Share

6. Setengah Bumi Mengenalnya

Author: ReyNotes
last update Last Updated: 2025-03-26 15:00:06

Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah.

"Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.

Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."

Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.

Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.

Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.

Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.

Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.

“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.

“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap malam.” Wajah Clara memberengut.

“Iya, maaf. Mommy nggak sempat, Sayang. Mommy janji nanti bawa banyak oleh-oleh.”

“Dan uang yang banyak untuk beli piano?”

Vina terkekeh dan mengangguk. “Iya, semoga tabungannya cukup, ya.”

Clara terdiam. Di layar, Vina melihat putrinya dibisiki sesuatu oleh Rere.

“Auntie Rere bilang apa, Ra?”

“Kata Auntie, nanti Mommy pulangnya juga harus bawa Daddy.”

Vina hanya dapat menggeleng samar. Rere memang biang kerok jika menyangkut urusan ayah kandung Clara. Sejak Vina hamil hingga sekarang, rasa penasaran adiknya itu tidak pernah hilang.

Selesai berdandan, Vina berkata sudah saatnya pergi, lalu segera memutuskan sambungan video call. Vina keluar dan tersentak kaget karena Dylan berdiri di depannya.

“Teleponan sama siapa?” Satu alis Dylan naik, menunggu jawaban.

“Adikku.” Vina segera berjalan melewati Dylan.

“Siapa nama adikmu?”

Buat apa sih dia nanya-nanya? Vina memilih tidak menjawab dan mondar-mandir mengemasi koper. Tapi, tangannya dicekal Dylan.

“Kalau aku tanya, jawab!” bentak Dylan.

Vina melepas cekalan tangan Dylan. Lalu menyahut singkat. “Rere.”

Dylan mendengus pelan. Ia sama sekali tidak membantu berkemas dan hanya duduk mengamati Vina hingga Tamara berteriak bahwa mereka harus segera berangkat ke bandara.

“Kalian duduk berdua untuk kordinasi. Persiapan harus matang!” Tamara memerintah sambil menunjuk dua kursi untuk Dylan dan Vina.

Malam ini, Dylan akan mengadakan konser comeback serta fans meeting. Vina membuka tablet dan memperlihatkannya pada Dylan. Daftar lagu yang akan dibawakan Dylan dengan catatan pakaian dan aksesoris yang harus digunakan.

“Ini sudah betul, kan?”

Dylan hanya melirik sebentar. Lelaki itu menaikturunkan bahu, lalu memasang headphone. Tak lama kemudian, ia tertidur.

Astaga, lelaki ini. Vina menatap wajah Dylan. Rasa kesal terganti dengan sebersit rasa kasihan. Seminggu bekerja dengan Dylan, ia jadi tau, lelaki ini sangat sibuk.

Perlahan, Vina bangun dan menghampiri kursi Tamara. Karena wanita cantik itu tidak tidur, Vina menyapanya dengan santun.

“Kak Tamara, boleh bicara?”

Tamara mendongak, lalu mengangguk. Ia bergeser dan mempersilahkan Vina duduk di sampingnya. Wanita itu melepas kacamata dan menutup buku catatannya.

“Ada apa?”

“Ini sudah benar? Dylan langsung tidur, aku tidak sempat kordinasi dengannya.”

“Huft... anak itu.” Tamara menggeleng pelan, lalu memeriksa catatan Vina dan mengangguk. “Sudah ok. Tinggal pelaksanaannya. Kamu masih lambat dalam mendandani Lano.”

“Maaf.” Vina membalas singkat.

“Aku tau, kendalanya memang di Lano. Ia suka seenaknya. Kamu harus lebih tegas padanya.”

“Umm... aku tidak berani, Kak.”

Tamara lalu duduk menyamping. Wanita itu terang-terangan mengamati Vina dari ujung rambut hingga kaki.

“Aku akan naikkan gajimu. Tapi, kamu harus bisa menghandle Lano dari ia bangun sampai tidur.” Tamara menyebutkan jumlah gaji yang akan diterima Vina.

Dilema. Gaji yang ditawarkan bisa untuk membeli tiga piano sekaligus untuk Clara. Namun, pekerjaannya ia nilai cukup berat.

“Sepertinya itu pekerjaan seorang istri.” Vina menjawab sambil bercanda.

Tamara menggeleng dan mendengus pelan. “Adikku itu akan sulit mendapat istri. Ia bercita-cita menikah dengan wanita yang tidak mengenalnya. Mana ada coba?”

Spontan, Vina menoleh dan menatap Tamara. Ia meneguk ludahnya sendiri dan terbata bertanya, “Dy – Dylan bilang begitu?”

“Iya. Sementara penduduk setengah bumi, terutama wanita pasti mengenalnya, bukan? By the way... kenapa kamu memanggilnya Dylan? Jarang sekali ia menggunakan nama itu.”

“Oh. Saat pertama bertemu, dia memperkenalkan diri dengan nama itu.” Kali ini, Vina tidak berbohong.

“Begitu?” Tamara mengerutkan kening, lalu menatap Vina. “Bagaimana? Kamu terima penawaranku barusan?”

Vina berpikir sejenak. Ia memang sedang membutuhkan banyak uang untuk membeli rumah dan biaya pendidikan Clara. Vina akhirnya mengangguk.

“Bagus. Kontraknya hanya enam bulan. Syarat utamanya ; jangan jatuh cinta pada Lano.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Tamara permisi hendak ke kamar mandi. Vina kembali ke kursinya dan memikirkan apa yang baru saja kakak Dylan itu katakan.

“Puk.”

Tiba-tiba, kepala Dylan yang masih tidur oleng ke bahu Vina. Perlahan, Vina mengembalikan posisi kepala Dylan ke sandaran kursi. Matanya mengamati wajah Dylan.

Kalau dilihat-lihat, Dylan mirip dengan Tamara versi lelaki. Jika Dylan berambut panjang dan bermake-up pasti wajahnya sama dengan sang kakak. Itu artinya, Clara memang mirip Daddynya ini.

“Puk.” Kepala Dylan kembali rebah di bahu Vina.

Kali ini, Vina tidak bersusah-susah memindahkan kepala Dylan. Ia membiarkan Dylan tidur senyamannya. Kepalanya menoleh sedikit saat mendengar lelaki di sampingnya mengigau pelan.

“Vin, kamu di mana?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
ktsn-
vin... siapa nih? viba?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   326. Hidup Bahagia

    Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   325. Pianis Termuda

    Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   324. Tawaran untuk Clara

    Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   323. Konser Keluarga

    Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   322. Si Kembar Sekolah

    Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma

  • Dikhianati Mantan, Dinikahi Penguasa Tak Terkalahkan   321. Daddy Menang

    Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status