Share

Part 6

last update Last Updated: 2025-12-01 17:06:05

Zelena tidak tahu berapa lama dirinya tidak sadar. Yang ia tahu, saat membuka mata ia sudah berada di rumah sakit. Lagi.

Sekujur tubuhnya terasa remuk. Kepalanya begitu berat. Lalu perutnya melilit dan menusuk-nusuk.

Ia lantas teringat kondisinya yang sedang berbadan dua. Dengan refleks tangannya turun menyentuh perut.

"Anakku gimana?" tanyanya panik.

Tidak ada apa pun yang menjawab. Hanya senyap. Dan rasa nyeri yang terus menusuk membuatnya semakin cemas.

Jantung Zelena berdetak sangat cepat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari siapa pun. Kamar itu kosong. Napasnya mulai memburu. Ditekannya bel darurat yang ada di samping bed dengan tangan gemetar.

Perawat datang dalam hitungan detik.

"Sus, anak saya, Sus. Anak saya!"

"Ibu, Ibu tenang dulu. Ada apa?"

"Anak saya ...." Zelena mengusap perutnya. "Tolong … tolong periksa. Anak saya … saya hamil. Saya … saya kecelakaan ...."

"Baik, Bu. Tenang dulu ya. Saya panggilkan dokter."

"Jangan tinggalin saya." Zelena memohon sambil terus terisak.

"Baik, saya tetap di sini. Dokternya sedang menuju ke sini."

Zelena mencengkeram selimut erat-erat sambil menunggu dengan tidak sabar.

Beberapa detik kemudian, dokter wanita masuk menemuinya.

"Dok, gimana keadaan kandungan saya? Tolong bilang anak saya baik-baik aja, Dok!" buru Zelena tidak sabar.

Wanita bersnelli putih itu terlihat menghela napas sebelum mengatakan, "Saya sudah memeriksa Ibu. Dan dengan ini saya minta maaf. Kandungan Ibu tidak dapat dipertahankan."

Hening.

Dunia Zelena berhenti.

Tidak ada suara, juga gerakan.

Ia hanya menatap dokter, seolah menanti kata berikutnya, kata yang akan membatalkan semuanya.

Namun tidak terjadi. Dokter tidak menarik kata-katanya.

Tangis Zelena kembali pecah.

"Nggak mungkin, Dok. Nggak mungkin. Anak saya … jangan … itu anak saya." Ia menyentuh perutnya seolah masih bisa melindungi sesuatu yang sudah tidak ada.

Dokter menatapnya dengan iba. "Saya turut berduka, Bu. Kami sudah melakukan yang terbaik. Tapi pendarahannya terlalu parah akibat kecelakaan itu."

Perawat berdiri di sisi ranjang, mengelus punggung Zelena, namun itu tidak membuat rasa sakitnya berkurang sedikit pun.

Zelena menangis sampai tubuhnya lelah. Sampai suaranya serak. Sampai air matanya habis.

Saat isaknya mulai mengecil, dokter menambahkan dengan sangat hati-hati, "Dan kami juga menemukan kerusakan pada rahim Ibu. Kemungkinan besar Ibu tidak bisa hamil lagi."

Ucapan terakhir dokter membuat Zelena hancur sejadinya.

Tubuhnya membeku. Bahkan untuk menangis pun ia tidak sanggup lagi. Pandangan matanya kini terlihat kosong.

"Beri saya waktu sendiri," lirihnya hampir tidak terdengar.

Dokter mengangguk, lalu keluar bersama perawat.

Zelena termenung dengan pandangan kosong, dingin, dan putus asa. Ia meletakkan telapak tangannya di atas perut.

"Mama nggak bisa jaga kamu … maaf … maaf .…"

Zelena kembali tersedu, merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjadi ibu yang baik. Ia sudah diberi kesempatan untuk mengandung tiga kali, tapi tiga kali pula harus kehilangan. Untuk menjaga kandungan sendiri pun ia tidak bisa. Ia sudah tidak tahu bagaimana caranya meneruskan hidup.

Ketika Zelena baru saja menghapus sisa air mata di pipinya dengan tangan gemetar, pintu kamar perlahan terbuka. Seorang perempuan berpakaian dokter melangkah masuk. Maura, adik iparnya yang bekerja di rumah sakit tersebut.

