Share

3. Hampir Tertabrak Mobil

Penulis: Rin Rien
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 17:12:46

Hampir saja mobil itu menabraknya. Hanya beberapa centimeter saja jarak antara Evita dengan bodi depan mobil tersebut. Sontak membuat tubuh wanita itu gemetar dengan jantung yang serasa ingin lompat keluar.

Terdengar suara pintu mobil yang terbuka, disusul kemudian langkah kaki yang berjalan cepat mendekati Evita.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Suara seorang pria bertanya dari balik punggung Evita, dengan suara yang terdengar cemas.

Dengan tubuh yang masih gemetar, perlahan Evita memutar tubuhnya untuk menghadap pria yang bertanya padanya. Namun Evita kembali harus dikejutkan oleh sesuatu. Kedua netra wanita itu membulat saat melihat wajah pria yang hampir saja menabraknya.

Tidak hanya Evita. Keterkejutan juga terlihat dari wajah pria tersebut. Namun pria itu kembali harus dibuat terkejut, ketika tubuh Evita tiba-tiba lunglai, luruh jatuh ke jalan beraspal. Namun sebelum tubuh Evita sempat jatuh menghujam bumi, pria itu dengan sigap sudah lebih dulu menangkapnya.

"Vit, bangun! Sadarlah, Vit!" Pria itu berusaha menyadarkan Evita, sembari menepuk pipi wanita yang berada dalam rengkuhannya tersebut. Ia bahkan mengenal dan mengetahui nama Evita.

"Sebaiknya aku membawanya ke rumah sakit." Dalam hati, pria itu berkata.

Diraupnya tubuh Evita, menggendongnya dan membawa tubuh wanita itu masuk ke dalam mobil. Membaringkan tubuh kurus Evita ke jok belakang mobil.

Dengan kecepatan tinggi, pria itu mengemudikan mobil agar bisa segera sampai ke rumah sakit terdekat. Namun kali ini ia berusaha untuk mengemudi dengan lebih hati-hati, agar tidak sampai menabrak orang. Walaupun merasa cemas, tapi ia berusaha untuk tetap fokus mengemudi.

Hanya lima belas menit perjalanan, mobil yang dikendarai pria itu tiba di sebuah rumah sakit. Dengan menggendong tubuh Evita yang masih belum sadarkan diri, pria itu membawa Evita ke ruang instalasi gawat darurat.

"Sebaiknya Bapak tunggu saja di luar dan tolong diurus dulu ke bagian administrasi, mengenai data diri pasien," pinta seorang perawat, setelah pria itu membaringkan tubuh Evita ke atas brankar dorong.

"Baik, Sus. Tapi tolong beritahu saya secepetnya, kalau nanti pasien sudah sadar," pinta pria itu yang wajahnya masih terlihat cemas.

"Tentu saja, Pak. Saya akan menginformasikan pada Anda jika nanti pasien sudah siuman." Perawat menyanggupi dengan senyuman manis, agar pria itu tidak terlalu cemas.

Setelah perawat pergi sambil mendorong brankar dimana tubuh Evita terbaring tak sadarkan diri, pria itu pun mengayunkan langkah hendak menyelesaikan urusan administrasi. Namun ponsel di dalam saku celananya tiba-tiba berbunyi.

Pria itu segera mengambil ponsel dari dalam saku celana. Dilihatnya deretan nama pada layar ponselnya yang menyala. Gegas pria itu menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilan.

"Arya, kenapa kamu belum datang juga? Apakah kamu sudah tidak peduli pada anakmu sendiri?" Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan, sebelum pria bernama Arya itu sempat membuka mulutnya.

"Apa yang terjadi? Apakah kondisi Arsen memburuk? Bagaimana dengan dokter Eky yang tadi aku suruh datang untuk memeriksanya? Apakah dia belum datang?" Arya balik mencecar wanita yang berada di seberang panggilan, dengan banyak pertanyaan.

"Dokter Eky baru saja pergi. Tapi kamu yang ayahnya sendiri malah tidak peduli dan tidak mau melihat keadaan anaknya yang sedang sakit," sungut wanita itu yang menyudutkan Arya.

"Berhentilah menghakimiku! Demi bisa segera melihat keadaan putraku, aku menyetir mobil seperti orang gila. Sampai-sampai aku hampir saja menabrak seseorang. Dan sekarang aku sedang berada di rumah sakit, karena orang yang hampir aku tabrak, jatuh pingsan. Bagaimana kalau tadi aku benar-benar menabraknya? Bukankah urusannya akan semakin panjang?" Arya meluapkan emosinya.

Stress yang dirasakannya karena memikirkan keadaan putranya, kini ditambah lagi dengan memikirkan kondisi Evita yang masih belum sadarkan diri. Tapi wanita yang berada di seberang panggilan itu malah dengan entengnya, mengatakan dirinya tidak peduli dengan kondisi sang putra. Sehingga amarah pria itu pun meluap.

