Khayra menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles natural, dia mengenakan kebaya berwarna pastel sesuai tema dari acara yang akan diselenggarakan hari ini.
Tanpa terasa tibalah acara pernikahan Yuda dan Ziya. Dua orang munafik kalau menurut Khayra.
‘Kamu kuat, Khayra,’ batin Khayra walau akhirnya air mata itu kembali luruh membasahi pipinya. “Ku mohon, berhentilah menangis, riasannya bisa rusak,” gumamnya bercermin dengan menyeka air mata memakai tissue. Tetapi percuma saja karena air mata itu malah semakin deras luruh membasahi pipi.
Khayra menutup wajahnya menggunakan dua tangannya. Dia ternyata tidak sekuat itu untuk menghadapi ujian ini. Sakit sekali rasanya, sampai sulit sekali untuk bernapas.
“Kay, Tante tidak pernah meminta bayaran apa pun padamu. Tante dan Om menerima dan merawatmu selama ini tanpa mempermasalahkan biaya yang sudah kami keluarkan untuk kamu. Bagaimana pun, kamu keponakan kami. Tapi kali ini saja, Tante mohon sama kamu, Kay. Tante mohon lepaskan Yuda, biarkan Ziya menikah dengan Yuda. Apa kamu tidak kasihan pada Ziya? Kamu tidak hamil, kamu masih bisa mencari pria lain yang lebih baik dari Yuda.”
Perkataan Tante Ratna, ibunya Ziya terus saja terngiang di telinganya. Sakit sekali rasanya, dia berkata semudah itu karena Khayra menumpang hidup dengannya.
Tidak segampang itu mengikhlaskan dan merelakan pria yang sudah menemaninya selama lima tahun ini.
“Bagaimana ini, kenapa sakit sekali,” isak Khayra memukuli dadanya beberapa kali.
Ketukan di pintu membuat Khayra menolehkan kepalanya. Dia menyeka air mata dengan tissue. Dan kembali bercermin, memastikan kalau kalau kedua matanya tidak terlihat sembab. Walau sulit untuk disembunyikan memang.
Khayra berjalan menuju pintu dan membukanya. Acara pernikahan di adakan di rumah Ziya yang memiliki halaman luas. Dan membuat pesta kebun.
“Khayra,” ucap wanita memakai jilbab, wajahnya penuh keibuan.
“Tante Sarah?” panggil Khayra.
Wanita berbadan tambun itu masuk ke dalam kamar Khayra dan memeluk keponakannya. Khayra tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Tangisnya pecah dan tumpah ruah di pelukan Tantenya.
“Sabar, Nak. Mungkin ini cara Allah memperlihatkan padamu, kalau Yuda bukanlah pria yang baik untukmu,” ucap Tante Sarah.
Sarah adalah adik kandung mendiang Ibu Khayra, sama halnya dengan Ratna. Sebelumnya, Khayra tinggal bersama Sarah yang tidak memiliki anak di kota Bandung. Sarah dan Iwan, suaminya begitu menyayangi Khayra dan menganggapnya anak. Tetapi setelah lulus kuliah, Khayra memutuskan untuk bekerja di Jakarta, kebetulan juga ada panggilan wawancara. Makanya kini Khayra menumpang di rumah tante Ratna dan Om Andi, orang tua dari Ziya yang masih menyandang status mahasiswi.
Khayra dan Yuda berpacaran dari saat mereka kuliah di kota Bandung. Orang tua Yuda tinggal di Jakarta, makanya setelah lulus, Yuda tinggal di Jakarta.
“Kuat, ya, Kay. Memang sulit, tapi kamu harus bisa melepaskannya,” ucap Sarah mengusap pundak Khayra.
“Dia berkata sangat mencintaiku, dia berjanji akan selalu menemaniku. Dia hanya ingin aku yang menjadi istrinya, tapi kenyataannya sekarang, dia mengingkari semuanya. Dan aku yang merasakan sakit luar biasa. Kami sudah bertunangan, bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Gedung sudah di sewa, dan sudah menghubungi wedding organizer, tapi dia menghancurkan semuanya, Tante. Sebenarnya apa salahku, sampai dia melakukan hal jahat ini padaku?” tanya Khayra dengan air mata yang terus luruh membasahi pipinya.
“Aku bahkan tidak sanggup untuk menyaksikan acara pernikahan mereka. Aku tidak setegar itu untuk tetap berdiri di sana dan menampilkan senyum palsu. Aku tidak bisa, Tante.” Khayra semakin menangis di sana.
“Tidak usah keluar. Di sini saja, semua orang juga tidak akan mencarimu,” ucap Sarah.
“Tante ke bawah lagi saja, siapa tahu Tante Ratna butuh bantuan,” ucap Khayra menyeka air mata di pipinya.
