Sugeng berusaha meraup bibir Raya. Namun gadis itu tak kehabisan akal. Dia menutup mulut Sugeng dengan tangan kanannya. Lalu menginjak kaki Sugeng dengan sekuat tenaga.
“Aw!” Sugeng kesakitan.
‘Pokoknya ngga bisa! Aku harus kabur!’ batin Raya yang terus berusaha melepaskan diri dari pria itu.
Raya tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia kembali berlari dan meraih pintu untuk menekan tombol yang tadi dia lihat. Namun, Sugeng kembali berhasil meraih tangan Raya. Pria karismatik itu membopong Raya menuju ranjang. Raya terus meracau meminta Sugeng untuk melepaskannya. Bahkan gadis itu memperingatkan Sugeng dengan sebuah ancaman.
“Om! Jangan mendekat! Kalau, Om nekat, saya tendang biji, Om!”
Sugeng justru terkekeh. Melihat sikap brutal Raya. Pria itu justru semakin tertantang.
“Rupa-rupanya kamu sudah tidak sabar merasakannya, ya?” jawab Sugeng dengan kondisi setengah mabuk.
“Cuih! Amit-amit jabang bayi! Tujuh turunan tujuh tingkatan! Sorry, Om! Saya masih waras!”
“Eh! Eh! Lancang kamu ya! Semakin kamu liar semakin saya bernafsu!” tandas Sugeng yang langsung menangkap Raya dalam dekapannya. Namun, Raya terus berontak hingga kedua sepatunya terlepas setelah menendang pusaka Sugeng.
“Nah! Terbukti, kan? Saya ngga main-main, Om!” ucapnya sembari gemetaran melihat Sugeng kesakitan.
“Bye the way, makasih, Om! Atas pinjamannya! Saya janji akan mengembalikannya! Tapi bukan dengan cara seperti ini!”
“Bye, Om Sugeng!” ucapnya lagi.
Situasinya semakin panas. Sugeng masih kesakitan sembari memegangi pusaka keramatnya. Kesempatan Raya berlari sekuat tenaga meraih pintu dan dengan cepat menekan tombol sesuai dengan yang dia ingat. Ternyata dia salah. Semua karena gugup dan terburu-buru.
“Astaga!”
“Huuu ...” Raya mengembuskan napas sembari menoleh ke arah Sugeng. Pria itu masih meronta sembari mulai beranjak ke arahnya.
“Tenang, Ray! Tenang!”
Raya kembali menenangkan dirinya. Menghidu napas dalam-dalam sembari memejamkan matanya, sebelum menekan kembali pin sesuai yang dia ingat. Walau jemarinya gemetaran.
Klek!
“Daebak!”
Pintu itu terbuka setelah Raya menekan pin dengan benar. Raya berlari sekuat tenaga tanpa alas kaki. Pakaiannya sudah tidak rapi lagi. Bahkan lengan bajunya robek sebelah. Dia berlari sekencang mungkin menghindari anak buah Sugeng yang tengah berjaga di lantai bawah apartemen itu.
Raya benar-benar merasa lelah. Dia ketakutan. Satu-satunya yang ada dalam pikiran Raya saat ini adalah berlari sejauh mungkin. Tentu saja melalui pintu belakang menuju tempat parkir. Raya berusaha bersembunyi dari sosok pria bernama Sugeng. Namun, bagaimana pun juga, Raya hanyalah perempuan biasa. Sekuat apa pun melawan. Dia tetap lemah menghadapi anak buah Sugeng.
Raya yang tak tahu arah. Terus berlari mengikuti ke mana langkah kaki membawanya. Alangkah terkejutnya ketika Raya menyadari bahwa saat itu dirinya terjebak menemui jalan buntu.
“Aaa!!! Sial! Sial!” gerutu Raya yang kesal bercampur panik.
“Ha ha ha!” kekeh mereka.
