Malam harinya, Ganendra masih berada dikediaman utama keluarga Bamantara. Dan saat ini ia tengah bersiap-siap untuk keluar menikmati rutinitas malamnya di bar ataupun klub malam. Menghabiskan waktu dengan minuman beralkohol atau dengan wanita-wanita pramunikmat di sana. Tapi baru saja Ganendra turun dari tangga, Kakeknya sudah menahan dia.
"Mau kemana kau, Gane?" tanya Opa Hendra dengan suara lantang dan tegasnya.
"Mau keluar. Cari angin!" jawab Ganendra berbohong.
"Jangan bodohi Opa. Kau kira Opa tidak tahu apa yang kau lakukan di luaran sana setiap malam, hah?" teriak Opa Hendra keras.
"Apa salahnya, Opa? Aku anak muda. Wajar saja aku menikmati masa mudaku!" jawab Ganendra santai.
"Menikmati masa muda dengan pramunikmat atau minuman keras? Itu yang kau maksud masa mudamu?" sinis Opa.
Ganendra diam, ia tahu kakeknya itu tidak pernah menyukai kehidupan malam yang ia jalani.
"Ke rumah sakit sekarang! Temani Aulia menjaga neneknya. Kalau sampai Opa tahu kau tidak berada di rumah sakit malam ini, maka kau harus merasakan akibatnya besok pagi!" ancam Opa Hendra.
"Tapi, Opa ...,"
"Tidak ada tapi-tapian. Kau akan menikah, Gane. Berubahlah! Kehidupan malam seperti ini tidak akan ada habisnya dan juga tidak memberikan manfaat sama sekali. Umur kamu tidak muda lagi, kalau kamu selalu menghabiskan waktu dengan hal yang tidak bermanfaat seperti ini, maka masa depan kamu tidak akan cerah!" kata Opa Hendra menasihati cucu tunggalnya itu.
"Apa menikah bisa menjamin masa depan yang cerah, Opa? Sudahlah, berdebat dengan Opa tidak akan ada habisnya. Aku turuti semua kemauan Opa sekarang. Tapi nanti, seandainya Aulia tidak menginginkan aku menjadi suaminya, maka Opa juga harus menghormati keputusan kami!" ujar Ganendra yang langsung beranjak meninggalkan kediaman kakeknya itu.
Ganendra mengemudikan mobil sportnya ke rumah sakit yang tadi siang ia datangi. Ia kesal karena setiap kali berdebat dengan kakeknya selalu ia yang harus mengalah. Semenjak ayah dan ibunya meninggal dunia, kakeknya yang merawat dan membesarkannya. Memberikan semua yang ia mau. Menyayangi dirinya dengan sepenuh jiwa. Bahkan selalu menyempatkan waktu menemani Gaendra bermain atau mendatangi sekolah jika Ganendra menjadi salah satu peserta pentas yang diadakan sekolahnya. Karena hal itu Ganendra terbiasa hidup manja dan seenaknya. Namun meski demikian, Ganendra tahu bahwa kakeknya itu orang yang tegas. Jika ia sudah mengatakan sesuatu tentang keburukannya maka tidak ada satupun orang yang akan menentangnya lagi. Jika berani maka Opa Hendra tidak akan segan-segan menghukumnya atau bahkan mungkin dikeluarkan dari akta hak waris.
Ganendra tiba di rumah sakit, ia langsung menuju kamar perawatan Nenek Aulia. Tapi baru saja ia memasuki lorong rumah sakit, ia melihat Aulia tengah berjalan dengan seorang pria muda di sisinya. Ganendra mengerenyitkan dahi melihat hal tersebut, namun sedetik kemudian muncul ide jahil darinya.
Ganendra mendekati keduanya tanpa sepengetahuan Aulia ataupun teman lelakinya. Dan dengan santai merangkul Aulia.
Aulia tersentak dan menoleh ...,"Kau ...," teriak Aulia tertahan.
"Malam, Sayang!" ujarnya hangat sambil mencium kening Aulia.
Aulia yang tidak siap hanya bisa membulatkan mata menatap tak percaya dengan apa yang dilakukan Ganendra padanya.
