Kaget, Vina langsung mendorong dada bidang Dylan. Lalu, mundur satu langkah.
"Ngapain kalian? Ayo, berangkat!" Tamara menatap Vina tajam, kemudian keluar dengan cepat.
Dylan memicingkan mata. Lelaki itu berbisik sambil melewati Vina. "Kita lanjutkan nanti, istriku."
Apa itu tadi? Apa Dylan benar-benar ingin menciumnya? Jantung Vina berdebar kencang saat menyeret koper keluar.
Hari-hari Vina sungguh berat. Ia makan sambil berjalan, tidur hanya di dalam mobil. Itu pun jika Tamara tidak mengadakan briefing dadakan di perjalanan.
Belum lagi semua kesalahan yang ditimpakan Dylan padanya. Dylan benar-benar memeras tenaga Vina.
Seminggu berlalu, Vina mulai beradaptasi. Kini, jadwal serta penampilan seperti apa yang harus dibawakan Dylan sudah ia hapal di luar kepala.
Malam ini, Vina akhirnya bisa video call dengan putrinya. Itu pun ia lakukan di kamar mandi sambil bersiap akan pergi.
“Clara, sayang.” Vina menyapa wajah sang putri di layar ponsel.
“Mommy bohong. Katanya mau video call setiap malam.” Wajah Clara memberengut.
“Iya, maaf. Mommy nggak sempat, Sayang. Mommy janji nanti bawa banyak oleh-oleh.”
“Dan uang yang banyak untuk beli piano?”
Vina terkekeh dan mengangguk. “Iya, semoga tabungannya cukup, ya.”
Clara terdiam. Di layar, Vina melihat putrinya dibisiki sesuatu oleh Rere.
“Auntie Rere bilang apa, Ra?”
“Kata Auntie, nanti Mommy pulangnya juga harus bawa Daddy.”
Vina hanya dapat menggeleng samar. Rere memang biang kerok jika menyangkut urusan ayah kandung Clara. Sejak Vina hamil hingga sekarang, rasa penasaran adiknya itu tidak pernah hilang.
Selesai berdandan, Vina berkata sudah saatnya pergi, lalu segera memutuskan sambungan video call. Vina keluar dan tersentak kaget karena Dylan berdiri di depannya.
“Teleponan sama siapa?” Satu alis Dylan naik, menunggu jawaban.
“Adikku.” Vina segera berjalan melewati Dylan.
“Siapa nama adikmu?”
Buat apa sih dia nanya-nanya? Vina memilih tidak menjawab dan mondar-mandir mengemasi koper. Tapi, tangannya dicekal Dylan.
“Kalau aku tanya, jawab!” bentak Dylan.
Vina melepas cekalan tangan Dylan. Lalu menyahut singkat. “Rere.”
Dylan mendengus pelan. Ia sama sekali tidak membantu berkemas dan hanya duduk mengamati Vina hingga Tamara berteriak bahwa mereka harus segera berangkat ke bandara.
“Kalian duduk berdua untuk kordinasi. Persiapan harus matang!” Tamara memerintah sambil menunjuk dua kursi untuk Dylan dan Vina.
Malam ini, Dylan akan mengadakan konser comeback serta fans meeting. Vina membuka tablet dan memperlihatkannya pada Dylan. Daftar lagu yang akan dibawakan Dylan dengan catatan pakaian dan aksesoris yang harus digunakan.
“Ini sudah betul, kan?”
Dylan hanya melirik sebentar. Lelaki itu menaikturunkan bahu, lalu memasang headphone. Tak lama kemudian, ia tertidur.
Astaga, lelaki ini. Vina menatap wajah Dylan. Rasa kesal terganti dengan sebersit rasa kasihan. Seminggu bekerja dengan Dylan, ia jadi tau, lelaki ini sangat sibuk.
Perlahan, Vina bangun dan menghampiri kursi Tamara. Karena wanita cantik itu tidak tidur, Vina menyapanya dengan santun.
“Kak Tamara, boleh bicara?”
Tamara mendongak, lalu mengangguk. Ia bergeser dan mempersilahkan Vina duduk di sampingnya. Wanita itu melepas kacamata dan menutup buku catatannya.
“Ada apa?”
“Ini sudah benar? Dylan langsung tidur, aku tidak sempat kordinasi dengannya.”
“Huft... anak itu.” Tamara menggeleng pelan, lalu memeriksa catatan Vina dan mengangguk. “Sudah ok. Tinggal pelaksanaannya. Kamu masih lambat dalam mendandani Lano.”
“Maaf.” Vina membalas singkat.
“Aku tau, kendalanya memang di Lano. Ia suka seenaknya. Kamu harus lebih tegas padanya.”
“Umm... aku tidak berani, Kak.”
Tamara lalu duduk menyamping. Wanita itu terang-terangan mengamati Vina dari ujung rambut hingga kaki.
“Aku akan naikkan gajimu. Tapi, kamu harus bisa menghandle Lano dari ia bangun sampai tidur.” Tamara menyebutkan jumlah gaji yang akan diterima Vina.