"Maaf, aku tidak bermaksud menghakimimu. Aku hanya merasa kecewa. Sebab aku pikir kamu hanya mengirim dokter Eky untuk memeriksa keadaan Arsen, tapi kamu tidak berniat untuk datang," jelas wanita itu dengan suara yang mulai terdengar merendah.

"Aku akan datang sebentar lagi, setelah urusan di rumah sakit selesai. Sekarang aku harus mengurus administrasi lebih dulu," tukas Arya, lalu mematikan sambungan telepon tanpa menunggu balasan dari seberang panggilan.

Untuk sesaat Arya termenung. Pria itu terlihat berada dalam dilema. Ia ingin segera melihat kondisi putranya yang sedang demam tinggi. Sedangkan di sisi lain, ia juga ingin tinggal di rumah sakit. Setidaknya sampai Evita sadar dan ia bisa berbicara dengan wanita itu.

"Sebaiknya aku selesaikan dulu urusan administrasi. Kemudian aku bisa segera melihat keadaan Arsen. Setelah itu aku akan kembali kemari. Semoga saja nanti Vita sudah sadar saat aku kembali," putus Arya setelah beberapa saat berpikir.

Setelah urusan administrasi selesai, Arya lebih dulu menemui perawat yang tadi berbicara padanya. Untuk menitipkan beberapa pesan, agar hatinya lebih tenang saat meninggalkan Evita sendiri di rumah sakit.

"Sus, saya sudah melunasi biaya rumah sakit untuk pasien yang tadi saya bawa. Saya juga sudah menitipkan sejumlah uang di bagian administrasi, seandainya dibutuhkan biaya tambahan untuk perawatan pasien. Dan ini kartu nama saya. Tolong hubungi saya secepatnya jika terjadi sesuatu, atau jika pasien sudah sadarkan diri." Arya berkata sembari menyerahkan sebuah kartu nama pada perawat.

"Baik, Pak. Nanti saya akan menghubungi Bapak jika pasien sudah sadar," ujar perawat menyanggupi permintaan Arya.

"Terima kasih, Sus," ucap Arya. Kemudian pria itu berpamitan dan pergi meninggalkan rumah sakit.

Sedangkan di dalam ruang instalasi gawat darurat, Evita mulai tersadar dari pingsannya. Aroma desinfektan dan obat-obatan seketika menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Membuat kening wanita itu mengernyit, dengan kedua mata memicing. Sebab pandangannya masih tampak kabur dan belum bisa melihat dengan jelas.

Setelah pandangannya semakin jelas, Evita melihat dirinya terbaring di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh tirai berwarna hijau muda. Sebuah infus tampak menancap di punggung telapak tangan kirinya.

"Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa berada di rumah sakit." Evita bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Samar-samar ingatan akan kejadian beberapa waktu lalu pun melintas di otaknya. Kejadian saat sebuah mobil hampir saja menabraknya. Sehingga membuat dirinya shock. Apalagi setelah melihat wajah orang yang hampir saja melindas tubuhnya dengan mobil.

"Arya," gumam Evita lirih, menyebutkan nama pria itu yang sangat dikenalnya.

"Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan rumah sakit ini secara diam-diam. Pasti biaya rumah sakit ini sangat mahal. Aku tidak akan mampu membayarnya. Lagipula aku harus bisa mendapatkan kamar kontrakan malam ini juga," putus Evita yang takut akan mendapatkan masalah, karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit.

Tanpa bantuan perawat, Evita mencabut sendiri jarum infus yang menancap di punggung tangan kirinya. Sontak wanita itu meringis menahan sakit, setelah jarum tercabut. Darah tampak mengalir keluar dari luka bekas tusukan jarum.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   60. Bunuh Diri

    "Kalau begitu, Mama tinggalkan kalian berdua untuk ngobrol," kata Santi, yang ingin memberikan kesempatan pada Arya dan Shanum untuk bicara berdua. "Baik, Ma. Terima kasih," ucap Arya sembari menganggukkan kepala. Santi pergi meninggalkan ruang rawat inap putrinya, dengan diiringi oleh tatapan mata Arya. Lalu tatapan pria itu beralih pada wajah Shanum, setelah bayangan Santi menghilang di balik pintu. "Bagaimana keadaanmu, Num? Apakah kamu sudah makan?" tanya Arya yang hanya sekedar basa-basi, untuk mencairkan suasana yang terasa tegang.Senyum sinis seketika tergambar di wajah Shanum, mendengar pertanyaan Arya."Untuk apa kamu menanyakan kabarku? Apakah kamu sudah puas sekarang? Anak yang kamu abaikan sudah tidak ada lagi! Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu, untuk memanjakan anak-anak tirimu itu!" salak Shanum dengan kilatan emosi yang terpancar dari kedua matanya.Tentu saja Arya sangat kaget mendengar tuduhan-tuduhan Shanum. Ia sadar, hari-hari belakangan ini d

