Ganendra mendekat pada kakeknya yang juga membawanya mendekat pada Aulia. Dengan tegap di berdiri sambil memandang sinis pada Aulia.
"Aku juga menolak perjodohan ini, Kek" ujar Ganendra.
"Kau tidak boleh menolak Ganendra, karena kalau kau menolak maka saham yang berada atas namamu akan diberikan seluruhnya pada Aulia. Itulah perjanjian yang kami buat bersama orang tua kalian!" jelas Opa Hendra.
Ganendra terkejut bukan kepalang mendengarnya. Bagaimana mungkin keluarganya akan memberikan semua sahamnya pada Aulia jika ia menolak perjodohan tersebut. Dan tentu saja, perjanjian seperti itu tidak ada. Itu hanya alasan Opa Hendra untuk membuat Ganendra mau menerima perjodohan tersebut dan berharap jika mereka menikah, Ganendra perlahan akan merubah kebiasaan buruknya.
"Tidak bisa, Opa. Itu milikku! Aku tidak akan memberikannya pada orang lain!" sanggah Ganendra.
"Jika kau tidak ingin kehilangan apa yang sudah menjadi milikmu. maka kau harus menikah. Kalau tidak, maka relakan empat puluh persen saham kamu itu pada Aulia!" tegas Opa Hendra sekali lagi.
Ganendra kehabisan kata-kata. Opa Hendra tidak pernah main-main dengan apa yang ia katakan. Terutama pada janji yang ia buat. Jika Ganendra terus membantahnya bisa jadi dia sendiri yang akan kesulitan mengatasi keputusan kakeknya itu.
"Aulia, semua sudah diputuskan. Kau juga tidak bisa menolak, Nak. Tolong hormati keputusan Tetuah keluarga. Ini semua demi kalian dan keluarga kita. Dan jika kau sudah melahirkan nanti, maka saham perusahaan Golden Grup sebesar sepuluh persen akan menjadi milikmu" tukas Opa Hendra bicara dengan nada lembut pada Aulia.
"Opa, a-aku ..., a-ku benar-benar tidak bisa menerima perjodohan ini. Maaf, tapi aku tidak bisa membawa masa depanku dalam kesepakatan yang sama sekali tidak aku ketahui. Menikah bukan tentang menyelamatkan dua keluarga saja, tapi masa depan yang berkepanjangan. Aku tidak bisa membangun rumah tangga dengan orang yang tidak aku cintai. Bahkan kami baru mengenal hari ini. A-ku ...," Aulia tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Ia terlalu sungkan menjelaskan arti sebuah pernikahan pada orang yang lebih dulu merasakannya daripada dia sendiri.
"Aulia, terimalah. Dengan begitu Nenek akan tenang meninggalkanmu di dunia ini. Kau sudah lama menderita, sudah waktunya kau bahagia dan memikirkan diri kau sendiri" ujar Nenek Aulia menyela.
"Bagaimana aku bisa bahagia kalau aku tidak mencintainya, Nek! Kami baru mengenal hari ini, dan kesan pertamaku pada cucu Opa Hendra tidak menyenangkan. Lalu jaminan kebahagiaan apa yang bisa aku miliki kalau dia saja tidak bisa menghargai wanita!" tegas Aulia.
"Sayang, Nenek dan Kakekmu dulu menikah tanpa cinta. Papa dan Mamamu juga. Kami dijodohkan oleh Tetuah keluarga dan kau bisa lihat sendiri, keluarga kita harmonis tanpa adanya cekcok atau pertengkaran yang berarti" ujar Nenek Aulia.
"Tapi, Nek ...," tolak Aulia lagi.
"Jalani saja dulu, kau dan Ganendra bisa saling mengenal satu sama lain. Jika memang kau tidak menginginkannya maka Nenek akan menolaknya. Biar nanti Nenek yang akan pertanggungjawabkan di depan kakekmu kelak" jelas Nenek Aulia terus membujuk Aulia.
"Winda benar, kalian bisa saling mengenal dan Opa akan beri waktu satu bulan untuk saling mengenal. Selama itu, kalian coba saling mengenal diri. Setelah satu bulan nanti kita akan membicarakannya lagi di tempat yang lebih baik. Tapi Opa harap kalian berdua dapat menerima perjodohan ini" kata Opa Hendra menyetujui saran Winda.
Opa Hendra tidak ingin menjadi egois dengan membawa Aulia dalam kehidupan Ganendra yang rumit dan kotor itu. Bagaimana pun Aulia berhak memilih untuk masa depannya sendiri walau sebenarnya harapan Opa Hendra pada Aulia sangatlah besar.
