Mag-log inZayna berharap bertemu Zafran lagi saat pulang dari pekerjaannya tetapi sayang, Zafran tak terlihat lagi meski ibunya masih berada di rumah sakit.
“Zayna, kamu nggak seharusnya bersikap kayak gini,” batin Zayna. Zayna mengumpulkan semangatnya lagi. Zayna menjalani rutinitasnya seperti biasa setelah sampai di rumah. Teleponnya tiba-tiba berdering. Itu dari Raisa. Semangat Zayna bertambah berkali-kali lipat. “Assalamu’alaikum Zayna.” “Wa’alaikumussalam Ra. Ada apa Ra?” “Aku sudah tanyakan ke Bilal soal Zafran dan tentu saja, sesuai permintaan kamu, aku nggak sebutin namamu. Kata dia, mending menyerah saja Za.” “Apa?” kaget Zayna. “Zafran katanya sangat-sangat dingin, tertutup, kaku, pendiam, dan nyaris nggak pernah ikut nongkrong sama Bilal dan teman-temannya karena sibuk terus.” Zayna sampai kehilangan kata-kata. Namun mengetahui kepribadian Zafran yang seperti itu, malah membuat Zayna ingin menikah dengannya. “...Begitu ya?” “Tapi jangan sedih dulu. Berdasarkan kepribadiannya, kemungkinan besar dia belum punya pasangan. Terus aku jadi kepikiran, kepribadian begitu, cocok sama kamu Za,” kata Raisa. “Benarkah?” tanya Zayna. “Kamu ingin mencari orang kayak dia kan? Kamu gadis yang baik, cantik, dan yang paling utama sholehah. Zafran ini terkenal alim.” “Alhamdulillah.” “Kamu bisa menempatkan diri di berbagai situasi sama halnya kayak Zafran ini,” kata Raisa. “Aku bahkan nggak sadar kalau diriku kayak gitu, Ra. Makasih banyak infonya Ra. Aku cuma mau tahu saja kok,” kata Zayna. “Jangan menyerah, Za! Kabari aku lagi kalau memang ingin serius sama dia nanti aku coba bicarakan ke Bilal,” kata Raisa. “Terima kasih banyak sekali lagi, Ra,” kata Zayna. “Oh ya, aku dapat salah satu akun sosial medianya juga. Coba lihat-lihat dulu. Aku kirimkan ke kamu ya!” “Terima kasih banyak.” Setelah selesai mengobrol, Zayna langsung memeriksa akun sosial media milik Zafran. Dia sedikit terkejut. Postingan-postingan Zafran berkaitan dengan arsitektur. Tidak ada foto Zafran sama sekali. Bahkan foto profilnya gambar pemandangan alam. “Jadi dia seorang arsitektur ya?” bisik Zayna. “Zayna!” Maisha membuka pintu kamar adiknya. Zayna terlonjak kaget dan langsung menyembunyikan ponselnya dibelakang punggungnya. Maisha menyipitkan kedua matanya. “Aku bilangin abi sama umi ya!” Maisha langsung melakukannya. Zayna buru-buru menghapus riwayat pencarian akun Zafran kemudian menuju ke orang tuanya. Orang tuanya malah mencarinya. “Zayna, ayah sama ibu nggak melarang kamu jatuh cinta tetapi jangan sampai kamu menjadi berlebihan sehingga mengabaikan semua prinsip yang kamu pegang,” kata Hadi. Zayna menundukkan kepalanya dan meminta maaf. “Aku bahkan nggak pernah membayangkan kamu bakal menyembunyikan ponselmu dariku, Za,” kata Maisha. “Aku malu kak,” elak Zayna. Maisha mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia mencoba menenangkan kedua orang tuanya. “Abi, umi, Zayna ini baru pertama kali tertarik sama lelaki jadi wajar kalau dia begitu bukan? Meskipun dia harus memperbaikinya karena dikhawatirkan dia berubah pikiran mengambil jalan yang berbeda dengan yang dia jalani sekarang.” “Enggak! Mudah-mudahan aku masih teguh pendirian!” ucap Zayna. “Kapan-kapan ayah akan bicara sama teman kamu itu terkait lelaki ini,” kata Hadi. Kedua mata Zayna berbinar-binar. “Terima kasih banyak ayah.” “Apakah aku akan didahului Zayna ya?’ tanya Maisha mencoba bercanda. “Hah?’ Zayna menoleh ke kakaknya itu. “Oh ya, kamu belum tahu ya? Kakak sengaja menyembunyikan berita ini untuk surprise kamu,” kata Maisha. “Kasih tahu aku!” pinta Zayna cepat. “Sebentar lagi aku bakal bertunangan,” ucap Maisha. “Alhamdulillah!” Zayna berhamburan memeluk Maisha. Maisha juga membalas pelukan Zayna erat. Summayah dan Hadi tersenyum lembut menyaksikan kedua putri mereka. “Maisha, Zayna, saat kalian sudah menikah, kalian harus berbakti sama suami kalian. Prioritas kalian bukan lagi abi sama umi tetapi suami kalian,” kata Summayah. Maisha menganggukkan kepalanya. Sementara Zayna justru terdiam. “Zayna, kamu pernah bilang nggak mau menjalin hubungan dulu sebelum jadi dokter spesialis jantung tetapi kamu sudah berubah pikiran ya?” tanya Hadi. “Nanti kalau suamimu minta kamu berhenti jadi dokter spesialis jantung, kamu sudah siap kan?” tanya Summayah. “Kenapa pertanyaan ibu begitu? Jangan tanya begitu dong!” kata Zayna. Hadi dan Summayah cuma tersenyum. “Ngomong-ngomong, calon tunangan kamu siapa kak? Kayak apa?” tanya Zayna. “Rahasia! Nanti kalau dia datang kesini juga kamu tahu,” kata Maisha. “Jadi makin penasaran. Apakah dia seorang ustads? Direktur? Manajer? Guru?” tanya Zayna. “Berhenti menebak!” Zayna terkekeh. Keesokan harinya, Zayna tidak sabar bekerja. Dia menutup wajahnya. Padahal kemarin baru saja dinasehati oleh orang tuanya dan kakaknya agar senantiasa menjaga pikirannya tetapi baru mau berangkat sudah kepikiran Zafran. “Kalau sudah menikah, memikirkannya malah jadi pahala kan?” batin Zayna. Zayna tidak lagi bertemu Zafran. Namun ketika akhirnya dia bisa beristirahat dan hendak sholat Dzuhur bersama Nadira, dia tidak sengaja melihat Zafran duduk di depan ruangan tempat ibunya dirawat. Zayna memperhatikan dari kejauhan. Zafran sibuk bermain ponsel. Tiba-tiba terdengar suara adzan. Zafran langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya dan pergi. Sementara Zayna sibuk memperhatikan Zafran, Nadira sibuk mengobrol dengan dokter lain. Zayna mengajak Nadira untuk cepat dan menyapa dokter di hadapannya. “Kami pergi sholat dulu,” kata Zayna. Ketika Zayna melangkah ke masjid terdekat, terlihat seorang wanita dan seorang gadis keluar dari ruangan tempat ibunya Zafran dirawat. Jantung Zayna yang berdebar kencang saat memperhatikan Zafran, menjadi tidak nyaman. Siapa wanita itu? Apa hubungannya sama Zafran? Zayna curiga Zafran sudah menikah. Lelaki itu tampak mapan, alim, wajar jika dia sudah menikah dan punya anak. Wanita itu cantik, mengenakan kerudung panjang, dan gadis kecil yang digandengnya juga persis Zafran. Wanita itu tersenyum ramah pada Zayna dan Nadira saat mereka berpas-pasan. Zayna terpaku. Zayna seketika merasa kalah. Perasaan Zayna menjadi campur aduk. Disaat dia akhirnya tertarik pada seseorang, kenapa malah jadi seperti ini? “Aku harusnya nggak boleh mengeluh,” batin Zayna. “Tapi kenapa hatiku jadi sakit banget?” batin Zayna. Zayna kerap dicurhati oleh teman-temannya perihal masalah dengan pasangan mereka. Zayna yang tidak pernah menjalin hubungan dengan seseorang, kadang bingung menanggapi. Ternyata mungkin yang merasa rasakan sakit hati seperti ini. Zayna tidak menyangka bakal merasakannya juga. Zayna menggelengkan kepalanya. “Raisa bilang dia belum punya pasangan kan? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sulit dipercaya dia belum punya calon. Pastinya banyak banget yang ngejar-ngejar dia. Dia itu tipikal yang nurut banget sama ibunya kayaknya,” batin Zayna. Ekspresi Zayna pasrah. “Wanita tadi, tunangannya si lelaki itu bukan ya?” tanya Nadira. Sejak tadi, Zayna bahkan tidak bisa fokus pada ucapan Nadira. Tapi begitu menyangkut Zafran, dia seperti dtarik lagi kesadarannya ke kenyataan. “Nggak tahu juga,” jawab Zayna. “Jangankan tunangan. Wajar kalau sudah menikah dan punya anak,” kata Nadira. Zayna terdiam."Tapi kak, masa aku harus bilang ke Zafran soal saran Dokter Langit ini? Aku nggak mau ada masalah lagi diantara mereka," ucap Zayna. "Susah sih Za kalau begitu. Kecuali kalau kamu pindah rumah sakit. Kenapa nggak coba pindah rumah sakit selesai internship? Kamu sempat bilang mau ke Jerman. Zafran sudah sering kesana. Kenapa nggak coba les bahasa ke dia agar proses ujian bahasamu cepat selesai dan mengatur keberangkatan kesana?" tanya Maisha. Zayna terpaku. Jerman. Itu mimpi lamanya—mimpi yang ia tunda, mimpi yang terkubur di bawah tekanan hidup, pekerjaan, dan masalah keluarga. Namun, mendengar itu disebut lagi membuat dadanya bergetar kecil. “Tapi kak…” Zayna menatap rajutannya. “Nggak mungkin aku tiba-tiba ke Jerman sekarang. Aku bahkan belum ambil kursus lagi. Dan kalau aku ceritakan soal tawaran Dokter Langit ke Zafran, aku takut dia langsung konfrontasi.” Maisha menghela napas sabar. “Zafran memang tipe yang frontal. Tapi dia juga punya otak dan strategi, Za. Dia bukan an
Zayna terkejut, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar. Tunangan? Dengan Dokter Langit? Ini gila. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang seperti drum perang. "Dokter... aku... itu nggak—" Langit berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kedua matanya seperti menunjukkan lawan bicaranya tidak boleh membantah. "Pikirkan, Zayna. Jangan biar emosi rusak karirmu. Besok kita bicara lagi. Sekarang, pulang dan istirahat. Fokus." Dia keluar ruangan, meninggalkan Zayna sendirian dengan pikiran kacau. Zayna duduk lama, tangannya gemetar memegang kalender dari Zafran. Tawaran Langit mengerikan—pura-pura tunangan? Untuk bersihkan nama? Menurutnya ini berlebihan dan jelas ini berbohong sementara Zayna selalu berusaha menjauhi kebohongan. Zayna belum sempat menolak dan memprotes tetapi Langit sudah pergi lebih dulu. Selain itu, Zayna berpikir kalau dia sampai dirumorkan bertunangan dengan Langit, bagaimana nanti ada perempuan yang mendekati Langit pasti mundur padahal pr
Zayna tiba di rumah dalam keadaan lelah fisik dan mental.Namun anehnya, setelah menutup pintu mobil, ia justru merasa hening yang menyergapnya terasa terlalu sunyi… terlalu kosong.Seolah percakapan barusan dengan Zafran masih bergema dan menempel di tubuhnya seperti panas sisa dari api yang belum benar-benar padam. Ia menatap kotak makan mahal itu. Dan entah kenapa… dada Zayna terasa sesak. “Kenapa kamu gini banget, Zafran…” Tanpa menunggu lebih lama, Zayna membawa kotak itu masuk ke kamar. Ia tidak membuka makanan mewah itu—bahkan tidak ada selera.Ia hanya mengganti baju, mencuci muka, dan duduk di kasur sambil menautkan jari-jari. Besok aku harus bereskan semuanya.Dengan kakak. Dengan dokter Langit. Dengan perasaanku sendiri. Pikiran itu membuatnya letih. Namun sebelum ia sempat memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi. Pesan dari: Nadira Za, aku lupa bilang. Tadi dokter Langit nyari kamu. Tapi dia kayak ragu-ragu banget mau dateng ke ruanganmu. Kamu ada apa sih sama
