Share

Tekad Kuat Untuk Menikah

"Kau masih belum melakukan akad dengan anakku. Masih sebatas hubungan pertunangan. Hukum membolehkan kita nikah. Maukah kau menerima pinanganku, menikah denganku?" Pinta Pak Roy. Cahaya matanya menggantungkan pengharapan.

Tiba-tiba selirih suara Mas Fairuz mengagetkanku. Kudekati, tangannya bergerak. Setetes air mata terjatuh dari sudut matanya. Aku dan Pak Roy saling berpandangan, saling bertanya dalam diam apa yang sebenarnya terjadi dengan Mas Fairuz. 

Aku memencet tombol yang menghubungkan ke perawat untuk memberitahukan bahwa pasien harus didatangi karena ada sesuatu. Dua menit kemudian perawat datang. Ia memperhatikan dengan seksama keadaan Mas Fairuz. Jari telunjuknya bergerak dengan beberapa tetes air mati yang berlelehan. Perawat memeriksa keadaan Mas Fairuz.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Fairuz?" Tanya Pak Roy penasaran.

"Mengapa pasien koma bisa mengeluarkan air matanya dan menggerakkan jemarinya, Sus?"

"Begini Pak. Koma adalah reaksi tubuh setelah mengalami cidera parah di bagian kepala. Sebenarnya tidak ada definisi pasti dan detail apa yang sebenarnya terjadi kepada seseorang yang sedang koma. Tapi dalam beberapa kasus, terkadang pasien koma memang bisa mendengar suara yang berasal dari luar, bisa merespon, termasuk menangis. 

Sebuah contoh kasus seorang Inggris yang bertunangan dengan wanita Bali dan mengalami kecelakaan di Bali hingga menyebabkan dirinya koma. Selama berminggu-minggu lamanya pasien tersebut dirawat di rumah sakit Inggris. Berbagai upaya medis dilakukan namun tak membuahkan hasil, hingga pada suatu hari orang tuanya yang sedang menjagainya mendapat telpon dari tunangannya.

Seketika pria itu meneteskan air matanya. Tentu pengalaman koma tiap tiap orang tidak bisa disamakan. Ada yang tidak bisa mendengar suara dan tidak merasakan sentuhan, ada yang bisa mendengar hampir semua pembicaraan orang yang di sekitarnya. Ada juga yang bisa mendengar sesuatu yang mempunyai efek dalam aktivitas otaknya hingga meresponnya dengan gerakan jari dan air mata," jelas seorang perawat. Aku dan Pak Roy saling pandang. 

Cahaya mata kami seakan saling bertanya adakah Mas Fairuz mendengar apa yang aku bicarakan dengan Pak Roy? Apakah air matanya respon sedih dari pembicaraan tentang keinginan aku dan Pak Roy untuk menikah? Ya Allah. Ada perasaan sedih yang menggurat di hati.

Namun aku dan Pak Roy sudah terlanjur saling cinta namun juga ingin menghindarkan diri dari perbuatan zina.

"Teruslah mengajak komunikasi pasien. Ini bisa jadi isyarat baik untuk keadaan pasien," saran suster. "Saya kira cukup penjelasan saya tentang keadaan pasien. Teruslah berdoa Pak, Bu. Semoga Allah segera menyadarkan pasien," tutur suster tersebut ramah. "Ajakan komunikasi kepada pasien koma bisa mempunyai pengaruh positif. 

Orang yang hubungannya paling dekat atau orang yang dicintainya bisa memberikan stimulasi pada otak pasien yang bisa dikatakan sedang beristirahat. Dokter spesialis akan memeriksa kondisi pasien dengan lebih intensif." Demikian penjelasan lengkap perawat lalu pamit keluar untuk menjenguk pasien pasien lainnya.

"Bagaimana, Pak. Apakah kita akan meneruskan keinginan kita?" Tanyaku ragu. Pak Roy langsung menunduk. Mempertimbangkan perasaannya, kondisi Mas Fairuz, maslahat dan mudaratnya. 

Kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing. Terjadi pergulatan batin yang sangat kacau di dalam hati.

"Bagaimana menurutmu, Jes?" Pak Roy melemparkan kebingungannya kepadaku yang juga dilanda kebingungan. 

"Sebaiknya kita tunda rencana kita, Pak." 

"Itu berarti kau tetap bersedia untuk kunikahi. Hanya masalah waktu. Jika seperti itu, mungkin setan akan terus mengintai kita.

Kita tidak tau berapa lama Fairuz akan mengalami kondisi seperti ini. Sementara kita yang selalu dalam satu ruangan dengan perasaan yang kian mendalam. Ini berpotensi  buruk, Jes. 

Bukankah kita nyaris  saja melakukan perbuatan yang sangat terlarang dalam agama, dalam semua agama. Kita hampir menjadi manusia keji. 

Kalau menurutku, kita tetapkan saja rencana kita untuk melangsungkan nikah dengan segera, dengan pertimbangan maslahat dan mudarot dan sisi perasaan kita yang sudah semakin liar." 

"Dan kita akan menutup mata dan hati kita pada rembesan air mata Mas Fairuz?" Sisi nuraniku mencoba mengaspirasikan sisi moralitas kesetiaan. 

"Ini hanya masalah waktu, Jes. Sebenarnya ada perasaan berat dengan keinginanku dan ungkapan kejujuranku padamu. Biarlah kita menekan perasaan kasihan kita pada Fairuz untuk sementara waktu. 

