Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi perjalanan Rika yang mengendarai motornya dengan penuh semangat. Tujuannya adalah rumah Satya Mahendra. Saat motornya sampai di depan gerbang rumah, senyum ramah pak satpam menyambut Rika.
Rika segera memarkir motornya dan berjalan menuju pintu depan. Ternyata, Dinda, sudah menunggunya dengan senyuman lebar di teras. "Akhirnya Tante Rika datang!" seru Dinda sambil melompat kegirangan. "Hai, Sayang. Wah, kamu kelihatan semangat sekali hari ini," ucap Rika membalas dengan senyuman lebar.
"Papa bilang, Tante akan berkeliling rumah untuk menggambarkan rumah kami dalam tulisan, benar? Aku yang akan menemani, Tante." Dinda berkata antusias. "Iya, benar sekali, Sayang,” sahut Rika.
"Tapi, sebelumnya, bisakah Tante membantuku mengerjakan PR matematika? Aku agak bingung," pinta Dinda dengan manis. Rika tersenyum mengangguk. "Tentu saja, aku akan bantu. Mari kita selesaikan PR-nya terlebih dahulu."
Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Rika dengan sabar dan penuh kecerdasan menjelaskan konsep matematika kepada Dinda. Dengan cara yang jelas dan ramah, Rika membimbing Dinda memahami materi yang sebelumnya membingungkan.
"Oh, sekarang aku mengerti! Ternyata, Tante Rika sangat pintar!" ucap Dinda berseri-seri setelah berhasil menyelesaikan tugasnya.
Sementara itu, Satya yang diam-diam mengintip dari balik pintu terkesima melihat keakraban Rika dan putrinya. "Dia tidak hanya pandai menulis, tapi juga sangat cerdas," gumam Satya dengan bangga sambil tersenyum. Satya mengetuk pintu kamar Dinda yang pintunya tidak tertutup rapat, lalu melangkah menghampiri Rika dan Dinda.
“Selamat pagi, Pak. Maaf, saya nggak menemui Bapak dulu,” sapa Rika menganggukan kepala dengan hormat. “Nggak apa-apa. Saya memang sudah mengatakan pada Dinda untuk memandumu berkeliling rumah. Lalu, kenapa kamu malah di sini?” tanya Satya pura-pura tidak tahu.
“Aku yang minta Tante Rika ajarin PR, Pah. Aku nggak ngerti meski udah dijelasin guru les, tapi kalau Tante Rika yang jelasin, aku ngerti,” sela Dinda penuh semangat memuji Rika. "Terima kasih banyak, Rika sudah membantu Dinda. Saya akan memberikan bayaran lebih untuk itu,” ucap Satya datar.
Rika tersenyum lembut "Sama-sama, Pak Satya. Senang bisa membantu. Maaf, bukan saya sombong, tapi saya nggak bisa menerima bayaran untuk bantuan saya pada Dinda. Saya menyayanginya dengan tulus tanpa meminta imbalan, Pak," ucap Rika pelan tanpa mau membuat Satya merasa tidak enak.
“Tuh, Pah. Tante Rika ini baik banget, ‘kan? Aku juga sayang sama Tante, ayo kita keliling rumah!” ajak Dinda tersenyum lebar. Rika menatap Satya meminta persetujuan. Setelah mendapat anggukan dari Satya, Rika mengikuti Dinda keluar dari kamar meninggalkan Satya yang terlihat kagum pada Rika.
Satya langsung mengambil ponsel di dalam kantongnya, lalu menghubungi asisten kepecayaannya, Rendy.
Rendy : “Halo, Pak,” jawab Rendy.
Satya : “Halo, Ren. Tolong kirimkan data diri t penulis Rika Akana. Kirim ke email saya sekarang juga ya!”
Rendy : “Baik, Pak.”
Satya memutus sambungan telpon. Beberapa detik kemudian notif pesan ponselnya berbunyi. Dia melihat email yang masuk dan membaca dengan seksama. Keningnya mengernyit setelah membaca data diri Rika. “Oh, jadi Rika selama ini tinggal di panti asuhan dan tidak pernah tahu siapa orang tuanya,” gumam Satya menatap lurus membayangkan wajah Rika.
“Pak, saya pamit pulang dulu. Saya sudah punya bahan untuk tulisan awalan saya. Minggu depan saya akan datang lagi untuk menyerahkan tulisan pembuka,” pamit Rika ketika dia sudah berkeliling rumah bersama Dinda.
“Kalau perlu tiap hari datang ke rumahku, aku akan senang sekali, Tante,” rengek Dinda. Satya menajamkan tatapannya pada Dinda yang langsung menunduk sedih. “Oke, aku tunggu minggu depan,” sahut Satya. Rika berpamitan pada Dinda lalu keluar dari rumah besar itu. Dia mengendarai motornya hingga tiba di rumahnya.
Setelah mandi, Rika langsung duduk di meja kerjanya dengan fokus penuh. Dia mengetik dengan cepat untuk menyelesaikan naskah biografi Satya Mahendra. Di hadapannya terdapat beberapa catatan yang harus disusun dalam buku yang sedang ia kerjakan.
Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan, bibi masuk ke dalam ruangan membawa piring berisi makanan kecil dan segelas jus segar. "Maaf mengganggu, Bu. Saya bawa camilan dan jus segar," ucap bibi. Rika tersenyum tipis sambil mengangguk. Bi Tina sudah lama bekerja di rumahnya.
"Bu, saya tahu perpisahan itu nggak pernah mudah. Percayalah, semua akan baik-baik saja," hibur bibi. Dia tahu, meski yang menginginkan perceraian itu adalah Rika, tapi hatinya pasti sedih dan kecewa atas pengkhianatan suaminya.
"Terima kasih, Bi. Ya, memang tidak mudah, tapi saya harus melanjutkan hidup dan fokus pada pekerjaan," sahut Rika mantap. Bi Tina mengangguk paham, membiarkan Rika dalam kesendirian. Dia meletakkan makanan di atas meja dan perlahan meninggalkan ruangan.
Beberapa menit berlalu, terdengar lagi ketukan pintu dari luar kamar. Setelah Rika mempersilahkan masuk, Bi Tina melangkah menghampiri Rika dengan wajah cemas. “Maaf, Bu. di luar ada Pak Andri dan calon istrinya, tapi—“ Bi Tina menjeda ucapannya. “Tapi apa, Bi?” tanya Rika. Bi Tina tampak ragu menjawab. “Tapi, ada mobil bak besar juga yang berhenti di depan rumah,” sahutnya cemas.
Hembusan nafas keluar dari mulut Rika, dia berdiri dan melangkah keluar menemui Andri dan Riana. “Aku sudah membereskan barang-barangmu dan pakaian yang tertinggal. Itu, lihatlah! Silahkan dibawa.” Rika menunjuk ke arah tiga koper yang tergeletak di dekat kursi tamu.
“Aku bukan hanya akan mengambil barang-barang remeh seperti itu. Aku akan mengambil barang-barang yang sudah aku beli!” ucap Andri lantang. “Maksudmu?” tanya Rika heran. “Barang-barang seperti kulkas, TV, aku beli pakai uangku. Jadi, aku akan membawanya!” teriaknya tanpa malu.
Mata Rika terbelalak mendengarnya. “Dasar laki-laki nggak mau rugi!” umpat Rika dalam hati. Namun, Rika tidak mau menghalangi niat Andri. Dia membiarkan Andri mengambil barang yang katanya miliknya itu.
Dua orang laki-laki masuk saat diperintah Andri dan membawa beberapa barang dari rumah Rika lalu memindahkan ke mobil bak yang terparkir di depan rumahnya. Melihat kelakuan mantan suaminya, Rika merasa beruntung mengambil keputusan bercerai.
“Tante!!” Rika dikejutkan dengan teriakan suara yang sangat dikenalnya. Senyuman hangat menghiasi wajah Rika melihat kedatangan Dinda bersama Satya. Laki-laki berperawakan tinggi, dengan wajah tampan itu tersenyum menatap Rika.
Indra dan Riana saling bertatapan, dalam hati mereka bertanya-tanya siapa laki-laki yang datang tersebut. Indra mengingat dengan jelas, anak yang datang itu pernah bersama Rika saat mereka bertemu di sebuah mall beberapa waktu lalu.
“Tante, aku kangen. Mentang-mentang urusan pekerjaan Tante sudah selesai, kok Tante nggak pernah main lagi ke rumahku? Bukankah, Tante janji akan sering main ke rumahku meski urusan dengan Papa udah selesai,” protes Dinda merengek manja. Rika menatap Satya, merasa tidak enak karena saat berjanji pada Dinda, dia tidak berpikir serius.
“Maaf, saya nggak memberi kabar dulu kalau mau datang. Sepertinya waktunya tidak tepat,” sesal Satya, melihat ada beberapa barang yang sedang diangkut. Satya juga melihat ada tamu di rumah Rika.
“Nggak apa-apa, Pak,” sahut Rika tersenyum tipis. Dinda mengalihkan pandangan pada Andri dan menatapnya lekat-lekat. “Tante, bukankah itu suami tante yang mau bercerai?” bisik Dinda. Saat Dinda berbisik, Satya mendengarnya.
Rika tidak mau Satya merasa tidak nyaman, dia langsung mengenalkan Andri kepada Satya. “Oh iya. Kenalkan, ini mantan suami saya dengan calon istrinya. Mereka sedang mengambil barang yang tertinggal di rumah saya,” jelas Rika. Satya mengernyitkan keningnya karena informasi ini tidak dia dapatkan dari Rendy.
Saat Satya mengulurkan tangannya, dengan angkuh Andri tidak menyambutnya. Dia malah melangkah menghindar dan menghampiri Rika. “Baru berstatus janda, sudah gatel didekat laki-laki!” ucapnya dengan sinis seraya melangkah pergi diikuti Riana. Mata Satya melotot hendak mengejarnya.
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p