“Tapi kamu sedang begini, bagaimana Tante meninggalkanmu,” ucap Sarah mengusap kepala Khayra.
“Aku baik-baik saja,” jawab Khayra. “Mungkin kalau sudah legaan, aku akan turun ke bawah.”
“Kamu yakin?” tanya Sarah.
“Iya, Tante turun saja. Aku baik-baik saja. Aku akan turun nanti, kalau acara akad sudah selesai,” jawab Khayra.
“Baiklah kalau begitu. Tante bawa minum untukmu, minum dulu, tenangkan diri kamu. Kalau sekiranya tidak sanggup untuk melihat, jangan turun,” ucap Sarah yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Khayra.
Sarah pun keluar dari kamar Khayra, meninggalkan wanita itu sendiri.
Sepeninggalan Sarah, Khayra hanya bisa termenung, berusaha mengatasi hatinya yang begitu sakit.
***
Cukup lama Khayra berdiam diri di dalam kamar. Dia menangis sesegukan saat terdengar Yuda mengucapkan janji suci di hadapan semua orang. Mengikat dan menjadikan Ziya sebagai istrinya di hadapan Allah. Sayangnya, nama Ziya yang terdengar, bukan namanya.
Saat hati hancur, hanya tangis yang mampu meredakkannya, walau tidak mampu menyembuhkan bahkan melupakan.
Setelah merasa lebih tenang, Khayra masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya, dia bahkan mengompres kedua matanya yang sembab dengan handuk basah, berharap mereda dan tidak akan kelihatan.
Khayra kembali duduk di depan cermin, dia memakai make up kembali dan cukup tebal dan mencolok, dia lakukan itu untuk menutup matanya yang sebesar mata kodok.
Setelah merasa lebih baik, walau sebenarnya hatinya masih tidak baik-baik saja. Khayra memutuskan keluar dari kamarnya. Dia berjalan keluar dari rumah, terlihat pasangan pengantin berada di atas ballroom, sedang melakukan beberapa tradisi sunda, karena orang tua Ziya memang asli sunda.
Khayra memutuskan berdiri cukup jauh dari kumpulan orang-orang di dekat pelaminan.
‘Aku melepasmu seluas ikhlasku mencintaimu. Aku dan hatiku, biarlah urusanku. Jadi berbahagialah dengan kehidupan barumu,’ batin Khayra menatap sendu ke arah pelaminan.
“Jangan terus melihatnya dengan tatapan bodoh,” seruan itu membuat Khayra menoleh ke sumber suara. Dia kaget melihat keberadaan Kaivan di sana dengan memakai kemeja batik dan celana jeans hitam.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Khayra sangat kaget.
Kaivan menghela napasnya. “Duniamu sepertinya hanya ada Yuda, ya. Kamu sudah berapa lama bersama Yuda?” tanya Kaivan membuat Khayra kebingungan.
“Bukankah kemarin kemarin sudah saya katakan, saya sepupu Yuda. Otomatis saya ada di sini,” ucap Kaivan.
“Ah iya, saya melupakan hal itu," jawab Khayra.
“Benar kata orang, cinta itu bisa membuat orang jadi bodoh,” ucap Kaivan membuat Khayra mencibir dan melipat tangannya di dada. Wanita itu memalingkan pandangannya dari Kaivan.
“Ayahnya Yuda adalah adik ibuku,” ucap Kaivan.
“Bisa kebetulan begitu. Tetapi kenapa Yuda tidak pernah mengatakannya, padahal dia tahu kalau Bapak itu atasanku,” ucap Khayra.
“Aku bukan Bapakmu.”
Khayra mendelik ke arah pria yang bersikap tenang. “Mau aku panggil Om saja?” tanya Khayra sengaja mengejek Kaivan.
“Tidak, panggil aku, Aa Ivan.”
Khayra menatap sinis ke arah atasannya itu. “Ya, Aa Ivan yang super galak,” ucap Khayra.
“Hanya orang yang IQ nya rendah yang mengatakan aku galak,” ucap Kaivan.
“Maksud kamu apa? IQ ku rendah?” tanya Khayra yang sudah menghadap ke arah Kaivan.
“Bukan aku yang mengatakannya tapi kamu,” ucap Kaivan. “Kamu itu mirip sekali dengan kura-kura, begitu lamban.”
“Belum tahu saja, kura-kura bisa mengalahkan Kuda kaki panjang seperti kamu!” ucap Khayra menatap sinis ke arah Kaivan.
“Kuda kaki panjang?” tanya Kaivan. “Berani sekali kamu memanggil managermu kuda kaki panjang, bosan kerja?” ancam Kaivan.
“Mainnya ancaman. Dih, dasar kuda kaki panjang,” gerutu Khayra.
