“Assalamu’alaikum Ra. Maaf ganggu,” kata Zayna ramah.
“Wa’alaikumussalam Za. Nggak ganggu kok kebetulan udah mau istirahat ini. Kenapa Za?” tanya Raisa. “Maaf sekali lagi. Aku minta tolong padamu jangan kasih tahu siapapun ya? Tolong banget ini cuma jadi rahasia diantara kita berdua,” ucap Zayna. “...Tiba-tiba banget Za?” “Tolong ya!” “Iya Za. Santai saja kayak sama siapa. Jadi ada apa?” “Teman tunangan kamu, yang namanya Zafran itu…boleh tahu sedikit?” “Zafran ya? Aku malah nggak tahu kalau dia punya teman namanya Zafran. Nanti coba aku tanyakan.” “Eh kamu kalau tanyakan jangan kasih tahu itu untukku ya? Please Raisa. Aku hanya ingin tahu sedikit saja. Intinya jangan pernah bawa-bawa aku. Bilang saja apalah gitu.” “Oke-oke tetapi tumben banget kamu tanya-tanya soal lelaki? Ini pertama kalinya kan? Ada untungnya juga kamu datang ke acara pertunanganku bukan?” Zayna cuma terkekeh. “Makasih banyak Ra. Kalau begitu aku akhiri dulu ya teleponnya. Assalamu’alaikum. Sekali lagi, semoga lancar sampai hari h.” “Sama-sama Za. Wa'alaikumussalam. Amin.” Zayna memutuskan sambungan telepon dengan Raisa. “Zayna, buka pintunya dong! Abi sama umi khawatir banget tahu sama kamu!” kata Maisha sedikit keras sambil mengetuk pintu kamar Zayna. Zayna membuka pintu kamarnya dan tersenyum ramah. “Alhamdulillah kamu sudah nggak menangis. Kenapa menangis hm?” tanya Maisha. “Nggak apa-apa,” jawab Zayna kemudian menghampiri orang tuanya yang sedang membaca buku. “Ayah, ibu, aku ingin menikah,” kata Zayna yang langsung membuat buku yang dipegang orang tuanya jatuh ke karpet. Mereka terperangah. Maisha juga. “A-apa? Menikah?” tanya si ayah. Zayna menganggukkan kepalanya mantap. “Tadi ketika dia acara lamaran Raisa, aku terpaku pada seorang lelaki. Aku sudah sebisa mungkin menjaga pandangan tetapi hatiku seperti bilang, pokoknya aku ingin dia.” Orang tuanya syok. Maisha juga. “Nak, kamu sadar kan sama apa yang kamu bilang?” tanya si ibu. “Sangat sadar,” jawab Zayna. “Aku rasa ini bisa mempengaruhi hidupku. Kalian juga pasti khawatir kalau diriku malah fokus memikirkan lelaki itu bukannya menjadi dokter.” Orang tua Zayna saling pandang dan dengan Maisha. “Kamu bicara sama dia?” tanya si ayah. Zayna menggelengkan kepalanya kemudian menceritakan semuanya dan alasan mengapa dia menangis. Selesai bercerita, Zayna izin pada keluarganya untuk masuk kamar karena dia ingin mengaji sekaligus menenangkan diri. Malam itu, orang tua Zayna dan kakaknya yang hampir tidak pernah khawatir pada Zayna mulai khawatir lagi. Zayna bekerja di sebuah rumah sakit swasta Aurum Vitae sebagai dokter umum. “Assalamu’alaikum.” Zayna mengucapkan salam begitu dia memasuki rumah sakit. Beberapa orang membalas salamnya dan mengucapkan selamat pagi kepadanya. Zayna memicingkan kedua matanya mendapati sosok yang familiar duduk di depan sebuah ruangan. Mungkinkah karena terlalu kepikiran jadi dia berhalusinasi? Namun pakaiannya sama persis dengan yang dipakai Zafran. Perawakannya, potongan rambutnya, dan caranya menundukkan wajah, membuat jantung Zayna berdebar kencang. “Gak mungkin kan?” batin Zayna kemudian mengucap istighfar. Lelaki itu menoleh dan Zayna melebarkan kedua matanya. Hampir saja langkahnya berhenti. Lelaki itu