"Aku setuju!" kata Ganendra menyetujui. Aulia menatap tidak percaya pada Ganendra. Seakan mengerti apa yang tersirat dari tatapan Aulia, Ganendra pun menambahkan.
"Kita jalani waktu satu bulan ini sebagai sepasang kekasih. Jika memang tidak ada kecocokan diantara kita berdua, maka kamu bisa menolaknya dan jika kamu menolaknya maka kamu tidak boleh menerima saham milikku yang diberikan pada kamu" tambah Ganendra.
"Baik, aku setuju!" jawab Aulia lemah.
Opa Hendra dan Nenek Aulia keduanya tersenyum senang karena keputusan cucu mereka dan mereka berharap kalau keduanya bisa menerima perjodohan yang telah disepakati kedua keluarga.
"Karena sudah diputuskan, maka kita akan bertemu satu bulan lagi dengan kabar baik dari kalian berdua" kata Opa Hendra yang mulai beranjak dari tempat duduknya.
"Winda, kamu harus sembuh agar bisa melihat pernikahan cucu kita" ujar Opa Hendra pada Nenek Aulia.
"Tentu saja. Aku sangat menantikan itu terjadi, Hen" jawabnya lemah.
"Kami permisi, Sayang. Terimakasih karena sudah mau mempertimbangkan keputusan kamu" ujar Opa Hendra pada Aulia.
Aulia hanya mengangguk pelan. Dia memang menyetujui untuk saling mengenal, namun bukan berarti dia senang dengan hal ini. Ganendra sudah terlanjur membuatnya tidak merasa nyaman saat berada didekatnya. Dan mereka harus menikah!
Ganendra dan Opa Hendra meninggalkan ruangan itu. Mereka pulang bersamaan karena Opa Hendra sendiri yang memintanya. Kini mereka berada di dalam satu mobil dengan diamnya mereka masing-masing.
Ganendra dan Opa Hendra tidak pernah berada dalam hubungan kekeluargaan yang baik. Namun keduanya sama-sama saling menyayangi. Ganendra terlalu keras kepala begitupun sebaliknya. Jika keduanya bertemu maka keduanya pasti akan selalu berdebat dan berakhir dengan Ganendra yang meninggalkan Opa Hendra terlebih dahulu.
"Selama satu bulan ini, antar jemput kemana pun Aulia pergi. Jangan biarkan dia sendirian" kata Opa Hendra tiba-tiba.
"Bukankah kita ada supir, Opa. Kenapa tidak menyuruh mereka saja?!" jawab Ganendra menolak.
"Turuti saja. Karena meski Aulia tidak menerima saham yang diberikan saat dia menolak nanti, saham itu tetap tidak akan menjadi milikmu! Opa akan menyumbangkan seluruhnya pada yayasan sosial" tegasnya.
"Apa Opa gila? Opa lebih memilih menjamin kehidupan orang lain ketimbang cucu Opa sendiri?" tanya Ganendra tidak terima.
"Itu lebih baik daripada kamu habiskan semua uang kamu dengan hal tidak berguna seperti kemarin-kemarin. Gonta-ganti wanita, minum-minuman keras, bahkan kamu membeli casino untuk melancarkan aksi tidak terpuji itu! Aku membangun perusahaan Golden Grup dengan susah payah hanya agar kalian semua merasa aman, tapi kamu menjerumuskan diri kamu sendiri pada jurang yang begitu dalam" tukasnya.
"Opa, aku juga mengembangkan perusahaan kita. Aku membawanya ke puncak bisnis internasional. Apa aku salah menikmati hasil kerjaku sendiri?" tanya Ganendra.
"Jangan membantah lagi, Gane. Kamu turuti saja. Mulai besok antar jemput Aulia. Dan jangan melakukan apapun pada dia kalau kamu tidak mau berurusan dengan Opa" ancam Opa Hendra pada Ganendra.
"Apa lebihnya gadis itu di banding wanita lain hingga Opa sangat membelanya!" kesal Ganendra.
"Setidaknya sifat dan sikap dia lebih baik daripada kamu!" jawab Opa Hendra santai yang berhasil membuat Ganendra bungkam.
