LOGINZelena tidak tahu berapa lama dirinya tidak sadar. Yang ia tahu, saat membuka mata ia sudah berada di rumah sakit. Lagi.Sekujur tubuhnya terasa remuk. Kepalanya begitu berat. Lalu perutnya melilit dan menusuk-nusuk.Ia lantas teringat kondisinya yang sedang berbadan dua. Dengan refleks tangannya turun menyentuh perut. "Anakku gimana?" tanyanya panik.Tidak ada apa pun yang menjawab. Hanya senyap. Dan rasa nyeri yang terus menusuk membuatnya semakin cemas.Jantung Zelena berdetak sangat cepat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari siapa pun. Kamar itu kosong. Napasnya mulai memburu. Ditekannya bel darurat yang ada di samping bed dengan tangan gemetar.Perawat datang dalam hitungan detik."Sus, anak saya, Sus. Anak saya!""Ibu, Ibu tenang dulu. Ada apa?""Anak saya ...." Zelena mengusap perutnya. "Tolong … tolong periksa. Anak saya … saya hamil. Saya … saya kecelakaan ....""Baik, Bu. Tenang dulu ya. Saya panggilkan dokter.""Jangan tinggalin saya." Zelena memohon sambil terus ter
Samar-samar Zelena mendengar suara-suara. Awalnya lirih, lalu semakin jelas. Suara langkah kaki, dan percakapan percakapan yang tidak bisa ia pahami. Perlahan, kesadarannya mulai kembali.Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di kepala. Matanya terasa berat, namun ia berusaha membukanya. Cahaya putih yang menyilaukan langsung menyambutnya. Zelena mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Bau obat-obatan langsung menusuk hidungnya. Zelena menyadari, ia berada di rumah sakit.Seorang wanita berjas putih mendekat. Wajahnya tampak ramah dan penuh perhatian. “Syukurlah Ibu sudah sadar,” ucapnya.Zelena mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Jeandra, makan malam, jalanan sepi, dan kemudian gelap. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Jeandra meninggalkannya.“Siapa yang membawa saya ke sini, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter wanita itu tersenyum tipis. “Tadi ada laki-laki
Selama beberapa detik Zelena terpejam dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dengan takut-takut dibukanya mata. Jeandra tetap berdiri di hadapannya, masih dengan wajah dan tatapan yang sama dinginnya. Lelaki itu tidak menamparnya seperti yang Zelena pikirkan. Selama tiga tahun menikah, Jeandra memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Pikirannya tadi hanya bentuk ketakutan Zelena saja. “Pulang sekarang.” Jeandra mendesis dingin lalu langsung menarik tangan Zelena tanpa memberinya waktu untuk bertanya atau membela diri. Zelena kewalahan mengikuti langkah Jeandra yang cepat. Begitu mereka melewati ruang makan, keluarga Jeandra yang tadi sibuk membicarakan Zelena mendadak diam. Mereka memandang dengan tatapan heran serta puas. Jeandra tidak menoleh. Tidak berpamitan. Ia terus menarik Zelena keluar, membuka pintu rumah itu, dan memasukkannya ke mobil. Jeandra masuk ke kursi pengemudi dengan wajah datarnya kemudian menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa. Mobil m
Sepeninggal Jeandra, Zelena hanya bisa berbaring lemah di tempat tidur. Demamnya tidak kunjung reda. Tubuhnya panas seperti dibakar, tetapi tangannya dingin dan gemetar. Setiap kali ia mencoba berdiri ia kembali jatuh ke tempat tidur.Ia sudah meminum sisa obat penurun panas yang ditemukannya di laci, tetapi tidak banyak membantu.Melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, Zelena memaksakan diri untuk bangun.Dengan sisa tenaga yang ada, Zelena berjalan terhuyung ke kamar mandi sambil berpegangan pada dinding. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, yang langsung membuatnya menggigil semakin hebat.Saat Zelena keluar dari kamar mandi, Jeandra sudah berdiri di depannya. Lelaki itu baru saja pulang.“Ada acara makan malam keluarga malam ini,” beritahunya datar.“Aku nggak bisa ikut, Je, aku masih sakit,” tolak Zelena lemah.Penolakan itu membuat Jeandra menunjukkan sedikit ketidaksenangannya.“Jangan cari masalah. Kamu udah cukup buruk di mata keluargaku. Kalau kamu nggak ikut, mere
Setelah mendapatkan kepuasan dari Zelena, dengan cepat Jeandra menarik diri.Jangan pernah berharap ada adegan mencium kening dan mengucapkan kata-kata mesra. Semua itu hanya terjadi dalam angan-angan Zelena, karena kini setelah menaikkan celananya Jeandra berguling ke samping lalu memeluk guling dengan tubuh membelakangi istrinya. Seolah-olah Zelena tidak pernah ada. Seolah tubuhnya tadi bukanlah tubuh wanita yang ia nikahi. Dan memang bagi Jeandra Zelena tidak lebih dari sekadar objek pelepasan hasrat serta tukang bersih-bersih di rumahnya.Zelena yang masih berbaring tanpa sehelai benang pun, menggigil karena demam yang terus memburuk. Ia memandang punggung lebar Jeandra yang saat ini tertidur dengan lelap. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya."Je ...," panggilnya. "Aku sakit. Bisa beliin obat?"Jeandra tidak bergerak. Tidurnya terlalu pulas.Zelena menelan ludah yang rasanya pahit. Ia mengumpulkan sedikit tenaga, menggeser badan mendekati punggung Jeandra. Telapak tangannya
"Je, hari ini hari ulang tahun pernikahan kita. Aku mau kita makan malam bersama untuk merayakannya. Nanti malam kamu bisa cepat pulang?" kata Zelena pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Aku sibuk. Nggak ada waktu," jawab Jeandra sambil mengenakan pakaian.Jawaban Jeandra membuat Zelena kecewa. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Hari yang sangat berarti baginya. Ia ingin sedikit saja merayakannya. Tidak perlu ada acara besar-besaran. Cukup dengan makan malam berdua di rumah."Untuk hari ini saja tolong luangkan waktumu sedikit," pinta Zelena yang belum menyerah."Udah kubilang hari ini aku sibuk. Berhentilah melakukan hal-hal yang nggak berguna," jawab Jeandra dengan wajah datarnya, seperti biasa. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Zelena.Zelena hanya bisa menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sikap yang ditunjukkan Jeandra. Selain sikapnya yang dingin, lelaki itu juga hanya berbicara seperlunya. Sedangkan pada orang lain sikap Jeandra beg







