“Kay, tunggu dulu!” Yuda segera menahan tangan Khayra yang berlari menjauh dari rumahnya begitu melihat mantan kekasihnya itu.
“Lepasin!” Khayra menepis tangan Yuda dengan kasar. Mereka tiba di taman yang tampak sepi, tak jauh dari kediaman gadis itu.
“Kay, maafin aku. Malam itu terjadi begitu saja. Aku khilaf, aku terpengaruh alkohol saat itu, Kay.” Yuda berusaha membujuk Khayra dan menjelaskan semuanya.
“Ya, dan khilafmu itu sudah membuat dampak sejauh ini, Yud!” Khayra menyeka air matanya. Tubuhnya bergetar hebat, sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak memukul pria di depannya.
“Aku tahu. Ini benar-benar di luar dugaan. Padahal aku sudah memakai pengaman—” Yuda tersadar akan apa yang baru saja dia katakan.
Khayra memalingkan wajah seraya menyeka air mata di pipinya. “Kamu bisa menyembunyikan api, tapi tidak dengan asapnya, Yud. Entah memang efek mabuk atau tidak, sempat-sempatnya ingat memakai pengaman!” ucap Khayra benar-benar marah pada pria di depannya itu.
“Kita mau menikah dua bulan lagi, loh, Yud. Bisa-bisanya kamu melakukan hal ini, sampai membuat Ziya hamil. Di mana sebenarnya otak kamu?!” tanya Khayra yang tidak bisa menahan amarahnya lagi.
“Tega banget kamu lakuin ini sama aku. Apa kamu benar-benar tidak bisa menahan diri kamu? Ziya itu sepupu aku!” ucap Khayra membuat pria di depannya itu menundukkan kepalanya.
Kali ini Yuda benar-benar tidak bisa mengelak dan mencari alasan untuk membela dirinya.
“Sebenarnya apa kurangnya aku? Selama ini hubungan kita selalu harmonis tanpa ada masalah. Apa aku kurang mengerti kamu? Apa aku kurang memberikan perhatian padamu, Yuda? Tolong jawab, jangan hanya diam saja! Setega ini kamu sama aku, Yud!” bentak Khayra dengan tangis yang pecah.
Yuda tiba-tiba saja bersujud dengan memeluk kaki Khayra. “Ampuni aku, Kay. Aku tahu aku sadar, aku khilaf,” ucap Yuda.
Khayra menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Sakit sekali hatinya, pria yang sudah dia kenal bertahun-tahun, tega melakukan hal ini dengan adik sepupunya sendiri.
Khayra berjalan mundur hingga pegangan Yuda terlepas. “Mulai saat ini, hubungan kita sudah berakhir. Nikahi saja Ziya, dan bertanggung jawablah atas perbuatanmu,” tangis Khayra kembali pecah. Wanita itu melepaskan cincin pertunangan mereka dan menjatuhkannya tepat di depan Yuda.
“Pergilah, aku sudah ikhlas. Dan aku tidak ingin melihatmu lagi. Sekarang jalani saja jalan kita masing-masing. Kamu di jalanmu, lakukan apa pun yang kamu mau. Dan aku di jalanku dengan tujuanku sendiri,” ucap Khayra dengan suara yang lebih tenang.
“Pesanku hanya satu untukmu. Cukup aku wanita terakhir yang kamu buat hancur, sehancur-hancurnya.”
Setelah mengatakan itu, Khayra beranjak pergi meninggalkan Yuda yang masih di posisinya.
Khayra keluar dari area taman dan berjalan menyusuri trotoar, dia tidak tahu akan ke mana, dia tidak memiliki tempat untuk pulang.
Saat itu terdengar petir dan suara geluduk yang kencang. Khayra menghentikan langkahnya, dia menengadahkan kepalanya ke langit gelap.
Sampai terasa tetes demi tetes jatuh ke wajahnya, semakin lama tetesan itu semakin deras dan mengguyur tubuh Khayra hingga kini pakaian dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Khayra tidak beranjak dari tempatnya, dan membiarkan air hujan mengguyur tubuhnya.
Dia yang sedang menengadahkan kepala ke langit dengan memejamkan kedua matanya, tertegun saat tidak merasakan ada air yang jatuh ke wajahnya. Kemudian Khayra membuka matanya dan tatapannya bertemu dengan sorot mata tajam milik seorang pria yang sedang memegangi payung berwarna hitam dan memayungi Khayra.
