Vina mengerutkan kening mendengar desahan Dylan. Vin, kamu di mana? Apa yang dimaksud adalah dirinya?
Kepala Vina menggeleng tegas. Jangan ge-er, Vina. Ia mengingatkan dirinya sendiri.
“Jaket ini harus dipakai dua lagu. Jangan dilempar sembarangan.” Tamara mengingatkan Dylan. “Kamu tau brand jaket itu adalah salah satu sponsor terbesar.”
“Hem.” Dylan hanya berdehem menjawab pertanyaan sang kakak.
Persiapan belakang panggung membuat Vina gugup. Seumur hidup ia belum pernah menonton konser musik.
“Setelah Lano keluar, kamu harus berlari sampai ke depan panggung. Perhatikan apa yang dibutuhkan Lano di panggung. Evaluasi penampilannya.” Tamara memerintah Vina yang mengangguk meski tak terlalu mengerti.
Di antara teriakan penggemar dan musik kencang, Vina berusaha fokus menatap Dylan di panggung. Ia akui, Dylan sangat hebat di panggung. Sangat energik dan menghayati setiap lagu yang dibawakan hingga membuat fans-nya semakin larut dalam lirik yang dinyanyikan.
“Kenapa baru satu lagu jaketnya dilepas?” Tamara mengelap wajah Dylan dari keringat yang bercucuran.
“Gerah. Bahannya nggak enak. Lagipula, tidak cocok dengan lagu yang kubawakan!” Dylan beralasan.
Tamara melirik Vina yang sedang menggantikan pakaian Dylan untuk penampilan berikutnya. “Ingat-ingat itu.”
Vina mengangguk cepat. Dylan kembali keluar dan Vina berlari cepat ke depan panggung. Kali ini Dylan bernyanyi lagu balad yang menyentuh hati.
Seluruh kru bertepuk tangan kala konser selesai. Dylan harus berfoto bersama beberapa selebriti yang menunggunya di ruang VIP. Vina stand by di depan ruangan.
Banyak pesohor datang dan pergi ke ruangan tersebut. Hingga akhirnya Dylan keluar dengan seorang wanita yang menggelendot manja di lengannya.
“Avrie, kenalkan. Ini Vina, asisten Lano yang baru.” Tamara mengendik pada Vina.
Vina menunduk dengan sedikit senyum. Wanita cantik bernama Avrie itu terlihat memberengut lalu protes pada Tamara.
“Kak, aku kan sudah bilang untuk mencari asisten lelaki saja.” Avrie mendengus pelan sambil melirik Vina. “Kalau perempuan, bisa jatuh cinta lagi pada Lano dan berakhir dipecat seperti asisten yang terakhir itu.”
“Hanya sementara saja.” Tamara membalas singkat.
Kini Vina mengerti, kenapa syarat pekerjaannya adalah tidak boleh jatuh cinta pada Dylan. Karena tim ini pernah memiliki pengalaman tersebut.
Melihat gelagat Avrie, Vina menebak wanita itu adalah kekasih Dylan. Selama membantu Dylan melepas atribut panggung, wanita itu mengamati Vina dengan tatapan tajam.
Untung bagi Vina, setelah selesai, Dylan pergi dengan Avrie. Ia jadi punya waktu bersantai sejenak. Sampai di kamar hotel, Vina langsung melakukan video call dengan putrinya.
“Ara sudah tidur. Tadi kami nonton konser Lano secara online.”
Pernyataan sang adik membuat jantung Vina berdegup kencang. “Memang disiarkan online?”
“Iya, agar penggemar yang tidak kedapatan atau tidak mampu membeli tiket dapat tetap menikmati konser.”
“Clara lihat sampai selesai?”
“Tidak. Sudah ketiduran, tetapi ia sempat ikut-ikutan dance saat lagu favoritnya dinyanyikan Dylan.”
Vina bahkan tak tau sang putri mengidolakan Dylan, ayah kandungnya sendiri. Kepalanya mendadak pusing hingga ia memutuskan merendam diri di bathtub.
Tekad Vina kembali bulat untuk mengajukan cerai. Ia membuka situs pendaftaran perceraian dan mengisi data-datanya. Namun, jari-jarinya terhenti saat harus memasukkan keterangan tentang keturunan yang diperoleh dari pernikahan tersebut.
“Kasihan Clara. Ia sangat merindukan sosok ayah. Tetapi, aku tidak akan sanggup melanjutkan pernikahan dengan penguasa terkenal itu.” Vina menggeleng samar.
Dahi Vina berkerut dalam saat terdapat notifikasi bahwa data yang ia masukkan tidak terdaftar. Ia duduk tegak, lalu membaca data yang baru saja ia lengkapi.
“Betul semua kok.” Vina mengulang hingga tiga kali dan kembali gagal.
Akhirnya, Vina menyerah. Besok, ia akan mencoba lagi sambil memastikan data-data Dylan. Vina berpikir sambil mengeringkan rambut, lalu keluar dari kamar mandi dengan piyama pendek.