langsung menunduk lagi. Tampaknya ekspresinya semakin dingin. Zayna berjalan lebih cepat. Semakin cepat. “Kenapa dia bisa ada disini?!” batin Zayna berteriak kencang. Bruk! Karena berjalan begitu cepat, Zayna menabrak seseorang di belokan. “Dokter Zayna, sejak kapan kamu berlarian di rumah sakit? Aku nggak percaya ini!” Zayna mengalihkan pandangan dan langsung menjaga jarak dari Langit Kanagara, dokter spesialis bedah saraf yang telah berteman dengannya sejak dia memasuki rumah sakit ini. “Maaf banget Dokter Langit. Aku lagi buru-buru. Permisi,” ucap Zayna ramah kemudian berlalu begitu saja. Langit mengernyitkan alisnya. Apakah ada pasien yang gawat darurat dan harus segera ditangani? Bahkan jika terburu-buru, Zayna biasanya tetap tenang. Zayna mati-matian menenangkan diri. Namun dia terus bertanya-tanya dalam benaknya kenapa Zafran berada di rumah sakit ini. Sejak kapan? Zayna yakin dia tidak pernah melihat Zafran sebelumnya di rumah sakit ini. Jam menunjukkan pukul 10 ketika seorang gadis remaja berusia sekitar 15 tahun masuk ke ruang periksa Zayna. Setelah berhadapan dengan beberapa pasien, Zayna sudah lebih tenang. “Pagi, silahkan duduk,” kata Zayna lembut. Gadis itu duduk di depan Zayna. “Apa yang kamu rasakan?” “Saya… sering pusing. Tiap bangun tidur kayak muter. Terus mual. Saya kira masuk angin, tapi sudah tiga hari begini.” Zayna meminta izin pada gadis itu untuk memeriksanya. Gadis itu mengangguk. “Kamu sempat makan pagi sebelum datang ke sini?” tanya Zayna. “Enggak, Dok. Saya sering enggak nafsu makan belakangan ini.” Waktu semakin berlalu. Kini Zayna bisa istirahat. Dia sudah selesai sholat dzuhur dan membaca Al-Qur’an beberapa ayat. Saat Zayna pergi ke kantin, dia disambut oleh seorang perawat yang berteman dengannya. “Dokter sebentar lagi 25 tahun kan? Nih aku ada buku buat dokter,” kata perawat itu. Zayna asal menerimanya. Judul bukunya adalah menemukan cinta. Zayna menghela nafas ingin komplain tetapi temannya sudah pergi. Dua dokter menghampiri Zayna dan menyapanya. “Selamat siang, Dokter Zayna,” ucap Dokter Nadira. Zayna menyapa balik seraya tersenyum. “Siang juga, Dokter Nadira.” Nadira mengambil buku yang terletak diatas meja. “Tumben banget Za kamu baca buku kayak gini!” kata Nadira. “Itu dari Erna!” jawab Zayna. “Buku apa coba liat?” tanya Kevin penasaran. Nadira memberikan buku tersebut ke Kevin. “Ngomong-ngomong, Dokter Ardea tadi di lorong cath lab. Katanya baru keluar dari tindakan. STEMI lagi, pasien usia 48. Cukup kritis. Kamu nggak mau coba bicara dengannya Za?” tanya Nadira. Zayna terperanjat. “STEMI anterior?” “Kayaknya iya,” jawab Nadira, mengangguk pelan. “Dua stent sekaligus. Tindakan selesai dalam 45 menit. Kesempatan besar buat kamu. Jadiin alasan buat ngobrol sama dia.” “Pikir baik-baik Za! Dokter Ardea itu jauh lebih dingin daripada Dokter Langit Kanagara,” elak Kevin. “Keduanya sama saja,” sahut Nadira. “Masya Allah. Jadi semakin pengin belajar,” ucap Zayna. Nada suaranya ringan, tapi sorot matanya tidak berbohong—ada rasa hormat yang dalam di sana. “Nadira malah terkagum-kagum sama wali pasiennya,” ketus Kevin. Nadira menutup wajahnya karena malu. “Nggak usah ngomongin itu bisa? Zayna juga nggak suka.” “Wali pasien?” “Yang