"Apakah mungkin saya bisa bertahan dirumah ini dengan segala perlakuan yang sangat tidak pantas?" bisik Quen kepada dirinya.Kedudukannya di rumah The Barclay tidak berubah sama sekali. Ia tetap dianggap sebagai pembantu. Meskipun ia telah melakukan banyak hal namun, tetap saja tidak ada harganya dimata suaminya."Bagaimana manapun saya harus mulai mengubah diri saya. Mencintai diri sendiri lebih baik," ucap Quen lagi.Ia menyelinap keluar rumah untuk ke toko bunga milik Lyden. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung kesana. Quen merasa sangat rindu dengan Lyden."Quen!" pekik Lyden yang melihat Quen dari menuju ke arahnya.Quen langsung memeluk Lyden. Tidak ada kata-kata yang mampu ia ucapkan. Melihat mata Lyden saja sudah berhasil membuatnya menjatuhkan bulir-bulir hangat."Are you okay, Honey? Apakah si nenek durjana itu masih memperlakukanmu tidak pantas?" Lyden menggandeng Quen untuk masuk ke dalam toko. "Tidak ... tapi ... Edward menikah lagi dengan putri dari salah satu investorn
"Bagaimana dengan proposal penawaran dari saya? Apakah kami tertarik mendanai fashion show yang akan saya adakan, Vinn?" Edward mengundang Vinn untuk bertemu di kafe dekat dengan butiknya."Saya akan mempelajari kembali proposal yang kamu tawarkan. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Saya sangat tertarik bagaimana kamu bisa membangun butik sebesar ini sekarang?" Vinn mengambil proposal kerjasama yang diberikan kepadanya.Vinn dan Edward adalah sahabat lama yang cukup dekat. Mereka saling mengenal sejak sekolah menengah atas. Edward adalah orang yang paling tulus berteman dengan Vinn. Ia tidak pernah peduli dengan seberapa banyak uang yang dimiliki Vinn.Edward tertawa mendengar pertanyaan Vinn. "Apakah kamu pernah melihat seorang wanita lusuh ketika datang ke rumah saya?" Vinn hanya mengangguk. Ia hanya melihat seorang wanita lusuh yaitu pembantu dari keluarga Barclay."Ini rahasia antara kita berdua, dia adalah desainer yang sebenarnya. Kamu pasti masih ingat dengan baik bagaimana
"Bagaimana? Sudahkah kamu mendapatkan informasi mengenai wanita yang berada di rumah Edward?" tanya Vinn kepada seorang yang dengan setia berdiri disampingnya."Tuan, saya mohon maaf. Tidak banyak informasi yang saya dapatkan soal wanita tersebut. Dia seperti bukan orang sembarangan." Lelaki itu bernama Marcho Adolyn; tangan kanan sekaligus sekretaris pribadi Vinn.Ia menyerahkan berkas yang ia dapatkan mengenai wanita yang membuat boss sekaligus sahabatnya itu tertarik. Banyak pertanyaan timbul dalam benaknya. Selama ia mengenal Vinn tidak pernah sama sekali ada ketertarikan terhadap seorang wanita."Tuan, saya mohon maaf sebelumnya. Jika boleh saya tahu kenapa tuan sangat ingin mengetahui tentang wanita ini?" tanya Marcho dengan ragu."Apakah kamu ingat ketika nenek sakit, beliau menceritakan tentang seorang wanita yang sangat baik kepadanya. Iya, dia adalah Quen," terang Vinn. Hanya sedikit informasi yang didapat soal Quen. Bahkan, Marcho sudah mencari tahu dan rela membayar berap
"Quen! Cepatlah! Apakah kamu tuli?" Edward mulai kehilangan kesabarannya. Ia menatap tajam Quen yang berlari kecil ke arahnya."Apakah kamu ingin balas dendam dengan saya? Tidakkah kamu takut jika saya membongkar kebusukan dari keluargamu?" Jeanne membelalakan matanya dengan lebar mendengar pernyataan Edward.Quen hanya terdiam dan perlahan menundukkan kepalanya. Ia begitu ingin untuk mengungkapkan kebenaran tentang keluarga Barclay namun, belum saatnya untuk mebongkar semua. Ia harus lebih bersabar dan mengumpulkan semuanya."Lihatlah! Diam berarti mengakui kesalahannya. Beri saja hukuman untuk wanita yang tidak bisa menjaga kehormatan ini." Jeanne melirik sinis Quen. "Sudahlah, Sayang. Tidak baik jika kamu marah-marah. Mari ke kamar beristirahat. Jangan rusak hari bahagia kita karna ulah pengecut ini." Edward mengulurkan tangan kepada Jeanne. "Kali ini, kamu selamat!" bentaknya.Berenice yang sedari tadi hanya memandangi kejadian itu bergegas menuju kamarnya. Setelah Edward menikah
