Keesokan harinya, Davie berhasil mengambil hasil rekaman kamera tersembunyi dan rekaman suara. Kebetulan Khairil dan Naura sedang tidak berada di rumah. Sejak pagi, Davie sengaja tidak keluar dari kamar untuk melanjutkan rencana berikutnya.Sebelum mengambil rekaman itu, Davie memastikan terlebih dulu, apakah semuanya sudah pergi atau belum. Setelah semuanya aman, barulah Davie melancarkan aksinya.File hasil rekaman itu ia pindahkan ke dalam iPad miliknya, kemudian kembali mengamankan alat-alat perekam itu ke tempat semula. Selama seminggu ini, Davie akan terus mencari bukti-bukti yang lebih banyak lagi.Rekaman suara diputar. Davie berusaha menguatkan mental untuk mendengarkan percakapan dua pengkhianat itu."Om, si Davie kok bego banget ya. Masa dia nggak curiga gitu sama kita."Davie bisa mendengar dengan jelas suara Khairil saat tertawa. "Ya emang dia bego. Begonya dia sama kayak Mamanya.""Oh, pantesan. Ternyata turunan ya."Davie mengepalkan tangannya saat Naura dan Khairil men
Setelah semua kekacauan berakhir, kini para tamu undangan mulai pergi satu per satu dari lokasi pertunangan tersebut. Hanya menyisakan beberapa investor, Ileana, Jian dan Karina. Kini, Davie harus dihadapkan dengan ujian lain.Beberapa investor yang tersisa di sana menyatakan untuk mengakhiri kontrak kerjasama dan akan menarik semua saham mereka. Davie sudah menduga hal ini akan terjadi."Maaf, Pak Davie. Karena di sini Bapak termasuk ahli waris Pak Khairil, saya ingin mengakhiri kontrak kerjasama kita. Saya nggak mau perusahaan saya ikutan jelek karena berita buruk ini. Saya mohon maaf karena memutuskan secara mendadak," ucap salah satu investor."Saya juga, Pak Davie. Kita semua tahu, yang salah bukan Pak Davie. Tapi kami takut terkena dampak dari kasus ini," lanjut yang lain.Davie mengangguk paham. Ia tidak mungkin memaksa para investor itu untuk tetap mempertahankan saham di perusahaan milik Khairil."Baik, Pak. Besok, mohon datang ke kantor untuk membahas masalah ini ya," pinta
"Iya, aku mau."Mendengar jawaban Ileana, Davie langsung berucap syukur dan memeluk wanita itu dengan erat. Ileana hanya tersenyum melihat reaksi Davie. Ia berharap, semoga keputusannya ini tepat. Sejauh ini, Davie memang sangat peduli pada Ileana."Makasih, Ilea," ucap Davie setelah melepas pelukannya.Jian tersenyum sambil berdeham. "Ciye, akhirnya pacaran juga. Buruan gih minta restu sama Ayahnya Ilea, Pak. Biar langsung halal aja gitu.""Hush!" Ileana menepuk lengan Jian. "Nggak secepat itu juga kali. Kan butuh persiapan yang matang. Gimana sih?!""Tapi aku setuju sih sama Jian. Lebih cepat kan lebih baik. Biar leluasa peluk-peluk kamu," kata Davie.Ileana melotot dan mencubit perut Davie. Pria itu hanya merespon dengan tawa bahagianya. Perjuangannya mengejar Ileana tidak sia-sia. Wanita itu pun bisa ia luluhkan juga."Ayo, kita pulang. Sekalian aku mau minta restu sama Ayah kamu," ajak Davie."Ayo.""Ilea, gue balik ke rumah aja ya. Capek, mau istirahat," ujar Jian."Lo nggak mau
"...Tolong restui kami."Ikhwan menatap Davie dengan tajam. Sangat berbeda jauh dari sebelumnya. Ikhwan benar-benar tidak bisa menerima kenyataan bahwa Davie adalah anak dari seorang pembunuh. "Kalau Om bilang enggak, ya enggak! Kamu tuli ya?!""Ayah, tolong jangan kayak gini. Davie itu orang baik. Dia nggak sama kayak Papanya," lirih Ileana.Ikhwan tetap pada prinsipnya. Sekali tidak, tetap tidak. Sifat keras kepalanya kembali terlihat. "Enggak! Kamu masuk ke rumah, Ilea!""Tapi, Yah-""Masuk!" teriak Ikhwan.Ileana menatap Davie dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Davie hanya bisa memberi isyarat dengan anggukan kepala agar Ileana menuruti ucapan Ikhwan. Setelah itu, Ileana berlari masuk ke dalam rumah sambil menangis.Sedangkan Davie masih tetap berdiri di tempatnya. "Om, kasih Davie kesempatan buat buktiin semuanya. Davie mohon.""Nggak ada istilah kesempatan. Kamu pergi sekarang dan jangan pernah datang ke rumah ini lagi," usir Ikhwan. "Dan satu hal lagi, Ileana nggak akan
