Misandari menatap tumpukan peta laut yang menggunung di atas meja. Ujung jarinya mengusap perlahan kertas rami yang telah menguning. Jalur pelayaran yang digoreskan dengan bubuk sinabar itu seperti bekas darah yang membeku, memantulkan kilauan aneh di bawah cahaya lilin.Saat Luther mendorong pintu masuk, dia tepat melihat Misandari sedang menyelipkan setumpuk buku catatan kulit tebal ke dalam sebuah kotak kayu cendana ungu. Dari celah halaman, tampak kata-kata seperti "persediaan air tawar", "rasio bekal kering" .... Jelas, itu adalah rencana matang untuk pelayaran jarak jauh."Apa ada kabar dari para nelayan?" tanya Luther.Misandari mengangkat pandangan. Matanya memantulkan senja yang kian pekat di luar jendela. "Lahna baru kembali dari pelabuhan nelayan. Dia menemukan seorang kakek nelayan bernama Wirandi. Katanya, tiga tahun lalu di dekat Selokan Hitam, dia pernah melihat fatamorgana laut.""Istana megah seakan-akan menggantung di awan dan di depannya ada batu nisan bertuliskan 'G
Saat perintah dari Edgar sudah disampaikan, reaksi dari berbagai pihak pun berbeda-beda.Saat itu, Naim sedang berada di ruang kerjanya dan menghitung keuntungan dan kerugiannya di perjalanan ke wilayah selatan kali ini. Meskipun performanya tidak begitu mencolok, dia tetap lebih unggul jika dibandingkan dengan Nolan dan Nivan. Hanya saja, keunggulan yang begitu kecil itu jelas masih tidak cukup untuk mengubah keadaannya.Pada saat itu, Jaka tiba-tiba bergegas masuk dan melapor, "Pangeran Naim, ada kabar dari istana. Penyakit Raja Edgar makin parah, waktunya nggak lama lagi. Raja Edgar memberi perintah, siapa pun dari keluarga kerajaan yang pergi ke Pulau Dewata Promana dan membawa pulang Pil Abadi akan jadi calon putra mahkota.""Calon putra mahkota?"Mendengar perkataan itu, Naim langsung bersemangat. Namun, tak lama kemudian, dia kembali mengernyitkan alisnya.Naim tentu saja pernah mendengar legenda tentang Pulau Dewata Promana, tetapi semua itu hanya legenda saja. Apakah ada Pulau
Waktu berlalu dengan cepat dan lima hari pun terlewati. Wabah di wilayah selatan akhirnya mereda, hanya saja keadaan di setiap kota besar malah sangat berbeda.Kota Pupa, tempat pertama kalinya wabah meledak malah menjadi kota yang memiliki kerugian paling kecil. Para warga pun mendapatkan penanganan yang baik dan teratur.Selanjutnya adalah Kota Wuga. Karena letak kotanya cukup dekat dengan Kota Pupa dan adanya pertolongan tepat waktu dari Misandari juga. Setelah membayar harga tertentu, mereka pun berhasil memusnahkan wabah mutasi itu.Sebaliknya, Kota Linaer dan Kota Yali memang berhasil memusnahkan wabah, tetapi mereka membayar harga yang sangat mahal. Puluhan ribu warga dibakar dan dibunuh sampai mayat-mayat menumpuk seperti gunung. Meskipun Nolan dan Nivan berusaha menutupi hal itu dengan alasan untuk mencegah penyebaran wabah, berita itu tetap tersebar.Dalam sekejap, seluruh negeri pun menjadi gempar. Ada yang memaki Nolan dan Nivan itu kejam, tetapi ada juga yang menganggap ti
Saat ini, asap hitam yang tebal memenuhi langit Kota Linaer. Jalanan yang sebelumnya ramai pun kini sunyi senyap dan udara penuh dengan bau gosong yang menyengat bercampur dengan bau darah dan busuk yang membuat orang merasa mual.Di pemakaman massal di arah barat daya kota, api masih membara dengan dahsyat sampai berderak dan melahap sisa-sisa kehidupan terakhir. Mayat-mayat hangus berwarna hitam berubah bentuk dalam kobaran api. Kadang-kadang, bahkan ada potongan tubuh yang belum terbakar sepenuhnya terjatuh dari tumpukan api sampai menampakkan tulang-tulang putih yang menyeramkan.Nolan yang berpakaian pelindung berdiri di puncak bukit dan menatap neraka dunia di depan dengan ekspresi datar. Ekspresinya yang tegas tidak menunjukkan emosi apa pun, seolah-olah yang terbakar di depannya bukan puluhan juta nyawa dan hanya rumput kering yang tak berarti. Noda darah merah di pakaian pelindung yang sudah lama mengering memantulkan kilau aneh di bawah sinar matahari."Pangeran Nolan, kami m
Wajah Naim tampak sangat buruk. Dialah sang pangeran, berada di posisi tertinggi, tetapi kini sorotan justru direbut oleh Misandari. Hatinya tentu saja tidak senang.Seandainya semua rakyat yang terinfeksi wabah itu mati, dia masih bisa dengan mudah menutup-nutupi kejadian ini dan menyembunyikannya rapat-rapat.Namun, karena ulah Misandari, semuanya menjadi kacau. Sekarang mau disembunyikan pun sudah tidak bisa lagi.Yang paling menyakitkan adalah semua rakyat diselamatkan oleh Misandari. Dengan perbandingan seperti itu, dirinya sebagai pangeran malah terlihat tak berguna. Hanya saja, meskipun kesal, dia tetap harus berpura-pura manis untuk saat ini.Hujan baru saja reda. Di atas reruntuhan Kota Wuga, uap lembap masih mengepul perlahan. Naim melangkah di atas lumpur menuju ke arah Misandari dengan senyuman hangat bagaikan angin musim semi di wajahnya."Misandari, lihat dirimu yang begitu berantakan, pasti sangat kelelahan. Ayo, ikut aku kembali ke perkemahan. Aku sudah minta juru masak
Saat hujan mulai reda, zona isolasi di balik tembok kayu sudah mulai terbentuk.Misandari melintasi gubuk-gubuk kecil dengan rok putih sederhana yang sudah ternodai darah dan lumpur hingga ke ujungnya. Dia bahkan tak sempat membersihkan sisa-sisa ramuan herbal di sudut bibirnya.Jarum perak di tangannya menusuk ujung jari ungu kehitaman seorang anak kecil. Dia menekan keluar setengah mangkuk darah hitam berbau busuk, lalu segera menuangkan ramuan hangat ke dalam mulut anak itu yang pecah-pecah karena dehidrasi."Barisan ketiga masih kurang 20 tandu lagi!" Dia berseru lantang, suaranya menjadi serak karena terus-menerus berteriak.Tak jauh dari situ, Luther tengah menggunakan cahaya emas untuk membakar luka busuk seorang pasien. Benang-benang cahaya itu menjalar di sela-sela daging dan kulit, membakar habis belatung-belatung yang menggeliat di dalamnya.Pria tua yang dirawat itu gemetar karena sakit, tetapi tetap menggigit erat batang kayu tanpa mengeluh. Dia melihat butiran keringat ya