Share

Sandiwara

Pagi itu, Raiden yang baru saja keluar dari kamarnya, terkejut melihat Raya mematung dengan raut wajah penuh dendam. Bahkan terlihat jelas air mata yang berderai di pipi gadis itu. Namun, sorot matanya tidak menunjukkan kepedihan. Melainkan dendam.

“Hai!” sapa Raiden untuk mencairkan suasana. Senyum mengembang terlihat dari pemuda tampan yang tetap terlihat tampan walau rambutnya acak-acakan karena bangun tidur.

Raya menoleh ke arah sumber suara. Melihat Raiden tersenyum padanya. Dengan segera Raya menghapus air matanya. Susah payah ia menutupi masalahnya. Menampakkan senyum yang sedikit dipaksakan. “Hai!”

“Mau aku buatkan sarapan?” Raiden berusaha menghibur.

Raya justru melongo dibuatnya. “Sarapan? Memangnya bisa masak?” lantaran Raya sendiri tak bisa memasak. Dia merasa beruntung bertemu pria baik hati seperti Raiden.

“Jangan meremehkanku! Itu urusan mudah!” Raiden mengembangkan senyum sembari melangkahkan kaki. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.

“Apa kau meragukanku?” ucapnya sembari menoleh ke arah Raya.

“Ap—apa? Ah ... tidak-tidak! Maafkan aku! Bukan maksudku menyepelekanmu!” Raya tersipu karena dia meragukan kemampuan Raiden dalam memasak.

“Oh, aku pikir kamu meragukanku?”

“Tidak, Tuan!” Raya berusaha mengulas senyuman. Kali ini dia benar-benar tersenyum melupakan sejenak beban dalam hidupnya.

“Panggil saja, Rai!” ucapnya sambil melangkahkan kaki.

Raya mengangguk. “Ya, ya, ya!” Ia masih menebar senyuman setelah Raiden berjalan ke arah dapur.

‘Akhirnya aku bisa kembali mengulas senyum, walau aku masih memikirkan bagaimana masa depanku juga kondisi Ayah?' batinnya terus bergejolak. Jika kembali teringat ayahnya.

***

Raiden datang kembali untuk menghidangkan sarapan di atas meja. Pandangan Raiden mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Namun ia tidak mendapati Raya di sana.

“Ke mana gadis itu?” gerutunya sembari menoleh ke segala arah. Dia melihat pintu terbuka. Dengan segera ia memeriksanya. Dia takut kalau para bandit itu datang kembali menemukan keberadaan mereka untuk menculik Raya.

“Celaka! Jangan-jangan ....”

Raiden berjalan dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia bernapas lega setelah melihat Raya ada di dekat garasi. Raya terlihat tengah menelepon seseorang. Raut wajahnya sangat serius, kalut, dan kusut. Hal itu semakin membuat Raiden penasaran. Ia pun memutuskan untuk menguping percakapan Raya.

Pemuda itu bersembunyi di balik rimbunnya tanaman Janda bolong, milik pemilik rumah kontrakan. Lalu memasang telinga baik-baik. Karena apa yang didengar membuatnya semakin penasaran dengan sosok gadis bernama Raya yang ia tolong semalam.

‘Apa yang sebenarnya sedang dihadapi gadis itu? Siapa dia sebenarnya?’ batin Raiden sembari terus mengawasi.

‘Apa dia gadis malam? Atau gadis yang diculik seseorang?’ batinnya lagi.

Setelah melihat Raya selesai menelepon. Raiden segera berlari menuju ruangan tadi, dengan sarapan yang sudah tersaji di atas meja.  Dia berusaha terlihat senatural mungkin, seolah tidak mengetahui apa pun dan tidak terjadi apa-apa.

Raiden menatap Raya yang baru saja masuk ke ruangan itu. “Ayo, makanlah!”

Raya buru-buru mengusap air matanya lagi. Ia tidak mau Raiden mengetahui apa yang menimpanya saat ini. Raya mengulas senyuman sembari duduk di sana. “Terima kasih,” ucapnya tulus.

Mereka pun menikmati sarapan bersama. Situasi sempat menghening. Raiden tak mau merasa canggung, sehingga dia mengawali perbincangan.

“Ray!” panggil Raiden membuat Raya menatapnya.

“Ya?”

“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi semalam?” tanya Raiden tegas.

Raya terdiam. Dia tidak punya pilihan lain, selain berkata jujur.

