“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
“Mau apa dia ke rumahku?” batin Rika dengan tatapan penuh kemarahan. Rika membuka pintu rumahnya.Matanya terbuka lebar, ketika melihat Andri bersama dengan Riana, wanita yang akan dinikahi suaminya itu datang. “Rika, kita harus bicara,” ucap Andri dengan lembut. Rika meremas ujung bajunya menahan amarah. Dia menatap kedua manusia dihadapannya dengan penuh kebencian. Manusia yang menoreh luka dalam di hatinya.“Apalagi yang mau kalian bicarakan? Bukankah, aku sudah katakan urusan kita sudah selesai. Hubungi saja pengacaraku, apa kalian tidak mengerti dengan kata-kataku?” sahut Rika dengan tatapan mengintimidasi. “Lalu, soal rumah ini bagaimana, Rika?” tanya Andri tak tahu malu.Mata Rika membuka lebar, mengernyitkan keningnya. “Memangnya, ada apa dengan rumah ini? Apalagi yang kamu inginkan dariku, Mas? Jangan bilang, kamu menginginkan rumah ini juga?” tanya Rika menajamkan tatapannya.“Rika, kita nggak perlu bercerai. Mas, akan berlaku adil, padamu dan pada Riana. Kita bisa tinggal
“Hey, Andri! Kenapa kamu diam saja? Cepat jelaskan, jangan takut sama istrimu. Kamu itu laki-laki, jangan mau diinjak-injak oleh wanita parasit yang bisanya menumpang hidup, tapi mengaku-ngaku menjadi pemilik semuanya. Sudah, ceraikan saja istrimu!” Suara bariton Bapak terdengar memenuhi ruangan, sembari menatap putranya yang sedari tadi hanya diam, tak mampu membela diri.Semua mata menyorot tajam ke arah Andri, ibu bahkan mendekati Andri dan mengguncang tubuh Andri, yang menurutnya sangat bodoh jika mempertahankan Rika. Andri diam bergeming, mulutnya terasa terkunci. Semua menekannya untuk menceraikan Rika, tapi Andri tidak mau menceraikannya. Itu semua karena Andri tahu, Rika adalah mesin ATM untuknya.“Lihat, Mas! Semuanya menginginkan agar kamu menceraikan aku. Jadi ceraikan aku, Mas!” pinta Rika lantang dengan tatapan mengejek.Kini, Rika menyadari kalau suaminya mempertahankan dia hanya karena kemampuannya dalam mencari uang. Bukan karena cinta dan ingin hidup bersama seperti
Dua minggu terasa seperti waktu yang begitu panjang bagi Rika. Dia melewati berbagai tahap persiapan sidang perceraian. Hari itu akhirnya tiba. Rika menaiki motornya menuju pengadilan agama. Sesampainya di pengadilan, Rika duduk tegak di bangku penggugat. Menunggu hakim membacakan keputusan akhir.Hening menyelimuti ruangan saat hakim memulai pembacaan hasil sidang. Suasana tegang membuat detak jantung Rika semakin cepat. Matanya tak berkedip, fokus pada kata-kata yang akan diucapkan oleh hakim."Hakim telah mempertimbangkan dengan cermat segala bukti dan alasan yang disampaikan dalam persidangan ini. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan mengabulkan permohonan cerai dari pihak penggugat," ucap hakim dengan tegas.Hati Rika berdesir saat mendengar kata-kata itu. Senyuman lega tampak dari wajahnya. Beban pikiran yang dia rasakan selama beberapa waktu terasa sirna. Ibu menghampiri dengan tatapan sinis. “Puas, kamu! Sekarang statusmu janda, mandul pula. Ibu yakin nggak ada laki-laki yang