Happy reading & don't forget to support this book. I'll appreciate it. Thanks Kenalin, Naura Putri bungsu Dr Neng Mas yang koplak. Pendekar silat #novel Dinodai Sebelum Malam Pertama
Andini berdiri di depan pintu rumah masa kecilnya. Ia baru saja turun dari taksi online, dengan perban masih membungkus tangan kirinya. Rambutnya dikepang longgar, wajahnya tegas — tapi sorot matanya menyimpan rindu dan luka.Ia harus cari tahu tentang barang peninggalan ibunya. Terutama buku resep obat ibunya yang mendadak hilang. Ia membawa tas selempang kecil. Dalamnya hanya ada dokumen warisan, dan satu daftar barang-barang yang dulu pernah ia simpan, diari ibunya, kotak kayu berukir, dan surat-surat pribadi.Andini menyelipkan kunci cadangan. Pintu berderit saat dibuka.Siang itu biasanya ayahnya pergi kerja sedangkan ibu tirinya biasanya pergi keluar. Siska tidak pernah betah tinggal di rumah. Biasanya ia ikut nongkrong dengan teman sosialitanya. Tapi belum lima menit ia masuk…BRAK!Pintu dibanting dari dalam kamar.Siska berdiri di sana—masih dengan gaun rumah bermotif bunga besar, wajahnya penuh amarah, tangan bertolak pinggang. Tumben nenek sihir masih ada di rumah. “Ng
Andini duduk diam di dapur setelah Dewa menyuapinya makan. Tangannya yang diperban masih terasa perih, tapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih perih.Ia hanya ingin mengambil air mineral. Tapi saat membuka lemari pendingin, amplop cokelat itu muncul seolah memang sedang menantinya.Terpampang jelas, “LAPORAN INVESTIGASI – Subjek: Andini Anindya Raharja”Matanya membelalak. Sekilas terbaca logo agensi detektif swasta.Apa maksud semua ini?Jantung Andini berdebar—tapi ia tidak membuka amplopnya. Ia buru-buru menyelipkannya kembali ke tempat semula.Langkah kaki Dewa terdengar dari arah ruang tengah.“Andin, kamu ngapain?”Dewa mendekat, langsung merebut botol dari tangan kanan Andini yang kini tremor tak karuan.“Cuma... mau minum,” jawab Andini pelan. Jujur, dadanya sesak. Dewa menatapnya dengan senyum kecil yang nyaris membuat Andini lupa bahwa semua ini hanya pernikahan kontrak.Seharusnya cuma pura-pura, bukan?Tapi kini Dewa begitu perhatian.Dewa bahkan memegangi botol itu dan
Di Rumah SakitAndini duduk di ranjang pemeriksaan, tangannya kini sudah diperban rapi oleh dokter. Ia berusaha tersenyum kecil, meskipun rasa nyeri masih jelas di wajahnya.“Makasih… udah buru-buru bawa aku ke sini…”Dewa duduk di sisi ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Jangan senyum kayak gitu. Aku marah.”“Sama aku?” gumam Andini dengan polosnya. Menunjuk dirinya sendiri.“Nggak. Sama mereka. Sama diriku sendiri… karena nggak ngejaga kamu baik-baik.”Ia meraih tangan satunya yang tak terluka, menggenggamnya erat.“Mulai sekarang, aku nggak akan biarkan kamu sendiri lagi. Bahkan kalau kamu pergi beli odol.”Andini nyaris tertawa, tapi menahan karena perih di pipinya.“Om Dewa, kamu lebay.”Dewa menatap tajam Andini. Seketika Andini merasa kata-kata Dewa serius sekali. Mengapa ia bersikap begitu protektif padanya?“Aku serius. Dan kamu harus janji satu hal.”Jantung Andini berdegup tak karuan. “Apa?”“Kalau ada apa-apa… sekecil apa pun itu… kamu harus ngomong sama aku. Termasuk soal m
Andini memelotot. “Apaan?”Dewa menatap Andini dengan tatapan lembutnya. “Naik. Gendong. Cepat.”“Eugh?” Andini panik lalu menolak dengan halus. “Aku berat.”“Beratnya cuma di mulut. Sini naik.” Dewa keras kepala. Tidak bisa ditolak. Sial, pesonanya memang dominan Alfa. Andini selalu menciut berhadapan dengannya. Andini mau menolak, tapi tubuhnya memang sudah terlalu lelah. Dengan ragu-ragu, ia naik ke punggung Dewa. Dan Dewa langsung berdiri tegak, menggendongnya dengan tenang seperti membawa balita… padahal ini istrinya sendiri yang sedang ngambek.“Om sudah gila,” gumam Andini di bahunya.“Ya, aku emang gila,” balas Dewa santai, berjalan santai di tengah keramaian Car Free Day sambil membawa Andini di punggung.Orang-orang mulai melirik dan senyum-senyum. Beberapa remaja bahkan terdengar berbisik.“Eh, romantis banget ya cowok itu—duh, pacarku mah suruh lari aja kagak mau.”Andini merona. Wajahnya tertutup hoodie, tapi kupingnya mulai panas.“Turunin… ini malu-maluin…” bisik Andin
Andini membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Tasnya nyaris jatuh dari bahu, dan wajahnya yang biasanya cerah tampak kusut masai. Dewa yang sedang rebahan di sofa langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka.“Andin? Kamu baru pulang?”Andini hanya menjawab dengan gumaman lirih. Ia menutup pintu, menaruh tas, lalu berjalan seperti zombie ke arah dapur. Tapi yang ia lakukan hanya membuka lemari pendingin, menatap kosong isinya, lalu menutup kembali.Dewa menyipitkan mata. “Kamu kerasukan siapa, Andin? Kok kayak mayat hidup gitu sih?”Andini bergumam pelan, “Aku capek Om…”Dewa berdiri dan mendekatinya. “Capek kenapa? Tadi katanya cuma ketemu temen. Tapi sekarang mukamu kayak abis kuli panggul.”Andini merosot ke lantai, bersandar di dinding dekat kulkas. “Aku tadi ke rumah sakit. Ketemu Naura.”“Biasanya kalau udah ketemu Naura kamu happy.”Mata Dewa tak lepas dari wajah lesu Andini. Andini tersenyum lemah, tapi tak menatapnya. Di balik wajah manis itu, pikirannya berk
Sebelum Andini sempat bertanya ‘ini apaan maksudnya’, Dewa sudah menundukkan wajahnya. Sangat dekat. Sangat. Jaraknya tinggal beberapa sentimeter dari bibir Andini.Andini menegang. Matanya membelalak. Tangannya panik mencari pegangan, dan…“Krek!”Tangan Andini menyenggol meja kecil tempat minuman herbal diletakkan. Cangkir yang belum sepenuhnya kosong itu terjatuh—pecah menghantam lantai balkon. Pecahannya muncrat ke mana-mana.“Ough!” Andini spontan menunduk, refleks ingin meraih pecahan. Tapi satu beling tajam menyayat jari telunjuknya.Darah langsung mengalir. Tidak banyak, tapi cukup membuat wajah Andini panik.“Duh, sial... aku—”Belum sempat dia menarik tangannya lebih jauh, Dewa sudah lebih dulu memegang pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas.“Diam. Jangan gerak,” ucapnya pelan tapi tegas.Andini menatap Dewa yang kini membungkuk sedikit, membawa tangan gadis itu mendekat ke wajahnya.“Om… aku bisa bersihin sendiri—”Tapi Dewa sudah lebih dulu menatapnya tajam. “Beri