“Aku dijebak,” ucap Raya sembari mengambil segelas air mineral yang sudah disajikan.

“Dijebak?” Raiden hampir tidak percaya.

Raya mengangguk. Ia termenung mengingat kembali apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini.

“Terlalu rumit untuk aku ceritakan saat ini. Karena aku bingung, dari mana aku harus memulai ceritanya.”

“Oh, baiklah! Tidak apa-apa! Semoga masalahmu bisa cepat selesai.” Raiden yang merasa iba tidak mau memaksa Raya untuk bercerita. Walau dalam hatinya begitu penasaran.

“Kamu sendirian tinggal di sini? Soalnya aku ngga lihat siapa pun lagi,” tanya Raya penasaran.

“Aku sebatang kara,” ucap Raiden dengan raut wajah pilu.

“Maaf, aku ngga bermaksud untuk mengingatkanmu ....”

“Tidak masalah! Lalu kamu sendiri tinggal di mana?” sahutnya karena penasaran.

“Aku tinggal di Kota. Ibuku sudah lama meninggal, dan saat ini Ayahku sedang sakit. Ya ... kejadian semalam itu terpaksa aku lakukan. Aku kabur karena aku ngga mau masa depanku lebih hancur lagi.

“Kabur?” Raiden penasaran.

Raya mengangguk. Ia kembali mengingat bagaimana dia berusaha keras untuk kabur dari Om Sugeng.

“Rai, maaf kalau aku lancang. Tapi ... aku mohon, tolong aku!” Raya kembali menatap dengan bulir bening yang terus membasahi pipinya.

Raiden tercengang. Sampai-sampai ia tidak jadi mengunyah sereal itu. “I—iya! Katakan saja!”

“Apa aku boleh menumpang tinggal denganmu untuk sementara waktu?”

“Oh, ya ... tentu saja! Tapi ... apa yang sebenarnya terjadi? Paling tidak sebagai tuan rumah, aku harus tahu maksud dan tujuanmu!” Raiden berpura-pura mendesak Raya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya.

Raya bergeming. Dadanya penuh sesak. Segala luka bercampur menjadi satu. Emosinya memuncak tapi tak tahu arah dan bagaimana ia menyelesaikan semuanya.

“Semalam aku hampir saja kehilangan masa depanku! Aku benar-benar bodoh! Ceroboh! Aku malu, Rai! Aku bukan wanita seperti itu!”

“Ray! Tenang!” Raiden beranjak dari tempat duduknya. Ia berusaha menenangkan Raya dengan menyandarkan Raya ke bahunya.

“Masalah yang kamu hadapi mungkin sangat berat. Tapi semoga semua cepat teratasi. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu inginkan!”

“Tapi, bagaimana kalau pacarmu tahu? Aku ngga mau terjadi salah paham.” Raya tidak mau menambah masalah dalam hidupnya.

“Tenang saja! Aku ngga punya pacar,” tegas Raiden sembari menahan malu.

“Oh, Terima kasih!”

“Ya sudah! Makanlah selagi hangat!” ucap Raiden yang kembali ke posisi semula untuk menghabiskan sereal hangat yang dia buat.

“Ngomong-ngomong ... kamu menjadi joki?”

“Balap motor!” tandas Raiden.

“Sudah lama menjadi joki?” tanya Raya yang juga penasaran dengan kehidupan Raiden. Orang yang begitu berjasa karena menyelamatkan masa depannya semalam.

“Ya, profesiku itu terselubung. Dunia malam, taruhan, ya ... begitulah! Tapi ... Lumayanlah! Karena aku hanya seorang pengangguran.”

Raya hanya tersenyum. Dia tidak mau kalau perbincangan itu menyinggung Raiden. Karena tidak ada maksud lain selain ingin berbincang.

“Kamu sendiri? Bekerja atau kuliah?” Raiden kembali melempar pertanyaan untuk Raya.

“Kuliah semester akhir. Tapi, mungkin ngga akan berakhir dengan sebuah gelar.”

“Maksudnya?”

“Mungkin aku ngga bisa melanjutkan kuliahku. Masalah yang aku hadapi sangat berat, Rai! Aku harus belajar mengikhlaskan segalanya. Aku merasa duniaku jungkir balik saat ini!” Raya berbicara sembari gemetaran.