“Pak Kaivan?” panggil Khayra cukup kaget melihat atasannya ada di depannya.
“Apa kamu anak TK?” tanya Kaivan dengan nada datarnya. “Hujan-hujanan di pinggir jalan.”
Khayra mencibir pada Kaivan. “Apa urusannya dengan Bapak? Tinggalkan saja saya sendiri,” ketus Khayra yang merasa malu sekaligus kesal. Bisa-bisanya saat galau seperti ini, dia bertemu dengan Kaivan.
“Naik ke mobil,” ajak Kaivan.
“Tidak mau. Saya bisa pulang sendiri,” jawab Khayra.
“Oh, kamu mau saya kasih tugas mendata berkas yang di gudang penyimpanan?” tanya Kaivan membuat Khayra mengernyit bingung.
“Anda bahkan tidak bisa membedakan mana jam kerja dan mana jam di luar kerja,” ucap Khayra berjalan melewati Kaivan. Tetapi pria itu menahan pergelangan tangannya, membuat gadis itu menoleh dengan tatapan tajam.
“Ada apa sih, Pak? Saya mau pulang,” ucap Khayra berusaha melepaskan tangannya.
“Naik ke dalam mobil. Saya perlu bicara,” ucap Kaivan penuh penekanan.
“Pak, bisa kita bahas masalah pekerjaan besok saja?”
“Naik ke dalam mobil!” perintah Kaivan tidak ingin ditolak.
Karena mendengar suara penuh penekanan dari Kaivan, Khayra malah menangis meraung di sana dengan menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan. Kaivan dibuat kelabakan di sana.
“Khayr, kenapa malah nangis? Saya hanya minta kamu naik ke dalam mobil, apa susahnya?” tanya Kaivan yang kebingungan untuk meredakan tangis Khayra.
Jujur saja, Kaivan merasa malu, mereka ada di pinggir jalan utama. Banyak kendaraan berlalu lalang dan melihat ke arah mereka berdua yang terlihat lebih mirip pasangan kekasih yang sedang bertengkar.
“Jangan menangis di sini, Khayr. Cepat naik ke dalam mobil,” pinta Kaivan yang tidak tahu cara menenangkan seorang wanita.
“Apa salah saya? Kenapa Bapak membentak saya? Hiks ... kenapa kalian setega ini sama aku … sakit banget tahu rasanya,” isak Khayra.
Kaivan yang sudah tidak bisa berpikir jernih, ditambah banyak yang melihat dan merekam adegan mereka, tanpa banyak kata, Kaivan menggendong Khayra ke pundaknya seperti karung beras.
“Lepaskan aku!”
“Diam, Khayr. Kamu mau kita dibawa ke kantor polisi karena dituduh penculikan?” tanya Kaivan penuh penekanan setelah mendudukkannya jok mobil.
“Siapa suruh maksa!” jawab Khayra dengan ketus.
“Pakai sabuk pengamannya, Khayr.”
“Pak, nama saya Khayra loh, sudah bagus itu. Nama pemberian orang tua saya. Kenapa Bapak memanggil saya Khayr? Kayak anak cowok,” keluh Khayra melipat kedua tangannya di dada.
“Jangan banyak protes. Terserah saya mau panggil kamu apa. Lagian saya bukan Bapakmu, jadi jangan terus memanggil Bapak,” protes Kaivan membuat Khayra mendelik ke arah pria itu.
Dengan kesal Khayra memakai sabuk pengamannya.
“Saya tahu masalah yang kamu dan Yuda alami,” ucap Kaivan membuat Khayra cukup kaget.
“Bapak kenal Yuda dari mana?” tanya Khayra terheran-heran.
“Saya bukan Bapak kamu Khayra, apa kamu tidak dengar?” protes Kaivan membuat Khayra mencibir pelan.
“Bagaimana k-kamu mengenal Yuda?” tanya Khayra, merasa agak canggung.
“Dia sepupuku,” ucap Kaivan membuat Khayra kaget bukan main.
“Se-sepupu kamu?” tanya Khayra sangat kaget.
“Ya, benar. Jadi kamu wanita yang ditinggalkan olehnya karena wanita lain?” tanya Kaivan dengan nada datar.
