Share

Bab 3. Akhirnya Bercerai

Dua minggu terasa seperti waktu yang begitu panjang bagi Rika. Dia melewati berbagai tahap persiapan sidang perceraian. Hari itu akhirnya tiba. Rika menaiki motornya menuju pengadilan agama. Sesampainya di pengadilan, Rika duduk tegak di bangku penggugat. Menunggu hakim membacakan keputusan akhir.

Hening menyelimuti ruangan saat hakim memulai pembacaan hasil sidang. Suasana tegang membuat detak jantung Rika semakin cepat. Matanya tak berkedip, fokus pada kata-kata yang akan diucapkan oleh hakim.

"Hakim telah mempertimbangkan dengan cermat segala bukti dan alasan yang disampaikan dalam persidangan ini. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan mengabulkan permohonan cerai dari pihak penggugat," ucap hakim dengan tegas.

Hati Rika berdesir saat mendengar kata-kata itu. Senyuman lega tampak dari wajahnya. Beban pikiran yang dia rasakan selama beberapa waktu terasa sirna. Ibu menghampiri dengan tatapan sinis. “Puas, kamu! Sekarang statusmu janda, mandul pula. Ibu yakin nggak ada laki-laki yang mau sama kamu!” desisnya tersenyum miring.

Rika menarik napas dalam-dalam saat langkah kakinya melintas di luar ruang sidang. Kata-kata pedas yang terus menghujani dirinya dari mulut sang mantan mertua. Walaupun hatinya teriris-iris, dia berusaha menahan diri untuk tidak membalas.

"Sabar, Rika. Ini bukan saatnya untuk bertengkar lagi," gumamnya dalam hati sambil memperbaiki posisi tasnya di bahunya.

"Jangan berpura-pura baik-baik saja! Kamu memalukan keluarga kami!" teriak mantan ibu mertua, suaranya menusuk tajam. Namun, Rika berusaha menahan diri menghindari pertengkaran.

Rika memilih untuk tetap diam, membiarkan kata-kata itu berlalu begitu saja. Dia berbalik untuk pergi, mencoba menutupi rasa sakit yang memenuhi hatinya. Namun, bahkan ketika dia melangkah menjauh, serangan kata-kata kasar dari ibu mertuanya masih terus bergema di telinganya.

"Rika, tunggu sebentar!" seru suara dari belakangnya, membuatnya berbalik.  "Mas Andri, ada apa?" tanya Rika dengan suara tegas. "Nanti, aku akan datang ke rumahmu untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal," ucap Andri dengan tegas.

Rika merasakan getaran di dalam dadanya. Dia telah mempersiapkan segalanya untuk menyudahi hubungan ini. Meskipun hatinya masih teriris oleh kata-kata mantan ibu mertuanya, dia merasa lega mendengar Andri menyatakan niat untuk mengakhiri segalanya dengan resmi.

"Baiklah, aku akan menunggu kedatanganmu," jawab Rika dengan tenang, mencoba menyembunyikan kerapuhan di balik senyum yang tipis. Setelah mengucapkan terima kasih pada Rico, pengacara yang membelanya, Rika melangkah perlahan menuju motornya.

Air matanya hampir jatuh, tetapi dia menahannya. Dia tidak ingin membiarkan kesedihan menguasai dirinya. Dengan langkah mantap, dia memulai perjalanan menuju ke rumahnya, mengikhlaskan masa lalu yang kini telah menjadi bagian dari kenangan.

Saat Rika hendak membuka pintu pagar rumahnya, langkahnya terhenti mendadak oleh kehadiran Bu Yuli dan Bu Dina, tetangga di sebelah rumahnya. Kedua wanita itu tampak cemas. "Bu Rika, maaf mengganggu. Tapi, apakah benar kabar yang beredar di komplek ini?" tanya Bu Yuli dengan ekspresi khawatir.

Rika merasa dadanya sesak. Dia tahu apa yang mereka maksud. Gosip tentang perceraian antara dia dan Andri sudah menyebar dengan cepat di antara tetangga. Meski merasa tidak nyaman dengan situasi itu, Rika mencoba menampilkan senyum sopan di wajahnya.

"Ya, Bu Yuli, Bu Dina. Itu benar," jawab Rika dengan lembut. "Wah, maaf ya, Bu Rika. Kami hanya khawatir dengar kabar itu, tapi memang kehadiran anak selalu jadi alasan perceraian," ujar Bu Dina dengan nada prihatin.

Rika mengangguk sambil tersenyum. Meskipun dia merasa tidak nyaman karena gosip yang tersebar adalah perceraian karena Rika tidak bisa memberi keturunan, bukan perselingkuhan Andri. Namun, Rika tidak mau mengungkap kebenaran itu karena telah berjanji pada bapak mertuanya.

