LOGIN
“Astaghfirullah.”
Kepala pria itu menoleh begitu cepat ke tembok dan tangannya menutup kedua matanya setelah tidak sengaja bertemu pandang dengan Zayna. “Apa itu?” batin Zayna terkejut dan mulai bingung seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Baru kali ini Zayna melihat seorang lelaki yang langsung mengalihkan pandangan sampai menutup kedua matanya ketika bertemu pandang dengannya. “Ira, menurutmu wajahku gimana?” bisik Zayna di telinga temannya yang duduk disampingnya itu yang sedang fokus mengobrol dengan temannya. Ira memandangi Zayna lekat-lekat. “Nggak gimana-mana. Tetap cantik.” “Serius? Dandananku ketebelan atau ada sesuatu gitu di wajahku?” “Nggak ada Zay! Nih coba liat sendiri!” Ira mengambil kaca rias di tasnya kemudian memberikan pada Zayna. Zayna langsung menyembunyikan wajahnya dibalik punggung Ira dan mulai mengaca. Alisnya mengernyit. Tidak ada yang sesuatu di wajahnya dan dandanannya sangat tipis. “Mungkin reaksi mas-mas tadi bukan ke aku. Lagian nggak kenal juga,” batin Zayna. Zayna mengembalikan kaca rias Ira. Zayna Hanari Zahira, enggan datang ke rumah temannya ini untuk menyaksikan acara lamaran. Tetapi karena didesak oleh orang tuanya dan temannya meminta sampai merengek, akhirnya dia datang. Alih-alih fokus pada acara, Zayna justru berulang kali melirik ke seorang lelaki yang duduk di salah satu sudut ruangan. Pakaiannya rapi, kulitnya sedikit pucat, dan wajahnya sangat menawan. Namun yang menarik perhatian Zayna adalah ketika para lelaki di ruangan ini sibuk menyaksikan acara lamaran, lelaki itu malah termenung, menatap ke lantai maupun lurus ke depan dengan tenang seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh sekitarnya. “Dia tadi istighfar ya?” batin Zayna. Seumur-umur baru kali ini Zayna tertarik pada seorang lelaki. Di usianya yang ke-24, entah sudah berapa lelaki yang bilang ke kakak perempuannya maupun orang tuanya untuk melamarnya. Tetapi Zayna yang ambisius menolak dengan tegas bahwa dia tidak akan pernah menjalin hubungan sebelum dirinya menjadi kardiologi. Zayna sampai tidak percaya dengan dirinya sendiri yang kerap menjaga pandangan dari lelaki malah curi-curi pandang. Dia merasa digoda. Dia pun beristighfar berkali-kali di dalam hati. “Udah dikasih reaksi kayak gitu, jangan natap lagi Zayna,” batin Zayna tetapi dia tetap melirik ke lelaki itu sekilas. Lelaki itu menatap lurus ke depan tetapi terlihat gelisah. Ketara dari matanya beberapa kali melirik ke tembok. Dia seperti menyadari lirikan Zayna dan tampak tidak nyaman. Akhirnya pria itu pun berdiri dan melangkah cepat keluar. Zayna terperangah. Belum apa-apa, rasanya seperti ditolak. Zayna menundukkan wajahnya. Acara lamaran temannya sedang dimulai, tetapi Zayna malah tidak bisa fokus. Lelaki itu juga tidak kembali lagi. “Zay, ayo foto bareng Raisa!” ajak Ira seraya menarik tangan Zayna. Zayna tidak mengatakan apapun tetapi tetap ikut foto bersama. Meski Zayna disuruh senyum, gadis itu tetap tidak bisa tersenyum. Setelah acara selesai, orang-orang disuruh makan oleh orang tua Raisa. Zayna digandeng Ira ke luar rumah untuk mengambil makanan di prasmanan. Zayna menolak makan tetapi setelah Ira bilang tidak enak pada orang tuanya Raisa, akhirnya Zayna mengambil makan. “Zayna.” Zayna menoleh ke belakang. Terlihat seorang lelaki tersenyum padanya. “Iya. Siapa ya?” tanya Zayna ramah. Zayna seperti pernah melihat