Share

3. Terusir

SKL 3

.

"Deandra Pradipta, malam ini aku talak engkau dengan talak tiga." Bryan berkata dengan lantang dan pasti.

Dee membelalakkan mata mendengar kalimat Bryan yang bahkan tak ada jeda, tanpa getaran suara, menandakan bahwa ia begitu yakin akan kalimatnya. Suara yang terdengar pasti dan penuh penekanan, menyiratkan tak ada negosiasi atas kalimat yang baru saja ia ucapkan.

Gadis itu tak menyangka Bryan benar-benar tega membiarkannya menjadi janda, bahkan belum sampai hitungan hari mereka menikah. Sehina itukah Dee untuknya, hingga bahkan tak ada belas kasihan atau ingatan tentang kata-kata cinta yang seharusnya bisa membuatnya menarik kembali kata talak itu.

Mata Dee mulai berkaca-kaca, entah ke mana pertahanan yang semula ada padanya. Pandangannya tak terlepas dari kedua bola mata Bryan. Gadis itu sedang mencari sisa kasih sayang dalam dalam kedua bola mata itu. Namun, sayangnya tak ia temukan binar-binar cinta yang tersisa.

Orangtua Dee ikut merasakan hal yang sama. Tidak ada dalam sejarah keluarga mereka janda satu malam, bahkan sebelum dua puluh empat jam. Hal itu begitu memalukan, juga pedih terasa.

Kedua keluarga itu merasa saling terinjak harga diri.

Sementara saudara-saudara Dee hanya diam tak mampu berkata-kata. Mereka pun tak pernah terbayang akan seperti itu nasib pernikahan saudara kandungnya.

"Bryan …," gumam Dee memanggil nama itu. Ia berharap sang suami luluh.

Namun, Bryan meletakkan telunjuk di dekat bibirnya sendiri, kemudian menggerakkannya ke arah Dee. Hal itu cukup mengisyaratkan bahwa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, ia hanya berharap Dee diam dan tak mengiba. Percuma saja, karena Bryan memberikan Dee talak tiga. Lelaki bertubuh atletis itu sudah cukup berpikir, dan talak tiga diberikan agar ia tak bisa kembali pada Dee.

Dee bangun dari duduknya, mendekat pada Bryan yang masih berdiri dengan sisa sesak dalam dadanya.

"Mana janji kamu untuk setia bersamaku? Atau semua hanya bualan agar aku yakin untuk menikah denganmu?" Dee berusaha menyentuh lengan Bryan dengan lembut. Masih berharap lelaki itu luluh.

"Ssst …," ucap Bryan.

"Jangan berbicara seolah sumber masalahnya adalah dariku. That's your fault, Dee!" tegas Bryan seraya menepis tangan gadis itu.

"Jangan seperti ini, Bryan. Kalian pasti lebih bahagia jika memilih kesempatan kedua." Kini mama Dee yang angkat bicara, merayu pada Bryan.

Bryan menggeleng. "Maaf, Ma. Ini keputusanku, tak ada yang bisa menggoyahkan." Lelaki itu sedikit menunduk, tetap menghormati orangtua Dee seperti orangtuanya.

"Saat menikah dengan Dee, aku berharap ia adalah gadis baik-baik. Ya setidaknya tidak sebablas itu. Namun, nyatanya aku salah!" ulang Bryan.

"Ayo, Ma, Pa," ajak Bryan pada kedua orangtuanya untuk pulang.

Winda dan Adrian pun bangkit dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, langkah mereka terhenti setelah suami istri itu sejenak saling menatap. Keduanya berbalik dan melihat mantan besan mereka yang masih duduk dengan ekspresi kacau.

"Tarik semua saham kalian di perusahaan kami, mulai besok kita bukan lagi partner bisnis."

Setelah mengatakan itu, ketiganya melangkah keluar dari rumah orangtua Dee. Keluar dengan sisa patah di hati masing-masing. Usai sudah urusannya dengan keluarga itu. 

.

"Jelaskan semuanya, Dee!" teriak Renita yang tak sabar dengan penjelasan putrinya.

"Apa yang harus kujelaskan, Ma?" tanya Dee.

Malam itu mereka lalui dengan ketegangan dan kemarahan. Wajah William bahkan merah padam karena emosi yang sedang memuncak. Susah payah ia besarkan Dee, menyekolahkannya dan memberinya fasilitas yang mewah. Namun, ia malah mencoreng arang di wajahnya.

Pemutusan hubungan kerja, itu artinya mereka harus bersiap-siap terancam menurunnya penghasilan dari perusahaan. Tak hanya itu, mereka juga harus bersiap dengan berita media yang akan semakin memperparah suasana dan kestabilan perusahaan. Atau bersiap dengan partner bisnis yang akan memutuskan hubungan kerjasama.

Kacau!

"Siapa, Dee?" tanya William. "Siapa yang melakukan itu padamu? Jika kamu bicara, malam ini juga kita akan bawa orang itu ke penjara."

