“Eh, maksudnya gimana?” tanya Rika bingung. Dinda melangkah mendekat, menatap Rika lekat-lekat dengan tatapan memohon, kedua telapak tangannya disatukan di dadanya.
“Tante, mau nggak jadi Mama aku? Aku ingin punya teman ngobrol dan jalan-jalan ke mall seperti teman-temanku yang lain,” pintanya lirih dengan tatapan memohon. Satya terlihat salah tingkah dengan permintaan putrinya yang tidak terduga.
“Dinda, cukup! Dia tamu, Papa. Jangan bicara macam-macam!” bentak Satya. Dinda mengalihkan pandangan menatap Satya dengan bibir mengerucut. “Maafkan putri saya,” sesalnya sopan menatap Rika.
“Iya, Pak. Nggak apa-apa, kok. Namanya juga anak-anak,” sahut Rika mengembangkan senyumannya, meski jantungnya serasa mau loncat saat mendengar permintaan gadis kecil bernama Dinda itu.
“Tante Rika ini adalah seorang penulis, dia akan menulis biografi Papa dan kamu akan ada di dalam tulisannya. Kamu bisa mengakrabkan diri dengannya, tapi jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu mengerti maksud, Papa ‘kan?” Satya menatap Dinda tajam.
“Tapi, Pah—“ Dinda tidak melanjutkan ucapannya. “Sudah, sekarang masuk ke kamarmu!” potong Satya tegas.
“Aku ingin jalan-jalan, Pah. Ada beberapa barang yang ingin aku beli,” rengeknya tidak menyerah dengan tatapan memohon.
Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Satya. “Katakan saja, apa yang mau kamu beli. Nanti, Papa akan menyuruh orang untuk membelinya,” sahut Satya datar. Mata Dinda membola sempurna. “Bukan begitu caranya, Pah. Aku ingin jalan-jalan,”protesnya, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang ditahan.
“Maaf, Pak. Kalau saya lancang dan menyela pembicaraan. Mungkin, Bapak khawatir melepas putri Bapak pergi sendiri. Setelah wawancara sedikit dengan Bapak, saya bisa menemani putri Bapak untuk berjalan-jalan. Sekaligus saya juga bisa mengenalnya lebih baik, untuk referensi tulisan saya, bagaimana?”
“Aku mau, Tante temani aku ya,” rengek Dinda memegang tangan Rika. Satya Mahendra, laki-laki tampan dingin yang tegas akhirnya menganggukkan kepala. Setuju dengan usul mereka.
“Asyik, terima kasih, Papa. Aku akan menunggu di kamarku. Kabarkan kalau sudah selesai ya, Pa!” Dinda mencium pipi Satya lalu berlari kecil masuk ke dalam.
Rika mengembangkan senyum menatapnya. Dari adegan yang dilihatnya, tampak terlihat jelas kalau Satya sangat menyayangi putrinya.
Rika pernah membaca tentang artikel kehidupan pribadi laki-laki tampan bernama Satya Mahendra itu. Di sana tertulis kalau kehidupan rumah tangga Satya tidak sesukses bisnisnya. Istrinya pergi meninggalkannya, lari dengan pria lain. Seakan membuat kesan kalau Satya adalah pria jahat yang membuat istrinya kabur dari rumah.
“Dengar! Aku ingin tulisanmu memberikan image, kalau aku dan mantan istriku berpisah secara baik-baik. Berita yang sekarang beredar adalah seorang ibu yang meninggalkan suami dan anaknya. Ini kulakukan untuk menjaga perasaan Dinda. Aku nggak mau dia merasa kalau dia lahir tanpa diinginkan.”
“Iya, Pak. Saya mengerti,” sahut Rika, meski dalam hati banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Satya langsung menghubungi Dinda, karena pembicaraannya dengan Rika telah selesai.
Tidak menunggu lama, Dinda sudah datang dengan langkah cepat. “Sudah selesai, ‘kan? Ayo, Tante temani aku jalan-jalan!” ajak Dinda dengan wajah riang.
“Sopir akan mengantarkan kalian,” ucap Satya tegas. Dinda melangkah dengan riang bersama dengan Rika keluar rumah masuk ke dalam mobil dengan senyuman yang tak lepas di bibirnya.
“Sampai nanti, Papa!” teriak Dinda ketika mobil melaju perlahan. Satya tersenyum tipis ikut merasakan kebahagiaan putrinya, dia memandang mobil yang membawa putrinya hingga tak terlihat di pandangan mata lagi.
Seperti biasa suasana jalanan terasa penuh kehidupan. Klakson mobil yang berbunyi dengan irama yang tidak beraturan menjadi lagu khas di jalanan Jakarta.
