"Ayah ... ada apa?" Aisyah menghampiri suaminya yang kini tengah cemas.
Malik mengambil napasnya sedikit berat. "Bu, perusahaan Andi tadi menemui klien dari perusahaan 'ElangGrup'. Dan ternyata 'Elanggrup' itu adalah milik Erlangga, Bu." Malik menatap sang istri meminta pendapatnya. "Itu artinya Andi dan Erlangga akan sering bertemu bukan, Bu? Zahra saat ini tengah menangisi cintanya yang kandas karena Ayah, Bu."Aisyah membekap mulutnya terkejut. "Astaghfirullah, kenapa harus begini?""Ayah juga berharap jika Zahra tidak bertemu lagi dengan Erlangga agar hati mereka tak kembali terluka. Karena Ayah tahu jika Zahra tidak mungkin menyakiti Andi. Tapi, jika mereka sering bertemu kemungkinan mereka untuk ...."Malik tak melanjutkan ucapannya karena yakin jika istrinya akan sangat faham maksudnya. Untuk itu, Malik hanya mengatakan sedikit kemungkinannya saja. Baik Aisyah maupun Malik tak menyangka jika Zahra akan bertemu kembali dengan Erlangga terlebih sekarang Andi bahkan bekerja sama dengan perusahaan Erlangga. Besar kemungkinan mereke akan sering bertemu. Lalu kemungkinan-kemungkinan lainnya adalah Zahra pun akan sering bertemu dengan Erlangga. Atau mungkin Erlangga dengan sengaja mendekati Zahra kembali. Mengingat Erlangga pernah berkata jika dirinya masih sangat mencintai Zahra."Apa Zahra di kamar sekarang, Ayah?""Iya, Bu. Tadi Ayah ingin bertanya padanya tentang pertemuan mereka dengan pimpinan Elanggrup. Tapi Ayah malah mendengar Zahra menangis dan menyebut nama Erlangga. Lalu Ayah bertanya pada Andi dan ternyata karena Zahra bertemu dengan Erlangga lagi hari ini, itu sebabnya Zahra kembali menangisi Erlangga.""Biar Ibu lihat sebentar ya, Yah?""Mungkin sebaiknya jangan dulu, Bu. Biarkan Zahra sendiri dulu."Untuk kali ini Malik tak ingin memaksakan kehendaknya untuk menekan putrinya. Malik sudah sangat menyesal karena telah memisahkan Zahra dengan Erlangga dan berakhir rumit seperti ini. Rumit karena kini Zahra tak bisa kembali pada Erlangga akibat perjodohan yang di lakukannya dengan Andi. Andi juga laki-laki yang sangat baik, mencintai Zahra dengan tulus walau tahu jika Zahra belum sepenuhnya mencintai Andi.Malik kembali menghembuskan napasnya dan mengusap wajahnya kasar. "Ya Allah, ini semua salahku," sesalnya, "apa yang harus ku lakukan sekarang ya Allah," ucapnya lagi putus asa. ******Andi termenung di atas balkon kamarnya menatap indahnya langit. Walau pun tak seindah hatinya saat ini. Andi sangat ingin sekali bertanya pada Malik tentang Zahra. Akan tetapi, Andi takut malah akan menimbulkan ke kacauan baru dalam hibungannya dengan Zahra."Ya Allah ... jika memang dia bukan jodohku, jangan sampai aku menyakiti hati orang dulu lalu mengembalikannya pada jodohnya ya Allah. Karena hatiku saja merasa sesak mengingat Zahra menangisi laki-laki lain. Lalu bagaimana jika aku malah memisahkan cinta mereka?"Andi sudah sangat bisa menebak apa yang pernah terjadi antara Zahra dengan Erlangga. Andi sendiri malah takut jika dirinya adalah penghalang hubungan Zahra dan Erlangga. Karena menurutnya itu sangat menyakitkan jika benar cinta mereka terhalang olehnya.Di balkon kamar lain dengan perasaan yang sama, yaitu sesak. Erlangga Yudistira berkali-kali menekan dan meremas dadanya menahan sakit. Memejamkan matanya untuk bisa menahan rindunya pada gadis pujaan hati yang kini bahkan sudah melupakannya."Aku tidak ingin menyerah, Ra. Aku yakin jika masih ada kesempatan buatku mendapatkan cintamu lagi. Walau mungkin sekarang kamu sudah tak mencintaiku lagi." Erlangga kembali meremas dadanya dengan rahang yang mengeras serta tenggorokan yang tercekat menahan sesak. "Aku mungkin akan memulainya dari awal. Aku akan mengikuti cara dulu kita pertama bertemu, Ra."Itulah rencana Erlangga. Erlangga tak mau menyerah karena yakin jika dirinya bisa kembali mendapatkan cinta dari Khanza Azzahra. Gadis Sholehah yang mampu membuat hatinya tak ingin berpaling. Bahkan walau kini Erlangga