Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Bab 1. Penolakan "Ck, apa yang akan kamu harapkan dari pria seperti dia, Zahra?" Malik, ayah Zahra menatap Zahra dengan tajam, lalu menoleh ke Erlangga yang kini terlihat penuh amarah. "Pria urakan, tak bermasa depan," cibirnya lagi. Malik tak bisa menerima saat Zahra datang bersama seorang pria berpenampilan preman. Apalagi saat pria itu meminta izin dan restu untuk melamar Zahra. Amarah Malik begitu meledak tak terkira hingga terus memaki dan menghina pria itu. Erlangga Yudistira, seorang preman yang mencintai Khanza Az-Zahra. Harus menerima pil pahit serta hinaan dari ayah Zahra, saat melamar dirinya dan ingin menikahi Zahra. Gadis cantik nan lembut yang mampu merebut hatinya.Erlangga mengepalkan tangannnya, rahangnya mengeras saat mendengar hinaan dan makian yang di lontarkan ayah Zahra. Namun, saat Erlangga melihat Zahra yang menangis, amarahnya pun mereda. Erlangga berusaha menetralkan amarahnya dan berusaha untuk tetap tenang. "Tapi Ayah, Kak Erlangga pria baik kok. Zahra
Bab 2. Jodoh untuk Zahra. Malik berpikir keras mencari pria untuk di jodohkan dengan putrinya. Malik tak ingin putrinya berhubungan dengan seorang preman yang urakan itu. Bagaimanapun caranya Malik akan memisahkan mereka jika mereka masih saja berhubungan. Lalu Malik pun teringat dengan teman karibnya yang memiliki anak pria soleh. Malik pun segera mengambil benda pipihnya untuk mencari kontak sahabatnya itu. "Assalamualaikum," ucapnya dengan bibir tersenyum senang. Obrolan Malik terdengar begitu bahagia saat menjawab lawan bicaranya bicara di sebrang sana. Suara tawa renyah dan senyuman pun terus terukir di bibir Malik. Sampai akhirnya Malik mengakhiri obrolannya dan menutup sambungan telpon itu. "Alhamdulillaah, aku lega kalau gini, he he." Malik beranjak mencari keberadaan sang putri. Malik mengetuk pintu kamar Zahra yang kini berada di kamar. Setelah kejadian penolakan hubungannya dengan Erlangga, Zahra jadi sering mengurung diri. Seperti kehilangan keceriaan dan semangat hid
Erlangga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Walau sedikit ragu karena sudah terlalu lama dirinya meninggalkan sang papa. Saat Erlangga tengah melamun menatap pintu gerbang rumahnya. Tin! Tin! Erlangga terkejut saat klakson mobil terdengar nyaring di telinganya, Erlangga menoleh pada arah mobil. "Papa ...," ucapnya menatap pria paruh baya yang di tinggalkannya. 3 bulan kemudian ...Hari ini Zahra dan Andi di ajak oleh Malik untuk menghadiri acara penyambutan CEO baru di kantor sahabat Malik. Malik sedikit memaksa Zahra dan Andi untuk ikut. Alasannya agar Malik sekalian memperkenalkan anak dan calon menantunya pada semua rekan kerja dan sahabatnya. "Memang harus ikut kah, Ayah?" "Harus dong, Di. Biar Ayah kenalkan kamu pada rekan kerja juga sabahat Ayah." Andi menoleh pada Zahra yang menundukkan wajahnya. "Baiklah, Ayah. Ra, apa kamu keberatan?" Zahra mengangkat wajahnya. "Tidak, Kak," jawabnya pelan. "Baiklah kita berangkat sekarang, Ibu mana?" Zahra menoleh pada arah Bu Ais
"Kamu begitu tampan, Kak. Zahra bahagia sekali lihat Kakak yang sudah banyak berubah." Zahra mengingat kembali wajah tampan Erlangga tadi. "Aku hanya bisa berharap Kakak tidak melupakanku, walau kita tak mungkin bisa bersatu." Zahra memejamkan matanya agar sedikit meredam rasa rindunya pada Erlangga."Jika aku boleh jujur, Kak. Aku masih sangat mencintaimu, Kak," lirih Zahra lagi dengan tetesan air matanya.Di kamar Malik ...Setelah Malik dan Erlangga bersalaman. Malik memutuskan untuk pulang dan tidak menunggu sampai acara selesai. Yudistira pun tak mungkin bisa mencegahnya karena Malik berkata penyakitnya kambuh lagi. Padahal tanpa Yudistira tahu, jika sebenarnya pertemuan dengan sang putralah yang membuat Malik memilih untuk pulang lebih dulu.Rasa bangga dan sinar bahagia saat Malik memperkenalkan calon menantunya hampir pada semua rekan kerjanya. Hilang padam saat Malik tahu siapa CEO yang sukses di usia muda itu. Tentu saja Malik sangat shok, karena ternyata pria muda itu adala
"Bagaimana, Ra. Apa kamu mau temenin aku bertemu klien?" Andi menatap Zahra penuh harap. "Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa kok." Zahra tak ingin Andi kecewa karena Andi begitu baik padanya. "Aku mau kok, Kak. Kapan?" "Kamu serius, Ra?" "Ya serius dong Nak Andi, Zahra itukan sebentar lagi jadi istrinya Nak Andi. Sudah pasti nanti kalau Zahra akan sering Nak Andi bawa ke acara-acara bertemu klain kan?" sela Bu Aisyah datang membawa minum. "Kamu itu, Ra. Bukannya bawain minum buat Nak Andi, malah diem saja," omel Bu Aisyah. "He he, tadi Zahra udah nawarin minum kok, Bu. Cuma Andi tolak karena Andi mau bicara sama Zahra," kata Andi membela Zahra.Kebaikan, perhatian serta pengertian Andi pada Zahra membuat Zahra semakin merasa bersalah karena hatinya masih menyimpan cinta untuk pria lain. Padahal sebentar lagi mereka akan menikah. Zahra berusaha keras untuk menepis dan melupakan perasan cinta pada Erlangga. Namun, nyatanya tak mudah karena mungkin Erlangga adalah cinta pertamanya.
Erlangga segera kembali ke mobilnya dengan cepat dan segera pergi dari restoran itu. Erlangga tak ingin menumpahkan amarahnya di tempat yang salah. Tentu saja salah jika Erlangga harus marah-marah di hadapan Andi dan Jimmy..Mereka tak tahu apa pun tentang masalahnya dengan Zahra. Erlangga melesat secepat mungkin agar segera tiba di tempat biasanya menumpahkan amarah. Setelah sampai di tempat itu, Erlangga segera masuk ke satu ruangan yang terdapat berbagai macam alat lukis lalu dengan segera Erlangga melukis wajah Zahra lalu dirinya, kemudian di gambarnya Andi berada di tengah-tengah mereka bagai seorang pemisah. "Aaakkkhhh ...." Erlangga melempar semua alat lukisnya ke lukisan wajah Zahra. "Kenapa, Ra? Kenapa kamu secepat itu melupakanku?" Erlangga menggusar rambutnya sangat kasar. Tak ada yang tahu ke mana Erlangga kini pergi dan menuntaskan amarahnya. Baik Jimmy maupun Andi mereka mengira jika Erlangga memang memiliki urusan lain. Lain lagi dengan hati Zahra yang sedari tadi sud