“Sepertinya kamu puas sekali,” sindir Khayra menatap keluar jendela.
Kaivan terkekeh di sana dan itu jelas membuat Khayra menoleh ke arahnya. Ini pertama kalinya dia mendengar tawa atasannya yang super dingin dan galak.
“Kenapa menatapku sehoror itu?” tanya Kaivan bingung dengan tatapan Khayra.
“Kaget saja. Saya pikir Bapak kesambet kuntilanak di pohon besar tadi,” jawab Khayra asal.
“Hus! Kalau ngomong itu nggak pernah disaring,” tegur Kaivan.
“Ya karena saya bukan teh yang harus disaring,” jawab Khayra membuat Kaivan memilih diam beberapa saat.
“Saya tahu masalah kamu dan Yuda. Bagaimana rasanya dikhianati oleh kekasih dan sepupumu sendiri?"
Wanita itu menoleh ke arah Kaivan dengan tatapan tajam. “Sepertinya Anda sangat senang melihat penderitaan saya.”
Kaivan terkekeh kecil. “Kamu itu sungguh naif, Khayra. Makanya orang dengan mudah memanfaatkan dan mengkhianatimu.”
Khayra tidak mengatakan apapun sampai Kaivan kembali melanjutkan. “Saya ada penawaran menarik untukmu, mau coba?”
Cukup lama Khayra terdiam, dia tidak percaya akan usulan Bos yang sering marah-marah di kantor.
“Kenapa? Kamu meragukanku?” tanyanya sambil menatap Khayra tepat di manik mata.
“Menikahlah denganku, maka akan kubantu kamu balas dendam pada mereka. Akan kubuat pria yang sudah mengkhianatimu itu menyesal sudah menyakitimu,” ucap Kaivan. “Tetapi sebagai gantinya, kamu harus membantuku melahirkan keturunan.”
Degh!
“A-apa?!”
Lima Tahun Kemudian ... “Wah, kita naik pesawat!” seru Sasa heboh saat mereka berada di pesawat pribadi milik keluarga Dirgantara. Saat ini Kaivan, Khayra dan kedua anak-anak mereka Saga dan Sasa akan pergi liburan ke Maldives sesuai keinginan Khayra. “Kalian senang?” tanya Khayra. “Tentu saja. Kita gak pernah naik pesawat,” seru Sasa. “Kita pernah naik pesawat. Hanya saja saat itu kalian masih bayi,” kekeh Khayra. “Saga, kenapa diam saja?” tanya Kaivan. “Nggak apa-apa. Sasa berisik,” keluh Saga yang terkenal pendiam. “Ih, dasar gak seru,” keluh Sasa. Kalian dan Khayra bersama anak-anak mereka, Saga dan Sasa, tiba di Maldives untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Mereka menginjakkan kaki di pantai berpasir putih yang lembut, dengan air laut yang jernih dan pemandangan yang sangat indah. "Wow, ini sungguh indah!" seru Khayra sambil memandangi keindahan pantai. “Y
“Hati-hati,” ucap Kaivan saat membantu Khayra menuruni brankar. Hari ini Khayra dan kedua bayi kembarnya sudah diperbolehkan untuk pulang. “Di sana Genny dan Rossa sudah menggendong bayi, masing-masing satu. “Kamu duduk di kursi roda,” ucap Kaivan menggendong Khayra dan mendudukkannya di atas kursi roda. “Semuanya sudah siap? Tidak ada yang ketinggalan lagi?” tanya Genny. “Sudah, koper sama tas bayi, aku yang bawa,” ucap Aerline. “Sebagian sama Papa.” “Ya sudah kalau begitu, mobil sudah siap di bawah,” ucap Tommy. Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan rumah sakit, setelah berada di rumah sakit selama satu minggu. Saat sampai di lobi rumah sakit, terlihat dua buah mobil suv berwarna putih dan hitam sudah terparkir di sana dengan seorang sopir yang berdiri di dekat mobil, membukakan pintu penumpang. Kaivan membawa Khayra dan Rossa masuk ke dalam mobil putih, sedangkan Tommy, Genny dan Aerlin