Perseturuan mereka yang saling berhadapan, tidak luput dari tatapan Yuda dari atas pelaminan. Pria itu terus melihat ke arah Khayra dan Kaivan dengan tatapan cemburu, bahkan dia mengabaikan Ziya yang berusaha mengajaknya bicara.
‘Bagaimana Khayra mengenal Bang Kai?’ batin Yuda.
***
“Pagi semuanya,” sapa Khayra saat baru saja sampai di kantor. “Pagi, Ra,” jawab rekan-rekannya yang lain. Khayra menoleh ke dalam ruangan Kaivan di mana pria itu sudah duduk manis di singgasananya dengan sorot mata tajam mengarah pada Khayra. Khayra langsung memalingkan wajahnya dan menduduki kursi. “Hari ini katanya akan ada yang di minta ke area,” bisik Sunny. “Kenapa? Apa ada masalah jaringan?” tanya Khayra. “Tidak ada, hanya ada, katanya akan ke proyek,” jawab Sunny. “Paling Cecep lagi yang diajak, kan?” tanya Khayra. “Aku tidak tahu,” jawab Sunny. “Khayra, ke ruangan saya,” panggil Kaivan. Khayra dan Sunny saling memberi kode lewat mata. Khayra bingung kenapa dia yang dipanggil, biasanya yang menemani Kaivan ke area adalah Cecep. “Bapak memanggil saya?” tanya Khayra saat sudah berada di dalam ruangan Kaivan. Kaivan melihat ke arah Khayra dengan intens. “Kamu ikut saya ke area,” ucap Kaivan. “Kenapa saya?” tanya Khayra terlihat bingung. “Memangnya kenapa kalau kamu?
“Kamu sudah menunggu lama?” tanya Kaivan yang menemui Khayra di sebuah restoran yang berada tidak jauh dari kantor. “Tidak, Pak.” “Sudah pesan makan?” tanya Kaivan. “Sebelum makan, aku ingin membahas syarat-syarat dariku,” ucap Khayra merogoh sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Kaivan. Kaivan membuka amplop dan membaca isi surat kontraknya itu. “Syarat yang pihak kedua ajukan : Pertama, Menghargai keputusan dan kehidupan pribadi masing-masing pihak. Kedua, Pihak kedua tidak akan melakukan tugas seorang istri yang melayani suaminya. Ketiga, Setelah pihak kedua hamil, maka pihak pertama tidak berhak menyentuh pihak kedua. Keempat, Pihak kedua tidak mau berhenti bekerja di Perusahaan. Kelima, Menjaga kesetiaan selama pernikahan masih berlangsung. Keenam, Langsung gugat perceraian saat bayi sudah lahir. Ketujuh, Bayi akan bersama pihak kedua sampai usia minimal lima tahun.” “Aku tidak setuju,” ucap Kaivan saat membaca isi syarat itu. “Bagian mana yang tidak kamu setuj
“Bagaimana kalian bisa bersama?” Yuda melihat ke arah Khayra dan Kaivan secara bergantian. Khayra sendiri tidak bisa berkata-kata, hatinya bergemuruh karena emosi. Seikhlasnya dia menerima kenyataan, tidak membuatnya melupakan dan memaafkan pengkhianatan yang sudah dilakukan pria di depannya itu. “Khayra, ada hubungan apa kamu dengan Bang Kai? Apa semua ini?” tanya Yuda mendekati Khayra, tetapi baru saja akan melangkah, Kaivan menahan dada pria itu dengan telapak tangannya. “Jangan coba-coba mendekatinya,” ucap Kaivan yang kini berjalan ke samping Khayra yang masih berdiri di tempatnya. Kaivan tahu kalau tubuh Khayra bergetar dengan kedua tangan yang mengepal. Wanita itu sedang menahan dirinya dari rasa sakit, amarah dan dendam. Dengan lembut, Kaivan merangkul Khayra dan menarik tubuhnya untuk semakin rapat dengannya. “Kamu bisa lihat bagaimana kedekatan kami, Yuda,” jawab Kaivan dengan sorot mata tajam. “Khay? Apa
Tok! Tok! Tok!“Khayra!” panggil Ratna dari luar sana.Khayra tahu apa yang akan dibicarakan oleh Tantenya itu. Wanita itu kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Dibukanya pintu tersebut dan melihat sosok Ratna sudah berdiri di luar kamar.“Kamu belum tidur, kan? ayo bicara sebentar dengan Om dan Tante di ruang keluarga,” pinta Ratna.“Iya,” jawab Khayra dan mengikuti Ratna menuju ruang keluarga.Khayra duduk di sofa, tepat di depannya ada Andi dan Ratna yang menatapnya dengan intens.“Khayra, apa kamu serius akan menikah dengan atasan kamu itu?” tanya Ratna.“Iya, Tante.”“Begini, Khayra. Sebenarnya kami tidak akan mencampuri urusan pribadi kamu. Hanya saja, kami tahu hubungan kamu dengan Yuda dan pernikahan Yuda dengan Ziya. Apa kamu yakin akan menikah dengan atasan kamu itu? pikirkanlah dengan matang, menikah bukan untuk mencari pelampiasan. Pernikahan itu hidup bersama seumur hidup,” nasihat Andi.“Aku sudah memikirkannya dengan matang, Om. Dan aku me
