LOGINPerlahan Evita tersadar dari pingsannya. Wanita itu membuka kedua matanya perlahan. Samar-samar ia melihat sosok seorang wanita yang duduk di kursi, tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Syukurlah kamu sudah sadar," kata Mira, tetangga Evita, sembari menghembuskan nafas lega. "Apakah kamu mau minum?" Mira bertanya pada Evita, yang tampak masih belum sadar sepenuhnya. "Apa yang terjadi?" alih-alih menjawab pertanyaan Mira, Evita malah balik bertanya dengan suara yang terdengar lemah. "Tadi kamu ditemukan pingsan di jalan. Lalu orang yang menemukanmu mengantarkan kamu pulang," jelas Mira. "Darimana dia tahu tempat tinggalku?" Evita bertanya dengan perasaan heran. "Tentu saja dari KTP yang ada di dompetmu," sahut Mira. "Katakan, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kamu bisa pingsan di jalanan?" cecar Mira dengan rasa penasaran. Pertanyaan Mira sontak mengingatkan Evita akan kejadian beberapa waktu lalu. Semua kejadian siang ini pun berputar kembali di otaknya. Yaitu ketika ia mendapati suaminya tinggal di rumah wanita lain. Serta ucapan Dito yang mengatakan ingin bercerai dengannya. "Loh, kok malah nangis! Memangnya apa yang sudah terjadi?" tanya Mira saat melihat Evita yang tiba-tiba saja menitikkan air mata. "Ternyata yang dikatakan oleh tetangga-tetangga tentang mas Dito itu benar, Mbak Mira. Dia tidak pernah pulang lagi ke rumah ini, sebab ia lebih memilih untuk tinggal dengan wanita selingkuhannya itu," tutur Evita menjelaskan, disela-sela suara isakannya. Mira seketika terhenyak mendengar penuturan Evita. Ia bisa merasakan sakit hati yang kini tengah dirasakan oleh Evita. Walaupun dirinya hanya tetangga yang tinggal di samping rumah Evita, tapi ia sudah menganggap Evita seperti adiknya sendiri. "Lantas apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apakah kamu akan tetap sabar dan menunggunya pulang?" sarkas Mira yang merasa geram dengan sikap Evita yang dianggapnya terlalu lemah. Sebagai sesama wanita, Mira tidak dapat memahami jalan pikiran Evita. Sudah berkali-kali wanita itu disakiti hatinya oleh Dito, tapi dia tetap bertahan. Selalu saja anak-anak yang menjadi alasannya untuk memaafkan perbuatan suaminya. Evita menggeleng lemah. Tatapan wanita itu terlihat kosong. Air mata masih tampak setia mengalir dari kedua sudut matanya. "Mas Dito ingin menceraikan aku, Mbak. Dia mengusirku dari rumah ini. Sekarang aku bingung harus tinggal dimana. Aku juga tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada anak-anak." Dengan suara yang terdengar putus asa, Evita menceritakan tentang perkataan Dito padanya. "Dasar laki-laki nggak punya otak! Meskipun rumah ini adalah rumah peninggalan orangtunya, bukan berarti dia bisa seenaknya saja mengusirmu. Apakah dia tidak memikirkan anak-anaknya!" sungut Mira yang menjadi emosi mendengar cerita Evita. "Oh iya, dimana anak-anakku?" tanya Evita yang tiba-tiba teringat dengan ketiga anak-anaknya. "Mereka masih ada di rumahku," jawab Mira, yang diminta tolong oleh Evita untuk menjaga anak-anaknya, sebelum dirinya pergi mencari keberadaan Dito. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apakah kamu akan mengalah begitu saja, menuruti kemauan Dito untuk pergi dari rumah ini?" Mira mempertanyakan rencana Evita selanjutnya. "Memangnya aku bisa apa, Mbak? Rumah ini memang milik Dito. Sudah cukup dia membuatku sakit hati dan menderita. Aku tidak akan menunggu, sampai dia datang dan mengusirku dari rumah ini. Sebelum dia melakukannya, aku akan lebih dulu meninggalkan rumah ini," putus Evita yang tidak ingin lagi menerima penghinaan dari suaminya. "Tapi kemana kamu akan pergi, Vit? Bagaimana dengan sekolah anak-anak?" tanya Mira yang sangat mengkhawatirkan nasib ketiga anak Evita. "Aku akan mencari kamar kontrakan yang tidak jauh dari sekolah Alif dan Galih. Semoga hari ini aku bisa mendapatkannya. Agar besok pagi-pagi aku bisa membawa anak-anak untuk pindah ke sana." Evita menjelaskan rencananya. Mira hanya bisa menghembuskan nafas kasar, melihat nasib buruk yang dialami oleh Evita. Ingin sekali ia membantu Evita dan anak-anaknya. Tapi hidupnya sendiri juga sangat sulit, setelah PHK massal yang terjadi di perusahaan, tempat suaminya bekerja. "Bisa tolong jaga anak-anakku lagi, sementara aku mencari kamar kontrakan?" Dengan tatapan memohon, Evita meminta bantuan Mira. "Apakah kamu memiliki uang untuk membayar sewa kamar?" tanya Mira yang tahu betul bagaimana kondisi keuangan Evita. "Aku masih memiliki