"Pak Ganendra, kekasihmu?" tanya teman Aulia yang tak lain adalah Rafael.
"Oh, kau sudah mengenal saya. Baguslah kalau begitu. Saya titip tunangan saya, ya. Kalau dia macam-macam laporkan saja pada saya, akan saya hukum dia dengan hukuman manis!" kata Ganendra sambil tersenyum licik pada Aulia. Sementara Aulia hanya bisa terdiam tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Tu-tunangan ...?" tanya Rafael kaget.
"Iya, benar. Saya tunangan Aulia. Kenalkan, Ganendra Bamantara!" kata Ganendra sambil mengulurkan tangan.
Rafael tidak menjabat tangan itu. Ia malah menatap Aulia dengan tatapan penuh tanya.
"Aulia, jelaskan semuanya! Aku bingung!" pinta Rafael dengan suara bergetar.
Merasa diabaikan, Ganendra kembali menarik tangannya yang terulur.
"I-iya. Dia calon tunanganku. Kami dijodohkan, Raf" jawab Aulia pelan.
Aulia dan Rafael saling menatap, mereka seakan bermain dengan pikirannya masing-masing. Sementara Ganendra memanfaatkan keadaan itu untuk membuat Aulia semakin tidak berdaya.
"Sayang, jangan bicara begitu. Meskipun kita dijodohkan, tapi kau sendiri yang bilang akan mencoba saling mengenal dan menerima keadaan kita saat ini. Dengan bicara begitu, apakah kau sedang memberikan harapan pada temanmu ini?" ujar Ganendra.
"Bu-bukan begitu, maksud aku itu, maaf. Seharusnya aku tidak bicara seperti itu" jawab Aulia lemah.
"Aku pulang, ya. Selamat untuk kalian berdua!" kata Rafael menyela dan langsung meninggalkan Aulia dan Ganendra.
Setelah Rafael pergi, Aulia semakin tertunduk lemah. Sementara Ganendra sudah melepaskan rangkulannya pada Aulia dan berjalan masuk keruangan Nenek Aulia.
"Maafkan aku, Raf" batin Aulia lirih.
Aulia dan Rafael memang berteman lama, namun keduanya tahu bahwa mereka memiliki perasaan satu sama lain. Tapi keduanya tidak ada yang ingin memulai mengungkapkan perasaan dikarenakan mereka ingin fokus pada kuliah mereka. Itulah mengapa hingga kini keduanya tidak memiliki hubungan resmi. Dan kejadian yang baru saja terjadi pasti sudah membuat suasana hati Rafael tidak tenang.
Aulia masuk perlahan ke ruangan neneknya. Di sana, Ganendra sudah duduk dan bicara dengan neneknya. Keduanya tampak canggung meski sedang terlibat obrolan ringan. Aulia masuk dan duduk di kursi lainnya.
"Terimakasih, Nak Gane karena sudah memindahkan Nenek ke ruangan ini. Nenek jadi lebih nyaman karena ruangannya cukup besar dan tidak bising" kata Nenek Aulia tulus.
"Tidak masalah, Nek. Sudah jadi kewajiban saya untuk melakukan itu" jawab Ganendra sekenanya.
"Aulia, ajak Nak Ganendra keluar dan jalan-jalan. Di sini bau obat, tidak enak!" ujar Nenek Aulia pada Aulia.
"Iya, Nek!" jawab Aulia singkat dengan raut wajah sendu.
Aulia dan Ganendra keluar dari ruangan tersebut. Mereka mencari tempat untuk mengobrol namun yang terjadi malah keduanya sama-sama diam dan tidak saling bicara.
"Dia kekasihmu?" tanya Ganendra tiba-tiba.
"Ah, siapa? Yang tadi?" tanya Aulia gelagapan.
"Siapa lagi? Memangnya aku bertemu siapa di sini? Tidak mungkin kalau aku akan mengatakan Nenekmu, bukan?!" sinis Ganendra.
"Dia temanku, namanya Rafael" jawab Aulia sambil mengenalkan Rafael.
"Tapi sepertinya kalian lebih dari teman. Kalau tidak, tidak mungkin kau murung setelah aku memberi tahu dia kalau aku tunanganmu!" kata Ganendra.