Dilema. Gaji yang ditawarkan bisa untuk membeli tiga piano sekaligus untuk Clara. Namun, pekerjaannya ia nilai cukup berat.
“Sepertinya itu pekerjaan seorang istri.” Vina menjawab sambil bercanda.
Tamara menggeleng dan mendengus pelan. “Adikku itu akan sulit mendapat istri. Ia bercita-cita menikah dengan wanita yang tidak mengenalnya. Mana ada coba?”
Spontan, Vina menoleh dan menatap Tamara. Ia meneguk ludahnya sendiri dan terbata bertanya, “Dy – Dylan bilang begitu?”
“Iya. Sementara penduduk setengah bumi, terutama wanita pasti mengenalnya, bukan? By the way... kenapa kamu memanggilnya Dylan? Jarang sekali ia menggunakan nama itu.”
“Oh. Saat pertama bertemu, dia memperkenalkan diri dengan nama itu.” Kali ini, Vina tidak berbohong.
“Begitu?” Tamara mengerutkan kening, lalu menatap Vina. “Bagaimana? Kamu terima penawaranku barusan?”
Vina berpikir sejenak. Ia memang sedang membutuhkan banyak uang untuk membeli rumah dan biaya pendidikan Clara. Vina akhirnya mengangguk.
“Bagus. Kontraknya hanya enam bulan. Syarat utamanya ; jangan jatuh cinta pada Lano.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Tamara permisi hendak ke kamar mandi. Vina kembali ke kursinya dan memikirkan apa yang baru saja kakak Dylan itu katakan.
“Puk.”
Tiba-tiba, kepala Dylan yang masih tidur oleng ke bahu Vina. Perlahan, Vina mengembalikan posisi kepala Dylan ke sandaran kursi. Matanya mengamati wajah Dylan.
Kalau dilihat-lihat, Dylan mirip dengan Tamara versi lelaki. Jika Dylan berambut panjang dan bermake-up pasti wajahnya sama dengan sang kakak. Itu artinya, Clara memang mirip Daddynya ini.
“Puk.” Kepala Dylan kembali rebah di bahu Vina.
Kali ini, Vina tidak bersusah-susah memindahkan kepala Dylan. Ia membiarkan Dylan tidur senyamannya. Kepalanya menoleh sedikit saat mendengar lelaki di sampingnya mengigau pelan.
“Vin, kamu di mana?”
“Ummm.” Dylan menggeliat, lalu kembali mengeratkan pelukannya pada tubuh Vina. “Apa Kael bangun semalam?”“Iya.”Dylan segera membuka mata mendengar jawaban Vina. “Oh ya? Aku nggak denger dan nggak sadar juga kamu bangun.”Vina menepuk pelan dada Dylan. “Nggak papa. Kamu memang tidur pulas semalam.”“Hehe.” Dylan terkekeh mengingat kebersamaan hangat mereka semalam. “Kamu membuatku tidur nyenyak.”“Nggak juga. Kamu memang bisa lelap semenjak minum obat dan vitamin dari dokter.”Ucapan Vina membuat Dylan teringat masalah obat-obatan tersebut. Tapi, sebelum ia membahasnya, Vina mendongak dan menatap wajah Dylan.“Bagaimana perasaanmu setelah bercinta lagi semalam? Apa kamu merasakan perbedaan setelah aku melahirkan?”Terlihat Dylan mengangkat alis. Vina menunggu jawaban. Ia merasa harus membicarakan ini daripada ia pendam sendiri.Tangan Dylan menyusuri kulit tubuh Vina. Tapi, gerakan tangan tersebut malah dihentikan Vina dengan menggeleng pelan.“Aku tidak pernah komplen bercinta denga
Semalaman, Kael ternyata tidur nyenyak. Akibatnya, dini hari ia menjerit kelaparan. Karena masih mengantuk, Vina meminta nanny membawa Kael ke kamar.Vina menyeret langkah ke pintu. Ia menerima Kael yang merengek ingin menyusu.“Ssttt ... sabar, Kael. Jangan keras-keras nangisnya. Itu daddy masih tidur, lho.” Vina duduk bersandar di punggung ranjang dan membuka penutup dadanya.Kael menyusu dengan lahap. Vina menoleh ke samping. Dylan tetap tertidur meski ia tau tadi suaminya mendengar Kael menangis.Apa Dylan sangat lelah sampai tidak sanggup memberi perhatian pada dirinya dan Kael?Dulu, sebelum si kembar hadir, Dylan selalu punya cara menunjukkan bahwa ia menginginkan Vina. Ciuman tiba-tiba saat ia sedang memasak, pelukan dari belakang saat hamil, atau sekadar belaian lembut saat mereka duduk di sofa menonton film.Tapi sekarang? Bahkan pelukan terasa sekadar rutinitas—singkat, seperti formalitas pagi hari sebelum berangkat kerja.Dan malam-malam mereka, meski tangan Dylan beberapa