Zayna mencoba menyebutkan ciri-ciri Zafran dan perawat itu mengangguk dengan semangat atas pertanyaan yang dilontarkan Zayna. "Mengenal sekali sama dia, dokter," kata perawat itu. "Erna hentikan! Semoga dia nggak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit ini lagi. Sudah cukup!" tukas Zayna. Erna menyipitkan kedua matanya jahil, seolah berusaha keras menelusuri apa yang telah dialami Zayna selama ini. Dia telah mendengar dari para temannya mengenai seorang pemuda yang tampan luar biasa di rumah sakit ini hingga membuat gosip mengenai pemuda itu seolah tidak kunjung memudar. Erna tidak menyangka pemuda itu akan mengajaknya berbicara. Tetapi dia tahu alasan pemuda itu mengajaknya bicara karena Zayna. Sudah cukup terkenal dia dan Zayna bersahabat. Mereka juga sebelumnya seringkali ditugaskan bersama. Sekarang pemuda itu telah bertunangan dengan Zayna meskipun harapan ke depannya masih belum pasti. "Kadang-kadang sesuatu bisa jadi doa juga," kata Erna. "Maksudmu?!" tanya Zayna penuh
Zayna memutuskan untuk menyimpan cincin pertunangan dengan Zafran di kamarnya. "Nggak apa-apa kan abi umi kalau cincinnya dilepas?" tanya Zayna dengan menatap cincin itu. "Nggak apa-apa sayang. Senyamannya kamu saja. Lagi pula itu agar orang-orang di rumah sakit nggak tahu kalau kamu sudah bertunangan kan?" tanya Summayah. Zayna menganggukkan kepalanya. Jika Zafran melihatnya tidak pakai cincin pertunangannya, kemudian komplain, maka Zayna akan menegaskan bahwa itu juga bertujuan agar tidak ada yang tahu soal pertunangannya. Bahkan Zayna tidak tahu bagaimana cara memberitahu kakaknya terkait ini. Selain tidak punya keberanian, dia juga tidak mampu melakukannya. Namun Zayna mengerti kalau dia tidak bisa menunda lagi untuk kasih tahu kakaknya akrena kalau sampai kakaknya tahu sendiri dari orang tuanya bukannya diberti tahu mereka dulu, kakaknya mungkin akan sangat marah. "Abi, umi, bisakah kalian ngomong ke Kak Maisha soal ini? Aku khawatir dengan reaksinya," ucap Zayna. Hadi dan
"Apakah aku perlu memakainya?!" tanya Zayna lirih seraya menatap cincin yang sangat indah itu. "Harus!" ajwab Zafran dingin dan menatap ke jari-jari Zayna. Jari-jari Zayna lentik dan kecil. Zafran segera panik khawatir cincinnya kebesaran. Jika itu terjadi, dia akan langsung pergi ke toko perhiasan itu lagi untuk menukar cincinnya. "Tolong terima, nak Zayna," tukas Hafsah ramah dan mengulurkan tangannya kepada Zayna bermaksud meminta tangan Zayna untuk dipakaian cincin. Dengan gerakan perlahan dan lembut, Zayna menggerakkan tangan kirinya ke Hafsah. Hafsah dibantu Arsela berdiri dan mendekat ke Zayna. Zafran juga mendekat ke Zayna. Segera saja, mereka menyaksikan bagaimana cincin yang dibeli Zafran untuk Zayna akhirnya terpasang ke jari manis Zayna. Zafran terpaku. Dia bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi. Arsela melirik ke Zafran ketika merasakan keponakannya itu seperti tercekat. Kedua mata Zafran berkaca-kaca hingga Zayna yang melirik ke pria it