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   59. Mengunjungi Shanum

    Arya bangkit dari duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Lalu pria itu menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya."Halo?" sapa Arya pada orang yang berada di seberang panggilan."Arya, sebelumnya Mama minta maaf, karena sudah mengganggumu yang sedang berkabung." Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan."Tidak apa, Ma," sahut Arya pada wanita yang dulu pernah menjadi ibu mertuanya.Meskipun Santi bukan lagi ibu mertuanya, tapi Arya masih tetap menghormatinya dan memanggil ibu Shanum itu dengan sebutan mama. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Ma?" imbuh Arya yang ingin tahu tujuan wanita itu menghubunginya."Ini tentang Shanum, Ar. Mama tahu saat ini kamu pasti tidak ingin diganggu. Tapi bisakah tolong kamu datang kemari untuk menemui dan bicara dengannya?" pinta Santi kepada mantan menantunya.Kening Arya seketika mengernyit dengan kedua alis yang saling bertautan."Memangnya apa yang terjadi pada Sh

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   58. Larut Dalam Duka

    Arya duduk termenung di samping gundukan tanah yang masih basah. Tatapannya terus tertuju pada batu nisan di atas gundukan tanah, yang hampir seluruh bagiannya tertutup oleh bunga warna-warni.Sedangkan Evita tetap setia berada di samping pria itu, dengan mengenakan dress berwarna hitam. Warna yang sama dengan pakaian yang dikenakan oleh Arya."Saya turut berdukacita, Pak. Semoga Pak Arya bisa ikhlas dan tabah menerima cobaan ini." Nico, asisten Arya di kantor, menyampaikan belasungkawanya.Pria kepercayaan Arya di perusahaan itu berdiri di samping Arya, dengan mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat sedih. Ia bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dirasakan oleh bosnya."Terima kasih sudah hadir di acara pemakaman Arsen," balas Arya tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Tatapan pria itu tidak mau beralih dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya.Raut wajah Arya memang masih terlihat sedih, tapi air mata sudah tidak lagi menetes dari kedua matanya. Kedua netra pria itu te

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   57. Kehilangan

    Tenggorokan Evita sontak tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan membuatnya sulit untuk bernafas. Lidahnya keluh tidak bisa mengatakan apapun. Buliran bening perlahan luruh dari kedua sudut matanya. Tatapan matanya terus mengikuti brankar tersebut yang didorong pergi menjauh dari ruang operasi. "Apakah Anda keluarga dari ananda Arsen?" Terdengar suara seseorang bertanya pada Evita.Perlahan Evita mengalihkan tatapan ke arah suara. Dilihatnya seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mengenakan scrub suit warna hijau dan penutup kepala. Sebuah masker menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanya matanya saja."Suami saya adalah ayah dari Arsen," jawab Evita dengan suara yang terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering."Bisakah saya bicara dengan beliau?" Pria itu bertanya dengan bola mata yang bergerak menelisik ruang tunggu. Seolah sedang mencari keberadaan seseorang."Tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya," balas Evita yang kemudian mengambil ponsel

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   56. Operasi

    Eddy seketika terperanjat, melihat wajah putranya. Pria yang ia kenal kuat dan dingin itu kini terlihat sedang berurai air mata. Kesedihan dan hati yang hancur tergambar jelas di wajah putranya tersebut."Ar, apa yang terjadi, Nak?" Eddy bertanya pada Arya dengan dada yang bergemuruh. Ia yakin ada peristiwa yang sangat buruk yang terjadi, yang membuat putranya terlihat begitu terpuruk.Arya yang tatapannya kosong, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Ditatapnya wajah ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir."Arsen ... dan Rianti kecelakaan." Dengan suara parau dan tersendat, Arya menjawab pertanyaan ayahnya.Seperti disambar petir, Eddy benar-benar terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh putranya. Kedua matanya membulat, dengan mulut yang sedikit menganga."Saat ini keduanya dalam kondisi kritis. Sedangkan Rianti saat ini sedang menjalani operasi." Arya melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar lemah."Kalau begitu kirimkan lokasi rumah sak

  • Dikhianati Suami, Dicintai Sahabat   55. Terguncang

    Arya langsung bergeser dan menepi, saat melihat dua brankar yang didorong memasuki ruang intensive care unit. Ruangan dimana saat ini Rianti juga mendapatkan penanganan. Perhatian Arya sama sekali tidak tertuju pada dua brankar tersebut. Pria itu lebih fokus mendengarkan dering ponsel yang sedang memanggil ayahnya. Pikirannya saat ini juga dipenuhi dengan kekhawatiran.Evita yang berdiri di dekat Arya, tanpa sengaja melihat wajah wanita yang terbaring di atas brankar. Sontak Evita terkejut dengan dua mata yang membulat sempurna.Beberapa saat, Evita terpaku diam seperti patung. Tapi sesaat kemudian dirinya tersadar dan langsung menarik lengan kemeja Arya."Ar ... Shanum ...." Evita berkata dengan suara yang terdengar gagap dan bergetar. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah Shanum, yang tampak mengalirkan darah segar dari keningnya.Arya yang tengah fokus menunggu ayahnya menjawab panggilan darinya, perlahan perhatiannya teralihkan. Pria itu menatap wajah istrinya yang terlihat s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status