subuh begitu indah dan menyejukkan dada.Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin.Jawab semua penghuni musalla yang luas itu, mereka sudah terbiasa menjawab panggilan adzan seperti yang dianjurkan, tak terkecuali Dee yang juga perlahan mulai merasakan kemyaman dalam hatinya.Suara adzan, lantunan ayat suci Alquran setiap waktu memenuhi telinganya. Berganti dari suara musik dance floor, sumpah serapah mereka yang menari dan melampiaskan ekspresi diri, suara dentuman musik club dan karoke, perlahan hati dan telinganya terbiasa mendengar kalimat-kalimat suci.Semua berdiri, mengikuti gerakan imam. Serentak rukuk, sujud dan sama-sama bersimpuh di hadapan Allah. Dee berdiri di shaf paling depan bersama teman-teman sekamarnya. Ada air mata yang tiba-tiba menetes saa
SKL 22.Hari demi hari berganti menjadi minggu dan berlalu menjadi bulan. Dee semakin giat mengkaji ilmu agama di pesantren. Ia bersyukur mendapat teman-teman sekamar yang baik, yang saat ada waktu luang mau mengajarkannya tentang apa yang tidak ia pahami.Ia juga mulai belajar tentang keikhlasan dan penerimaan takdir. Tak lagi merasa terasing dan berkecil hati saat melihat orangtua mereka menjinjing belanjaan dan makanan saat mengunjungi. Untuk pembelajaran Al-Qur'an, Dee masih dibimbing personal oleh Nabila. Setelah kelas usai, atau sebelum kelas dimulai. Perlahan Nabila sendiri mulai mengangumi kesungguhan hati Dee, dan kecerdasannya yang bisa mengaji di luar batas jangka waktu yang diperkirakan oleh Nabila.Dee bahkan mulai menghapal surat-surat pendek. Surat Al-Qur'an pertama yang bisa ia hapal setelah Al-fatihah adalah surat Az-zalzalah.Dee jatuh cinta pada semua ayat Al-Qur'an, apalagi saat dilantunkan oleh ustadz Fatih atau Nabila dengan suara yang merdu.Namun, Dee merasak