Perputaran roda masa mungkin akan meredakan juga perasaan kita. Bukankah sederas derasnya hujan pada akhirnya akan reda juga?" Analoginya berserta logika yang Pak Roy sampaikan menuntutku merenung menuruti sudut pandangnya.

Cukup lama aku merenung dan berpikir sambil sekali-kali melihat air mata Mas Fairuz yang masih menetes. Air mata itu menghujamkan perasaan sedih dan bersalah. Tak terasa air mataku juga sudah mengembun dan masih terjebak di kelopak mataku. Tapi aku tak bisa mengingkari betapa perasaanku pada Pak Roy semakin membesar. 

Pelukannya yang begitu menghangatkan beserta belaian tangannya yang lembut penuh rasa membuat sudut hatiku yang lain bergelora. 

"Bagaimana, Jes. Bagaimana perasaanmu kepadaku?"

Embun di pelupuk mataku akhirnya tak lagi dapat kubendung melihat wajah pucat pasi Mas Fairuz, sementara Pak Roy menuntutku untuk menjawab pertanyaan yang di dalamnya sudah terkandung jawaban bahwa aku juga mencintainya. 'Maafkan aku Mas Fairuz... Aku tak dapat mengendalikan liarnya perasaanku kepada bapakmu' gumamku dalam hati dengan air mata yang kian deras menetes. Aku tau ini salah. Aku pengkhianat cinta. Tapi aku benar-benar sudah tak mampu menepikan perasaan cintaku pada Pak Roy.

"Baiklah, Pak. saya tak bisa untuk mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan suara hatiku meskipun nuraniku acap kali menentangnya. Saya terima rencana dan keinginan bapak untuk menikah denganku," jawabku dengan air mata terburai. 

Di antara ribuan perempuan pengkhianat cinta di Dunia ini, mungkin akulah kampiunnya. 

"Saya pasrah pada keadaan dan konsekuensi sanksi sosial yang akan terjadi pada saya, Pak. Sangat berat keadaan ini. Tapi pada akhirnya saya harus tetap memutuskan dan mengambil sikap." 

"Kau sudah yakin dengan jawabanmu, Jes?"

"Yakin, Pak."

"Apakah aku memaksamu atau mengintimidasimu?" Pak Roy mencecar pertanyaan untuk memastikan jawabanku bersumber dari pemikiran yang matang.

"Inilah jawaban yang sebenarnya, Pak," jawabku dengan tetap memperhatikan wajah layu Mas Fairuz beserta rembesan air matanya. 'sekali lagi maafkan aku, Mas Fairuz. Izinkan aku menjadi ibu tirimu'.

Pak Roy mendekatiku lalu memelukku dengan mesra. Perang batin juga dialaminya. Terlihat dari air matanya yang juga menetes saat memandangi pria bernasib malang yang terbaring lemah dengan beberapa selang di bagian tubuhnya. 

Pak Roy menyeka air mataku meskipun air matanya juga mengalir.

"Biarlah orang orang dan tetangga kita menggunjingkan hubungan kita nanti. Aku sudah siap menerima resiko itu. Memang pantas saya mendapatkan gunjingan masyarakat. 

Inilah konsekuensi dari penyatuan cinta yang di dalamnya mengorbankan perasaan dan hati seseorang, orang terdekatnya. Fix, kita menjadi pengkhianat cinta paling kejam di dunia, Pak," tukasku. Pak Roy menciumi pipiku.

*****

"Kau sudah gila, Jes. Kau tidak habis meminum Wipol kan? Kenapa tiba-tiba otakmu menjadi konslet, beku dan kaku seperti itu. Mana logika dan hati Nuranimu!" Ayahku mengumpatiku dengan amarah yang membara setelah dengan terus terang kuceritakan keinginanku untuk diinikahi Ayahnya Mas Fairuz. 

Aku sengaja pulang dari rumah sakit untuk memberitahukan keinginanku pada Bapak.

"Maafkan anakmu, Pak. Saya sudah terlanjur punya perasaan yang mendalam kepada Pak Roy. Saya tak ingin bisikan syetan menjerumuskan diriku ke lembah perzinahan," ucapku menunduk, tak berani menatap wajah Ayah yang sangat marah. 

"Jesii...jesiii...Pak Roy begitu juga. Sama- sama gak beresnya anak dan besanku itu. Istrinya baru seminggu yang lalu meninggal. Kuburannya masih basah. Mau menikahi tunangan anaknya yang sedang koma dan istrinya yang baru seminggu meninggal. Astaghfirullah rabbal Baraya.

Ya Allah. Zaman apa ini? Keluh Ayah dengan intonasi sedih bercampur heran. Apa kata dunia seorang besan tiba-tiba mau menjadi mantu dalam keadaan anaknya sakit keras dan jiwanya berada di antara hidup dan mati. Ilahi ya robbi, ilahi ya Robbi.

"Saya terima resiko dan sanksi apa saja yang akan ayah berikan kepada saya asal mengizinkan saya dinikahi Pak Roy," ucapku menghiba. 

Senyap tercipta untuk beberapa saat lamanya. 

"Tidak... tak ada jalan mengizinkan dan merestuimu menikah dengan Pak Roy."

Bersambung.

Silahkan tinggalkan komentar anda!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status