"Dia hanya temanku, tidak lebih!" jawab Aulia menekankan kata-katanya.
"Teman spesial. Dia cukup tampan dan muda. Seharusnya kau menikah dengannya, bukan aku!" kata Ganendra santai sambil menyalakan rokoknya.
Aulia tidak tahu harus menjawab apa. Meskipun harapannya memang sama dengan apa yang Ganendra katakan, tapi tetap saja ia tidak bisa menolak takdir yang sudah digariskan padanya. Kini ia hanya bisa menerima garis itu dan mempersiapkan diri sebagai istri dari seorang Ganendra Bamantara yang bahkan ia hanya tahu nama dan status sosialnya saja. Jika di tanya lebih, entahlah ia harus menjawab apa.
"Kenapa diam?" tanya Ganendra.
"Tidak, aku hanya berpikir sebagai manusia apa yang bisa aku lakukan untuk bisa bahagia. Keadaan seakan menekanku untuk tetap tersenyum meski semuanya terasa perih untuk aku jalani" jawab Aulia sendu.
"Kamu tidak bahagia akan menikah denganku?" tanya Ganendra. Aulia pun kembali diam.
"Apa kurangnya aku? Aku tampan, mapan dan juga kaya. Semua gadis mengejarku, lalu kenapa kau tidak suka padaku?" tanya Ganendra sambil membanggakan dirinya.
"Bohong kalau aku katakan jika kaya dan mapan tidak diperlukan dalam pernikahan. Tapi, meskipun semua itu benar tetap saja tidak bisa menjamin pernikahan itu akan bahagia. Pernikahan membutuhkan materi namun tidak sepenuhnya. Karena banyak hal yang harus dipenuhi lebih dari sekedar sebuah materi" jelas Aulia.
Ganendra diam. Sampai saat ini ia tidak pernah merasakan hal yang Aulia sebutkan tadi. Baginya, selain materi tidak ada yang lebih penting lagi. Pernikahan? Itu hanya membuat keduanya terikat dan saling menyusahkan, terutama seorang wanita yang hanya bisa mengandalkan airmatanya saja.
"Kau, kenapa kemari?" tanya Aulia kemudian.
"Aku dipaksa Opa kesini!" jawab Ganendra seadanya sambil mematikan rokok yang sudah tinggal satu ruas jari.
"Seandainya Opa memaksamu untuk menikahiku meski nantinya kita menolak perjodohan ini, apa kamu akan menerimanya?" tanya Aulia memastikan.
"Apa aku ada pilihan lain? Kerja keras yang selama ini aku bangun akan sia-sia saja dengan perjodohan bodoh ini!" tukas Ganendra.
Aulia terdiam mendengarnya.
"Manusia akan dihargai kalau dia memiliki segalanya, begitu juga sebaliknya!" lanjut Ganendra.
"Di sini dingin, aku tidak memakai jaket. Lebih baik kita masuk!" ujar Aulia memutuskan untuk kembali ke ruangan neneknya. Namun saat ia sedang berdiri, dengan cepat Ganendra menarik tangannya dan membuat Aulia terjatuh ke dalam pangkuannya."Apa yang kau lakukan? Di sini banyak orang!" kata Aulia berusaha untuk bangkit namun tidak bisa karena Ganendra sudah memeluk tubuhnya."Terima pernikahan ini, maka aku pastikan kehidupanmu dan Nenekmu akan aman dan baik-baik saja!" kata Ganendra."Apa kau gila? Menurutmu masa depanku harus aku pertaruhkan hanya dengan selembar uang?" tanya Aulia tajam."Tapi setidaknya kau dan nenekmu tidak akan kesusahan lagi? Kau tahu, penyakit nenekmu semakin lama semakin parah. Itu membutuhkan banyak biaya, apa kau kira dengan bekerja siang malam bisa mencukupi semuanya?" jelas Ganendra."Kau menyelidikiku dan Nenek?" tanya Aulia tidak percaya."Aku harus tahu wanita yang akan menikah denganku. Tidak salah, bukan?"
