Dua minggu terasa seperti waktu yang begitu panjang bagi Rika. Dia melewati berbagai tahap persiapan sidang perceraian. Hari itu akhirnya tiba. Rika menaiki motornya menuju pengadilan agama. Sesampainya di pengadilan, Rika duduk tegak di bangku penggugat. Menunggu hakim membacakan keputusan akhir.
Hening menyelimuti ruangan saat hakim memulai pembacaan hasil sidang. Suasana tegang membuat detak jantung Rika semakin cepat. Matanya tak berkedip, fokus pada kata-kata yang akan diucapkan oleh hakim.
"Hakim telah mempertimbangkan dengan cermat segala bukti dan alasan yang disampaikan dalam persidangan ini. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan mengabulkan permohonan cerai dari pihak penggugat," ucap hakim dengan tegas.
Hati Rika berdesir saat mendengar kata-kata itu. Senyuman lega tampak dari wajahnya. Beban pikiran yang dia rasakan selama beberapa waktu terasa sirna. Ibu menghampiri dengan tatapan sinis. “Puas, kamu! Sekarang statusmu janda, mandul pula. Ibu yakin nggak ada laki-laki yang mau sama kamu!” desisnya tersenyum miring.
Rika menarik napas dalam-dalam saat langkah kakinya melintas di luar ruang sidang. Kata-kata pedas yang terus menghujani dirinya dari mulut sang mantan mertua. Walaupun hatinya teriris-iris, dia berusaha menahan diri untuk tidak membalas.
"Sabar, Rika. Ini bukan saatnya untuk bertengkar lagi," gumamnya dalam hati sambil memperbaiki posisi tasnya di bahunya.
"Jangan berpura-pura baik-baik saja! Kamu memalukan keluarga kami!" teriak mantan ibu mertua, suaranya menusuk tajam. Namun, Rika berusaha menahan diri menghindari pertengkaran.
Rika memilih untuk tetap diam, membiarkan kata-kata itu berlalu begitu saja. Dia berbalik untuk pergi, mencoba menutupi rasa sakit yang memenuhi hatinya. Namun, bahkan ketika dia melangkah menjauh, serangan kata-kata kasar dari ibu mertuanya masih terus bergema di telinganya.
"Rika, tunggu sebentar!" seru suara dari belakangnya, membuatnya berbalik. "Mas Andri, ada apa?" tanya Rika dengan suara tegas. "Nanti, aku akan datang ke rumahmu untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal," ucap Andri dengan tegas.
Rika merasakan getaran di dalam dadanya. Dia telah mempersiapkan segalanya untuk menyudahi hubungan ini. Meskipun hatinya masih teriris oleh kata-kata mantan ibu mertuanya, dia merasa lega mendengar Andri menyatakan niat untuk mengakhiri segalanya dengan resmi.
"Baiklah, aku akan menunggu kedatanganmu," jawab Rika dengan tenang, mencoba menyembunyikan kerapuhan di balik senyum yang tipis. Setelah mengucapkan terima kasih pada Rico, pengacara yang membelanya, Rika melangkah perlahan menuju motornya.
Air matanya hampir jatuh, tetapi dia menahannya. Dia tidak ingin membiarkan kesedihan menguasai dirinya. Dengan langkah mantap, dia memulai perjalanan menuju ke rumahnya, mengikhlaskan masa lalu yang kini telah menjadi bagian dari kenangan.
Saat Rika hendak membuka pintu pagar rumahnya, langkahnya terhenti mendadak oleh kehadiran Bu Yuli dan Bu Dina, tetangga di sebelah rumahnya. Kedua wanita itu tampak cemas. "Bu Rika, maaf mengganggu. Tapi, apakah benar kabar yang beredar di komplek ini?" tanya Bu Yuli dengan ekspresi khawatir.
Rika merasa dadanya sesak. Dia tahu apa yang mereka maksud. Gosip tentang perceraian antara dia dan Andri sudah menyebar dengan cepat di antara tetangga. Meski merasa tidak nyaman dengan situasi itu, Rika mencoba menampilkan senyum sopan di wajahnya.
"Ya, Bu Yuli, Bu Dina. Itu benar," jawab Rika dengan lembut. "Wah, maaf ya, Bu Rika. Kami hanya khawatir dengar kabar itu, tapi memang kehadiran anak selalu jadi alasan perceraian," ujar Bu Dina dengan nada prihatin.
Rika mengangguk sambil tersenyum. Meskipun dia merasa tidak nyaman karena gosip yang tersebar adalah perceraian karena Rika tidak bisa memberi keturunan, bukan perselingkuhan Andri. Namun, Rika tidak mau mengungkap kebenaran itu karena telah berjanji pada bapak mertuanya.