"Zel, aku dengar dari perawat kalau pasien yang tadi kecelakaan itu kamu. Aku jadi cemas." Maura menunjukkan ekspresi seolah terkejut dan sangat prihatin.

Maura mendekati tempat tidur Zelena. Tangannya langsung menggenggam tangan Zelena dengan cara yang begitu lembut. "Aku kaget. Kamu kenapa bisa sampai seperti ini?"

Zelena berusaha memperbaiki posisi tubuhnya dan menatap Maura dengan sayu. "Aku nggak tahu. Semuanya mendadak," jawabnya lemah.

"Ya ampun. Kasihan kamu, Zel." Maura menatap seperti penuh empati lalu mengatakan, "Tadi aku juga melihat Jeandra di rumah sakit ini."

Detak jantung Zelena naik tiba-tiba. Terlalu terkejut. "Jeandra?"

"Iya. Dia ke sini karena … hmm … Valerie juga sakit. Maagnya kambuh." Maura seolah tidak enak untuk mengatakannya.

Zelena membeku.

Maura menambahkan dengan cepat, seakan ingin menenangkan, atau justru mengaduk luka Zelena semakin dalam. "Tapi kamu jangan salah paham dulu. Jeandra panik waktu tahu Valerie sakit, sampai ikut mengantar ke IGD. Jeandra memang begitu orangnya. Hatinya lembut dan peduli sama semua orang."

Zelena mendengarkan semua itu dengan perasaan luluh-lantak.

Hatinya lembut. Peduli sama semua orang.

Tapi tidak peduli pada istrinya sendiri yang hampir mati di jalan.

Seolah belum cukup membuat Zelena tersakiti, Maura kembali melanjutkan.

"Aku sebenarnya pengen bilang ke Jeandra kalau kamu juga di sini. Tapi dia kelihatan panik dan repot menjaga Valerie. Aku takut malah mengganggu."

Zelena merasakan sakit di dadanya, jenis sakit yang bukan dari kecelakaan. "Kamu nggak bilang apa pun ke dia?" tanyanya lirih.

"Bukannya aku nggak mau, Zel. Situasinya lagi nggak enak. Jeandra juga pasti capek. Lagian kamu pasti tahu sendiri, kalau sudah sama orang yang dia sayang, dia bisa lupa sama yang lain."

Orang yang dia sayang. Dan orang itu bukan Zelena.

"Lagipula Valerie sahabat Jeandra dari dulu. Hubungan mereka sangat dekat. Ya wajar, kan, kalau dia khawatir?"

Zelena memaksa diri untuk tidak menangis di depan Maura walau saat ini ia ingin meraung.

"Aku juga udah dengar soal rahim kamu. Kamu nggak boleh stres ya, Zel. Kamu harus kuat. Walaupun ya … dengan kondisi seperti ini kamu harus siap kalau nanti Jeandra akan lebih sering sama yang lain."

Zelena terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak terlihat semakin hancur di depan adik iparnya.

Maura lalu merapikan selimut Zelena, seolah benar-benar peduli. "Udah ya, Zel. Istirahat. Kalau butuh apa-apa tinggal panggil perawat. Aku harus balik kerja dulu. Semoga cepat pulih. Nanti kalau Jeandra selesai mengurus Valerie, mungkin dia mampir ke sini."

Dengan senyum terakhir di bibirnya, Maura melangkah keluar, menutup pintu pelan-pelan. Meninggalkan Zelena dengan hati yang jauh lebih remuk daripada tubuhnya.

Maura mungkin membungkus setiap kata dengan senyum halus, suara manis, dan sikap pura-pura peduli. Tetapi semua itu tidak mengubah fakta bahwa Jeandra lebih memilih perempuan lain.

Dan sekarang, bahkan setelah Zelena kehilangan anak mereka, Jeandra tetap tidak ada.

Zelena memandang kosong ke dinding kamar. Seketika pikirannya kembali memutar semua kejadian selama tiga tahun ini.

Jeandra yang selalu pulang larut. Jeandra yang lebih banyak tertawa dengan Valerie daripada berbicara dengan istrinya. Jeandra yang selalu punya alasan untuk tidak menyentuhnya. Kalaupun menyentuhnya, itu pun tetap dengan 'menjaga jarak'. Jeandra yang selalu bersikap dingin. Jeandra yang terlihat hidup hanya ketika bersama orang lain.