“Kita sudah sampai, Tante,” teriak Dinda dengan senyuman lebar. Rika mengangguk membalas senyum. Saat mereka keluar dari mobil, sopir dengan cekatan membuka pintu. Rika dan Dinda melangkah keluar dengan hati-hati memasuki mall.
“Rika!” Terdengar suara orang yang memanggil namanya, suara yang sangat dikenalnya. Rika dan Dinda menoleh bersamaan mencari asal suara. Mata Rika tertuju pada tangan wanita yang tengah menggandeng laki-laki yang menjadi mantan suaminya. Sadar akan tatapan Rika, wanita itu mengeratkan pegangan tangannya. Dinda menatap keduanya penuh selidik.
Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, menatap tajam ke arah mantan suaminya dan wanita yang akan dinikahinya itu. Dia merasakan pahitnya perasaan terkhianati, terluka oleh pemandangan yang menyakitkan. Namun, dia tak ingin meratapi nasib, Rika membangun semangat untuk menghadapi kenyataan yang memilukan.
“Mbak, nanti setelah rumah yang akan kami tempati di renovasi, kami akan mengambil barang-barang Mas Andri,” ucap Riana ketus. “Oke, ambil saja. Tolong kabari dulu, kalau kalian mau ke rumah. Ayo, Dinda!” Rika membalikan tubuhnya mengajak Dinda pergi dari sana.
“Tante!” panggil Dinda pelan. Rika menatap Dinda sendu. “Iya, Sayang,” sahut Rika. Dinda menatap Rika lekat-lekat.
“Apakah orang yang tadi itu suami Tante? Jadi, nasib Tante sama dengan papaku. Bagaimana, kalau Tante menikah saja dengan papaku?” ucap Dinda tanpa beban, mata Rika membola sempurna dengan mulut menganga tidak menjawab. “Kenapa? Tante nggak suka papaku?” tanyanya lirih menatap sendu.
Rika yang sangat terkejut dengan permintaan konyol Dinda, berusaha menguasai dirinya dengan menarik nafas dalam-dalam. Menatap gadis kecil itu lembut. “Hubungan Tante, dengan papamu hanya sebatas kerjaan, Sayang,” jelas Rika membelai lembut rambut Dinda.
Ekspresi wajah Dinda tampak kecewa dengan bibir mengerucut. Rika dapat melihat jelas, Dinda sangat mendambakan kasih sayang seorang ibu. Tentu saja Rika sangat memahaminya, karena dia pun tinggal di panti asuhan tanpa mengingat ibu dan ayahnya.
“Sudah, jangan sedih. Katanya mau jalan-jalan, mau happy. Kok malah sedih? Tante janji, akan sering temenin Dinda. Kita bisa minta ijin papamu untuk pergi lagi lain waktu, bagaimana?”
Dinda mengangkat kepalanya, menatap Rika dengan mata berbinar dan wajah berseri-seri. “Janji ya, Tante. Awas, kalau Tante bohong!” tegas Dinda menekankan ucapannya sembari melebarkan senyuman.
Rika mengangguk mantap, seraya tersenyum meyakinkan. “Ayo, Tante kita lihat-lihat pakaian. Aku ingin membeli pakaian,” ajaknya. Seketika wajahnya kembali ceria, Rika ikut tersenyum lega.
Dengan senyum cerahnya, Dinda terlihat bersemangat memilih gaun-gaun cantik yang membuat matanya berbinar. Sedangkan Rika, dengan kepiawaian dan kesabaran, membantu Dinda menemukan pilihan terbaik yang sesuai dengan selera gadis itu. Mereka berdua tampak begitu akrab, seperti telah lama kenal.
“Ini sudah sore, ayo kita pulang,” ujar Rika sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
Meskipun kecewa Dinda tetap bersyukur atas pengalaman yang menyenangkan bersama Rika. Dinda tahu, papanya hanya mengijinkannya keluar sampai sore hari. Mereka berdua berjalan keluar dari pusat perbelanjaan lalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggu di lobby. Rika dan Dinda tak habis mengobrol tentang rencana mereka untuk bertemu lagi.
Akhirnya mereka sampai di rumah besar keluarga Mahendra. Rika yang tadinya hendak berpamitan dengan Satya, mengurungkan niatnya ketika pesan Satya masuk ke ponselnya. [Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk putriku. Kalau mau pulang, silahkan pulang saja dan tidak perlu berpamitan denganku!]
Tentu saja, Rika mengerti arti pesan tersebut. “Sayang, Tante pulang dulu,” pamit Rika pada Dinda yang mengangguk, dengan senyuman menghiasi wajahnya. Rika hendak naik ke motornya ketika dia mendapat pesan masuk dari Satya. [Ingat, besok datang lagi!]. “Huhh, dasar orang kaya kerjaannya hanya memerintah aja!” umpatnya sembari mengendarai motornya perlahan. Sepasang mata memperhatikannya dari balik jendela.
Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi perjalanan Rika yang mengendarai motornya dengan penuh semangat. Tujuannya adalah rumah Satya Mahendra. Saat motornya sampai di depan gerbang rumah, senyum ramah pak satpam menyambut Rika.Rika segera memarkir motornya dan berjalan menuju pintu depan. Ternyata, Dinda, sudah menunggunya dengan senyuman lebar di teras. "Akhirnya Tante Rika datang!" seru Dinda sambil melompat kegirangan. "Hai, Sayang. Wah, kamu kelihatan semangat sekali hari ini," ucap Rika membalas dengan senyuman lebar."Papa bilang, Tante akan berkeliling rumah untuk menggambarkan rumah kami dalam tulisan, benar? Aku yang akan menemani, Tante." Dinda berkata antusias. "Iya, benar sekali, Sayang,” sahut Rika."Tapi, sebelumnya, bisakah Tante membantuku mengerjakan PR matematika? Aku agak bingung," pinta Dinda dengan manis. Rika tersenyum mengangguk. "Tentu saja, aku akan bantu. Mari kita selesaikan PR-nya terlebih dahulu."Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Rika dengan
Suasana menjadi tegang ketika Satya tiba-tiba meluapkan kemarahannya kepada Andri, mantan suami Rika, yang sudah mengabaikannya bahkan berkata tidak sopan pada Rika. Satya bicara dengan suara keras memecah keheningan, hingga teriakkannya menghentikan langkah Andri. “Hey! Apa maksud perkataanmu?” teriak Satya lantang. Andri berbalik dan menatap Satya dengan tatapan dingin. “Ah, ini bukan urusanmu. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikut campur!” balas Andri dengan suara tinggi. Ucapan Andri memancing emosi Satya. “Aku tidak peduli! Yang jelas kamu tidak memiliki hak untuk menyakiti perasaan Rika dengan kata-kata kasar seperti itu!” bentak Satya tegas. Andri mengangkat bahunya. “Asal anda tahu. Rika, nggak bisa menerima kenyataan, kenapa aku mencari wanita lain,” ejeknya dengan senyuman miring. Terlihat senyuman mengejek, terukir di bibir Riana. “Justru, Rika tahu. Melepaskanmu, adalah cara terbaik untuk memperbaiki hidupnya!” Satya meninggikan suaranya. Meski Rika tidak mencer
"Pah, boleh ya, aku menginap di rumah Tante Rika malam ini?" desak Dinda, sambil menyuguhkan senyum manisnya. Satya masih terdiam, tatapan cemasnya tergambar jelas di wajah tampannya. Sebuah kekhawatiran yang tak terucapkan. Rika memang wanita baik, namun tetap saja Satya ragu untuk memberikan izin pada putrinya. "Boleh, ya, Pah?" Desakan lembut Dinda terdengar lagi. Satya merasa kebingungan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa kekhawatirannya tanpa membuat Dinda kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rika, melihat kekhawatiran di wajah Satya melepas putrinya, langsung memberi pengertian pada Dinda. "Dinda, Sayang, kamu nggak perlu menginap, kamu bisa datang ke rumah Tante setelah pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan PR bersama, atau jika kamu ingin bercerita tentang teman-temanmu Tante selalu siap mendengarkan. Tante akan menunggumu, bagaimana?" Rika berkata dengan lembut. Rika sangat memahami perasaan Dinda yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena dia
Satya melangkah tergesa-gesa di belakang Rika yang memimpin jalan menuju kamar. Wajahnya cemas, tetapi Satya mencoba menenangkan diri dari kepanikannya. "Rika, apa yang terjadi dengan Dinda?" desisnya, mencoba mengendalikan kecemasannya.Rika memasuki kamar dengan langkah cepat, Satya mengikutinya dengan tatapan khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Dia seharusnya baik-baik saja, Pak Satya. Saya yakin itu hanya karena siklusnya," jawab Rika, mencoba memberikan penjelasan yang dapat menenangkan Satya.Namun, begitu mereka berdua melihat Dinda berbaring dengan wajah pucat, ekspresi panik kembali menghampiri wajah Satya. "Dinda, Sayang, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Satya dengan nada khawatir, hampir tanpa jeda.Dinda menatap mereka dengan wajah lemah, "Aku hanya merasa nggak enak badan, Pap. Aku rasa hanya perlu istirahat," jawab Dinda, mencoba meyakinkan mereka.Saat Rika hendak menjawab, Dinda memotong, "Tante Rika, jika tulisan biografi Papa sudah selesai, apa