“Mau lari ke mana lagi, Nona?” ucap salah satu anak buah Sugeng. Berbadan tinggi kekar, berkepala gundul.
“Ya jelas mau kaburlah!” ucap Raya sembari berusaha menerobos barikade mereka.
Perih rasanya kaki Raya, ketika harus tergores aspal jalanan. Terluka, berdarah, akan tetapi tidak ia hiraukan. Karena saat itu yang ada dalam benaknya, hanyalah berlari sejauh mungkin. Melawan mereka yang mencoba untuk menghadang.
Hingga Raya berusaha melawan. Saat dirinya kembali diseret. Dia menggigit salah satu pria berbadan kekar yang menyeretnya. Satu tamparan keras mendarat di wajah mulus Raya.
Plak!
“Aaa ....”
“Tolong! Aku mohon! Lepaskan aku!”
“Lepaskan! Hei!”
“Botak! Lepaskan aku!” bentaknya lagi.
“Tolong!” teriaknya tanpa ada satu orang pun di sana, selain para bandit anak buah Sugeng.
Raya terlihat menyedihkan. Rambutnya acak-acakan. Kakinya terluka, pipinya lebam, dan sedikit mengeluarkan darah di salah satu sudut bibirnya.
Air mata tak henti menderas. Kali ini ia pasrah kalau para pria kekar itu menangkapnya untuk kembali dibawa ke dalam dekapan Sugeng. Namun, sesuatu hal mengejutkan Raya dan semua anak buah Sugeng di sana.
Seseorang datang mengendarai motor dari balik sorot lampu yang menyilaukan. Suara knalpot motor yang nyaring membuat mereka semua mematung.
“Lepaskan gadis itu!” ucap pria berjaket kulit warna hitam yang juga baru saja melepas helm hitamnya itu. Seakan-akan sangat karismatik dan mencengangkan.
Kedatangan pria misterius yang menyembunyikan identitasnya di balik masker hitam. Tak ubahnya bagai super hero yang datang di waktu yang tepat. Membuat semua bertanya-tanya. Lantaran pria misterius terus berjalan menghampiri Raya.
“Serahkan gadis itu!” tandas sang pria misterius.
“Siapa kamu, hah? Berani-beraninya membuat keributan sama Marco?” bentak salah satu pria kekar yang saat ini tangannya tengah mencengkeram erat pergelangan tangan Raya.
“Dia milikku!” ucap pria misterius yang membuat mata Raya terbelalak. Perangainya meyakinkan. Gesturnya lugas dan tidak tampak takut sama sekali.
‘Tian? Ngga mungkin! Dia bukan Tian! Pria brengsek itu mana mungkin berani menghadapi bandit botak itu!’ batin Raya yang berusaha menebak sosok di balik masker hitam itu. Berharap pria itu adalah Sebastian Danu—mantan kekasihnya. Walau pikirannya langsung mematahkan anggapannya.
Para bandit itu menertawakan si pengendara motor. Mereka menganggap pria misterius itu tidak akan berani bertarung dengan mereka.
“Silakan tertawalah sebelum semuanya berakhir sia-sia!” tegas pria yang masih belum diketahui identitasnya, sembari meremas jemari serta memutar kepalanya seperti tengah pemanasan.
“Sial!”
“Lancang sekali! Berani-beraninya berurusan dengan kami? Hah?”
“Apa kalian pantas disebut pria?” ucap pria misterius kepada para bandit.
“Apa maksudmu?”
“Pria sejati tidak akan pernah berbuat keji kepada seorang wanita!” tegas pria misterius itu.
“Itu artinya kalian banci!” tandas pria misterius yang berusaha memprovokasi kemarahan para bandit.
“Jangan banyak omong!” bentak salah satu bandit yang terlihat marah.
“Dia milik Tuan kami! Mana mampu orang sepertimu membayar mahal gadis ini!”