Dan kini .…

Jeandra tidak ada saat istrinya kehilangan anak untuk ketiga kalinya.

Ada sesuatu yang patah dalam diri Zelena. Sesuatu yang tidak bisa diperbaiki lagi. Sesuatu yang selama ini ia paksa untuk tetap hidup.

"Kenapa aku terus bertahan?" bisiknya lirih.

Air matanya jatuh lambat-lambat, membuat pandangannya memburam.

Apa yang sebenarnya ia pertahankan selama ini? Jeandra tidak pernah melihat sebesar apa pun cinta yang Zelena tunjukkan.

"Aku yang bodoh. Aku yang terus memaksa diri untuk tetap bertahan dengan orang yang nggak pernah mencintaiku."

Ia mengusap air matanya, namun matanya tetap basah.

Pikirannya kembali pada kalimat dokter. Kemungkinan besar dirinya tidak akan bisa hamil lagi.

Tidak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan. Tidak ada lagi alasan untuk memaksa hidup dalam rumah tangga yang hanya berisi dirinya sendiri.

Dengan sangat perlahan Zelena menarik napas panjang. Dipejamkannya mata. Tangan kirinya meremas selimut, tangan kanannya masih di atas perut.

"Sudah cukup," bisiknya. "Aku sudah cukup tersakiti."

Zelena tidak ingin menambah lukanya lagi. Kalau Jeandra memang mencintai Valerie, ia tidak lagi ingin menjadi penghalang. Ia akan melepaskan Jeandra agar lelaki itu bisa bersama dengan perempuan yang dicintainya sejak lama.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 6

    Zelena tidak tahu berapa lama dirinya tidak sadar. Yang ia tahu, saat membuka mata ia sudah berada di rumah sakit. Lagi.Sekujur tubuhnya terasa remuk. Kepalanya begitu berat. Lalu perutnya melilit dan menusuk-nusuk.Ia lantas teringat kondisinya yang sedang berbadan dua. Dengan refleks tangannya turun menyentuh perut. "Anakku gimana?" tanyanya panik.Tidak ada apa pun yang menjawab. Hanya senyap. Dan rasa nyeri yang terus menusuk membuatnya semakin cemas.Jantung Zelena berdetak sangat cepat. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari siapa pun. Kamar itu kosong. Napasnya mulai memburu. Ditekannya bel darurat yang ada di samping bed dengan tangan gemetar.Perawat datang dalam hitungan detik."Sus, anak saya, Sus. Anak saya!""Ibu, Ibu tenang dulu. Ada apa?""Anak saya ...." Zelena mengusap perutnya. "Tolong … tolong periksa. Anak saya … saya hamil. Saya … saya kecelakaan ....""Baik, Bu. Tenang dulu ya. Saya panggilkan dokter.""Jangan tinggalin saya." Zelena memohon sambil terus ter

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 5

    Samar-samar Zelena mendengar suara-suara. Awalnya lirih, lalu semakin jelas. Suara langkah kaki, dan percakapan percakapan yang tidak bisa ia pahami. Perlahan, kesadarannya mulai kembali.Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di kepala. Matanya terasa berat, namun ia berusaha membukanya. Cahaya putih yang menyilaukan langsung menyambutnya. Zelena mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Bau obat-obatan langsung menusuk hidungnya. Zelena menyadari, ia berada di rumah sakit.Seorang wanita berjas putih mendekat. Wajahnya tampak ramah dan penuh perhatian. “Syukurlah Ibu sudah sadar,” ucapnya.Zelena mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Jeandra, makan malam, jalanan sepi, dan kemudian gelap. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. Jeandra meninggalkannya.“Siapa yang membawa saya ke sini, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.Dokter wanita itu tersenyum tipis. “Tadi ada laki-laki