ditangani sang dokter itu ibunya si lelaki ini.” Zayna terkejut. Dia kepikiran Zafran lagi. “Lelaki yang pakai kemeja biru?” tanya Zayna. “Nah kan! Kalau kamu ngeh dia pakai kemeja biru artinya kamu memperhatikan,” ucap Nadira. Kedua pipi Zayna memerah dan dia langsung melesatkan kedua matanya ke arah lain. Apakah ini takdir? Zafran berada di rumah sakit ini karena ibunya kena serangan jantung. Menjadi dokter spesialis jantung adalah keinginan Zayna. “Nyoba bicara sama Dokter Ardea apa ya? Siapa tahu…” batin Zayna."Kenapa coba disini?!" tanya Zayna seraya tersenyum tipis. "Nungguin kamu. Katanya mau belanja bareng ya harus bareng," ucap Maisha. "Kalau aku ikut, takut boros." "Nggak apa-apa. Rezeki udah ada yang ngatur," ucap Maisha. Maisha menggandeng tangan Zayna dan mereka memasuki toko. Mereka menghampiri orang tua mereka. Daripada ibu mereka, ayah mereka malah sudah memasukkan banyak barang ke keranjang belanja sampai membuat kedua putrinya terdiam heran. "Waktu aku di acara lamaran Raisa, kayaknya nggak gitu banyak belanjanya. Kalau makam-makan gitu gimana kak? Apakah katering atau nyewa koki?!" tanya Zayna. “Katering aja lebih praktis, Zay,” jawab Maisha sambil mengintip keranjang belanja yang sudah penuh dengan berbagai kebutuhan. "Tapi umi maunya nyewa koki ya? Karena kalau katering khawatir kurang dan habis banuak karena tetangga-tetangga juga perlu dikasih kan?" tanya Zayna. "Enggak Za. Kan udah paketan dari sananya. Aku udah coba diskusi sama umi," ucap Maisha. Z
"Zayna, tolong siapkan alat USG portable dan catat vital signs. Kita mulai dari auskultasi jantung dulu."Zayna segera bergerak. Ia membantu Bu Hafsah duduk tegak dengan hati-hati—wanita itu masih tampak lemah setelah dua hari pasca-operasi bypass jantung. Dengan lembut, Zayna memasang elektroda baru di dada pasien untuk EKG dan menyiapkan stetoskop steril.Dr. Ardea mencondongkan tubuh sedikit, mendengarkan detak jantung dengan penuh konsentrasi."Tarik napas dalam, Bu. Bagus... murmur sistoliknya sudah berkurang signifikan. Graft-nya bekerja baik," ujarnya datar namun puas.Zayna mencatat hasil vital signs: tekanan darah 120/80 mmHg, saturasi oksigen 98%, nadi 78 kali per menit, reguler.Setelah itu, Dr. Ardea mengambil probe USG dan memeriksa area jantung melalui layar monitor, sementara Zayna berada di sisi lain ranjang, memastikan pasien tetap nyaman."Alirannya bagus. Tidak ada tanda kebocoran atau trombus. Jika stabil hingga besok, boleh mulai latihan pernapasan dan duduk lebi
Langit menghampiri Zayna dan Nadira yang tengah mengobrol.Nadira cukup terkejut dan langsung menyapa Langit. Zayna juga menyapa tetapi tidak seperti Nadira.“Selamat pagi dokter,” sapa Nadira.“Eh ada Dokter Langit,” kata Zayna.“Pagi-pagi sudah panas banget obrolannya. Ngobrolin apa kalian?!” tanya Dokter Langit dengan nada ramah tetapi tatapannya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran.Nadira cuma cengengesan. Berbeda dengan Zayna yang malah menundukkan kedua matanya dan benaknya mulai mencari-cari topik apa yang cocok untuk diberikan kepada Dokter Langit.“Bukan apa-apa kok dokter. Iya kan Zayna?!” tanya Nadira.Zayna menoleh cepat ke Nadira.“Kalau jawab begitu, dokter Langit malah jadi semakin curiga Nad,” batin Zayna.“Lagi ngobrolin soal ke luar negeri,” jawab Zayna.“Begitu. Kirain ngobrolin soal surat hitam yang kemarin.”Zayna dan Nadira langsung saling pandang.Zayna tersipu malu dan mulai mengeluh.“Surat hitam apa dok?!” tanya Zayna.“Itu dari kamu kan Zayna? Aku tahu