Entahlah, William masih lebih berharap bahwa Dee pernah dilecehkan tanpa sepengetahuan mereka. Selama ini ia tutup mulut karena tertekan dan malu. Ia berharap jawaban Dee seperti itu.

Dee masih diam. Karena pertanyaan sang papa sama sekali tidak seperti yang terjadi.

"Jawab!" bentak Renita yang membuat bahu Dee sedikit terguncang karena terkejut.

Nadine dan Carissa hanya mengintip di puncak bagian tangga atas. Keduanya diarahkan untuk naik ke kamar sementara Dee disidang.

"Gak ada, Pa! Aku memang pernah main sama pacarku."

Dee kembali mengingat masa lalu. Saat itu, ia dan beberapa temannya merayakan kelulusan sekolah tepat di hari valentine. Aldo mengajaknya menginap di suatu tempat, dan di sanalah untuk pertama kali Dee bermain terlalu jauh hingga ia terbiasa dengan itu. Setelah itu, setiap kali mereka bertemu, keduanya pasti berhubungan badan.

Tiba-tiba Dee berdecak lirih karena mengingat lelaki breng sek itu yang memutuskannya setelah mendapat apa yang ia inginkan.

"Itu hal biasa, Pa, Ma. Semua temanku juga melakukannya! Yang penting aku nggak sampai hamil, kan?" ungkap Dee.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi lebit gadis itu. Tubuhnya bahkan limbung karena kuatnya tamparan sang mama.

Dee mengusap pipinya yang terasa berdenyut. "Kenapa sih, Ma?" tanyanya masih menampakkan sikap tak tahu diri.

Gadis itu menatap sang papa, berharap mendapat pembelaan darinya. Namun, William malah mencengkeram pipi gadis itu hingga ia sulit untuk bicara. Detik itu Dee benar-benar menangis. Ia tak mengerti kenapa mama dan papa memperlakukannya sekasar itu, jauh berbeda dengan hari-hari biasanya.

Melihat itu, Carissa dan Nadine langsung turun dan melihat Dee yang pipinya telah memar.

"Bryan nggak jauh lebih baik dariku, Ma! Dia hanya sok suci!" Dee membela diri. Ia merasa tak terima kenapa hanya ia yang diperlakukan seperti itu, padahal ia yakin Bryan juga sama seperti dirinya.

"Dia sering mabuk, dia keluar kantor dan pergi ke klub sampai pagi, Ma! Apa bedanya denganku?" tanya Dee.

"Kamu masih belum mengerti ya, terlalu bodoh atau naif. Wanita adalah yang paling dirugikan dalam hal itu! Ke mana otakmu, hah?" bentak Renita di telinga putrinya.

Tengah malam dihiasi dengan pertengkaran. Keluarga yang dulu hangat kini entah di mana kehangatan itu bersembunyi. Yang terlihat hanya kilatan kebencian orangtua terhadap anak gadisnya. Kekecewaan pada keadaan dan orang yang membuat keadaan buruk itu. Deandra.

"Angkat kaki dari rumah ini malam ini juga!" William memutuskan. Ia tak sudi memiliki anak yang mencoreng nama baik keluarga. Ia tak sanggup menanggung malu yang lebih besar untuk ke depannya.

Dee menatap tak percaya pada papanya. Matanya perlahan menghangat dan luruh sudah air mata yang sejak tadi ingin keluar. Gadis itu menangis begitu kerasnya, tak habis pikir semuanya akan terjadi serumit itu.

"Bereskan barang-barangmu, dan jangan bawa apa pun yang masih jadi milik kami. ATM, kartu kredit, kunci mobil, taruh semuanya di meja." William berkata dingin.

"Mulai sekarang, jangan panggil kami mama dan papamu," tambah Renita dengan begitu teganya.

Dee menjerit dalam tangisnya. Ia segera berlutut dan mencium kaki sang papa dengan tubuh yang bergetar. Memohon agar ia tetap bisa tinggal di rumah itu, dan dianggap sebagai salah satu anak yang berharga seperti dulu.

Namun, Wiliam menepis kasar tangan Dee. Ia tak suka orang mengiba di bawah kakinya.

"Kamu bukan lagi keluarga Pradipta, jadi lakukan semua yang kau mau di luar sana. Hiduplah bebas seperti an j i ng jalanan," maki sang mama tak tertahankan.

"Maaaa …," racau Dee dalam tangisnya.

"Aku harus ke mana? Tolong jangan usir aku, Ma, Pa." Dee memohon bergantian ke mama dan papanya.

Karena Dee tak beranjak di kakinya, terpaksa William harus menghentakkan kaki agar terlepas dari pegangan Dee. Ia tak peduli gadis itu meraung meminta kasihan. 

Renita memerintahkan asisten rumah tangga untuk mengemasi beberapa baju Dee agar gadis itu segera pergi. Terlalu memuakkan wajah gadis itu di mata orangtuanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status