Pagi ini Ganendra kembali mendatangi rumah sakit. Ia akan mengantar Aulia dan pergi bersama ke kantor.Tok ... Tok ... Tok ...Ganendra mengetuk pintu yang memang sudah sedikit terbuka. Kedua orang yang berada dalam ruangan tersebut menoleh bersamaan."Nak Ganendra, masuklah!" kata Nenek Aulia memberi izin."Terimakasih, Nek." Ganendra masuk dan mendekat pada keduanya. Nenek Aulia tersenyum hangat hanya Aulia saja yang memalingkan wajah, menolak melihat Ganendra."Ada apa kau pagi-pagi sekali ke sini?" tanya Nenek Aulia."Saya di suruh Opa untuk mengantar Aulia. Kebetulan hari ini hari pertamanya magang di kantorku" jelas Ganendra."Wah, kebetulan sekali. Aulia, cepat bersiap!" titah Nenek Aulia pada Aulia."Aku sudah siap, Nek. Aku pergi dulu, Nek. Jaga diri Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku secepatnya!" ujar Aulia dan neneknya hanya mengangguk menanggapinya.Aulia dan Ganendra pamit. Mereka meninggalkan ruang perawa
Aulia baru saja hendak meninggalkan perusahaan Ganendra namun Rani memanggilnya dengan suara yang cukup keras hingga membuat semua pandangan tertuju pada mereka. "Rani, kenapa teriak-teriak?" kesal Aulia. "Kau mau kemana, Ya? Kita di suruh menghadap HRD untuk laporan!" ujar Rani dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama Rafael ikut bergabung dengan mereka. "Dia tidak perlu melapor, Ran. Aulia sudah pasti di terima" celetuk Rafael dengan muka masam. "Apa maksudmu, Raf?" tanya Rani bingung. Rafael memandang sekilas pada Aulia. Raut wajahnya menampakkan kekecewaan mendapatkan wanita yang ia cintai sudah menjadi tunangan orang lain. "Dia tunangan Pak Ganendra" ujar Rafael lemah. "Tunangan?" teriak Rani terkejut. Ia menatap pada Aulia, namun Aulia hanya tertunduk lesu. "Benar apa yang Rafael katakan, Ya?" tanya Rani memastikan. Dengan anggukan pelan Aulia menjawabnya. Mata Rani pun membulat sempurna. Ia tidak menyangka
Aulia bergegas ke kantin untuk menemui Rani. Dan kini Rani tengah mengantri untuk makan siangnya. Aulia pun segera menyusul dibelakangnya."Kau lambat sekali, aku terpaksa memesan lebih dulu" kata Rani saat menyadari kehadiran Aulia dibelakangnya."Maaf, tadi aku ...," Aulia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin membahas semua yang berkaitan dengan Ganendra. Itu terlalu membuatnya muak."Kau kenapa?" tanya Rani bingung."Aku tadi ke toilet!" dusta Aulia.Rani pun tidak membahas lebih jauh. Sementara Aulia terlihat mengamati sekelilingnya, ia mencari seseorang yang seharusnya bergabung dengan mereka."Kau mencari Rafael?" tanya Rani tiba-tiba."Di mana dia?" tanya Aulia langsung."Itu ...," Rani menunjuk pada pojok kantin yang terdapat sebuah meja. Di sana ada Rafael yang tengah makan dan berbincang dengan rekan kerjanya. Terlihat sekali Rafael sangat senang bergabung dengan rekan-rekan Devisinya. Aulia pun hanya b
Ganendra mengurai pelukannya dari Aulia. Aulia masih tertunduk dengan wajah basahnya. Ganendra memegang kedua pundaknya dan berkata, "Bujuklah Nenek, aku akan mengurus semuanya. Jika Opa tahu dia pasti akan melakukan hal yang sama" ujar Ganendra pada Aulia.Aulia mengangguk pelan. Ia mengusap wajahnya yang basah dan berlari ke dalam toilet untuk membasuh wajahnya. Ganendra masih setia menunggunya.Tak lama Aulia keluar dan melihat Ganendra masih menunggu dirinya."Kenapa kau masih di sini?" tanya Aulia."Pulanglah, kau mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri" jawab Ganendra.Aulia tersenyum kecil. Ia memandang pada Ganendra dengan tatapan tidak dimengerti Ganendra."Kau menyuruhku meninggalkan kantor di hari pertamaku bekerja? Apa kau ingin aku dipecat, hah?" tanya Aulia tajam."Jangan khawatir untuk hal itu, aku akan mengurusnya dengan kepala devisimu. Jadi pulanglah!" titah Ganendra."Aku akan tetap bekerja seperti seharus