lelaki ini tetapi dia lupa. Zayna mengambil makanan di prasmanan lagi. “Rafka Aswangga, lupa?” tanya lelaki itu. Zayna menoleh lagi. “Aku juga hampir lupa Raf,” sahut Ira. “Waktu smp?” tanya Zayna pada Ira. Ira menganggukkan kepalanya. “Parah banget masa calon suami dilupain,” kata Rafka Aswangga dengan nada kesal. Zayna sampai menjatuhkan sendok yang baru saja ia ambil begitu mendengar jawaban Rafka. “Bahkan sejak Smp kamu nggak pernah dekat sama Zayna Raf. Bisa-bisanya bilang begitu,” ketus Ira menghentikan aksinya dan memilih berhadapan dengan Rafka. “Tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama setelah sekian lama nggak ketemu,” ucap Rafka. Zayna langsung tidak nyaman sehingga tidak menanggapi ucapan Rafka dan bergegas mengambil makanan dan minuman. “Lama nggak ketemu kesan pertama yang kamu tunjukkan kayak gitu. Gimana Zayna mau tertarik sama kamu?” tanya Ira. Zayna memanggil Ira agar cepat. Dia merasakan tatapan Rafka yang tersenyum padanya tetapi dia sengaja menjaga pandangan agar tidak bertatapan dengan Rafka. Saat Zayna menoleh ke depan lagi, matanya justru tidak sengaja menangkap lelaki yang menarik perhatiannya tengah mengobrol dengan bapak-bapak. Lelaki itu tersenyum tipis yang membuat Zayna menghentikan langkahnya. Ira yang berjalan dibelakang Zayna alhasil berhenti berjalan juga. “Kenapa Zay?” Zayna mengucap istighfar dan menggelengkan kepalanya. Mereka melanjutkan berjalan ke kursi-kursi paling belakang. “Rafka terus ngeliat ke arah sini,” bisik Ira di telinga Zayna. Zayna tidak peduli. Justru dia masih memikirkan lelaki yang menarik perhatiannya yang saat ini masih mengobrol dengan bapak-bapak di kejauhan sana. “Dengar-dengar dia jadi manajer di salah satu perusahaan di bidang otomotif,” kata Ira. Zayna tahu dia tetap harus menghormati lawan bicaranya jadi dia menganggukkan kepalanya. Dia mulai makan dengan pelan setelah berdoa. “Nggak tertarik? Apakah ada yang menarik minatmu?” tanya Ira mulai makan juga. Zayna terdiam dan kedua matanya curi-curi pandang lagi ke lelaki itu. Namun dia tidak berani mengungkapkannya ke Ira. Ira yang sudah tahu Zayna seperti apa sejak masih Smp dan bagaimana didikan orang tua Zayna pada gadis itu, berkata, “Aku tahu kamu nggak boleh pacaran tetapi sekarang kita udah besar. Memangnya kamu nggak mau menikah? Tetapi aku mengerti kalau seleramu juga harus sama seperti kamu dan keluargamu kan?” Zayna menggelengkan kepalanya. Dia berpikir jika memberitahu Ira, dikhawatirkan Ira menyampaikan apa yang dia katakan pada lelaki itu langsung. “Kamu kan sudah tahu kalau aku nggak ingin menjalin hubungan sebelum menjadi Kardiologi,” jawab Zayna. Ira cuma mengangguk-angguk. Sesi foto Raisa dan tunangannya belum selesai. Bilal, tunangan Raisa, muncul di pintu dan memanggil teman-temannya. Teman-temannya yang belum makan maupun sudah mendekati Bilal. “Zafran!” Bilal memanggil sambil melambaikan tangannya pada lelaki di kalangan bapak-bapak. Zayna terpaku, jantungnya berdebar kencang. “Jadi namanya Zafran?!” batin Zayna. Wajah Zafran yang semula lega berubah menjadi datar lagi. Dia menghampiri Bilal kemudian mengatakan sesuatu pada Bilal. Zayna penasaran apa yang dikatakan Zafran. Dalam hati Zayna, terus berkata agar dia berhenti menatap tetapi dia malah fokus. Zafran masuk ke dalam bersama Bilal. Namun beberapa detik berikutnya keluar lagi. Dia tidak sengaja bertatapan dengan