"Terima kasih, Bu Yuli, Bu Dina. Saya akan baik-baik saja kok. Maaf merepotkan," ucap Rika dengan senyuman hangat.
Kedua tetangga itu pun akhirnya meninggalkan Rika. Dia merasa lega karena pertemuan singkat itu tidak berlangsung panjang. Namun, dia juga menyadari bahwa gosip itu mungkin tidak akan berhenti begitu saja. Rika membuka pintu gerbang rumahnya, lalu melangkah masuk dengan harapan bisa menemukan ketenangan di dalam ruang privasinya.
Saat Rika sedang merenung, notif pesan masuk terdengar dari ponselnya. Rika yang bekerja sebagai penulis novel juga memiliki banyak kenalan yang biasanya memberinya beberapa pekerjaan di salah satu penerbit buku. Senyuman tipis terbit di bibirnya saat dia membaca pesan tersebut. Cara melupakan kesedihan adalah dengan bekerja, dan pekerjaan yang didapatnya kali ini adalah menulis biografi seorang CEO sukses.
**
Pagi itu Rika mengendarai motornya, sampai di alamat yang dituju. Dia takjub memandang rumah besar dengan halaman luas berpagar tinggi yang ada di hadapannya. “Wow, seperti istana,” gumamnya. Dia turun dari motor dan melangkah menghampiri pos satpam.
Ternyata, satpam sudah mengerti karena Rika sudah ditunggu oleh sang majikan. Satpam, langsung membukakan pintu pagar dan mempersilahkan Rika masuk. Rika menganggukan kepala tanda terima kasih dan mengendarai motornya perlahan memasuki halaman rumah yang sangat luas, lalu memarkir motornya.
Dengan hati berdebar, dia melangkah menekan bel di samping pintu. Rika berdiri, menunggu dengan sabar sampai pintu dibuka. Matanya terus mengedar ke sekitar rumah, dia memandang dengan takjub pada keindahan yang dilihatnya.
Beberapa menit dia menunggu, akhirnya pintu terbuka. Seorang pelayan berdiri di depan Rika dengan senyuman. Mempersilahkan Rika masuk, tanpa harus menjelaskan siapa dirinya. Rika menduga Satya Mahendra sudah memberitahu bawahannya kalau akan kedatangan tamu yang bernama Rika, pikirnya.
Tiba-tiba muncul seorang gadis dari dalam rumah. “Bi, aku pergi dulu ya!” teriak gadis berumur sekitar 12 tahun dengan tatapan memohon. Namun, sebelum mendengar jawaban, dia sudah beranjak keluar rumah.
“Eh, tunggu, Non. Jangan pergi, nanti Bibi akan dimarahi pak Satya lagi,” pintanya memohon.
Namun, gadis tomboy berwajah manis itu tidak menggubris ucapan pelayan. Dia bergegas melangkah keluar terburu-buru hampir menabrak Rika. Terlihat, pelayan tersebut mengejarnya dan memohon. Hingga akhirnya pelayan berhasil membujuk gadis kecil itu, dia masuk ke dalam rumah dengan terpaksa terlihat dari ekspresi wajahnya yang cemberut.
Suara derap langkah kaki datang mendekat. Seorang laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan tegap, yang proporsional dan atletis dengan rahang tegas dan garis pipi yang tegas. Tatapannya tajam dan intens, membuat siapa pun yang bertemu dengannya merasa seolah sedang diteliti dengan cermat.
Gaya berpakaiannya terlihat klasik namun modern, dengan sentuhan minimalis dan kesan yang rapi. Rika menduga laki-laki itu adalah Satya Mahendra karena wajahnya persis seperti yang ada di majalah bisnis, meski terlihat lebih tampan.
Laki-laki itu menatap gadis tersebut dengan sorot mata tajam. “Dinda! Papa sudah bilang, jangan pergi sendiri. Kalau terjadi apa-apa denganmu, bagaimana?” teriaknya lantang. Namun, dari matanya terlihat ada kekhawatiran yang mendalam.
“Lalu, aku harus pergi dengan siapa? Papa selalu sibuk, semua teman-temanku pergi dengan mamanya. Sedangkan, aku nggak punya mama,” keluh gadis manis yang bernama Dinda menunduk sedih.
Hembusan nafas keluar dari laki-laki tampan yang dipanggil “Papa” yang berdiri memasang wajah sedih. Tiba-tiba, gadis bernama Dinda menoleh dan menatap Rika dengan tajam. “Tante, mau nggak jadi Mama aku?” tanyanya penuh harap. Mata Rika terbelalak mendengar pertanyaan gadis tersebut.