“Pikiran kalian sangat kotor! Dia gadisku! Bahkan Tuanmu saja tidak akan sanggup membeli cintanya!”
“Jangan banyak bacot!”
“Ringkus dia!”
Perkelahian pun tidak dapat terelakkan lagi. Pria misterius itu terlihat seperti berandalan tampan nan karismatik. Jago bela diri seperti yang terlihat. Bahkan anak buah Sugeng mampu ia lumpuhkan dalam beberapa menit saja. Walau tak terelakkan, beberapa kali sang penolong itu terkena pukulan bahkan tendangan yang di arahkan oleh anak buah Sugeng. Semua bisa ditumbangkan juga.
“Hei! Gadis! Cepatlah naik kalau ingin selamat!” ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Raya.
Tanpa pikir panjang. Raya meraih tangan pria itu dan mereka pun berlari menuju motor pria misterius. Apakah anak buah Sugeng diam begitu saja? Tentu tidak! Mereka masih mengejar Raya dan pria misterius itu. Para bandit mengejar mereka menggunakan mobil.
Lagi-lagi! Kejar-kejaran pun tidak bisa mereka hindari. Namun pria misterius itu terlihat ahli dalam mengendarai laju motornya. Raya tak punya pilihan lain selain merapatkan tangannya ke tubuh pria misterius itu. Raya begitu pasrah. Asalkan dia berhasil kabur dari seorang gadun atau sugar daddy yang baru saja dia tipu demi mendapatkan uang untuk operasi sang ayah.
Setelah berpacu dengan waktu demi menghindari kejaran anak buah Sugeng. Motor pria misterius itu memasuki celah-celah sempit seperti gang pemukiman padat penduduk di pinggiran kota. Hingga mereka masuk ke salah satu rumah. Lalu mesin motor dimatikan.
‘Kalau saja bukan karena kemanusiaan, mungkin aku tidak akan berpacu dengan waktu dua kali dalam semalam!’ gerutu pria misterius dalam hati.
“Turunlah!” ujar pria itu kepada Raya yang terlihat masih syok.
Raya bingung apa yang harus ia lakukan. “Apa sudah aman?” tanyanya.
“Tunggulah di balik pintu itu! Aku akan menutup gerbang dan memastikan semua aman!”
Raya mengangguk dan berlari ke arah pintu garasi. Pria itu segera menutup pagar dan mematikan semua lampu, kecuali lampu di luar rumah agar tidak mencurigakan. Dia mengendap-ngendap memastikan semua aman.
Lalu pria itu kembali berjalan menemui Raya untuk melihat kondisi gadis itu. “Hei, apa kau baik-baik saja?” bisiknya.
“Rasanya kurang baik,” ucap Raya sembari menahan rasa sakit pada kakinya.
“Sudah aku duga! Kalau begitu masuklah ke dalam! Biar aku ambilkan air hangat untuk mengompres lukanya!” ucap pria misterius yang baru saja membuka masker. Raya mematung menatap pria itu.
‘Rasanya ngga asing? Tapi ... hmm ... siapa, ya?’ batin Raya yang merasa pernah mengenal pria itu.
“Tunggu!” panggil Raya sebelum pria itu pergi meninggalkannya untuk mengambilkan air hangat beserta kotak P3K.
Pria itu menoleh. “Ya? Ada apa?”
“Siapa namamu?” tanya Raya setelah mengumpulkan keberaniannya.
“Panggil saja Raiden!”
“Oh, baik!”
“Lalu ... namamu?” tanya Raiden serius.
“Raya.”
Raiden mengangguk sembari mengulas senyuman. “Tunggulah di sana! Aku akan segera kembali!”
Raya mengangguk dan berjalan dengan tertatih-tatih menuju suatu ruangan di rumah itu. Tak lama berselang, Raiden datang membawakan satu baskom air hangat, handuk bersih, dan kotak P3K.
“Basuhlah lukamu!”