“Kamu masih bisa bertahan, kan?” tanya Kaivan. “Ya, Mas.” Khayra menjawab dengan napas tersenggal. Kaivan pun tidak peduli betapa sakitnya kedua lutut dan kedua tangannya. Menggendong Khayra yang sedang mengandung bayi kembar, dia tetap akan berjuang demi keselamatan istri dan kedua anaknya. “Bertahanlah, aku akan memastikan kalian selamat,” bisik Kaivan. Begitu sampai di rumah sakit, Khayra segera ditangani oleh para perawat dan dibawa ke ruangan khusus. Beruntung dokter yang biasa merawat Khayra, Dr. Windi, juga sedang praktek di rumah sakit itu. Khayra merasa lega, karena ia tidak mau ditangani oleh dokter lain selain Dr. Windi. “Sus, kalau saya ingin istri saya kembali ditangani dokter Windi, bisa?” tanya Kaivan. “Bisa, Pak. Kebetulan Dokter Windi ada jadwal hari ini. Tetapi untuk tindakan operasi caesar, akan ada biaya penambahan penanganan dokter,” jelas suster tersebut. “Tidak masalah, Sus. Istri saya terbiasa dir
“Mas, nanti siang aku bawakan makan siang untuk Mas, ya,” ucap Khayra yang sedang membantu memasang dasi di kerah kemeja Kaivan. “Tidak usah, Sayang. Kamu kan sedang hamil besar, istirahat saja, ya. Aku khawatir kamu kelelahan,” tolak Kaivan. “Biasanya juga kamu mau diantarkan makan siang sama aku. Kenapa sekarang gak mau? Ada apa? kamu ada rencana makan siang dengan orang lain, atau seorang wanita? Siapa itu, sampai menolak niat baik istri sendiri?” tanya Khayra memborong penuh kecurigaan dan rasa cemburu. Ya, sejak hamil, Khayra memang semakin lengket dengan Kaivan, dia seakan tidak mau berjauhan dengan suaminya. Ditambah dia juga sangat cemburuan, dan selalu salah paham dan overthinking. “Bukan begitu, Sayang. Aku mengkhawatirkan kamu, kamu sedang hamil besar dan waktu HPL kamu sebentar lagi. Aku sama sekali tidak ada janji makan siang dengan siapa pun, apalagi perempuan,” jelas Kaivan. “Tetap saja, mencurigakan! Kamu meno
“Kamu sudah datang, Mas,” ucap Khayra tersenyum manis ke arah Kaivan yang masih membeku di tempatnya. Kaivan terpana saat melihat Khayra yang tampil anggun dalam gaun indah yang membalut lekuk tubuhnya yang sedang hamil. Rambut Khayra ditata apik dan jatuh membingkai wajahnya yang berseri-seri. Sorot mata Kaivan tak mampu terlepas dari istrinya itu. Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir Kaivan saat ia menyaksikan Khayra berjalan perlahan mendekatinya. Wajah Kaivan terlihat terpesona, seolah tak percaya dengan kecantikan istrinya yang sedang mengandung buah hati mereka. “Umm ... Mas Kaivan,” tegur Khayra sekali lagi membuat Kaivan tersadar dari lamunannya. "Khayr, kamu sangat cantik," ucap Kaivan akhirnya, dengan suara gemetar dan mata yang tak bisa berhenti menatap Khayra. Khayra tersenyum malu di depan Kaivan, hingga terlihat roda merah di kedua pipinya. Dia menjawab, "Terima kasih, Mas. Aku juga senang melihatmu begitu terpu
“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? bagaimana respon para pemegang saham? Mereka menyambutmu dengan baik, kan?” tanya Khayra saat membuka pintu rumahnya. Kaivan yang melihat Khayra menyambutnya dengan ceria, membuat rasa lelahnya hilang seketika. Tanpa kata, Kaivan langsung memeluk Khayra. “Nyaman sekali,” ucap Kaivan. “Apa terjadi sesuatu? Apa ada hal yang tidak berjalan dengan baik?” tanya Khayra semakin khawatir di sana. Kaivan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Khayra. “Semuanya berjalan dengan lancar,” ucapnya tersenyum merekah, membuat Khayra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. “Lalu kenapa kamu malah membuatku khawatir tadi,” keluh Khayra. “Maaf. Aku tadi hanya merasa gemas dengan sikapmu. Selain itu aku juga sangat merindukanmu,” ucap Kaivan tersenyum merekah membuat Khayra membalas senyuman suaminya. “Kalau begitu kita masuk,” ajak Khayra dan mereka berjalan bersama dengan Ka