“Eh, maksudnya gimana?” tanya Rika bingung. Dinda melangkah mendekat, menatap Rika lekat-lekat dengan tatapan memohon, kedua telapak tangannya disatukan di dadanya.“Tante, mau nggak jadi Mama aku? Aku ingin punya teman ngobrol dan jalan-jalan ke mall seperti teman-temanku yang lain,” pintanya lirih dengan tatapan memohon. Satya terlihat salah tingkah dengan permintaan putrinya yang tidak terduga.“Dinda, cukup! Dia tamu, Papa. Jangan bicara macam-macam!” bentak Satya. Dinda mengalihkan pandangan menatap Satya dengan bibir mengerucut. “Maafkan putri saya,” sesalnya sopan menatap Rika.“Iya, Pak. Nggak apa-apa, kok. Namanya juga anak-anak,” sahut Rika mengembangkan senyumannya, meski jantungnya serasa mau loncat saat mendengar permintaan gadis kecil bernama Dinda itu.“Tante Rika ini adalah seorang penulis, dia akan menulis biografi Papa dan kamu akan ada di dalam tulisannya. Kamu bisa mengakrabkan diri dengannya, tapi jangan berpikir yang aneh-aneh. Kamu mengerti maksud, Papa ‘kan?” S
Pagi itu, matahari bersinar terang, menerangi perjalanan Rika yang mengendarai motornya dengan penuh semangat. Tujuannya adalah rumah Satya Mahendra. Saat motornya sampai di depan gerbang rumah, senyum ramah pak satpam menyambut Rika.Rika segera memarkir motornya dan berjalan menuju pintu depan. Ternyata, Dinda, sudah menunggunya dengan senyuman lebar di teras. "Akhirnya Tante Rika datang!" seru Dinda sambil melompat kegirangan. "Hai, Sayang. Wah, kamu kelihatan semangat sekali hari ini," ucap Rika membalas dengan senyuman lebar."Papa bilang, Tante akan berkeliling rumah untuk menggambarkan rumah kami dalam tulisan, benar? Aku yang akan menemani, Tante." Dinda berkata antusias. "Iya, benar sekali, Sayang,” sahut Rika."Tapi, sebelumnya, bisakah Tante membantuku mengerjakan PR matematika? Aku agak bingung," pinta Dinda dengan manis. Rika tersenyum mengangguk. "Tentu saja, aku akan bantu. Mari kita selesaikan PR-nya terlebih dahulu."Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Rika dengan
Suasana menjadi tegang ketika Satya tiba-tiba meluapkan kemarahannya kepada Andri, mantan suami Rika, yang sudah mengabaikannya bahkan berkata tidak sopan pada Rika. Satya bicara dengan suara keras memecah keheningan, hingga teriakkannya menghentikan langkah Andri. “Hey! Apa maksud perkataanmu?” teriak Satya lantang. Andri berbalik dan menatap Satya dengan tatapan dingin. “Ah, ini bukan urusanmu. Kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, nggak usah ikut campur!” balas Andri dengan suara tinggi. Ucapan Andri memancing emosi Satya. “Aku tidak peduli! Yang jelas kamu tidak memiliki hak untuk menyakiti perasaan Rika dengan kata-kata kasar seperti itu!” bentak Satya tegas. Andri mengangkat bahunya. “Asal anda tahu. Rika, nggak bisa menerima kenyataan, kenapa aku mencari wanita lain,” ejeknya dengan senyuman miring. Terlihat senyuman mengejek, terukir di bibir Riana. “Justru, Rika tahu. Melepaskanmu, adalah cara terbaik untuk memperbaiki hidupnya!” Satya meninggikan suaranya. Meski Rika tidak mencer
"Pah, boleh ya, aku menginap di rumah Tante Rika malam ini?" desak Dinda, sambil menyuguhkan senyum manisnya. Satya masih terdiam, tatapan cemasnya tergambar jelas di wajah tampannya. Sebuah kekhawatiran yang tak terucapkan. Rika memang wanita baik, namun tetap saja Satya ragu untuk memberikan izin pada putrinya. "Boleh, ya, Pah?" Desakan lembut Dinda terdengar lagi. Satya merasa kebingungan, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan rasa kekhawatirannya tanpa membuat Dinda kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab, Rika, melihat kekhawatiran di wajah Satya melepas putrinya, langsung memberi pengertian pada Dinda. "Dinda, Sayang, kamu nggak perlu menginap, kamu bisa datang ke rumah Tante setelah pulang sekolah. Kita bisa mengerjakan PR bersama, atau jika kamu ingin bercerita tentang teman-temanmu Tante selalu siap mendengarkan. Tante akan menunggumu, bagaimana?" Rika berkata dengan lembut. Rika sangat memahami perasaan Dinda yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu, karena dia