Davie memelankan sedikit laju mobilnya saat berbelok ke kiri. Benar kata Ileana, rumah Aldi berada di tepi jalan dan tidak jauh dari pertigaan itu. Davie menghentikan mobilnya di tepi."Ini rumahnya, Sayang?" tanya Davie sambil memperhatikan rumah mewah itu."Iya. Dia adik kandungnya Ayah.""Oh, gitu." Davie manggut-manggut. "Ya udah, yuk kita turun.""Tunggu dulu, Davie."Davie mengernyit heran. "Loh, ada apa, Sayang? Tadi kan kamu yang minta ke sini."Ileana hanya diam sambil menatap rumah mewah dengan halaman yang cukup luas itu. Entah mengapa langkahnya merasa ragu. Jantungnya berdegup kencang sekali."Sayang," panggil Davie.Wanita itu terhenyak. Ia menatap Davie dengan mata yang berkaca-kaca. Seketika Davie terkejut dan merasa bingung saat melihat Ileana mulai bersedih seperti itu."Sayang, kamu kok nangis? Ada apa? Cerita sama aku," ujar Davie sambil menyentuh pipi Ileana."Aku cuma takut, Om nggak mau terima aku. Soalnya, aku udah lama nggak ketemu sama Om Aldi."Davie mengusa
Sudah seminggu berlalu, Nisaka masih tetap menunggu Ileana pulang ke rumah. Setiap hari, Nisaka selalu menangis dan merasa kecewa pada Ikhwan karena telah membiarkan Ileana pergi. Bahkan Ikhwan enggan mencari Ileana.Ikhwan juga membiarkan Nisaka tidak masuk sekolah. Pria tua itu tak peduli dengan aksi protes yang dilakukan Nisaka. Benar-benar keras kepala.Nisaka melirik jam tangannya. Waktu sudah hampir senja dan seseorang yang ditunggu tak kunjung datang. Harus kemana lagi ia mencari Ileana? Bahkan Nisaka tidak bisa menghubungi nomor ponsel Ileana karena tidak aktif."Tante dimana? Nisa kangen sama Tante," lirih Nisaka di sela isak tangisnya."Ngapain kamu tangisi anak nggak tahu diri itu, hah? Dia nggak akan balik ke sini."Ucapan Ikhwan semakin menyayat hati Nisaka. Ia tidak percaya kakeknya akan bersikap seperti itu pada Ileana, anak kandungnya sendiri.Nisaka menghapus air matanya dengan kasar sambil berdiri dan berkata secara lantang, "Kakek jahat! Kakek tega sama anak kandung
Ileana tampak gugup saat memasuki ruang tamu untuk bertemu dengan pria yang beberapa saat lalu telah resmi menjadi suaminya. Davie mengucapkan ijab qabul dengan baik, tanpa perulangan sedikitpun. Ileana begitu bahagia saat mendengar suara Davie dari dalam ruangan lain. Bahkan Ileana sampai menangis bahagia.Kini, Ileana duduk di hadapan Davie, lalu mencium punggung tangan suaminya untuk pertama kali. Setelah itu, Davie mencium mesra kening Ileana. Kemudian, Davie memasangkan cincin pernikahan yang dijadikan sebagai mahar, lalu kalung dan selanjutnya memberikan sebuah kunci mobil pada Ileana."Makasih, Mas," ucap Ileana terharu. Kini, ia harus memanggil suaminya dengan sebutan itu."Sama-sama, Sayang," balas Davie diiringi senyuman penuh kebahagiaan.Selanjutnya, Davie dan Ileana menandatangani beberapa dokumen yang diperlukan, terutama buku nikah mereka. Beberapa saksi yang datang tampak mengabadikan momen bahagia itu dengan kamera ponsel mereka masing-masing. Dua orang photographer d
Tepat pukul 18.00 sore, para tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tersisa orang-orang yang akan membersihkan piring-piring kotor dan lain sebagainya.Davie dan Ileana masih berada di ruang tamu, mengobrol bersama Aldi, Diana dan Nisaka. Jian sendiri sudah pamit pulang sejak tadi karena ada urusan penting. Kedua pengantin baru itu masih mengenakan busana pengantin. Mereka tampak serasi sekali. Berulang kali Diana memuji kecantikan wajah Ileana yang jarang sekali tampil tanpa make up."Ilea, kamu cantik banget loh hari ini. Tante sampai nggak bisa kedip waktu lihat kamu tadi," ucap Diana."Ah, Tante bisa aja. Aku jadi malu, Tante."Semua yang ada di sana tertawa melihat reaksi Ileana. Yang paling keras tertawa yaitu Nisaka. Ileana sampai salah tingkah karena ditertawakan seperti itu."Dia tuh kalau dipuji emang kayak gitu, Tante," celetuk Davie. "Tadi aku juga puji dia karena dia cantik banget. Eh dianya malu. Kan gemes jadinya.""Mas, udah dong," rengek Ileana.Aldi