Selesai menyusui, Vina menyempatkan diri menemani Dylan dan Clara sarapan. Vina kembali bercerita tentang keadaan Kael pada Clara.“Iya, Ara denger Kael nangis-nangis kenceng tapi Ara ngantuk banget.” Clara mengangguk sambil makan.“Nggak papa. Memang Clara harus tidur karena kan paginya sekolah.”“Jadi, mommy nggak tidur semalam?”“Tidur sebentar.”Dylan melirik istrinya yang meski terlihat agak pucat tetapi selalu berusaha bersikap biasa saja. Meski ia tau sebenarnya, Vina sangat mengantuk dan lelah.“Aku berangkat dulu, ya.” Dylan berdiri dan mencium Vina serta Clara. “Nanti aku sempatkan video call.”Clara juga pergi beberapa menit setelah Dylan. VIna masih duduk lemas di kursi meja makan sambil makan perlahan.Meski tak nafsu makan, Vina memaksakan diri untuk menghabiskan isi piringnya. Setelah minum vitamin, Vina kembali ke kamar bayi.Kael masih tidur. Bahkan Kean sudah kembali dari berjemur. Vina memutuskan untuk beristirahat sejenak di kamar utama.Saat kembali ke ranjangnya,
Dylan menatap layar ponselnya yang telah gelap. Pembicaraan dengan Brandon singkat namun sarat dengan kata-kata yang menusuk relung hati. Mski begitu, Dylan mengakui semua yang diucapkan Brandon benar.Perlahan naik kembali ke ranjang, Dylan menyisipkan lengan di bawah kepala Vina. Tanpa suara, memeluk dan mencium sekilas wajah istrinya. Jalannya semakin terang untuk melakukan perubahan.Suara tangisan bayi melalui baby monitor membangunkan Vina. Perlahan, ia memindahkan lengan Dylan yang melingkari pinggang dan turun dari ranjang.“Sssttt ... kenapa nangis jerit-jerit begitu, Kael?” Vina datang sambil menatap bayinya yang sedang ditenangkan nanny.Setelah disusui Kael cukup tenang. Namun saat Vina hendak kembali ke kamar, Kael kembali menjerit hingga ia membalik tubuh dan masuk ke ruang bayi lagi.Sepanjang malam Kael menangis di gendongan Vina. Sebentar tenang, tak lama bayi kecil merengek lagi.Vina berjalan mondar-mandir di dalam kamar, mengayun Kael perlahan sambil membisikkan lag
“Kamu yakin, Sayang?” Vina menatap wajah Dylan keheranan.“Sebenarnya tidak. Tetapi, aku harus melakukannya. Tolong dukung keputusanku.” Dylan menggenggam kedua tangan Vina.Vina tidak yakin dengan apa yang direncanakan sang suami. Namun begitu, kepalanya mengangguk pelan dengan senyum tipis.“Masih ada waktu jika kamu berubah pikiran. Tapi, apa pun nanti keputusanmu, aku akan selalu di sisimu.” Vina berjanji.“Aku lega mendengarnya. Kamu yang terbaik, Chagiya.” Dylan mengecup kedua tangan Vina.Genggaman tangan Vina mengerat. Ia mengembuskan napas panjang berharap masalah mereka bisa terselesaikan segera.“Umm ... tapi, aku juga punya permintaan.” Vina menatap wajah Dylan.Kepala Dylan mengangguk. “Aku mendengarkan. Katakan apa yang kamu inginkan.”Vina tidak langsung menjawab. Jari jempolnya mengelus tangan Dylan sambil berpikir bagaimana merangkai kata agar Dylan mau menuruti permohonannya.“Jadi satu tahun ini aktifitasmu akan sangat padat. Rekaman dan syuting video musik serta pro
“Ada apa, Mimi sayang?”Mimi naik ke pangkuan Brandon. Di tangannya ada secarik kertas gambar. Anak perempuan itu tampak membisiki daddynya.Brandon mengangguk sedikit, lalu melirik Vina. Tampak daddy dan putrinya itu berbincang pelan.Vina sebenarnya sudah resah melihat sikap Mimi. Apalagi saat Brandon menatapnya sekilas. Ia takut ada yang salah yang membuat Mimi tidak nyaman.Hingga akhirnya Clara dan anak-anak lain datang. Dan ini merupakan kesempatan bagus bagi Vina untuk bertanya pada putrinya.“Clara, apa yang terjadi? Mimi kenapa?”Clara menghampiri Vina dan segera menjelaskan. “Tadi kita lagi gambar-gambar. Terus Mimi bilang ia mau gambar kucing dan minta tolong aku. Aku kan nggak bisa. Jadi aku bilang minta tolong sama Mommy Vina aja."Sesaat, Vina mengembuskan napas penuh kelegaan. Mimi hanya merasa malu untuk bicara dengannya. Vina tersenyum pada Mimi.“Sini, Mimi. Coba Auntie lihat kertas gambarnya.” Vina menjulurkan tangan ke arah Mimi.Brandon terlihat berbisik pada sang