Dylan sampai berkonsultasi kembali pada psikolog tentang sindrom couvade yang dialaminya. Perlahan, ia mulai dapat lebih santai menghadapi kehamilan Vina.Seiring dirinya yang sudah tenang, gelaja mual pun berangsur hilang. Dylan memfokuskan pikirannya agar sehat dan kuat untuk menjaga keluarga.Tetapi, Vina justru sering menghindar. Ia merasa Dylan terlalu memanjakan dirinya hingga ia sulit bergerak.“Aku bisa sendiri, Dylan. Masa mandi saja dimandiin!” Vina merengut kala Dylan dengan keras kepala ikut menyabuni dirinya.“Aku takut kamu kepeleset di kamar mandi.”Mungkin ada benarnya. Tetapi, Vina tetap merasa kesal. Ia juga bingung pada perasaannya yang malah tidak ingin berdekatan dengan Dylan.Vina menghela napas lega saat ponsel Dylan berbunyi. Vina jadi bisa berpakaian sendiri, mengeringkan rambut dan mengenakan skincare tanpa dibantu Dylan.“Chagiya, aku harus rapat online.” Dylan berkata pelan. “Ada yang mau aku bantu lagi?”Cepat, Vina menggeleng. “Tidak. Pergilah. Aku mau me
Sampai bulan berikutnya, pola makan dan tidur Dylan masih berantakan. Seharian, Dylan bisa hanya minum jus buah kental dan keripik. Berat badannya sampai turun tiga kilogram.Sementara Vina malah naik dua kilogram. Dylan tersenyum senang saat sang istri dinyatakan sehat pada pemeriksaan rutin yang dilakukan suster.Setelah masuk ke ruang konsultasi Dokter Femmy, Vina diminta langsung naik ke ranjang. Clara langsung berdiri di samping Dokter Femmy dan memperhatikan dokter tersebut mempersiapkan alat untuk memeriksa perut Vina.“Ara mau lihat, dokter.”“Boleh.” Dengan santai, Dokter Femmy malah mengangkat Clara dan memangku anak perempuan cantik itu.Dokter menggerakkan alat pemindai di perut bagian bawah Vina. Setelah menemukan bulatan hitam, dokter memperbesar layar.“Itu adik Ara, ya?”“Iya. Nih, ukurannya sudah lebih besar. Pintar adik Ara.”Clara tersenyum sambil bertepuk tangan. Dokter masih memeriksa keadaan rahim Vina. Lalu, wajahnya terlihat tampak lebih serius.“Ada apa, dokte
Tentu saja berita kehamilan Vina viral. Mika memposting kebersamaannya bersama Vina, Dylan dan Linda yang sedang sarapan bersama.Mika menuliskan kalimat ‘Selamat untuk yang berbadan dua.’ Foto itu segera mendapat perhatian. Kubu terbagi dua antara Vina atau Linda yang sedang hamil.“Kenapa kamu tidak memberikan pengumuman resmi, Lano?” Linda bertanya pada adik iparnya.Dylan menoleh menatap Vina. “Terserah Vina. Kalau Vina oke, yaa... akan aku umumkan.”“Sebenarnya kabar bahagia itu harus disebarkan.” Mika pun memberi pendapat.“Disebarkan kok. Pada keluarga dan kerabat dekat saja. Menurutku, kebahagiaan kita belum tentu menjadi kabar baik bagi semua orang. Lagipula tanpa kabar resmi lama-kelamaan akan ketauan seiring perutku membesar.” Vina berkata dengan nada pelan.Mika menatap Vina, lalu mengelus lengan atasnya. “Kamu masih takut ada yang tidak suka karena kamu istri Lano, ya?”Vina memaksakan senyumnya. “Kalau itu, aku sudah pasrah kok.”“Ya ampun. Pasrah sama takdir menikah den
Esok paginya, Dylan bangun lebih dulu. Ia memeluk Vina yang semalaman memunggunginya.“Chagiya, mau sarapan?”Vina mendesah pelan mendengar bisikan di telinganya. Ia menunggu alarm ponselnya berbunyi dan tidak merespon pertanyaan Dylan.“Chagiya, semalam aku nggak bisa tidur. Rasanya masih mual sedikit. Jadi, aku cuma duduk bersandar saja.” Dylan bicara pada punggung Vina.“Sepertinya kebiasaan kita tertukar. Kamu jadi bisa tidur di mana saja. Persis seperti aku dulu. Tapi, nggak papa. Aku rela kok. Dari pada kamu yang menderita,” imbuh Dylan lagi.Sambil menunggu Vina bangun, Dylan meraih ponselnya. Satu tangannya sibuk membelai rambut Vina, sementara tangan lain menggulir media sosial.Semalam, Dylan melakukan live selama dua jam. Sebenarnya ia sangat ingin mengabari Goldies bahwa istrinya sedang hamil anak kedua. Tetapi, ia mengurungkan niat tersebut karena belum izin pada Vina.Dylan menoleh ke arah pintu saat terdengar ketukan. Ia mencium kepala Vina sebelum turun dari ranjang da
Dylan berlari ke kamar mandi. Vina mengikuti dengan langkah cepat. Begitu sampai di wastafel, Dylan muntah-muntah.Vina mengusap pelan punggung Dylan. Namun, Dylan menolak dan mendorong istrinya keluar.“Kamu jangan di sini, Chagiya. Bau muntah,” ucap Dylan.“Aku nggak papa.”Karena Vina dengan keras kepala tetap menemani, dengan cepat Dylan membilas wastafel dan menyemprotkan pewangi ruangan di dalam kamar mandi.Begitu keluar dari kamar mandi, Dylan berteriak kencang. “Juannn!”Tergopoh, Juan datang menghampiri. Lelaki kekar itu menunduk dan terlihat bingung karena sudah lama sekali Dylan tidak tampak marah-marah.“Ada apa, Tuan?”“Tahan chef. Periksa makanan dan minuman di meja. Aku keracunan.”Dengan kening berkerut dalam, Juan menundk dan berbalik badan. Vina yang melihat menggeleng samar lalu mencoba menenangkan Dylan.“Tidak mungkin chef meracuni makanan dan minuman, sayang. Jangan asal menuduh. Tidak baik.” Vina meminta Dylan duduk santai.“Aku muntah-muntah pasti karena ada s
Dokter Femmy mengangguk-angguk sembari menggerakkan sebuah alat di perut bagian bawah Vina. Clara yang berada di pangkuan Dylan ikut menatap layar di samping mereka.“Mana adik Ara, dokter?” Clara memicingkan mata pada layar.“Ini.” Dokter menunjuk satu bulatan di layar. “Masih sangat kecil jadi belum terlihat bentuh tubuhnya.”Clara turun dari pangkuan Dylan dan menghampiri layar lalu menggeleng. “Masa itu adik Ara?”“Iya. Masih keciil.” Dokter Femmy mengelus kepala Clara lalu menoleh pada Vina dan Dylan. “Selamat. Bayi kedua kalian untuk saat ini aman.”Dokter Femmy mencuci tangan lalu mengetik berbagai catatan pada komputer di mejanya. Ia membiarkan Vina, Dylan dan Clara berbincang di samping layar USG.Dylan yang paling tidak bisa mengalihkan tatapannya pada layar. Clara yang mulai bosan beralih ke meja dokter dan banyak bertanya tentang gambar-gambar yang dipajang di dinding ruangan tersebut.Vina menyentuh lengan Dylan. “Sudah, yuk. Kamu kan dapat print USG itu.”Dylan menatap k