Satya duduk di ruang tamu, menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengajak Rika untuk bekerja bersamanya. Dia mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan rencananya. Lalu, dia melangkah ke kamar tamu untuk menemui Rika dan Dinda.Dia berdiri di depan pintu kamar tamu, dia bisa mendengar tawa ceria Dinda yang terdengar menyenangkan. Dalam hatinya, Satya merasa lega melihat putrinya bisa begitu dekat dengan Rika. Satya mengayunkan tangan dan mengetuk pelan kamar tamu.“Boleh, Papa masuk?” tanya Satya dari luar kamar. "Iya, Pah, masuk aja!" seru Dinda dari dalam kamar. Dengan perlahan, Satya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan kamar."Papa lihat kamu gembira sekali, Dinda?" sapa Satya ramah sambil tersenyum pada mereka berdua. "Tentu dong, Pah. Aku senang karena ada teman curhat!" jawab Dinda melirik Rika sembari tersenyum senang.“Oh, iya. Bagaimana kondisi Dinda menurut dokter, Pak?” tanya Rika penuh perhatian. “Dia baik-baik saja, sepe
Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar. Alarm adzan subuh berbunyi dengan lembut. Dengan gerakan setengah sadar, Rika menggapai ponselnya yang bergetar di atas meja.Setelah menunaikan sholat subuh, Rika melangkah ke balkon kamar Dinda. Dari sana, pemandangan taman belakang rumah yang asri terhampar indah di hadapannya. Dinda, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan mata yang sedikit mengantuk, merasakan sentuhan udara pagi melangkah menghampiri Rika.“Tante, sudah bangun,” sapa Dinda. Rika menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah, Sayang. Oh iya, perutmu tidak terasa sakit lagi, Din?" tanya Rika sambil memandang ke arah matahari yang mulai menampakkan keberadaannya di ufuk timur.Dinda mengangguk pelan. "Iya, Tante. Alhamdulillah, sudah nggak terlalu sakit seperti semalam," jawab Dinda mengembangkan senyumnya. Rika tersenyum lega mendengarnya."Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar
Rika melangkah perlahan menuju ruang makan. Mentari pagi yang lembut menyinari langit, memberikan kehangatan pada rumah itu.Ketika dia tiba di ruang makan, matanya langsung bertemu dengan wajah Dinda yang duduk di meja dengan sepiring pancake yang masih mengeluarkan uap. Dinda yang selalu terlihat energik dan ceria. Namun, kali ini ada keraguan yang tersemat di wajahnya, Dinda tampak sedang berpikir. “Ah, Dinda. Rasanya aku sulit meninggalkanmu,” batin Rika."Dinda!" sapanya sambil tersenyum. Pandangan Dinda melambat saat dia menoleh ke arah Rika, senyumnya terlihat ragu. "Tante Rika. Sudah bicara dengan papa?" tanyanya dengan tatapan sendu. Rika mengangguk dan duduk di kursi yang kosong di seberang Dinda. "Iya, Sayang. Wah, pancake wangi sekali," ujar Rika mencoba mencairkan suasana. Rika tahu Dinda sedang khawatir.Dinda tersenyum tipis, tapi ekspresinya segera berubah serius. "Tante Rika, aku harus tanyakan sesuatu. Apakah, Tante sudah menyelesaikan pekerjaan menulis buku biografi
Rika memasuki rumahnya dengan hati-hati, sambil melangkah dalam hati memikirkan kehadiran tiba-tiba mantan ibu mertuanya. Dia berharap kunjungan itu bukanlah awal dari masalah baru."Ibu, ada apa?" Rika mencoba tersenyum ramah sambil berjalan menuju ruang tamu, mencoba menahan rasa khawatirnya.“Dari mana saja, kamu? Bi Tina bilang, kamu menginap. Wah, baru berstatus janda langsung merasa bebas. Kamu tidur di hotel dengan laki-laki mana? Mentang-mentang mandul jadi bisa bebas!” maki ibu mertua dengan hinaan tanpa jeda, saat melihat Rika datang. Rika mengepalkan tangannya dengan mata membesar. “Maaf, itu bukan urusan ibu lagi. Aku bukan tanggung jawab Mas Andri lagi. Ibu harus ingat kalau kami sudah bercerai. Jadi, apapun yang aku lakukan, bukan menjadi urusan Mas Andri atau keluarganya lagi. Ada perlu apa, Ibu datang ke sini?” sahut Rika membalas ketus. Rika tidak mau lagi diam saat hinaan menghujamnya.“Wah, sombong sekali sekarang, kamu! Apa mentang-mentang bisa mencari uang, lanta