sedikit tabungan, dari hasil berjualan kue," jawab Evita. Ditengah kondisi ekonominya yang sulit, Evita selalu berusaha menyisihkan sedikit uang dari hasil berjualan kue, untuk ditabung. Tapi sekarang ia terpaksa akan memakai uang, yang rencananya akan ia gunakan untuk membeli tas sekolah dan sepatu putra sulungnya, yang sudah rusak. Mira merogoh saku celana yang dipakainya. Beberapa lembar uang berwarna biru, kini berada di dalam genggamannya. "Ini ada sedikit uang. Pakailah untuk keperluanmu dan anak-anak," kata Mira sembari menyerahkan uang tersebut langsung ke telapak tangan Evita. "Tidak perlu, Mbak. Aku masih mempunyai uang. Sungguh!" tolak Evita yang berusaha meyakinkan Mira, jika dirinya tidak membutuhkan bantuan wanita tersebut. "Tolong jangan ditolak! Setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu. Maaf aku tidak bisa membantu lebih," paksa Mira sambil memaksa tangan Evita untuk menggenggam uang pemberiannya. Evita merasa terharu melihat ketulusan Mira. Walaupun dirinya sendiri kekurangan, tapi Mira selalu saja membantunya. "Terima kasih, Mbak. Maaf kalau selama ini aku selalu merepotkan. Semoga Tuhan yang membalas semua kebaikan Mbak Mira padaku dan anak-anak," ucap Evita sembari menatap wajah Mira dengan tatapan haru. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang, sebelum hari semakin gelap," putus Evita sembari menatap kaca jendela, melihat sinar matahari yang semakin condong ke barat. "Apakah kamu yakin, kondisimu sudah lebih kuat? Jangan sampai kamu jatuh pingsan lagi nanti di jalan," tukas Mira yang mengkhawatirkan keadaan Evita. "Sebaiknya kamu makan dan minum lebih dulu sebelum pergi. Agar tubuhmu lebih kuat dan bertenaga," lanjut Mira memberikan saran. "Baiklah, aku akan makan," balas Evita yang baru menyadari jika perutnya belum terisi makanan sejak pagi. Sebetulnya Evita tidak merasakan lapar sama sekali. Apalagi setelah kejadian siang ini. Membuat nafsu makan wanita itu seketika lenyap. Tapi ia harus makan, agar tubuhnya tidak sampai tumbang. Ia membutuhkan tenaga untuk bisa kuat menjalani semuanya. Demi ketiga anak-anaknya yang sangat membutuhkannya. Dengan berjalan kaki, Evita menyusuri jalanan yang menuju ke arah gedung sekolah, tempat dua putranya bersekolah. Sepanjang perjalanan, ia selalu bertanya pada setiap orang yang ia temui, tentang kamar kontrakan yang bisa disewanya. Namun tidak ada jawaban memuaskan yang ia dapatkan. "Sepertinya itu rumah kosan. Sebaiknya aku kesana dan mencari tahu," gumam Evita dalam hati, ketika melihat sebuah bangunan yang memiliki banyak kamar, dengan model yang sama. Posisi bangunan yang berada di seberang jalan, membuat Evita harus menyeberangi jalan untuk mencapainya. Wanita itu melihat ke sekitar sebelum melangkah. Namun naas, sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba saja muncul dari arah kanannya."Kalau begitu, Mama tinggalkan kalian berdua untuk ngobrol," kata Santi, yang ingin memberikan kesempatan pada Arya dan Shanum untuk bicara berdua. "Baik, Ma. Terima kasih," ucap Arya sembari menganggukkan kepala. Santi pergi meninggalkan ruang rawat inap putrinya, dengan diiringi oleh tatapan mata Arya. Lalu tatapan pria itu beralih pada wajah Shanum, setelah bayangan Santi menghilang di balik pintu. "Bagaimana keadaanmu, Num? Apakah kamu sudah makan?" tanya Arya yang hanya sekedar basa-basi, untuk mencairkan suasana yang terasa tegang.Senyum sinis seketika tergambar di wajah Shanum, mendengar pertanyaan Arya."Untuk apa kamu menanyakan kabarku? Apakah kamu sudah puas sekarang? Anak yang kamu abaikan sudah tidak ada lagi! Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu, untuk memanjakan anak-anak tirimu itu!" salak Shanum dengan kilatan emosi yang terpancar dari kedua matanya.Tentu saja Arya sangat kaget mendengar tuduhan-tuduhan Shanum. Ia sadar, hari-hari belakangan ini d
Arya bangkit dari duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Lalu pria itu menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya."Halo?" sapa Arya pada orang yang berada di seberang panggilan."Arya, sebelumnya Mama minta maaf, karena sudah mengganggumu yang sedang berkabung." Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan."Tidak apa, Ma," sahut Arya pada wanita yang dulu pernah menjadi ibu mertuanya.Meskipun Santi bukan lagi ibu mertuanya, tapi Arya masih tetap menghormatinya dan memanggil ibu Shanum itu dengan sebutan mama. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Ma?" imbuh Arya yang ingin tahu tujuan wanita itu menghubunginya."Ini tentang Shanum, Ar. Mama tahu saat ini kamu pasti tidak ingin diganggu. Tapi bisakah tolong kamu datang kemari untuk menemui dan bicara dengannya?" pinta Santi kepada mantan menantunya.Kening Arya seketika mengernyit dengan kedua alis yang saling bertautan."Memangnya apa yang terjadi pada Sh