“Terima kasih!” jawab Raya dengan penuh rasa lega. Dia mulai memasukkan cairan anti septik ke dalam baskom berisi air hangat itu. Lalu mencelupkan handuk kecilnya. Membasuh luka di telapak tangan, lengan, dan juga kakinya.
“Aw!” Raya memejamkan mata demi menahan sakit.
“Pasti itu menyakitkan?” tanya Raiden bernada khawatir.
Raya hanya mengangguk sembari menahan perihnya. “Ini sungguh menyakitkan!” Bahkan air mata Raya menetes begitu saja.
“Ngga ada pilihan lain! Jadi tahan saja! Itu pun kalau lukamu ingin segera mengering,” ucap Raiden menyemangati sembari mengulas senyuman. Raiden kembali meninggalkan Raya. Lalu kembali dengan membawa segelas teh manis hangat.
“Minumlah! Dan tenang saja! Aku ngga mungkin menjebakmu!” tegas Raiden membuat Raya percaya.
“Terima kasih! Kalau kamu ngga datang tepat waktu, mungkin segalanya sudah hancur.”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Saat ini aku hanya ingin melupakan semua yang menimpaku!”
“Aku mengerti, pasti begitu sulit.”
“Sangat!” ucap Raya sembari menyembunyikan kepedihannya.
“Lalu, ke mana aku harus mengantarmu?” Raiden merasa iba kepada Raya.
Raya hanya menggelengkan kepala. Dia pun bingung di mana tempat paling aman saat itu.
“Ya sudah! Tinggallah saja di sini untuk sementara waktu! Itu pun kalau kau mau!” tawaran Raiden membuat Raya semakin bingung.
“Apa aku bisa meminjam ponselmu?” Raya ingin menghubungi Om Seno. Hanya pria itu yang saat ini dipercaya oleh Raya.
“Ambillah!” Raiden memberikannya kepada Raya.
“Terima kasih!” ucap Raya sembari bingung untuk menelepon Om Seno.
“Tenang saja! Pulsanya cukup untuk menelepon berjam-jam! Aku berganti pakaian dulu!” Raiden pergi meninggalkan Raya di ruang tamu sederhana itu.
Raya mencoba kembali mengingat nomor ponsel Om Seno. Setelah berhasil menghubunginya. Raya hanya memberi tahu kalau dia berada di tempat yang aman. Seno sudah menjalankan perintah Raya agar dokter segera memberi tindakan operasi untuk Barata. Raya juga memberitahu kalau sementara nomor ponselnya tidak akan diaktifkan. Seno bisa menghubungi Raya ke nomor ponsel Raiden.
Seno yang mengerti, siap menyembunyikan rahasia keberadaan Raya. Dia pun siap untuk menjaga Barata sesuai dengan perintah Raya. Gadis itu pun menginginkan Seno kembali mendapatkan bukti kecurangan Sebastian Danu. Walau semuanya terasa semakin sulit.
“Rai, terima kasih untuk ponselmu!” Raya mengembalikan ponsel itu setelah Raiden kembali. Raiden pun mengulas senyuman dan memberikan pakaian ganti untuk Raya.
“Ganti pakaianmu! Hanya ada itu, pakaian milikku! Itu pun kalau kamu mau!”
Raya mengangguk. “Rai, apa aku bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu?”
“Oh, tentu saja! Asalkan kamu mau hidup sederhana seperti ini. Maklumlah! Aku hanya seorang joki.”
“Tidak masalah!” Raya mengembangkan senyumannya ke arah pria itu. Setidaknya malam ini dia aman.
***
Keesokan harinya, Raya tercengang dengan berita viral di Televisi. Bahkan menghebohkan netizen dengan berita miring mengenai Soraya Barata.
#Pengusaha Barata diisukan bangkrut
#Batal menikah dengan Sebastian Danu, Soraya Barata dikabarkan menjadi wanita simpanan Om-om.