"Bagaimana kabar anda, Nyonya Berenice? Sudah cukup lama tidak bertemu," ucap Fredhor ketika melihat Berenice menghampirinya."Sangat Baik, Tuan. Terima kasih telah memenuhi permintaan saya untuk bertemu." Berenice menggeser kursi yang tidak jauh dari kursi Fredhor.Berenice masih merasa cemas dengan kejadian yang diluar rencananya. Bagaimana pun hari ini harus segera diselesaikan."Baik, Tuan. Langsung saja. Seperti yang semalam sudah saya sampaikan di telepon terkait kehamilan Jeanne. Saya rasa ini sangat berbahaya, mengingat pernikahan ini hanya untuk memperkuat hubungan perusahaan Tuan dan saya. Adakah kiranya jalan keluar yang tepat untuk hal ini?" lanjut Berenice."Nyonya, tidak perlu terburu-buru. Pesanlah minuman terlebih dahulu. Kita bisa membicarakan hal ini pelan-pelan." Fredhor memanggil pelayan kafe dan memesan dua cocktail.Wanita dengan gaun merah itu hanya mengangguk. Ia tidak mau terlihat begitu serakah soal perusahaan. Ia perlahan menarik napas dalam dan menghembuska
"Saya harus mencari cara untuk membungkam Quen. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mumpung tidak ada siapa-siapa dirumah, alangkah baiknya saya mengobrol dengannya." Jeanne merasa gusar karena Quen tahu bahwa ia telah berkhianat dengan suaminya.Ia berjalan perlahan menuju ruang kerja Quen. Bukankah ini waktu yang sangat tepat. Ibu mertuanya pergi karna ada urusan, seperti biasa suaminya juga pergi untuk bekerja. Ia dilarang untuk ikut bekerja untuk menjaga bayi dalam kandungannya.Jeanne membuka pintu perlahan. Namun, ia tidak menemukan siapa-siapa diruang kerja itu. Jeanne berjalan menuju dapur. Terlihat Quen sedang sibuk membuat adonan kue."Quen, disini kamu rupanya. Ada hal yang perlu kita bicarakan. Sebagai sesama wanita saya hanya ingin kamu mendukung saya." Ia menggeser tempat duduk tepat, mendudukan dirinya tepat di depan Quen.Sangat terlihat jelas, Quen sama sekali tidak tertarik dengan perkataan istri keduanya suaminya tersebut. Jeanne atau Berenice menurutnya sama saja
"Ternyata benar kata Mama, jika saja saya dulu mengikuti apakata mereka tentunya, tidak akan seperti sekarang," gumam Quen.Ia termenung mengingat pertengkarannya dengan orang tuanya. Beberapa tahun sebelumnya ketika ia berniat meminta restu. Orang tuanya sama sekali tidak mengizinkan untuk menikahi Edward. Banyak alasan tidak masuk akal menurut Quen yang dikemukakan."Tapi, Pa. Saya mencintainya, saya yakin dia bisa bertanggung jawab terhadap kehidupan yang akan kami jalani." Quen berusaha meyakinkan papanya ketika hendak memutuskan menikah dengan Edward."Keluarganya bukan keluarga yang baik. Kenapa kamu begitu keras kepala dan tidak mau mendengarkan Papa?!" Nada suara meninggi dari lelaki dengan rambut yang telah memutih semua. "Kamu belum kenal siapa orang tua lelaki itu dan dengan yakin memutuskan menikah? Apakah kamu sudah gila?!""Tapi, Pa ... dia tulus mencintai saya, tanpa memandang latar belakang keluarga ..."Lelaki itu memotong perkataan Quen yang masih berusaha menyakinka
"Quen! Dimana dirimu?!" Suara serak mengisi seluruh ruangan. Mendengar namanya disebut, Quen tergopoh berlari. Baru saja ia selesai memanggang kue terakhirnya. Ada saja yang mencarinya."Ada apa? Kenapa kamu seperti terburu-buru?" tanya Quen kepada Edward yang sedang terduduk di sofa ruang tamu."Kamu tahu? Kania, si artis besar itu meminta saya membuatkan gaun untuk acara Met Gala tahun ini. Apakah kamu bisa membantu saya sekali ini? Kamu akan dikenal sebagai perancang busana terbaik jika bersedia merancang kali ini. Tidakkah itu bagus untuk dirimu kedepannya? Bayangkan, kamu berjalan dipanggung megah diikuti oleh model-model yang memperagakan gaun-gaun indah yang kamu buat. Bukankah itu mimpimu selama ini?"Quen menelan ludahnya membayangkan betapa sangat inginnya ia menjadi perancang busana yang hebat. Ia kembali memikirkan perkataan Edward soal rancangan untuk si artis. Namun, ada rasa takut jika Edward kembali mengakui karyanya adalah rancangan milik pribadinya."Apa tema untuk M