Dalam perjalanan pulang, Vina akhirnya sibuk memeriksa perlengkapan syuting, promosi dan tour Dylan. Ia bisa bekerja tenang di mobil karena Dylan dan Clara sedang sibuk berbincang.Saat Vina masih menatap ponselnya, ia membaca satu notifikasi pesan yang masuk. Sebuah nomer brand bisnis terkenal. Vina segera membukanya.“Ini aku, Emil. Tolong simpan nomer pribadiku, ya. Jadi, aku tidak akan menghubungimu melalui telepon kantor lagi.”Tak lama kemudian, terdengar notifikasi lain. Emil mengirim nomer teleponnya.Vina segera membalas, “Oke.”Belakangan saat meeting selesai, Vina baru tau kalau lelaki yang mendekatinya adalah Emillio Sebastian. Putra seorang pendiri brand kenamaan dunia.Emil tadi hadir karena Dylan memang merupakan salah satu brand ambassador produk butik mereka. Lelaki itu mengakui efek promosi Dylan yang sangat menguntungkan bagi perusahaan mereka.Vina membuka chat lain yang baru masuk. Nomer pribadi Emil.“Paling lambat besok, aku akan kirim beberapa pakaian sebagai c
Vina dan Clara benar-benar ikut Dylan syuting keesokan hatinya. Jika Dylan bersemangat, tidak dengan Vina.Beberapa kali Vina berusaha merapikan riasan wajah dan tampak tidak nyaman dengan pakaiannya, terutama bagian dada dan perut.Tetapi dua anggota tubuh itu jelas tidak dapat ditutupi. Meskipun Vina sudah mencoba berbagai trik fashion."Mommy rambutnya cantik sekali." Clara menatap sang mommy yang memang sedang merapikan rambutnya sebelum mereka sampai di tujuan."Rambut Clara juga bagus.""Tapi nggak sebagus rambut mommy.""Nanti semakin lama rambut Clara semakin lebat dan tambah indah." Vina membelai rambut putrinya."Iya benar. Rambut mommy dan Clara dua-duanya bagus." Dylan turut berkomentar.Clara lalu mengamati rambut Dylan lalu rambut Vina. Anak perempuan itu tampak berpikir dan mengangguk-angguk."Rambut Ara itu warnanya kaya rambut mommy tapi keriting kaya daddy, ya?""Bukan keriting. Ikal.""Bedanya apa, Mommy?""Kalau ikal, gelombangnya lebih besar. Seperti rambut Clara.
Dylan menepati janji untuk bicara dengan Clara pada esok paginya. Bahkan, Dylan masuk ke kamar sang putri kala Clara belum bangun.Perlahan, Dylan naik ke ranjang dan duduk di samping Clara. Matanya menatap sosok anak kecil yang berselimut merah muda.Kalau diamati, semakin lama, Clara semakin mirip Vina. Apalagi seperti kemarin saat marah, wajah ketusnya benar-benar cerminan Vina yang sedang kesal.“Selamat pagi, Clara sayang.” Dylan menyapa sang putri yang baru membuka mata.Meski baru saja terbangun, Clara langsung sadar bahwa ia masih marah pada sosok di depan matanya kini. Clara membalik tubuhnya dan menarik sselimut kembali.“Kan ... persis Vina kelakuannya.” Dylan membatin sambil menggeleng pelan.“Clara sayang.” Dylan memegang bahu Clara dan bergeser mendekat. “Maaf, daddy semalam marah sama Clara, ya.”Clara tidak menjawab, tetapi Dylan melihat kepala sang putri mengangguk. Lalu terdengar isak tangis pelan membuat Dylan segera memeluk Clara.“Clara maafin daddy, kan?”“Tapi,
Saat kembali ke rumah, Dylan mengerutkan kening melihat Clara berada di kamar utama. Anak perempuan itu langsung pergi tanpa menyapa sang daddy dengan wajah memberengut.“Clara kenapa?”“Marah sama kamu.”“Marah kenapa?”Vina menjelaskan apa yang membuat putri mereka kesal. Berharap Dylan pengertian dan mau mencoba menenangkan Clara yang salah sangka.Namun, Dylan malah tergelak. Lelaki itu masuk ke kamar mandi sambil berkata santai. “Ada-ada aja Clara itu, ya.”Vina mencebik menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Ada-ada saja gimana? Ia sendiri juga merasakan apa yang Clara keluhkan kok.Keluar dari kamar mandi, Vina langsung mengajak Dylan makan malam. Dylan mengikuti sang istri ke ruang makan.“Tapi, aku temani kalian saja, ya. Aku sudah makan banyak dengan tim syuting sebelum pulang.”“Ooh.”Percuma saja rasanya Vina masak bersama chef sore tadi. Ternyata Dylan sudah makan di tempat lain.Di ruang makan, Clara sudah duduk manis di meja makan sambil makan potongan buah segar. Ana
Vina sangat senang bicara dengan Kelly. Mereka berjanji lagi untuk bertemu untuk ke klinik kecantikan.Saat sedang makan, ponsel Kelly bergetar. Wanita itu dengan antusias langsung mengangkat teleponnya.“Jasmine. Aku lagi di kafe.” Kelly memutar kamera ke sekeliling termasuk ke wajah Vina.Dengan senyum manis, Vina melambai pada kamera.“Wait. Itu seperti Chagiya deh, Kel.” Suara dari ponsel Kelly terdengar.“Memang Chagiya Vina. Istri Dylan.” Kelly terkekeh.“Waahhhh ... kamu berteman dengan Chagiya?”“Iya dong.”“Aku mau ketemuan nanti kalau ke rumahmu, ya.”“Tergantung Vina-nya mau apa nggak.”“Sialan! Kutu kupret, rese!”Kelly tergelak mendengar sahabatnya mengumpat. Vina mengerutkan dahi mendengar keduanya bicara. Hingga akhirnya Kelly selesai.“Maaf, itu sahabatku, Jasmine. Kami kalau bicara memang suka begitu. Saling mengumpat dan bercanda bebas.”Vina mengangguk mengerti. “Hanya kaget saja sahabatmu mengenalku.”“Dia lebih sering bermain media sosial. Malah dia jadi Goldies k
"Kamu tau suami-suami kita sedang main golf?" Kelly menelepon Vina beberapa jam setelah Dylan berangkat."Iya. Kenapa, Kel?""Nggak papa. Habis golf, Brandon mau ikut lihat Dylan syuting musik video?""Iya.""Dylan pake pelet apa sih supaya suamiku mau ikut?""Hah? Gimana?"Kelly mendengarkan celotehan tentang suaminya. Bagaimana Brandon jarang sekali pergi main golf bersama rekan-rekan sejawat. Ia juga tidak pernah sekalipun mau tau urusan syuting."Syuting itu kan banyak orang. Ngapain Brandon ikutan?""Hmm ... kata Dylan, Brandon mau lihat lokasi syuting sih tepatnya.""Iyaaa, tetap aja banyak orang. Aku kebayang sampe rumah, ia bakal masuk ke ruang pribadi dan gak keluar-keluar sampe dua hari.""Aduh! Aku nggak tau, Kel. Maaf ya.""Bukan salahmu, Vin. Aku hanya menyampaikan keheranan pada prilaku suamiku. Aku nggak nyalahin kamu." Kelly terkekeh.Vina mengembuskan napas lega. Awalnya ia sangat khawatir hubungan baiknya dengan Kelly rusak karena Brandon sangat ingin tau tentang kar