“Aku lebih suka rambutmu tergerai begitu.”
Cepat, Vina menoleh. Dylan berdiri menatapnya dari ujung rambut hingga kaki. Tak mempedulikan ucapan Dylan, Vina langsung mengikat rambutnya gaya ekor kuda.
“Kenapa kamu selalu masuk ke kamarku?”
“Kenapa nggak boleh? Aku membayar semua pengeluaran tim termasuk kamar ini, jadi aku berhak ada di sini.”
“Ada masalah dengan kamarmu? Aku akan komplen pada manager hotel.”
Dylan menahan tangan Vina yang telah memegang gagang telepon. Mereka bertatapan selama beberapa saat, hingga Vina sadar dan segera mengalihkan pandangan.
“Lepas!” Vina lalu menepis tangan Dylan.
“Kamu.... “
“Apa wanita itu menggodamu, Sayang?”
Suara seorang wanita membuat Vina dan Dylan menoleh. Avrie menghampiri dengan tatapan membunuh pada Vina.
“Kami sedang membicarakan acara besok, Vi.” Dylan membalas, lalu melangkah pergi.
Sebelum mengikuti Dylan, Avrie berkata ketus. “Lain kali, pakai baju yang sopan jika mau meeting bersama Lano. Jangan seperti wanita murahan!”
Vina menghela napas panjang kala Avrie menutup pintu dengan keras. Ia segera mengunci ganda pintu kamarnya hingga tidak bisa dibuka dari luar, meskipun dengan kartu akses masuk.
Padahal, setelah berendam, pusingnya reda. Kini penat itu datang kembali. Vina menenggak satu butir pereda nyeri dan berbaring menatap langit-langit kamar.
“Berarti nama yang Dylan sebut-sebut dalam tidurnya adalah Avrie? Tetapi, gumamannya terdengar seperti Vin?” Vina bertanya-tanya sendiri.
Penasaran dengan sosok Avrie, Vina mencari informasi di internet. Setelah mengetik nama, keluar lah berbagai berita tentang wanita yang berprofesi sebagai pebisnis di salah satu perusahaan perhiasan.
Vina mengerutkan kening melihat salah satu karya dari perusahaan Avrie. Cincin hitam bermata ungu pemberian Dylan pada pernikahan mereka ternyata berbahan berlian hitam dan batu ametis yang langka.
Kini, mata Vina membulat sempurna saat membaca harga dari cincin yang dibuat khusus atas permintaan Dylan tersebut.
“Ya Tuhan, aku bahkan tidak ingat di mana cincin itu aku simpan.”
Kehidupan Dylan dan Vina kini berjalan lebih teratur dan penuh warna.Setelah Dylan resmi mengundurkan diri dari dunia hiburan, ia benar-benar fokus menjalankan bisnisnya yang terus berkembang. Keputusan itu membuatnya jauh lebih tenang.Dylan tak lagi dikejar jadwal padat konser, tur, dan sorotan media. Kini Dylan bisa mengatur ritme kerja sesuai dengan prioritas utamanya: keluarga.Vina merasa sangat bersyukur. Dulu ia sering khawatir Dylan kelelahan atau stres karena pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya.Kini, setiap pagi mereka bisa sarapan bersama, menyiapkan keperluan Clara dan si kembar, lalu Dylan berangkat ke kantor dengan wajah yang lebih rileks.Sore harinya, Dylan sering pulang lebih cepat agar bisa menemani Clara berlatih piano atau bermain dengan si kembar di halaman belakang rumah. Ada kebahagiaan sederhana yang tak bisa mereka beli dengan kesuksesan dunia hiburan.Vina sendiri juga semakin berkembang. Ia aktif di bidang desain busana, bahkan sering menerima pe
Sejak pengumuman itu, Clara semakin giat berlatih. Setiap hari selepas sekolah, ia akan duduk manis di depan piano di ruang musik rumah mereka. Jemarinya yang mungil menari di atas tuts, kadang tersendat, lalu ia mengulanginya lagi dengan tekun.Vina selalu setia menemani, duduk di sofa dengan senyum penuh rasa bangga. Sesekali ia merekam latihan Clara dengan ponselnya, lalu mengirimkan video itu ke Dylan yang masih berada di kantor.Malam itu, setelah Clara selesai memainkan lagu yang akan dibawakan di acara kenegaraan, Vina menghampirinya.“Sudah selesai, Sayang? Capek jari-jarinya?”“Nggak capek, Mommy. Kata guru piano, kalau latihan rutin nggak akan capek.”Vina mengusak lembut kepala Clara. “Clara, Mommy bangga sekali sama kamu. Kamu tahu tidak? Kamu akan jadi pianis termuda di acara kenegaraan. Itu artinya, semua tamu penting dari luar negeri juga akan mendengarkan permainan pianomu.”Clara tersenyum sedikit. “Iya. Guru Ara juga bilang gitu.”“Clara harus percaya diri karena mem
