Share

Bab 4. Jadi Mama, Maksudnya?

“Eh, maksudnya gimana?” tanya Rika bingung. Dinda melangkah mendekat, menatap Rika lekat-lekat dengan tatapan memohon, kedua telapak tangannya disatukan di dadanya.

“Tante, mau nggak jadi Mama aku? Aku ingin punya teman ngobrol dan jalan-jalan ke mall seperti teman-temanku yang lain,” pintanya lirih dengan tatapan memohon. Satya terlihat salah tingkah dengan permintaan putrinya yang tidak terduga.

“Dinda, cukup! Dia tamu, Papa. Jangan bicara macam-macam!” bentak Satya. Dinda mengalihkan pandangan menatap Satya dengan bibir mengerucut. “Maafkan putri saya,” sesalnya sopan menatap Rika.

“Iya, Pak. Nggak apa-apa, kok. Namanya juga anak-anak,” sahut Rika mengembangkan senyumannya, meski jantungnya serasa mau loncat saat mendengar permintaan gadis kecil bernama Dinda itu.

“Tante Rika ini adalah seorang penulis, dia akan menulis biografi Papa dan kamu akan ada di dalam tulisannya. Kamu bisa mengakrabkan diri dengannya, tapi jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu mengerti maksud, Papa ‘kan?” Satya menatap Dinda tajam.

“Tapi, Pah—“ Dinda tidak melanjutkan ucapannya. “Sudah, sekarang masuk ke kamarmu!” potong Satya tegas.

“Aku ingin jalan-jalan, Pah. Ada beberapa barang yang ingin aku beli,” rengeknya tidak menyerah dengan tatapan memohon.

Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Satya. “Katakan saja, apa yang mau kamu beli. Nanti, Papa akan menyuruh orang untuk membelinya,” sahut Satya datar. Mata Dinda membola sempurna. “Bukan begitu caranya, Pah. Aku ingin jalan-jalan,”protesnya, ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang ditahan.

“Maaf, Pak. Kalau saya lancang dan menyela pembicaraan. Mungkin, Bapak khawatir melepas putri Bapak pergi sendiri. Setelah wawancara sedikit dengan Bapak, saya bisa menemani putri Bapak untuk berjalan-jalan. Sekaligus saya juga bisa mengenalnya lebih baik, untuk referensi tulisan saya, bagaimana?”

“Aku mau, Tante temani aku ya,” rengek Dinda memegang tangan Rika. Satya Mahendra, laki-laki tampan dingin yang tegas akhirnya menganggukkan kepala. Setuju dengan usul mereka.

“Asyik, terima kasih, Papa. Aku akan menunggu di kamarku. Kabarkan kalau sudah selesai ya, Pa!” Dinda mencium pipi Satya lalu berlari kecil masuk ke dalam.

Rika mengembangkan senyum menatapnya. Dari adegan yang dilihatnya, tampak terlihat jelas kalau Satya sangat menyayangi putrinya.

Rika pernah membaca tentang artikel kehidupan pribadi laki-laki tampan bernama Satya Mahendra itu. Di sana tertulis kalau kehidupan rumah tangga Satya tidak sesukses bisnisnya. Istrinya pergi meninggalkannya, lari dengan pria lain. Seakan membuat kesan kalau Satya adalah pria jahat yang membuat istrinya kabur dari rumah.

“Dengar! Aku ingin tulisanmu memberikan image, kalau aku dan mantan istriku berpisah secara baik-baik. Berita yang sekarang beredar adalah seorang ibu yang meninggalkan suami dan anaknya. Ini kulakukan untuk menjaga perasaan Dinda. Aku nggak mau dia merasa kalau dia lahir tanpa diinginkan.”

“Iya, Pak. Saya mengerti,” sahut Rika, meski dalam hati banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Satya langsung menghubungi Dinda, karena pembicaraannya dengan Rika telah selesai.

Tidak menunggu lama, Dinda sudah datang dengan langkah cepat. “Sudah selesai, ‘kan? Ayo, Tante temani aku jalan-jalan!” ajak Dinda dengan wajah riang.

“Sopir akan mengantarkan kalian,” ucap Satya tegas. Dinda melangkah dengan riang bersama dengan Rika keluar rumah masuk ke dalam mobil dengan senyuman yang tak lepas di bibirnya.

“Sampai nanti, Papa!” teriak Dinda ketika mobil melaju perlahan. Satya tersenyum tipis ikut merasakan kebahagiaan putrinya, dia memandang mobil yang membawa putrinya hingga tak terlihat di pandangan mata lagi.

Seperti biasa suasana jalanan terasa penuh kehidupan. Klakson mobil yang berbunyi dengan irama yang tidak beraturan menjadi lagu khas di jalanan Jakarta.