Zayna. Wajahnya menjadi lebih dingin. Kakinya melangkah cepat meninggalkan tempat tersebut. “Nggak sengaja juga,” batin Zayna kesal sekaligus sedih. Zayna tidak kenal Zafran, baru pertama kali bertemu, tidak kenalan juga, apalagi ada salah, kalau cuma menatap membuat Zafran risih, Zayna tidak tahu lagi karena dia menatapnya sekilas-sekilas, dan bertemu mata itu tidak sengaja. Pulang dari acara lamaran temannya, Zayna menangis. Orang tuanya sangat kaget. Begitu juga dengan Maisha, kakak Zayna. “Zayna, kamu kenapa?” tanya sang ibu lembut. Zayna menggelengkan kepalanya dan mengusap air matanya. Pertama kali tertarik pada seorang lelaki dia malah menangis karena merasa diabaikan. Dia seharusnya tidak menjadi seperti ini. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Raisa bertanya-tanya soal Zafran."Tapi kak, masa aku harus bilang ke Zafran soal saran Dokter Langit ini? Aku nggak mau ada masalah lagi diantara mereka," ucap Zayna. "Susah sih Za kalau begitu. Kecuali kalau kamu pindah rumah sakit. Kenapa nggak coba pindah rumah sakit selesai internship? Kamu sempat bilang mau ke Jerman. Zafran sudah sering kesana. Kenapa nggak coba les bahasa ke dia agar proses ujian bahasamu cepat selesai dan mengatur keberangkatan kesana?" tanya Maisha. Zayna terpaku. Jerman. Itu mimpi lamanya—mimpi yang ia tunda, mimpi yang terkubur di bawah tekanan hidup, pekerjaan, dan masalah keluarga. Namun, mendengar itu disebut lagi membuat dadanya bergetar kecil. “Tapi kak…” Zayna menatap rajutannya. “Nggak mungkin aku tiba-tiba ke Jerman sekarang. Aku bahkan belum ambil kursus lagi. Dan kalau aku ceritakan soal tawaran Dokter Langit ke Zafran, aku takut dia langsung konfrontasi.” Maisha menghela napas sabar. “Zafran memang tipe yang frontal. Tapi dia juga punya otak dan strategi, Za. Dia bukan an
Zayna terkejut, mulutnya terbuka tapi tak ada suara keluar. Tunangan? Dengan Dokter Langit? Ini gila. Wajahnya memucat, jantungnya berdegup kencang seperti drum perang. "Dokter... aku... itu nggak—" Langit berdiri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kedua matanya seperti menunjukkan lawan bicaranya tidak boleh membantah. "Pikirkan, Zayna. Jangan biar emosi rusak karirmu. Besok kita bicara lagi. Sekarang, pulang dan istirahat. Fokus." Dia keluar ruangan, meninggalkan Zayna sendirian dengan pikiran kacau. Zayna duduk lama, tangannya gemetar memegang kalender dari Zafran. Tawaran Langit mengerikan—pura-pura tunangan? Untuk bersihkan nama? Menurutnya ini berlebihan dan jelas ini berbohong sementara Zayna selalu berusaha menjauhi kebohongan. Zayna belum sempat menolak dan memprotes tetapi Langit sudah pergi lebih dulu. Selain itu, Zayna berpikir kalau dia sampai dirumorkan bertunangan dengan Langit, bagaimana nanti ada perempuan yang mendekati Langit pasti mundur padahal pr
Zayna tiba di rumah dalam keadaan lelah fisik dan mental.Namun anehnya, setelah menutup pintu mobil, ia justru merasa hening yang menyergapnya terasa terlalu sunyi… terlalu kosong.Seolah percakapan barusan dengan Zafran masih bergema dan menempel di tubuhnya seperti panas sisa dari api yang belum benar-benar padam. Ia menatap kotak makan mahal itu. Dan entah kenapa… dada Zayna terasa sesak. “Kenapa kamu gini banget, Zafran…” Tanpa menunggu lebih lama, Zayna membawa kotak itu masuk ke kamar. Ia tidak membuka makanan mewah itu—bahkan tidak ada selera.Ia hanya mengganti baju, mencuci muka, dan duduk di kasur sambil menautkan jari-jari. Besok aku harus bereskan semuanya.Dengan kakak. Dengan dokter Langit. Dengan perasaanku sendiri. Pikiran itu membuatnya letih. Namun sebelum ia sempat memejamkan mata, ponselnya kembali berbunyi. Pesan dari: Nadira Za, aku lupa bilang. Tadi dokter Langit nyari kamu. Tapi dia kayak ragu-ragu banget mau dateng ke ruanganmu. Kamu ada apa sih sama