“Khayra!” Tubuh Andi ditarik paksa menjauh dari Khayra yang langsung bangun dan memeluk dirinya sendiri dengan rasa sakit dan pilu. “Bisa-bisanya kalian berzina di rumahku!” pekik Ratna sangat emosi. Andi merapikan pakaiannya. “Dia yang merayuku, Sayang.” Khayra menatap Andi dengan tatapan kaget dan penuh kebencian. “Dasar wanita murahan!” teriak Ratna dan mendekati Khayra dia memukuli Khayra yang berusaha melindungi kepalanya. “Apa Tante buta?” pekik Khayra mendorong Ratna menjauh darinya. “Dia yang hampir memperkosaku!” “Bohong, Sayang. Lagipula seorang lelaki tidak akan tergoda kalau tidak digoda,” ucap Andi benar-benar memutar balikkan fakta. “Aku gak mau tahu. Sekarang juga, keluar dari rumahku! Tidak sudi aku menampung wanita murahan sepertimu! Kamu menggoda suamiku karena kamu gagal nikah sama Yuda?” pekik Ratna benar-benar marah besar. “Aku sudah menampungmu di sini, Khayra. Tapi apa bala
“Ugh!” Khayra terbangun dari tidurnya. Dia meringis saat kepalanya terasa sakit dan berat. “Ah, aku harus bekerja,” gumamnya beranjak bangun dari posisinya. Dia melihat sekeliling ruangan yang asing baginya. “Aku ada di mana?” Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi kemarin. Hingga potongan demi potongan kejadian kemarin berputar di kepalanya. “Jadi aku ada di rumah Pak Kaivan,” gumamnya bangkit dari duduknya. Dia menyadari kalau dia masih memakai pakaian yang semalam, Kaivan tidak menyentuhnya sama sekali. Khayra masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa tubuhnya lengket, dan merasa jijik karena sentuhan Andi. Wanita itu membiarkan air dingin menghujani tubuhnya. Dia tidak peduli seberapa menggigil tubuhnya itu, dia hanya berharap rasa sakit di hatinya ikut membeku karena dingin ini. Ucapan Ratna kembali terngiang di kepalanya, setega itu mereka padanya yan
“Benar-benar tidak tahu diri anak itu.” Ratna mengadu pada Sarah melalui telepon. “Sabar dulu, Na. Khayra tidak mungkin melakukan hal mencela itu,” ucap Sarah dari seberang sana. “Kakak masih saja membela anak itu, aku memergokinya sendiri. Mereka sedang saling berpelukan di atas ranjang, Kakak pikir aku berbohong?” Ratna menjelaskannya dengan emosional. “Baiklah, baiklah. Tapi Kakak tetap harus menemui dan bicara dengan Khayra. Di mana dia sekarang?” tanya Sarah. “Mana ku tahu. Tanya saja pada kekasihnya yang baru,” keluh Ratna. “Aku itu yakin, dia melakukan semua ini untuk balas dendam karena Ziya sudah merebut Yuda darinya. Yuda itu ibarat tambang emas bagi si Khayra, keluarganya yang kaya raya, memiliki Firma hukum yang di mana Yuda bekerja di sana.” Sarah diam di seberang sana. dia sangat mengenal Khayra dan dia percaya Khayra bukan orang seperti itu. “Baiklah, Kakak tutup teleponnya. Kakak akan menco
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Sunny menyadarkan lamunan Khayra. Saat ini mereka sedang berada di kantin kantor untuk makan siang. “Tidak ada,” jawab Khayra. “Pesananmu,” ucapnya menyodorkan piring makanan pesanan Khayra. “Makasih,” jawab Khayra. “Hari ini Bos besar tidak marah-marah lagi,” ucap Nita. “Kayaknya mood dia sedang baik. Tadi aku melakukan kesalahan, dia tidak memarahiku, hanya berkata revisi sekarang. Biasanya akan keluar amarahnya. Kamu ini bagaimana sih kerjanya, dan bla ... bla ... bla .... “ kekeh Sunny membuat Nita tertawa sedangkan Khayra hanya tersenyum. Khayra tidak berkomentar karena dia kini cukup mengenal bagaimana Kaivan. Pria yang memiliki kepribadian dingin, gila kerja, galak, ternyata punya sisi hangat dan perhatian. Mengingat perhatiannya kemarin, cukup menyentuh hati Khayra. “Katanya, akan ada acara liburan bersama antar divisi,” ucap Nita. “Ah iya,