"Ada apa, Beb?" tanya Nia saat melihatku menjadi emosi sambil mengepalkan jemariku di atas meja. Jika tidak mengingat ini tempat umum, pasti akan kumaki-maki mereka berdua.
"Kamu lihat yang di sudut sana, siapa mereka," titahku pada Nia dengan menggerakkan dagu ke depan.
Nia patuh dan segera melihat ke arah yang ku maksud. Dia tak kalah kagetnya dari diriku tadi. Nia mengambil tanganku dan menenangkanku.
"Aku baik-baik aja kok," ucapku, jelas sekali berbohong.
"Coba sekarang kamu telpon suamimu itu, tanya dia ada dimana. Cepat." saran Nia tak sabar padaku.
Mungkin ada benarnya juga. Aku bisa menguji kejujuran Mas Heru saat ini. Lalu, kuambil handphone dari tas jinjingku. Saat kubuka layar ponsel itu, sudah banyak sekali panggilan dari Mas Heru dan Mami.
Ada apa ini? Kenapa mereka serempak menghubungiku? Apa ini termasuk dalam rencana mereka untuk mengelabuiku? Pikirianku sudah dipenuhi dengan prasangka-prasangka negatif.
Kucari nama My Husband dalam daftar kontakku, lalu kupencet tulisan memanggil. Sambil kedua bola mataku tak henti-hentinya memandang ke arah sudut ruangan Restoran itu.
"Hallo, Sayang!" sapa Mas Heru lembut seperti biasa.
"Hallo, Mas. Kamu dimana? Makan siang di luar yuk, aku bosan nih." ucapku tanpa babibubebo lagi.
"Sayang, aku udah di luar nih makan sama Mami. Tadi kami telponin kamu kok ga diangkat-angkat sih ? Apa ketiduran sambil baca novel lagi?" tanya-nya yang tau aku memang sering sekali tertidur saat sedang asyik membaca novel.
"Oh, i-iya." jawabku bohong lagi.
"Ya udah, kamu dimana sekarang? Mau langsung ke sini aja atau gimana? Ini makanan kita juga baru nyampe kok." ucapnya tanpa ada rasa bersalah.
"Nggak usah deh, kalian lanjut aja. Aku makan sama Nia aja! Bye..." Jawabku lalu menutup panggilan telpon itu.
Aku melihat Mami kembali mengelus tangan Mas Heru di atas meja. Cih, mertua apa yang menggoda-goda menantunya di tempat umum seperti ini? Dan, Mas Heru hanya diam saja? Kenapa sepertinya Mas Heru menikmati sekali sentuhan-sentuhan dari Mami?
"Gimana?" tanya Nia padaku.
"Mas Heru ngaku kok, dia lagi di sini sama Mami. Malah tadi mereka memang menelponku, tapi tidak terangkat. Mas Heru malah menyuruhku menyusul," jawabku ketus, bukan pada Nia. Tapi karena masih kesal melihat Mami dan Mas Heru yang semakin intim di pojok sana.
"Jadi gimana, Beb? Apa kita ganti tempat makan aja?" tanya Nia padaku lagi.
"Yuk, aku udah ga nafsu makan di sini," ketusku. Tapi belum sempat kami berjalan, sebuah ide tiba-tiba muncul di benakku.
"Beb, gimana kalau kita gabung sama mereka? Aku mau lihat, gimana reaksi mereka saat kita gabung. Trus, aku akan berusaha bersikap sangat manis pada Mas Heru. Kita akan lihat, apa mereka akan merasa canggung atau tidak," ucapku pada Nia.
"Boleh juga tuh dicoba, jadi kita kesana nih?" tanya Nia meyakinkanku lagi, dan langsung kujawab dengan anggukan sempurna.
Kami berjalan ke meja tempat Mami dan Mas Heru sedang makan sambil suap-suapan. Persis seperti orang yang sedang berkencan. Jika diperhatikan, wajah Mami dan wajahku memang tak jauh berbeda. Meski sudah berusia empat puluhan, Mami masih cantik dan awet muda. Selain karena perawatan, Mami juga pernah melakukan beberapa operasi plastik pada bagian-bagian tertentu pada wajahnya.