Malam harinya, Ganendra masih berada dikediaman utama keluarga Bamantara. Dan saat ini ia tengah bersiap-siap untuk keluar menikmati rutinitas malamnya di bar ataupun klub malam. Menghabiskan waktu dengan minuman beralkohol atau dengan wanita-wanita pramunikmat di sana. Tapi baru saja Ganendra turun dari tangga, Kakeknya sudah menahan dia."Mau kemana kau, Gane?" tanya Opa Hendra dengan suara lantang dan tegasnya."Mau keluar. Cari angin!" jawab Ganendra berbohong."Jangan bodohi Opa. Kau kira Opa tidak tahu apa yang kau lakukan di luaran sana setiap malam, hah?" teriak Opa Hendra keras."Apa salahnya, Opa? Aku anak muda. Wajar saja aku menikmati masa mudaku!" jawab Ganendra santai."Menikmati masa muda dengan pramunikmat atau minuman keras? Itu yang kau maksud masa mudamu?" sinis Opa.Ganendra diam, ia tahu kakeknya itu tidak pernah menyukai kehidupan malam yang ia jalani."Ke rumah sakit sekarang! Temani Aulia menjaga neneknya. Kala
"Di sini dingin, aku tidak memakai jaket. Lebih baik kita masuk!" ujar Aulia memutuskan untuk kembali ke ruangan neneknya. Namun saat ia sedang berdiri, dengan cepat Ganendra menarik tangannya dan membuat Aulia terjatuh ke dalam pangkuannya."Apa yang kau lakukan? Di sini banyak orang!" kata Aulia berusaha untuk bangkit namun tidak bisa karena Ganendra sudah memeluk tubuhnya."Terima pernikahan ini, maka aku pastikan kehidupanmu dan Nenekmu akan aman dan baik-baik saja!" kata Ganendra."Apa kau gila? Menurutmu masa depanku harus aku pertaruhkan hanya dengan selembar uang?" tanya Aulia tajam."Tapi setidaknya kau dan nenekmu tidak akan kesusahan lagi? Kau tahu, penyakit nenekmu semakin lama semakin parah. Itu membutuhkan banyak biaya, apa kau kira dengan bekerja siang malam bisa mencukupi semuanya?" jelas Ganendra."Kau menyelidikiku dan Nenek?" tanya Aulia tidak percaya."Aku harus tahu wanita yang akan menikah denganku. Tidak salah, bukan?"
Pagi ini Ganendra kembali mendatangi rumah sakit. Ia akan mengantar Aulia dan pergi bersama ke kantor.Tok ... Tok ... Tok ...Ganendra mengetuk pintu yang memang sudah sedikit terbuka. Kedua orang yang berada dalam ruangan tersebut menoleh bersamaan."Nak Ganendra, masuklah!" kata Nenek Aulia memberi izin."Terimakasih, Nek." Ganendra masuk dan mendekat pada keduanya. Nenek Aulia tersenyum hangat hanya Aulia saja yang memalingkan wajah, menolak melihat Ganendra."Ada apa kau pagi-pagi sekali ke sini?" tanya Nenek Aulia."Saya di suruh Opa untuk mengantar Aulia. Kebetulan hari ini hari pertamanya magang di kantorku" jelas Ganendra."Wah, kebetulan sekali. Aulia, cepat bersiap!" titah Nenek Aulia pada Aulia."Aku sudah siap, Nek. Aku pergi dulu, Nek. Jaga diri Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku secepatnya!" ujar Aulia dan neneknya hanya mengangguk menanggapinya.Aulia dan Ganendra pamit. Mereka meninggalkan ruang perawa
Aulia baru saja hendak meninggalkan perusahaan Ganendra namun Rani memanggilnya dengan suara yang cukup keras hingga membuat semua pandangan tertuju pada mereka. "Rani, kenapa teriak-teriak?" kesal Aulia. "Kau mau kemana, Ya? Kita di suruh menghadap HRD untuk laporan!" ujar Rani dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama Rafael ikut bergabung dengan mereka. "Dia tidak perlu melapor, Ran. Aulia sudah pasti di terima" celetuk Rafael dengan muka masam. "Apa maksudmu, Raf?" tanya Rani bingung. Rafael memandang sekilas pada Aulia. Raut wajahnya menampakkan kekecewaan mendapatkan wanita yang ia cintai sudah menjadi tunangan orang lain. "Dia tunangan Pak Ganendra" ujar Rafael lemah. "Tunangan?" teriak Rani terkejut. Ia menatap pada Aulia, namun Aulia hanya tertunduk lesu. "Benar apa yang Rafael katakan, Ya?" tanya Rani memastikan. Dengan anggukan pelan Aulia menjawabnya. Mata Rani pun membulat sempurna. Ia tidak menyangka