Arya duduk termenung di samping gundukan tanah yang masih basah. Tatapannya terus tertuju pada batu nisan di atas gundukan tanah, yang hampir seluruh bagiannya tertutup oleh bunga warna-warni.Sedangkan Evita tetap setia berada di samping pria itu, dengan mengenakan dress berwarna hitam. Warna yang sama dengan pakaian yang dikenakan oleh Arya."Saya turut berdukacita, Pak. Semoga Pak Arya bisa ikhlas dan tabah menerima cobaan ini." Nico, asisten Arya di kantor, menyampaikan belasungkawanya.Pria kepercayaan Arya di perusahaan itu berdiri di samping Arya, dengan mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat sedih. Ia bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dirasakan oleh bosnya."Terima kasih sudah hadir di acara pemakaman Arsen," balas Arya tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Tatapan pria itu tidak mau beralih dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya.Raut wajah Arya memang masih terlihat sedih, tapi air mata sudah tidak lagi menetes dari kedua matanya. Kedua netra pria itu te
Tenggorokan Evita sontak tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan membuatnya sulit untuk bernafas. Lidahnya keluh tidak bisa mengatakan apapun. Buliran bening perlahan luruh dari kedua sudut matanya. Tatapan matanya terus mengikuti brankar tersebut yang didorong pergi menjauh dari ruang operasi. "Apakah Anda keluarga dari ananda Arsen?" Terdengar suara seseorang bertanya pada Evita.Perlahan Evita mengalihkan tatapan ke arah suara. Dilihatnya seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mengenakan scrub suit warna hijau dan penutup kepala. Sebuah masker menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanya matanya saja."Suami saya adalah ayah dari Arsen," jawab Evita dengan suara yang terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering."Bisakah saya bicara dengan beliau?" Pria itu bertanya dengan bola mata yang bergerak menelisik ruang tunggu. Seolah sedang mencari keberadaan seseorang."Tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya," balas Evita yang kemudian mengambil ponsel
Eddy seketika terperanjat, melihat wajah putranya. Pria yang ia kenal kuat dan dingin itu kini terlihat sedang berurai air mata. Kesedihan dan hati yang hancur tergambar jelas di wajah putranya tersebut."Ar, apa yang terjadi, Nak?" Eddy bertanya pada Arya dengan dada yang bergemuruh. Ia yakin ada peristiwa yang sangat buruk yang terjadi, yang membuat putranya terlihat begitu terpuruk.Arya yang tatapannya kosong, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Ditatapnya wajah ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir."Arsen ... dan Rianti kecelakaan." Dengan suara parau dan tersendat, Arya menjawab pertanyaan ayahnya.Seperti disambar petir, Eddy benar-benar terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh putranya. Kedua matanya membulat, dengan mulut yang sedikit menganga."Saat ini keduanya dalam kondisi kritis. Sedangkan Rianti saat ini sedang menjalani operasi." Arya melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar lemah."Kalau begitu kirimkan lokasi rumah sak
Arya langsung bergeser dan menepi, saat melihat dua brankar yang didorong memasuki ruang intensive care unit. Ruangan dimana saat ini Rianti juga mendapatkan penanganan. Perhatian Arya sama sekali tidak tertuju pada dua brankar tersebut. Pria itu lebih fokus mendengarkan dering ponsel yang sedang memanggil ayahnya. Pikirannya saat ini juga dipenuhi dengan kekhawatiran.Evita yang berdiri di dekat Arya, tanpa sengaja melihat wajah wanita yang terbaring di atas brankar. Sontak Evita terkejut dengan dua mata yang membulat sempurna.Beberapa saat, Evita terpaku diam seperti patung. Tapi sesaat kemudian dirinya tersadar dan langsung menarik lengan kemeja Arya."Ar ... Shanum ...." Evita berkata dengan suara yang terdengar gagap dan bergetar. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah Shanum, yang tampak mengalirkan darah segar dari keningnya.Arya yang tengah fokus menunggu ayahnya menjawab panggilan darinya, perlahan perhatiannya teralihkan. Pria itu menatap wajah istrinya yang terlihat s