"Ehem... Mesra banget mertua dan mantu, makan suap-suapan?" tanyaku diiringi deheman yang sengaja kuperjelas nadanya.
"My Sweety..." sapa Mami merentangkan tangan dan berdiri, bersiap ingin memelukku. Tapi terhenti saat aku memberikan isyarat stop menggunakan telapak tanganku.
"Sa-Sayang... Tadi katanya nggak mau ke sini?" Mas Heru terlihat sangat gugup dan berdiri dari kursinya. Memberikanku sebuah pelukan hangat. Tampak Mami membuang muka kesalnya melihat Mas Heru memeluk dan menciumku.
'Harusnya aku yang kesal, kenapa malah Mami yang terlihat seperti istri terdzholimi?' ucapku dalam hati, melihat tingkah Mami yang tidak pada tempatnya.
"Oh, itu.. aku tiba-tiba berubah pikiran. Kebetulan aku dan Nia lewat dekat-dekat sini, jadi kami mampir," jawabku dengan senyuman mengambang.
"Hai, Mas... Hallo, Tante..." sapa Nia satu persatu pada Mas Heru dan Mami.
"Hallo, girl. You so beuatifull." puji Mami pada Nia. Membuat yang dipuji merasa ingin terbang ke langit, tapi sayang ada genteng restoran ini. Pasti nggak nyampelah ke langit.
"Thank's so much, Madam. Ur so beautifull too," jawab Nia yang memang pandai menyenangkan mak lampir ini.
"Ayo-ayo.. silahkan duduk, aku pesanin kalian makan ya," ucap Mas Heru menawarkan.
"Nggak usah, Mas. Sepertinya pesanan kami sudah datang lebih cepat!" jawabku saat melihat seorang pramusaji datang ke meja yang tadi kami duduki. Membawa beberapa piring makanan di tangannya.
Aku menepukkan kedua tanganku, membuat pramusaji yang kebingungan karena meja itu kosong segera melihat dan tersenyum lega. Dua orang pramusaji berjalan ke arah kami.
"Mba, kami makan di meja ini aja. Kebetulan saya bertemu dengan suami saya di sini. Jadi kami memutukan untuk makan satu meja," ucapku pada salah seorang pramusaji.
"Baik, Nyonya. Kami akan menghidangkan semuanya di sini kalau begitu," balasnya sopan dan ramah.
"Terima kasih." sahutku, lalu duduk di samping mas Heru.
Nia duduk di samping Mami. Nia sangat pandai memainkan situasi. Dia berusaha keras membuat Mami bosan dan tak banyak mengangguku berbicara dengan Mas Heru. Bahkan setiap kali Mami ingin mengatakan sesuatu pada Mas Heru, Nia lebih dulu menanyakan hal lain pada Mami.
Dengan wajah kesal, akhirnya Mami makan dengan menusuk-nusuk garpu pada steak-nya. Dia hanya memutar-mutar spagheti di piringnya satu lagi.
"Mami, kenapa nggak dimakan? Sayang banget lo, itu makanannya masih banyak," tegurku, saat melihat Mami yang bersiap menutup makan siangnya dengan menelungkupkan sendok dan garpu.
"Its Oke, Sweety. Mami kenyang," jawabnya dengan enggan.
"Oh iya, Mas. Kamu tadi pagi meeting dimana?" tanyaku dengan mengalihkan pandangan pada Mas Heru.
"Oo... I-itu, di apartemen klien. Tiba-tiba dia sakit perut dan nggak bisa datang ke tempat yang udah di jadwalkan. Jadi, Mas datangi saja apartemennya. Kenapa, Sayang?"
"Nggak apa-apa sih, cuma aku tadi liat, kok kayaknya meja dan background di foto itu mirip sama yang di apartemen Mami?"
"Ah, masa sih, Sayang? Perasaan kamu aja kali,"
"Tapi aku liat juga foto di I* Mami, sama kok."