#Sebastian Danu merasa lega setelah putus dari Soraya Barata. Lantaran sisi gelap kehidupan Soraya Barata terkuak.
“Sial! Apa semua ini jebakan?” Raya mengepalkan telapak tangannya. Urat-urat wajahnya menegang, lantaran menahan air mata penuh kekecewaan serta amarah.
Melihat berita-berita viral yang memojokkannya. Raya merasa benar-benar muak. Dia semakin menyimpan dendam kepada Tian. Namun sayangnya, saat ini Tian justru memiliki kekuasaan, setelah memperdaya Soraya. Rasa yang bergejolak itu membuat Raya bertekad untuk merebut kembali apa menjadi haknya.
“Kalian pikir aku akan diam saja?” tandas Raya sembari menyeringai.
Hari-hari Raiden semakin tersudut, ketika Tian berusaha untuk mempengaruhi para kolega perusahaan Wilaga, bahwa Raihaga yang saat ini kembali bukanlah pewaris yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Raiden semakin gusar. Di satu sisi dia sudah terlanjur masuk dalam peran itu. Di sisi lain dia ingin segera mengakhirinya dengan cara membayar lunas hutang Raiden kepada Baskoro. Di ruangan kerjanya, Raiden hanya menatap layar laptopnya tentang rahasia itu. Dia berpikir untuk menemui sosok yang bernama Ratna. “Tidak mungkin Baskoro tidak mengenal Bu Ratna. Aku harus mencari tahunya,” gerutunya sembari memutar bolpoin di sela jemarinya. Tak lama berselang seseorang yang memuakkan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Raiden. Mata Raiden menajam menatap orang yang datang, “Tampaknya kau begitu sulit melupakanku?” ucap Raiden dengan nada sindiran. “Cuih!” Tian muak melihat wajah Raiden yang menyeringai. “Ngapain ke sini?” tanya Raiden sembari menyandarkan bahunya ke sandaran kursi yan
Kedua netra beradu antara dendam dan masa lalu. ‘Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Tian! Kamu sudah membuatku terjerembap dalam kesulitan yang seharusnya tidak pernah aku rasakan!’ batin Raya begitu ingin mendamprat pria pengkhianat di hadapannya. ‘Soraya si gadis malang! Kelinci kecil bodoh! Begitu yang mudahnya aku masuk ke dalam kehidupanmu dan mengeruk kepercayaan beserta harta kekayaan keluargamu!’ batin Tian yang masih saja membenci Raya. Hanya karena Raya berbeda takdir dengan Lusi—gadis yang sebenarnya Tian cintai sejak lama. “Gadis lugu mau ke mana?” tanya Tian sembari menyeringai. Raya hanya diam mengepalkan tangan kanannya dengan begitu erat. Dia tidak mau terjadi keributan yang akan mempersulit Raiden. Raya berusaha menahan amarah dengan tidak menghiraukan Tian. Dia melangkah ke samping untuk menghindari Tian. Namun apa yang terjadi? Tian justru kembali mencegatnya. “Minggir!” ucap Raya. “Kalian memang cocok! Sama-sama penipu!” ucap Tian sembari menc
Raya menunduk malu sembari memejamkan matanya. Dia menduga Raiden adalah pria mesum yang menyentuhnya saat dirinya setengah mabuk. Namun, melihat tatapan Raiden yang tulus membuat Raya merasakan suatu debaran yang telah lama hilang. Debaran yang pernah ada untuk seseorang yang sudah berkhianat kepadanya. Kini debaran itu kembali muncul kepada orang yang berbeda. “Kenapa? Lapar?” tanya Raiden bingung melihat gelagat Raya yang seakan mematung. Padahal Raya sedang mengartikan rasa yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya yang terdalam. ‘Astaga! Nggak-nggak, perasaan ini mungkin hanya kebetulan melintas,’ batin Raya yang menolak perasaan yang mulai bersemi. Dia kembali fokus pada topik perbincangannya. “Terus bagaimana dengan rumah ayahku?” Raya mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu ... tenang saja! Aku sudah atasi.” “Berhutang?” tandas Raya. “Memangnya kau pikir wajahku ini wajah-wajah penuh kesulitan?” kesal Raiden. “Dari mana lagi?” “Astaga! Bocah ini!” gerutu Raiden. “Aku sudah te