Aulia bergegas ke kantin untuk menemui Rani. Dan kini Rani tengah mengantri untuk makan siangnya. Aulia pun segera menyusul dibelakangnya."Kau lambat sekali, aku terpaksa memesan lebih dulu" kata Rani saat menyadari kehadiran Aulia dibelakangnya."Maaf, tadi aku ...," Aulia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin membahas semua yang berkaitan dengan Ganendra. Itu terlalu membuatnya muak."Kau kenapa?" tanya Rani bingung."Aku tadi ke toilet!" dusta Aulia.Rani pun tidak membahas lebih jauh. Sementara Aulia terlihat mengamati sekelilingnya, ia mencari seseorang yang seharusnya bergabung dengan mereka."Kau mencari Rafael?" tanya Rani tiba-tiba."Di mana dia?" tanya Aulia langsung."Itu ...," Rani menunjuk pada pojok kantin yang terdapat sebuah meja. Di sana ada Rafael yang tengah makan dan berbincang dengan rekan kerjanya. Terlihat sekali Rafael sangat senang bergabung dengan rekan-rekan Devisinya. Aulia pun hanya b
Ganendra mengurai pelukannya dari Aulia. Aulia masih tertunduk dengan wajah basahnya. Ganendra memegang kedua pundaknya dan berkata, "Bujuklah Nenek, aku akan mengurus semuanya. Jika Opa tahu dia pasti akan melakukan hal yang sama" ujar Ganendra pada Aulia.Aulia mengangguk pelan. Ia mengusap wajahnya yang basah dan berlari ke dalam toilet untuk membasuh wajahnya. Ganendra masih setia menunggunya.Tak lama Aulia keluar dan melihat Ganendra masih menunggu dirinya."Kenapa kau masih di sini?" tanya Aulia."Pulanglah, kau mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri" jawab Ganendra.Aulia tersenyum kecil. Ia memandang pada Ganendra dengan tatapan tidak dimengerti Ganendra."Kau menyuruhku meninggalkan kantor di hari pertamaku bekerja? Apa kau ingin aku dipecat, hah?" tanya Aulia tajam."Jangan khawatir untuk hal itu, aku akan mengurusnya dengan kepala devisimu. Jadi pulanglah!" titah Ganendra."Aku akan tetap bekerja seperti seharus
Jam pulang kerja sudah tiba. Ganendra mencari Aulia di ruangannya untuk pulang bersama. Dan ternyata di sana sudah ada Rafael. Ganendra menyapanya, memberikan senyuman terbaiknya seolah mereka adalah teman baik."Kau teman Aulia, bukan?" tanya Ganendra pura-pura tidak tahu.Rafael mengangguk pelan."Sedang menunggu Aulia?" tanya Ganendra lagi."Iya, Pak!" jawab Rafael seadanya."Sayang sekali, kami akan pulang bersama karena suatu hal. Mungkin kau bisa pulang dengan Aulia di lain waktu!" kata Ganendra meminta Rafael mundur dengan cara halus."Baiklah, Pak. Kalau begitu saya akan pulang. Selamat sore, Pak!" kata Rafael pada Ganendra.Ganendra senyum penuh kemenangan. Ia pun tidak membuang waktu lagi. Ia langsung menemui Aulia. Hal ini membuat banyak pertanyaan dari semua pegawai yang melihatnya. Jarang sekali Ganendra masuk ke ruangan mereka.Aulia yang melihat kedatangan Ganendra sedikit terkejut. Ia mengedipkan mata sebagai ko
Ganendra dan Nenek Winda terkejut mendengar penuturan Aulia. Terlebih Ganendra, sebelumnya tidak ada pembicaraan antara keduanya mengenai pertunangan mereka. Namun tiba-tiba saja Aulia sudah memutuskan bahkan mengatakan itu di depan Nenek Winda."Aulia, ini bahkan belum satu minggu. Kau yakin sudah memutuskannya?!" tanya Nenek Winda memastikan."Iya, Nek. Tenang saja. Aku sudah membicarakan semuanya dengan Ganendra. Bukan begitu, Gane?" tanya Aulia dengan isyarat matanya."Ah, i-iya. Kami sudah membicarakan semuanya, Nek!" jawab Ganendra gelagapan."Baguslah kalau begitu. Nenek senang mendengarnya. Tapi, apakah Hendra sudah tau tentang keputusan kalian ini?" tanya Nenek Winda memastikan."Belum, Nek. Kami baru membicarakannya tadi siang. Nanti kami akan memberitahukan Opa Hendra tentang semuanya. Yang penting sekarang Nenek fokus dengan pengobatan Nenek saja. Nenek tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi karena aku sudah akan menikah!" kata Aulia.