"Terima kasih, Bu Yuli, Bu Dina. Saya akan baik-baik saja kok. Maaf merepotkan," ucap Rika dengan senyuman hangat.

Kedua tetangga itu pun akhirnya meninggalkan Rika. Dia merasa lega karena pertemuan singkat itu tidak berlangsung panjang. Namun, dia juga menyadari bahwa gosip itu mungkin tidak akan berhenti begitu saja. Rika membuka pintu gerbang rumahnya, lalu melangkah masuk dengan harapan bisa menemukan ketenangan di dalam ruang privasinya.

Saat Rika sedang merenung, notif pesan masuk terdengar dari ponselnya. Rika yang bekerja sebagai penulis novel juga memiliki banyak kenalan yang biasanya memberinya beberapa pekerjaan di salah satu penerbit buku. Senyuman tipis terbit di bibirnya saat dia membaca pesan tersebut. Cara melupakan kesedihan adalah dengan bekerja, dan pekerjaan yang didapatnya kali ini adalah menulis biografi seorang CEO sukses.

**

Pagi itu Rika mengendarai motornya, sampai di alamat yang dituju. Dia takjub memandang rumah besar dengan halaman luas berpagar tinggi yang ada di hadapannya. “Wow, seperti istana,” gumamnya. Dia turun dari motor dan melangkah menghampiri pos satpam.

Ternyata, satpam sudah mengerti karena Rika sudah ditunggu oleh sang majikan. Satpam, langsung membukakan pintu pagar dan mempersilahkan Rika masuk. Rika menganggukan kepala tanda terima kasih dan mengendarai motornya perlahan memasuki halaman rumah yang sangat luas, lalu memarkir motornya.

Dengan hati berdebar, dia melangkah menekan bel di samping pintu. Rika berdiri, menunggu dengan sabar sampai pintu dibuka. Matanya terus mengedar ke sekitar rumah, dia memandang dengan takjub pada keindahan yang dilihatnya.

Beberapa menit dia menunggu, akhirnya pintu terbuka. Seorang pelayan berdiri di depan Rika dengan senyuman. Mempersilahkan Rika masuk, tanpa harus menjelaskan siapa dirinya. Rika menduga Satya Mahendra sudah memberitahu bawahannya kalau akan kedatangan tamu yang bernama Rika, pikirnya.

Tiba-tiba muncul seorang gadis dari dalam rumah. “Bi, aku pergi dulu ya!” teriak gadis berumur sekitar 12 tahun dengan tatapan memohon. Namun, sebelum mendengar jawaban, dia sudah beranjak keluar rumah.

“Eh, tunggu, Non. Jangan pergi, nanti Bibi akan dimarahi pak Satya lagi,” pintanya memohon.

Namun, gadis tomboy berwajah manis itu tidak menggubris ucapan pelayan. Dia bergegas melangkah keluar terburu-buru hampir menabrak Rika. Terlihat, pelayan tersebut mengejarnya dan memohon. Hingga akhirnya pelayan berhasil membujuk gadis kecil itu, dia masuk ke dalam rumah dengan terpaksa terlihat dari ekspresi wajahnya yang cemberut.

Suara derap langkah kaki datang mendekat. Seorang laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi dan tegap, yang proporsional dan atletis dengan rahang tegas dan garis pipi yang tegas. Tatapannya tajam dan intens, membuat siapa pun yang bertemu dengannya merasa seolah sedang diteliti dengan cermat.

 Gaya berpakaiannya terlihat klasik namun modern, dengan sentuhan minimalis dan kesan yang rapi. Rika menduga laki-laki itu adalah Satya Mahendra karena wajahnya persis seperti yang ada di majalah bisnis, meski terlihat lebih tampan.

Laki-laki itu menatap gadis tersebut dengan sorot mata tajam. “Dinda! Papa sudah bilang, jangan pergi sendiri. Kalau terjadi apa-apa denganmu, bagaimana?” teriaknya lantang. Namun, dari matanya terlihat ada kekhawatiran yang mendalam.

“Lalu, aku harus pergi dengan siapa? Papa selalu sibuk, semua teman-temanku pergi dengan mamanya. Sedangkan, aku nggak punya mama,” keluh gadis manis yang bernama Dinda menunduk sedih.

 Hembusan nafas keluar dari laki-laki tampan yang dipanggil “Papa” yang berdiri memasang wajah sedih. Tiba-tiba, gadis bernama Dinda menoleh dan menatap Rika dengan tajam. “Tante, mau nggak jadi Mama aku?” tanyanya penuh harap. Mata Rika terbelalak mendengar pertanyaan gadis tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status