Rasa hangat mulai terasa membelai tubuh Raya. Perlahan dia menggeliat manja, merasakan kenyamanan seakan menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menghidu napas dalam sembari meremas rambut panjangnya. Merasakan sensasi kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya terang yang hangat itu perlahan menyelusup ke matanya yang masih terpejam, membuatnya ingin membuka mata. Raya menyipitkan matanya untuk menatap ke arah jendela yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia diam sejenak memandang setiap sudut ruangan. “Astaga!” “Ini? Nggak mungkin!” Soraya terkesiap melihat ruangan itu. Parahnya lagi, Raya menyadari dirinya sudah mengenakan piama. “Nggak mungkin!” ujarnya sembari duduk di tepi ranjang sambil mengingat kejadian semalam. “Apa aku mimpi?” ucapnya lagi dengan mencubit pipinya. “Aw! Sakit! Berarti ini?” Raya beranjak dan terlihat kebingungan. Ia menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu siang hari. Lalu ia kembali melangkah ragu menuju pintu untuk membukanya. Saat i
Raya seakan mengulangi lagi masa kelamnya sebelum bertemu Raiden. Semua karena ulah Tian yang berusaha menguasai kekayaan keluarga Barata. Malam itu, Raya melangkah gontai mengenakan gaun berwarna marun yang menampakkan belahan dadanya. Sepatunya pun berwarna senada yang begitu kontras dengan warna kulit Raya yang seputih susu. Gincu merah bold dan bulu mata lentik membuat Raya terlihat nakal. Dia memencet bel kamar hotel itu dengan ragu. Tak butuh menunggu lama, seorang pelayan membukakan pintunya. Degup jantung Raya semakin kencang. Dia menyadari konsekuensinya setelah melangkahkan kaki ke dalam sana. “Silakan masuk, Nona!” ucap pelayan itu. Seorang pria dengan seragam serba hitam. “Kenapa di dalam sana gelap sekali?” tanya Raya yang sedikit ketakutan melihat situasi gelap di dalam sana. “Tidak apa-apa, Nona! Saya akan mengantar. Tuan muda sudah menunggu!” Raya berusaha tersenyum di antara hati yang terluka. Dia melangkah mengikuti pelayan itu. Terlihat dari jarak beberapa mete
Suseno berusaha untuk menenangkan Barata yang sudah merindukan rumahnya. Lantaran ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi saat ini. “Mohon maaf, Tuan, kalau saya lancang.” “Ya, ada apa, Seno?” “Sebaiknya Anda menunda kepulangan Anda tanpa memberitahu Nona Raya, saya mengerti betul bagaimana Nona sibuk mengatur waktu dengan banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Saya takut, kalau tiba-tiba Tuan pulang tanpa memberitahu, Nona Raya merasa sedih karena Anda tidak melibatkannya.” “Masa sih? Aku rasa Raya justru senang. Ya ... walau sedikit terkejut,” ucap Barata yang masih mengeyel. “Tapi sebaiknya menunggu Nona Raya menemui dokter yang menangani Anda, Tuan!” ucap Seno khawatir. “Sudah pasti Nona Raya akan menyalahkan saya kalau sampai Tuan pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” sahut Suseno lagi dengan jurus final. Barata mendengkus tak bisa menolak, “Baiklah aku akan menurutimu! Kita tunggu Raya datang dan aku akan mengatakan kalau aku sudah merindukan suasana rumah y