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 4

    Selama beberapa detik Zelena terpejam dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dengan takut-takut dibukanya mata. Jeandra tetap berdiri di hadapannya, masih dengan wajah dan tatapan yang sama dinginnya. Lelaki itu tidak menamparnya seperti yang Zelena pikirkan. Selama tiga tahun menikah, Jeandra memang tidak pernah melakukan kekerasan fisik. Pikirannya tadi hanya bentuk ketakutan Zelena saja. “Pulang sekarang.” Jeandra mendesis dingin lalu langsung menarik tangan Zelena tanpa memberinya waktu untuk bertanya atau membela diri. Zelena kewalahan mengikuti langkah Jeandra yang cepat. Begitu mereka melewati ruang makan, keluarga Jeandra yang tadi sibuk membicarakan Zelena mendadak diam. Mereka memandang dengan tatapan heran serta puas. Jeandra tidak menoleh. Tidak berpamitan. Ia terus menarik Zelena keluar, membuka pintu rumah itu, dan memasukkannya ke mobil. Jeandra masuk ke kursi pengemudi dengan wajah datarnya kemudian menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa. Mobil m

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 3

    Sepeninggal Jeandra, Zelena hanya bisa berbaring lemah di tempat tidur. Demamnya tidak kunjung reda. Tubuhnya panas seperti dibakar, tetapi tangannya dingin dan gemetar. Setiap kali ia mencoba berdiri ia kembali jatuh ke tempat tidur.Ia sudah meminum sisa obat penurun panas yang ditemukannya di laci, tetapi tidak banyak membantu.Melihat jam sudah menunjukkan pukul enam sore, Zelena memaksakan diri untuk bangun.Dengan sisa tenaga yang ada, Zelena berjalan terhuyung ke kamar mandi sambil berpegangan pada dinding. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, yang langsung membuatnya menggigil semakin hebat.Saat Zelena keluar dari kamar mandi, Jeandra sudah berdiri di depannya. Lelaki itu baru saja pulang.“Ada acara makan malam keluarga malam ini,” beritahunya datar.“Aku nggak bisa ikut, Je, aku masih sakit,” tolak Zelena lemah.Penolakan itu membuat Jeandra menunjukkan sedikit ketidaksenangannya.“Jangan cari masalah. Kamu udah cukup buruk di mata keluargaku. Kalau kamu nggak ikut, mere

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 2

    Setelah mendapatkan kepuasan dari Zelena, dengan cepat Jeandra menarik diri.Jangan pernah berharap ada adegan mencium kening dan mengucapkan kata-kata mesra. Semua itu hanya terjadi dalam angan-angan Zelena, karena kini setelah menaikkan celananya Jeandra berguling ke samping lalu memeluk guling dengan tubuh membelakangi istrinya. Seolah-olah Zelena tidak pernah ada. Seolah tubuhnya tadi bukanlah tubuh wanita yang ia nikahi. Dan memang bagi Jeandra Zelena tidak lebih dari sekadar objek pelepasan hasrat serta tukang bersih-bersih di rumahnya.Zelena yang masih berbaring tanpa sehelai benang pun, menggigil karena demam yang terus memburuk. Ia memandang punggung lebar Jeandra yang saat ini tertidur dengan lelap. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya."Je ...," panggilnya. "Aku sakit. Bisa beliin obat?"Jeandra tidak bergerak. Tidurnya terlalu pulas.Zelena menelan ludah yang rasanya pahit. Ia mengumpulkan sedikit tenaga, menggeser badan mendekati punggung Jeandra. Telapak tangannya

  • Dikejar Cinta Mantan Suami   Part 1

    "Je, hari ini hari ulang tahun pernikahan kita. Aku mau kita makan malam bersama untuk merayakannya. Nanti malam kamu bisa cepat pulang?" kata Zelena pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Aku sibuk. Nggak ada waktu," jawab Jeandra sambil mengenakan pakaian.Jawaban Jeandra membuat Zelena kecewa. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga. Hari yang sangat berarti baginya. Ia ingin sedikit saja merayakannya. Tidak perlu ada acara besar-besaran. Cukup dengan makan malam berdua di rumah."Untuk hari ini saja tolong luangkan waktumu sedikit," pinta Zelena yang belum menyerah."Udah kubilang hari ini aku sibuk. Berhentilah melakukan hal-hal yang nggak berguna," jawab Jeandra dengan wajah datarnya, seperti biasa. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Zelena.Zelena hanya bisa menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sikap yang ditunjukkan Jeandra. Selain sikapnya yang dingin, lelaki itu juga hanya berbicara seperlunya. Sedangkan pada orang lain sikap Jeandra beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status