"Hush, jangan sembarangan kalau bicara." Zayna sampai menyenggol lengan Nadira. Nadira menatap Zayna dengan sedikit kejengkelan di wajahnya dan lelah. Bagaimana tidak lelah, Nadira tahu betul temannya itu memang tipe yang tidak peka. Nadira pikir, Dokter Langit sudah cukup lama memendam perasaan pada Zayna tetapi karena Zayna bukan gadis yang mudah, seolah-olah Dokter Langit tidak punya jalan untuk mendekati Zayna. Nadira sempat mendengar rumor dulu ketika Zayna baru pertama kali masuk rumah sakit ini. Orang-orang mengatakan tatapan Dokter Langit pada Zayna berbeda. Ketika jam istirahat tiba, Nadira yang sedang datang bulan, memutuskan untuk menyerahkan surat dari Zayna kepada Zafran. Namun yang dia temukan malah orang lain. Namun Nadira bersyukur. Nadira tidak tahu apakah dia bisa menghadapi Zafran secara langsung atau tidak. "Permisi, bu," sapa Nadira pada wanita yang duduk di ruang tunggu itu. Wanita itu menoleh ke Nadira dan langsung berdiri. Anak disampin
Malam itu, Zayna tidak bisa berhenti gelisah. Namun ada perasaan bahagia. Tentu saja alasannya karena Zafran. Tak pernah Zayna sangka akan tiba dimana Zafran menanyakan perihal nomor Dokter Ardea. Bahkan jika dia sangat pemalu, sulit dipercaya melakukannya di hadapan teman-teman mereka. Bahkan ketika Zafran digoda, pria itu tidak memberika. reaksi apapun. Zayna sudah berkali-kali menenangkan diri tetapi hasilnya tetap saja. Zafran seperti terus-menerus menghantui pikirannya. Akhirnya Zayna memutuskan untuk menulis surat. Untuk Zafran, Assalamu'alaikum. Pertama-tama, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama Saya Zayna. Seperti yang anda tahu, saya bekerja di rumah sakit tersebut sebagai dokter umum. Mungkin anda belum tahu ini tetapi saya adalah teman alias sahabatnya Raisa, tunangan teman anda, Bilal. Saya sempat melihat anda waktu itu. Bukan karena saya berniat memperhatikan, tapi karena pandangan saya—entah bagaimana—terhenti pada sosok anda. Se
Semua yang ada di meja makan menatap Zayna. “Maaf,” bisik Zayna seraya mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan mulutnya serta pakaiannya yang basah. Zayna juga mengelap meja yang basah. “Nggak perlu terkejut sampai seperti itu, nak,” ucap Ibunya Langit dengan nada rendah. Barangkali supaya Zayna lebih tenang. Tetapi mana mungkin Zayna bisa lebih tenang. Gadis itu menatap Langit meminta penjelasan. Zayna menjadi merasa seperti dijebak. Bagaimana tidak, ketika sebelumnya ibu Langit bicara soal calon istri, Langit tidak mengatakan apapun. Sekarang untuk yang kedua kalinya, Langit juga diam. Zayna tidak punya pilihan lain. Bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun mungkin akan melukai perasaan Ibunya Langit. “Maaf, tetapi saya bukan calon pasangan Dokter Langit. Saya cuma temannya. Dokter Langit sudah sering bantu saya dan dia mengajak saya ke rumahnya karena beliau pernah silaturahmi juga ke keluarga saya,” ucap Zayna ramah. Wajah ibu Langit langsung