Begitu Dylan menyelesaikan lagu terakhirnya, tepuk tangan riuh terdengar dari “penonton kecil” di ruang tamu.Kean meloncat-loncat dengan antusias.“Wow, superstar! Superstar! Daddy keren banget!”Kael ikut-ikutan. “Aku mau tanda tangan, Daddy Lano!”Clara segera mengambil kertas gambar dan spidol. Ia pura-pura jadi fans garis keras, berlari ke arah Dylan.Clara gaya hebohnya mendekati Dylan. Gayanya benar-benar mirip seorang Goldies. “Mister Lano, boleh saya minta tanda tangan? Saya fans berat sejak kecil!”Dylan tertawa sampai terbahak, tapi tetap menuruti. Ia menandatangani kertas itu dengan gaya artis profesional.“Namanya siapa? Mau ditulis dengan ucapan apa?”Vina yang dari tadi hanya menonton sambil tersenyum, akhirnya ikut bergabung. Ia mendekat, pura-pura mengacungkan ponsel.Kali ini, Vina berpura-pura jadi reporter gosip. “Permisi, Mister Lano, bagaimana rasanya tampil di konser keluarga dengan penonton terbatas? Apa berbeda dengan konser di stadion besar dulu?”Dylan menu
Clara baru saja pulang dengan tas berat dan wajah lelah setelah seharian sekolah plus les piano. Begitu membuka pintu rumah, ia langsung disambut teriakan riang si kembar.Kean berlari mendekat dan berteriak, “Kak Ara! Tadi aku jadi kapten bola di sekolah! Semua anak nurut sama aku!”Kael ikut nimbrung sambil tersenyum. “Terus… bekalku habis. Temen-temen suka sate buah dari Mommy. Mereka minta lagi besok.”Clara terbelalak, menatap adik-adiknya yang penuh semangat.“Waaah, kalian heboh banget. Baru hari pertama sekolah aja ceritanya banyak.”Kean mengangguk cepat. “Iya! Terus habis pulang sekolah, kita diajak Daddy makan es krim. Aku pilih cokelat, Kael pilih vanila. Enak banget, Kak!”Kael menambahkan sambil menepuk perutnya. “Aku sampe kedinginan… tapi tetap habis.”Clara tergelak mendengar celotehan adik-adiknya. Ia menaruh tasnya di sofa lalu merebahkan diri di sofa.“Duh, kalian beruntung banget. Kak Ara habis les cuma dapat roti isi di jalan, gak ada es krimnya.”Kean langsung r
Pagi itu rumah terasa riuh. Vina sibuk menyiapkan bekal, sementara Dylan dengan sabar berusaha memasangkan sepatu untuk Kael yang terus bergerak tak mau diam. “Kael sayang, kalau kamu tidak tenang, sepatunya tidak bisa masuk.”Kael memberengutkan wajah dengan manja, lalu bergelendot pada tubuh Vina.“Nggak mau sekolah… maunya sama Mommy.”Di sisi lain, Kean justru terlihat antusias. Ia sudah rapi dengan tas kecil bergambar dinosaurus di punggungnya.“Daddy, cepat! Aku mau lihat mainan di sekolah!”Dylan terkekeh melihat perbedaan karakter kedua putranya.“Lihat tuh, Kean sudah siap duluan. Kael, masa kamu kalah sama kakakmu?”Kael mendengus, tapi akhirnya menurut saat Dylan mengikatkan tali sepatunya.Sesampainya di sekolah playgroup, suasana ramai oleh anak-anak yang ditemani orangtua masing-masing. Ada yang menangis kencang, ada yang ceria. Vina menggandeng tangan Kean dan Kael erat-erat.Saat guru menyapa ramah, Kean langsung berlari masuk kelas dengan riang.“Mommy, Daddy! Aku ma
Hari itu kantor polisi penuh wartawan. Berita besar sedang digoreng: kasus penggelapan dan penipuan bisnis Andreas dan Lawson akhirnya terbongkar.Andreas melangkah keluar dengan borgol di tangannya, wajahnya pucat pasi tapi masih berusaha menyunggingkan senyum sombong. Lawson, di sisi lain, menunduk lesu, seakan sudah kehilangan daya juang.Seorang wartawan mencecar pertanyaan. “Tuan Andreas, benarkah Anda selama ini menggunakan dana investor untuk kepentingan pribadi?!”Andreas mendengus kesal, ingin membalas, tapi polisi segera mendorongnya masuk ke mobil tahanan. Sementara itu, Dylan menonton dari layar televisi di ruang kantornya bersama Brandon.Dylan bersandar di kursinya, mata tajamnya penuh kepuasan.“Inilah yang mereka dapat karena serakah. Kesombongan Andreas akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.”Brandon, yang duduk di sampingnya, hanya menyeringai puas.“Semua bukti yang kita kumpulkan tidak terbantahkan. Mereka pikir bisa bermain-main dengan hukum, padahal jejak digit