“Kita sudah sampai, Tante,” teriak Dinda dengan senyuman lebar. Rika mengangguk membalas senyum. Saat mereka keluar dari mobil, sopir dengan cekatan membuka pintu. Rika dan Dinda melangkah keluar dengan hati-hati memasuki mall.

“Rika!” Terdengar suara orang yang memanggil namanya, suara yang sangat dikenalnya. Rika dan Dinda menoleh bersamaan mencari asal suara. Mata Rika tertuju pada tangan wanita yang tengah menggandeng laki-laki yang menjadi mantan suaminya. Sadar akan tatapan Rika, wanita itu mengeratkan pegangan tangannya. Dinda menatap keduanya penuh selidik.

Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, menatap tajam ke arah mantan suaminya dan wanita yang akan dinikahinya itu. Dia merasakan pahitnya perasaan terkhianati, terluka oleh pemandangan yang menyakitkan. Namun, dia tak ingin meratapi nasib, Rika membangun semangat untuk menghadapi kenyataan yang memilukan.

“Mbak, nanti setelah rumah yang akan kami tempati di renovasi, kami akan mengambil barang-barang Mas Andri,” ucap Riana ketus. “Oke, ambil saja. Tolong kabari dulu, kalau kalian mau ke rumah. Ayo, Dinda!” Rika membalikan tubuhnya mengajak Dinda pergi dari sana.

“Tante!” panggil Dinda pelan. Rika menatap Dinda sendu. “Iya, Sayang,” sahut Rika. Dinda menatap Rika lekat-lekat.

“Apakah orang yang tadi itu suami Tante? Jadi, nasib Tante sama dengan papaku. Bagaimana, kalau Tante menikah saja dengan papaku?” ucap Dinda tanpa beban, mata Rika membola sempurna dengan mulut menganga tidak menjawab. “Kenapa? Tante nggak suka papaku?” tanyanya lirih menatap sendu.

Rika yang sangat terkejut dengan permintaan konyol Dinda, berusaha menguasai dirinya dengan menarik nafas dalam-dalam. Menatap gadis kecil itu lembut. “Hubungan Tante, dengan papamu hanya sebatas kerjaan, Sayang,” jelas Rika membelai lembut rambut Dinda.

Ekspresi wajah Dinda tampak kecewa dengan bibir mengerucut. Rika dapat melihat jelas, Dinda sangat mendambakan kasih sayang seorang ibu. Tentu saja Rika sangat memahaminya, karena dia pun tinggal di panti asuhan tanpa mengingat ibu dan ayahnya.

“Sudah, jangan sedih. Katanya mau jalan-jalan, mau happy. Kok malah sedih? Tante janji, akan sering temenin Dinda. Kita bisa minta ijin papamu untuk pergi lagi lain waktu, bagaimana?”

Dinda mengangkat kepalanya, menatap Rika dengan mata berbinar dan wajah berseri-seri. “Janji ya, Tante. Awas, kalau Tante bohong!” tegas Dinda menekankan ucapannya sembari melebarkan senyuman.

Rika mengangguk mantap, seraya tersenyum meyakinkan. “Ayo, Tante kita lihat-lihat pakaian. Aku ingin membeli pakaian,” ajaknya. Seketika wajahnya kembali ceria, Rika ikut tersenyum lega.

 Dengan senyum cerahnya, Dinda terlihat bersemangat memilih gaun-gaun cantik yang membuat matanya berbinar. Sedangkan Rika, dengan kepiawaian dan kesabaran, membantu Dinda menemukan pilihan terbaik yang sesuai dengan selera gadis itu. Mereka berdua tampak begitu akrab, seperti telah lama kenal.

“Ini sudah sore, ayo kita pulang,” ujar Rika sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Meskipun kecewa Dinda tetap bersyukur atas pengalaman yang menyenangkan bersama Rika. Dinda tahu, papanya hanya mengijinkannya keluar sampai sore hari. Mereka berdua berjalan keluar dari pusat perbelanjaan lalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggu di lobby. Rika dan Dinda tak habis mengobrol tentang rencana mereka untuk bertemu lagi.

Akhirnya mereka sampai di rumah besar keluarga Mahendra. Rika yang tadinya hendak berpamitan dengan Satya, mengurungkan niatnya ketika pesan Satya masuk ke ponselnya. [Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk putriku. Kalau mau pulang, silahkan pulang saja dan tidak perlu berpamitan denganku!]

 Tentu saja, Rika mengerti arti pesan tersebut. “Sayang, Tante pulang dulu,” pamit Rika pada Dinda yang mengangguk, dengan senyuman menghiasi wajahnya. Rika hendak naik ke motornya ketika dia mendapat pesan masuk dari Satya. [Ingat, besok datang lagi!]. “Huhh, dasar orang kaya kerjaannya hanya memerintah aja!” umpatnya sembari mengendarai motornya perlahan. Sepasang mata memperhatikannya dari balik jendela.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status