"Honey, apartemen Mami itu kan belum di renov sejak kalian belikan. Mungkin saja masih sama dengan isi apartemen lainnya," Mami membantu Mas Heru mencari alasan.
"Nah, benar juga tuh, Sayang."
"Oo... Gitu ya. Jadi, kenapa kalian bisa makan siang bareng di sini?"
"Tadi, kami ketemu di jalan..."
"Heru ngajakin Mami..."
Mas Heru dan Mami serempak saling menjawab, namun sayangnya jawaban mereka tidak sama.
"Ehem, jadi mana nih yang jujur dan mana yang bohong? Atau jangan-jangan keduanya bohong ya?" tanya Nia dengan wajah datar dan masih sibuk dengan ponselnya.
Aku memandang Mami dan Mas Heru bergantian. Tapi Mami malah dengan sengaja tersenyum genit pada Mas Heru dan mengambil tas jinjingnya. Berdiri dari duduknya untuk bersiap pergi.
"Tanya aja ya, Sayang, sama suamimu yang perkasa itu," ucap Mami dan berjalan melawati Nia, kemudian saat melewati Mas Heru, dia masih menyempatkan jari jahilnya itu membelai wajah suamiku.
Terima ksih tak terhingga aku ucapkan pada semua pembaca setia karya-karyaku di Good Novel. Baik itu yang membaca dengan koin gratis dan harus sedikit berjuang + bersabar agar bisa membaca kelanjutan bab nya, maupun yang bela-belain top up koin demi bisa buka bab bergembok. Selama ini aku selalu mengatakan terima kasih untuk pembaca royalku, itu bukan sekedar untuk pembaca yang buka bab dengan koin hasil top up. Tapi kata-kata itu juga aku tujukan pada pembaca pejuang koin gratis dan untuk semua yang sudah royal meluangkan waktunya untuk membaca hasil ketikan jari jemariku ini. Aku mohon jangan ada lagi yang salah paham dan berkecil hati. Siapa pun kalian, dimana pun kalian berada, meski hanya buka bab pertama dari novelku saja, aku sudah mencintai kalian. Sayang sekali novel ini sudah harus tamat. Tapi, terus dukung dan baca karyaku yang lainnya, ya. Semoga aku secepatnya bisa menambah daftar karya terkontrakku lagi di Good Novel. Sekali
Pov AuthorWaktu begitu cepat berlalu, dan saat ini di dalam ruangan bersalin Winda sedang berjuang untuk melahirkan anak keduanya. Winda baru masuk sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat ia melahirkan anak pertamanya dulu. Anak kedua ini lebih di permudah prosesnya. Winda ditemani oleh Hanan di dalam ruangan. Sementara itu, di luar sudah menunggu Mami Mery, Diana, Cantika, Jason, Nia, dan juga Ferdi. Anak mereka titipkan pada orang tua Ferdi."Oma, apa Bunda baik-baik aja?" tanya Cantika sambil memeluk Mami Mery."Iya, Sayang. Bunda baik-baik aja kok di dalam. Itu Bundanya kan sedang berjuang ngelahirin dedek bayi. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Bunda dan dedek bayi sehat dan selamat," jawab Mami Mery sambil menciumi putri semata wayangnya. "Oma dan Om Jason kok ga punya adek bayi kayak Bunda? Itu, Tante Nia sama Om Ferdi juga mau punya bayi lagi." Cantika yang lucu dan menggemaskan berkata dengan polosnya."Sayang, Oma udah tua
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Hanan dan Cantika. Hanya menu sederhana saja hari ini yang bisa aku buat, karena ternyata stok di kulkas tidak mencukupi lagi untuk membuat bubur ayam favorite Mas Hanan dan Cantika. Jadilah pagi ini aku hanya membuat nasi goreng spesial ala-ala cheff rumahan. Di rumahku sudah ada seorang asisten rumah tangga yang mulai bekerja seminggu yang lalu. Dia adalah ibu-ibu yang aku temui sedang mendorong gerobak menjajakan pisang yang ternyata juga punya orang lain. Hanya demi bisa membeli beras hari itu, ia rela berpanas-panasan berkeliling menjualkan pisang milik tetangganya. Menurut ibu itu, jika laki 1 sisir, maka ia akan mendapat 5 ribu rupiah sebagai untungnya. Sementara sejak pagi, baru laku 2 sisir. Untuk membeli sekilo beras saja belum cukup. Apalagi membeli telor sebagai lauknya makan. Di rumah ada dua orang anaknya yang sedang menunggu dengan perut lapar karena sudah sejak semalam belum makan nasi. Ha