Satya melangkah tergesa-gesa di belakang Rika yang memimpin jalan menuju kamar. Wajahnya cemas, tetapi Satya mencoba menenangkan diri dari kepanikannya. "Rika, apa yang terjadi dengan Dinda?" desisnya, mencoba mengendalikan kecemasannya.Rika memasuki kamar dengan langkah cepat, Satya mengikutinya dengan tatapan khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Dia seharusnya baik-baik saja, Pak Satya. Saya yakin itu hanya karena siklusnya," jawab Rika, mencoba memberikan penjelasan yang dapat menenangkan Satya.Namun, begitu mereka berdua melihat Dinda berbaring dengan wajah pucat, ekspresi panik kembali menghampiri wajah Satya. "Dinda, Sayang, apa yang terjadi? Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Satya dengan nada khawatir, hampir tanpa jeda.Dinda menatap mereka dengan wajah lemah, "Aku hanya merasa nggak enak badan, Pap. Aku rasa hanya perlu istirahat," jawab Dinda, mencoba meyakinkan mereka.Saat Rika hendak menjawab, Dinda memotong, "Tante Rika, jika tulisan biografi Papa sudah selesai, apa
Satya duduk di ruang tamu, menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengajak Rika untuk bekerja bersamanya. Dia mengetuk-ngetukkan jari di meja sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan rencananya. Lalu, dia melangkah ke kamar tamu untuk menemui Rika dan Dinda.Dia berdiri di depan pintu kamar tamu, dia bisa mendengar tawa ceria Dinda yang terdengar menyenangkan. Dalam hatinya, Satya merasa lega melihat putrinya bisa begitu dekat dengan Rika. Satya mengayunkan tangan dan mengetuk pelan kamar tamu.“Boleh, Papa masuk?” tanya Satya dari luar kamar. "Iya, Pah, masuk aja!" seru Dinda dari dalam kamar. Dengan perlahan, Satya membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan kamar."Papa lihat kamu gembira sekali, Dinda?" sapa Satya ramah sambil tersenyum pada mereka berdua. "Tentu dong, Pah. Aku senang karena ada teman curhat!" jawab Dinda melirik Rika sembari tersenyum senang.“Oh, iya. Bagaimana kondisi Dinda menurut dokter, Pak?” tanya Rika penuh perhatian. “Dia baik-baik saja, sepe
Pagi itu, sinar mentari masih malu-malu menerobos tirai jendela kamar. Alarm adzan subuh berbunyi dengan lembut. Dengan gerakan setengah sadar, Rika menggapai ponselnya yang bergetar di atas meja.Setelah menunaikan sholat subuh, Rika melangkah ke balkon kamar Dinda. Dari sana, pemandangan taman belakang rumah yang asri terhampar indah di hadapannya. Dinda, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan mata yang sedikit mengantuk, merasakan sentuhan udara pagi melangkah menghampiri Rika.“Tante, sudah bangun,” sapa Dinda. Rika menoleh dan tersenyum tipis. "Sudah, Sayang. Oh iya, perutmu tidak terasa sakit lagi, Din?" tanya Rika sambil memandang ke arah matahari yang mulai menampakkan keberadaannya di ufuk timur.Dinda mengangguk pelan. "Iya, Tante. Alhamdulillah, sudah nggak terlalu sakit seperti semalam," jawab Dinda mengembangkan senyumnya. Rika tersenyum lega mendengarnya."Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar
Rika melangkah perlahan menuju ruang makan. Mentari pagi yang lembut menyinari langit, memberikan kehangatan pada rumah itu.Ketika dia tiba di ruang makan, matanya langsung bertemu dengan wajah Dinda yang duduk di meja dengan sepiring pancake yang masih mengeluarkan uap. Dinda yang selalu terlihat energik dan ceria. Namun, kali ini ada keraguan yang tersemat di wajahnya, Dinda tampak sedang berpikir. “Ah, Dinda. Rasanya aku sulit meninggalkanmu,” batin Rika."Dinda!" sapanya sambil tersenyum. Pandangan Dinda melambat saat dia menoleh ke arah Rika, senyumnya terlihat ragu. "Tante Rika. Sudah bicara dengan papa?" tanyanya dengan tatapan sendu. Rika mengangguk dan duduk di kursi yang kosong di seberang Dinda. "Iya, Sayang. Wah, pancake wangi sekali," ujar Rika mencoba mencairkan suasana. Rika tahu Dinda sedang khawatir.Dinda tersenyum tipis, tapi ekspresinya segera berubah serius. "Tante Rika, aku harus tanyakan sesuatu. Apakah, Tante sudah menyelesaikan pekerjaan menulis buku biografi