Zayna mencoba menyebutkan ciri-ciri Zafran dan perawat itu mengangguk dengan semangat atas pertanyaan yang dilontarkan Zayna. "Mengenal sekali sama dia, dokter," kata perawat itu. "Erna hentikan! Semoga dia nggak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit ini lagi. Sudah cukup!" tukas Zayna. Erna menyipitkan kedua matanya jahil, seolah berusaha keras menelusuri apa yang telah dialami Zayna selama ini. Dia telah mendengar dari para temannya mengenai seorang pemuda yang tampan luar biasa di rumah sakit ini hingga membuat gosip mengenai pemuda itu seolah tidak kunjung memudar. Erna tidak menyangka pemuda itu akan mengajaknya berbicara. Tetapi dia tahu alasan pemuda itu mengajaknya bicara karena Zayna. Sudah cukup terkenal dia dan Zayna bersahabat. Mereka juga sebelumnya seringkali ditugaskan bersama. Sekarang pemuda itu telah bertunangan dengan Zayna meskipun harapan ke depannya masih belum pasti. "Kadang-kadang sesuatu bisa jadi doa juga," kata Erna. "Maksudmu?!" tanya Zayna penuh
Zayna memutuskan untuk menyimpan cincin pertunangan dengan Zafran di kamarnya. "Nggak apa-apa kan abi umi kalau cincinnya dilepas?" tanya Zayna dengan menatap cincin itu. "Nggak apa-apa sayang. Senyamannya kamu saja. Lagi pula itu agar orang-orang di rumah sakit nggak tahu kalau kamu sudah bertunangan kan?" tanya Summayah. Zayna menganggukkan kepalanya. Jika Zafran melihatnya tidak pakai cincin pertunangannya, kemudian komplain, maka Zayna akan menegaskan bahwa itu juga bertujuan agar tidak ada yang tahu soal pertunangannya. Bahkan Zayna tidak tahu bagaimana cara memberitahu kakaknya terkait ini. Selain tidak punya keberanian, dia juga tidak mampu melakukannya. Namun Zayna mengerti kalau dia tidak bisa menunda lagi untuk kasih tahu kakaknya akrena kalau sampai kakaknya tahu sendiri dari orang tuanya bukannya diberti tahu mereka dulu, kakaknya mungkin akan sangat marah. "Abi, umi, bisakah kalian ngomong ke Kak Maisha soal ini? Aku khawatir dengan reaksinya," ucap Zayna. Hadi dan
"Apakah aku perlu memakainya?!" tanya Zayna lirih seraya menatap cincin yang sangat indah itu. "Harus!" ajwab Zafran dingin dan menatap ke jari-jari Zayna. Jari-jari Zayna lentik dan kecil. Zafran segera panik khawatir cincinnya kebesaran. Jika itu terjadi, dia akan langsung pergi ke toko perhiasan itu lagi untuk menukar cincinnya. "Tolong terima, nak Zayna," tukas Hafsah ramah dan mengulurkan tangannya kepada Zayna bermaksud meminta tangan Zayna untuk dipakaian cincin. Dengan gerakan perlahan dan lembut, Zayna menggerakkan tangan kirinya ke Hafsah. Hafsah dibantu Arsela berdiri dan mendekat ke Zayna. Zafran juga mendekat ke Zayna. Segera saja, mereka menyaksikan bagaimana cincin yang dibeli Zafran untuk Zayna akhirnya terpasang ke jari manis Zayna. Zafran terpaku. Dia bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi. Arsela melirik ke Zafran ketika merasakan keponakannya itu seperti tercekat. Kedua mata Zafran berkaca-kaca hingga Zayna yang melirik ke pria it