Setelah petugas keamanan komplek datang, wanita itu segera dibawa bersama dengan seorang Dokter wanita. Mungkin karena tadi Mas Hanan mengatakan ia sedang dalam keadaan hamil besar, jadi untuk berjaga-jaga mereka juga membawa seorang Dokter. Dan ternyata itu juga sangat membantu. Wanita itu mengamuk awalnya karena bersikeras tak ingin pergi dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya yang benama Jaka itu.Jalan terakhir yang dipilih Dokter adalah memberikannya suntik penenang. Dan setelah menunggu selama lima menit, akhirnya dia benar-benar tenang dan akhirnya tertidur. Mereka semua membawa wanita itu untuk ditangani oleh ahli kejiwaan dan akan mencari tau tentang informasi keluarganya.Sampai saat aku dan Mas Hanan sudah berada di dalam kamar, kami masih saja heran dengan bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumah kami dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya.Aku bahkan sempat membaca secarik kertas yang dia lemparkan pada Mas Hanan saat baru datang itu. Itu adalah surat d
Aku sangat terkejut dengan kedatangan wanita hamil yang tiba-tiba saja marah dengan melempar kertas pada suamiku itu. Entah apa maksudnya. Mas Hanan juga terlihat sangat heran. Kemudian dia berjalan lebih dekat pada Mas Hanan. Seketika itu juga, wanita hamil itu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Dia memeluk Mas Hanan dengan sangat erat.Mas Hanan tampak semakin bingung dan berusaha menjauhkan wanita itu dari tubuhnya. Tapi, pelukannya terlihat semakin erat. Aku yakin Mas Hanan sangat takut berbuat kasar karena kondisi wanita itu yang sedang hamil besar."Mas, tega sekali kamu ninggalin aku demi perempuan ini? Apa kurangnya aku, Mas? Lihat ini, Mas. Aku juga bisa hamil, Mas. Aku bisa seperti dia. Tinggalin dia, Mas. Kembali padaku. Ini anak kita. Dia akan segera lahir ke dunia ini, Mas," ucap wanita itu dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan.Sementara aku? Aku yang tadinya sudah berdiri, lantas kembali terduduk di atas kursi yang untungnya sangat lembut itu. Tubuh
Kebahagiaan yang Tuhan berikan seakan tak pernah ada habisnya. Kehamilan keduaku yang awalnya membuatku agak susah makan dan beraktifitas karena mabuk berat, ternyata hanya berlaku 2 bulan saja. Setelah kehamilan memasuki 7 bulan, semua orang sudah sangat tidak sabar menantikannya lahir. Terlebih lagi, saat aku memberitahukan hasil USG tentang bayi yang ada dalam kandunganku ini berjenis kelamin laki-laki. Itulah yang membuat semua orang sangat senang dan tidak sabar menantikan kehadirannya. Malam ini, di rumahku sedang diadakan acara do'a tujuh bulanan. Sangat banyak tamu yang datang. Hampir semua orang yang aku undang, menampakkan batang hidungnya malam ini di kediamanku yang sudah semakin besar karena Mas Hanan bersikeras merenovasinya beberapa bulan yang lalu. "Selamat ya, Win," ucap Nia, sahabatku yang paling aku sayangi dan selalu ada untukku dalam kondisi apapun. "Makasih ya, Beb. Kamu juga, bentar lagi mau nujuh bulanan kan?" jawabku dan kami saling berpe