Jam pulang kerja sudah tiba. Ganendra mencari Aulia di ruangannya untuk pulang bersama. Dan ternyata di sana sudah ada Rafael. Ganendra menyapanya, memberikan senyuman terbaiknya seolah mereka adalah teman baik."Kau teman Aulia, bukan?" tanya Ganendra pura-pura tidak tahu.Rafael mengangguk pelan."Sedang menunggu Aulia?" tanya Ganendra lagi."Iya, Pak!" jawab Rafael seadanya."Sayang sekali, kami akan pulang bersama karena suatu hal. Mungkin kau bisa pulang dengan Aulia di lain waktu!" kata Ganendra meminta Rafael mundur dengan cara halus."Baiklah, Pak. Kalau begitu saya akan pulang. Selamat sore, Pak!" kata Rafael pada Ganendra.Ganendra senyum penuh kemenangan. Ia pun tidak membuang waktu lagi. Ia langsung menemui Aulia. Hal ini membuat banyak pertanyaan dari semua pegawai yang melihatnya. Jarang sekali Ganendra masuk ke ruangan mereka.Aulia yang melihat kedatangan Ganendra sedikit terkejut. Ia mengedipkan mata sebagai ko
Ganendra dan Nenek Winda terkejut mendengar penuturan Aulia. Terlebih Ganendra, sebelumnya tidak ada pembicaraan antara keduanya mengenai pertunangan mereka. Namun tiba-tiba saja Aulia sudah memutuskan bahkan mengatakan itu di depan Nenek Winda."Aulia, ini bahkan belum satu minggu. Kau yakin sudah memutuskannya?!" tanya Nenek Winda memastikan."Iya, Nek. Tenang saja. Aku sudah membicarakan semuanya dengan Ganendra. Bukan begitu, Gane?" tanya Aulia dengan isyarat matanya."Ah, i-iya. Kami sudah membicarakan semuanya, Nek!" jawab Ganendra gelagapan."Baguslah kalau begitu. Nenek senang mendengarnya. Tapi, apakah Hendra sudah tau tentang keputusan kalian ini?" tanya Nenek Winda memastikan."Belum, Nek. Kami baru membicarakannya tadi siang. Nanti kami akan memberitahukan Opa Hendra tentang semuanya. Yang penting sekarang Nenek fokus dengan pengobatan Nenek saja. Nenek tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi karena aku sudah akan menikah!" kata Aulia.
Aulia diam dalam waktu yang cukup lama. Ia masih memikirkan konsekuensi yang Ganendra katakan padanya. Untuk sekian kalinya ia bimbang. Aulia berpikir mungkin cukup hanya dengan menikah saja, namun dia lupa bahwa kenyataannya ia harus menjadi istri dalam arti yang sebenarnya."Tidur dengannya?" gumam Aulia kecil."Kenapa? Kau tak bisa?" tanya Ganendra yang tanpa sengaja mendengar gumaman Aulia."Apa kita tidak bisa menikah saja. Lagipula belum tentu setelah tidur denganmu aku bisa hamil?" tukas Aulia.Ganendra membulatkan mata tak percaya. Aulia lagi-lagi sudah menghina sisi kelelakiannya."Aku pria sehat, Aulia. Iya, aku akui kalau aku seorang penikmat minuman keras, tapi aku bisa menghentikan itu semua kalau kita sudah memikirkan untuk memiliki anak. Yang Opa mau hanyalah keturunan agar bisa mendapatkan penerus keluarga Bamantara!" kata Ganendra."Entahlah, aku bingung!" keluh Aulia.Ganendra pun diam. Aulia hanyalah gadis kebanyakk