“Masalah yang dihadapi dalam kehidupan tak ubahnya bagai ujian. Setelah kamu berproses melewati semua itu, walau tidak mudah. Yakinlah, kebahagiaan tersirat di dalamnya. Seperti kata orang! Pengalaman adalah pelajaran berharga dalam kehidupan!” Raiden berusaha menguatkan Raya. Karena ia pun tengah menghadapi masalah yang cukup rumit.

“Kelihatannya, kamu sudah mengalami permasalahan yang rumit?” tanya Raya yang mulai tenang setelah mendengar apa yang Raiden sampaikan.

“Begitulah kehidupan!” Raiden hanya mengulas senyumannya.

“Terkadang indah, tapi lebih banyak ujiannya. Tinggal bagaimana mental kita menghadapi itu semua.”

“Ya, kamu benar!” ucap Raya yang merasa menemukan orang yang tepat untuk berkeluh-kesah.

“Sudah, habiskan dulu makananmu! Jangan sampai bersisa!” pinta Raiden.

“Baiklah! Sekalian aku mau minta izin keluar sebentar.”

“Ambillah kunci ini!” Raiden memberikan kunci rumah kontrakannya.

“Tapi ....”

“Aku punya serepnya!”

Raiden yang penasaran menyelidiki diam-diam. Dari penelusuran itu, Raiden mendapati Raya bertemu dengan seseorang di sebuah jalanan sepi. Pria yang bertemu dengan Raya membawakan satu kantong berisi sesuatu. Lalu mereka terlihat berbincang sebentar. Tak lama setelahnya, Raya kembali menangis. Raya kembali menaiki taksi, sedangkan Raiden  mengikuti pria yang baru saja bertemu dengan Raya.

Pria itu pergi ke rumah sakit. Raiden kembali mengikuti hingga pria itu masuk ke dalam ruang perawatan. Rasa penasaran itu mengantarkan Raiden menemukan sebuah fakta bahwa pria yang tengah dirawat di sana bernama Barata. Seorang pengusaha terkemuka yang diberitakan bangkrut.

‘Apa mungkin, Raya adalah putri dari Barata? Soraya Barata yang dikabarkan baru saja putus dari tunangannya?’ gerutunya dalam hati. Namun, Raiden masih penasaran dengan masalah yang melanda Raya. Hatinya bergetar melihat berita pagi ini. Semua menyudutkan Soraya Barata.

***

Raya bertemu dengan Suseno pagi itu.  Lantaran dia meminta tolong untuk mengambilkan beberapa setel pakaian di rumahnya. Saat ini Raya memilih untuk bersembunyi karena takut akan anak buah Sugeng. Selain itu, semua aset Barata tengah disita, lantaran perusahaannya tengah mengalami krisis. Semua diduga akibat ulah Tian. Namun, bukti yang mengarah padanya, begitu sulit didapatkan. Semua dijalankan dengan sangat rapi..

Raya berusaha meminta tolong kepada Suseno untuk mendapatkan bukti kecurangan Tian—mantan tunangannya. Karena saat ini Tian memiliki kekuasaan di perusahaan Barata. Semua berawal ketika Barata jatuh sakit. Perusahaan membutuhkan seseorang untuk menggantikannya. Sehingga Barata menunjuk Tian untuk menggantikan posisinya sementara waktu sampai Barata sembuh. Karena pada saat itu, Tian adalah calon menantunya. Namun, bukannya amanah. Tian justru melakukan banyak kecurangan dan membatalkan pernikahan dengan Raya.

***

Malamnya, Raya menjenguk Barata di rumah sakit. Itu pun Raya lakukan diam-diam dengan bantuan Suseno. Barata dipindahkan ke ruang perawatan yang baru setelah kondisinya stabil pasca operasi.

Raya menggenggam tangan ayahnya. Pria yang selalu ada untuk Raya, menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk putrinya.

“Raya.” Senyuman mengembang di wajah Barata.

“Iya, Ayah.” Suara lembut itu menyejukkan relung hati sang ayah.

“Apa kamu sibuk?”

“Lumayan, Yah. Maaf kalau Raya baru sempat menemani Ayah lagi.”

“Ayah mengerti. Kamu pasti sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Tian, kan?”

Deg!

Ucapan Barata membuat Raya bingung. Harus menjawab apa atas pertanyaan itu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mbak Engz
matre buanget pelit juga haha
goodnovel comment avatar
Peri Lara
Dasar Tian, cowok matre... ke laut aje!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status