tahu jika Zahra sudah di jodohkan dengan laki-laki lain. Selama janur kuning belum melingkar, masih ada kesempatan baginya mendapatkan kembali cinta yang hilang itu, bukan? pikir Erlangga. ******Kapan jadwal meeting kembali dengan Andi, Jim?"Jimmy menoleh dan menatap Erlangga sedikit heran karena ucapan itu terlalu asing bagi Jimmy. "Pak Andi, Pak Er?""Iya, Andi sama Pak Andi apa bedanya sih, Jim?"Ini pertama kalinya Jimmy mendengar Erlangga menyebut nama kliennya tanpa bahasa formal. Tentu saja membuat Jimmy bertanya-tanya dalam hatinya. Hanya saja Jimmy merasa memang ada yang beda dari raut wajah Erlangga saat ini. Lebih terlihat bersemangat dan gesit.'Aku ngerasa ada yang beda dari Pak Er, tapi apa ya?' batin Jimmy."Jim," panggil Erlangga, "kenapa malah bengong?"Jimmy tersentak dan baru sadar jika dirinya malah melamun. "Iya Pak, maaf. Bapak bilang apa tadi?""Ck, sejak kapan kamu jadi lola seperti itu, Jim?" ejek Erlangga pada Jimmy."Sejak Pak Er terlihat berbeda," sahut Jimmy jujur.Erlangga menatap Jimmy dengan tatapan penuh arti. Jimmy seolah tahu jika ada yang Erlangga tuju dari kerja samanya bersama perusahaan Andi. Jimmy memang selalu tahu rencana Erlangga setiap kali Erlangga ingin melakukan apa pun karena Jimmy tahu bagaimana Erlangga yang sesungguhnya."Tentang gadis yang pernah saya ceritakan padamu." Erlangga menatap dalam Jimmy. "Ini urusan pribadiku, Jim. Saya minta kamu tidak perlu ikut campur apa lagi sampai melaporkannya pada Papa."Jimmy langsung mengerti dengan yang di katakan Erlangga dengan kata 'gadis' yang di ceritakan Erlangga padanya. "Apa dia orangnya?"Erlangga sebenarnya tak ingin mengatakan apa pun pada Jimmy. Tetapi Jimmy seperti sangat ingin tahu dan pastinya lebih baik Jimny tahu dari Erlangga dari pada dia nyari sendiri beritanya. Karena Erlangga tahu bagaimana Jimmy jika sudah papanya beri tugas. Jimmy tipe orang setia pada Tuannya."Ya, Khanza Azzahra. Gadis yang bersama Andi tadi adalah gadis yang saya cintai, Jim.""Tapi bukankah tadi dia bilang tidak mengenal Anda, Pak Er?"Erlangga menunduk dan menghembuskan napasnya. "Mungkin dia marah karena saya tidak cepat datang padanya," ucapnya ragu, Erlangga sebenarnya ragu jika itu adalah alasan Zahra bilang tak mengenalnya. 'Untuk kali ini aku nggak akan nyerah, Ra. Aku akan membuatmu jatuh cinta lagi,' ucapnya dalam hati dengan pasti."Minggu depan kita ada pertemuan dengan Pak Andi," tutur Jimmy. "Apa Pak Er berharap jika Pak Andi membawa Nona Zahra lagi?" tebaknya.Erlangga melirik Jimmy. "Apa saya salah jika berharap seperti itu, Jim?"Jimmy sangat mengerti pada perasaan Erlangga saat ini. Apalagi Jimmy tahu bagaimana Erlangga berusaha bangkit sampai akhirnya Erlangga bisa menjadi pengusaha muda yang sukses dalam waktu cepat. Jimmy juga tahu tujuan Erlangga dari awalnya untuk menjadi seperti sekarang itu apa."Saya pikir kalian perlu bertemu dan bicara, Pak," usulnya, "seperti ada banyak hal yang perlu kalian luruskan."Erlangga sendiri tak yakin jika dirinya bisa bertemu Zahra lagi. "Saya tidak yakin jika dia mau bicara denganku, Jim.""Kenapa? Bukankah selama mereka belum menikah, itu artinya Anda masih punya kesempatan, Pak. Semangat!" ujar Jimmy meninju lengan Erlangga menyemangatinya dengan senyum penuh ejekan.Erlangga manatap Jimmy dengan tatapan yang susah di tebak. 'Ya, Jimmy benar. Selama kamu belum menikah itu artinya aku masih punya kesempatan.'Tekad Erlangga sekarang adalah meyakinkan kembali cintanya pada Zahra. Karena cinta mereka sekarang tidak terhalang restu dari ayah Zahra, melainkan Andi. Akan tetapi, Erlangga tetap bertekad untuk kembali merebut hati Zahra. Baru setelah Erlangga tahu jika Zahra tak bisa menerimanya lagi, Erlangga akan berhenti mengejarnya."Tank's, Jim." Erlangga tersenyum penuh arti pada Jimmy. 'I'm coming, Zahra,' gumamnya pasti.Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
"Apa-apaan, Pak Er? Saat ini kita tidak sedang kekurangan karyawan, Pak. Bagaimana mungkin saya harus menerima karyawan baru."Jimmy tidak mengerti mengapa sang bos menyuruhnya menerima karyawan baru. Padahal jelas-jelas kantornya tidak tengah kekurangan karyawan. Jimmy semakin tidak mengerti pada jalan pikiran Erlangga yang sudah terlihat begitu bucin. "Itu permintaan isteriku, Jim. Kamu atur aja pokoknya ya!" titah Erlangga dengan kembali mengirim pesan pada sang istri yang baru saja ditinggalkan olehnya beberapa menit lalu. "Pokoknya terserah kamu mau di tempat kan di mana." Jimmy mengusap leher belakangnya karena bingung. "Iya tapi dia kerja bagian apaaaa? Enggak ada lowongan, Pak Er. Masa jadi asisten pribadi saya?" Erlangga menoleh pada Nino, lalu menyipitkan matanya berpikir sejenak. "Boleh," ucap Erlangga, "mau jadi asisten pribadi kamu mau jadi istri kamu, terserah deh pokoknya. Yang penting dia bisa bekerja, oke! Saya pulang lagi karena masih masa bulan madu, he he." Jim
"Ooh, iya, Sa. Nanti aku coba bicarakan pada suamiku ya. Semoga aja ada lowongan pekerjaan buat kamu." Zahra menutup telponnya dengan perasaan iba pada sahabatnya. Erlangga baru keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Zahra dengan refleks menutup matanya agar tidak melihat dada bidang yang selalu dikaguminya. Al pun melihatnya, Erlangga malah semakin mendekati Zahra dengan sengaja. "Iih, Kak. Sono, aaaakkkkhh!" Zahra mendorong tubuh Erlangga agar menjauh darinya. "Kamu kenapa sih, Ra? Sok-sokan enggak mau sama dada bidangku." Erlangga kembali mendekati Zahra dengan seringai jahil. "Jangan mesum, Kak!" Zahra mendorong lagi tubuh Erlangga namun, bukannya tubuh Erlangga yang menjauh, melainkan handuk Erlangga yang melorot akibat dorongan Zahra."Huwaaaaaa, Kak Er mesum!" Zahra menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tertawa terbahak karena geli melihat tingkah istrinya yang polos. Erlangga pun segera menuju ruang ganti. Zahra sendiri masih menu
"Loh, kok sudah pulang?" Yudistira terkejut karena Erlangga dan Zahra kini sudah berada di teras rumahnya. "Baru juga satu Minggu, Er?" Erlangga menarik napasnya. "Tenang aja, Pah. Satu Minggu juga jadi kok itu cucu Papah," ucap Erlangga dengan tidak ada wibawanya sebagai CEO PREMAN. Zahra sendiri hanya meremas jari-jari tangannya sedikit takut jika sang papa mertua marah padanya. "Papah ... ini karena Zahra minta pulang," kata Zahra tak ingin membuat sang Papa mertua khawatir.Yudistira menoleh pada Zahra lalu menatapnya sejenak. "Apa Er tidak membahagiakanmu, Ra?" Erlangga terbelalak. "Apa maksudnya? Mana ada aku tidak membahagiakannya, Pah? Zahra minta pulang karena rindu pada orang tuanya." Zahra mengerucutkan keningnya. "Bukannya Kak Erlangga yang mengajakku pulang karena cemburu pada bule itu?" Yudistira menoleh dan menatap Erlangga dengan tatapan tak suka. "Sudah Papah duga. Kamu biang keroknya, Er." Yudistira menarik tangan Zahra ke dalam rumah. "Kalau begitu kamu ikut Pa
"Kamu? Ngapain ke sini?" sentak Jimmy saat melihat Dinda kini berada di ruangannya. "Iiih, jangan galak-galak napa? Aku ke sini kan dengan niat baik." Dinda duduk di sofa tamu ruangan Jimmy tanpa menunggu Jimmy menyuruhnya duduk. "Eh eh eh, siapa yang nyuruh kamu duduk?" Jimmy beranjak dari duduknya menghampiri Dinda yang kini sudah duduk di sofa tamunya. "Kagak ada yang nyuruh." "Nah, itu tahu. Terus kenapa kamu malah duduk?" Dinda menatap Jimmy dengan menyipitkan matanya. "Aku itu bingung harus nagnggap kamu itu baik atau tidak? Dibilang tidak baik, kamu sudah membantuku. Tapi, aku bilang baik juga bingung kamu marah-marah terus," ucapnya dengan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Ini ... aku ke sini mau mengembalikan uang yang kamu pakai untuk membiayai pengobatanku hari itu. Lunas, ya! Jangan sampai di tengah jalan kamu nagih! Aku pamit, sekali lagi terima kasih." Dinda beranjak dan pamit kembali pada Jimmy setelah menyimpan lembaran uang di meja tamu Jimmy. Jimmy pu