Ardhi kembali membuka kontak Rahayu di ponselnya. Jempolnya sempat ragu mengetik. Berkali-kali ia hapus dan tulis ulang pesannya. Lagi-lagi dia mempunyai alasan agar bisa dekat dengan ibu dua anak itu."Rahayu, sebagai tugas tambahan, tolong besok bawakan bekal makan siang buatanmu!" Pesan terkirim.Ia meletakkan ponsel ke meja, pura-pura sibuk membaca dokumen. Tapi matanya melirik layar setiap lima detik sekali, menunggu notifikasi.Di sisi lain, Rahayu yang baru saja selesai menyiapkan pakaian tidur anak-anak, terkejut melihat pesan dari Ardhi.Alisnya terangkat. "Tugas tambahan? Bekal makan siang?" Gumamnya dengan perasaan aneh.Ia membaca ulang pesan itu beberapa kali. Kalimatnya terdengar resmi dan seperti perintah pekerjaan. Tapi Rahayu bukan gadis dua puluh tahun yang mudah dibohongi.Ia tahu ini bukan sekadar tentang bekal makan siang.Namun, ia memilih membalas dengan sopan."Baik, Pak. Besok saya akan bawakan. Ada permintaan khusus, atau saya buatkan seperti bekal yang biasa
“Mama… kita beneran tinggal di sini?” tanya Athala, matanya berbinar.Sore itu, Rahayu tiba di depan gedung apartemen yang disebut Ardhi. Ia sempat ragu turun dari mobil, memandangi bangunan tinggi dengan arsitektur modern dan penjagaan yang ketat di lobi depan. Namun ia memantapkan hati bahwa ini semua demi kebaikan anak-anaknya.“Iya, Nak. Tapi ini hanya sementara,” jawab Rahayu dengan senyum gugup.Arkana sibuk memperhatikan ke sekeliling, “Waaah… itu kolam renang, Mah!” ucap Arkana dengan takjub.Senyum Rahayu perlahan tumbuh. Ia menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam lobi. Petugas keamanan langsung menyapa dengan ramah dan mengarahkan mereka ke lift menuju lantai delapan. Ardhi sudah mengirimkan akses unit dan petunjuk lokasi.Saat pintu apartemen terbuka, Rahayu terdiam. Ruang tamu langsung menyambut dengan pencahayaan hangat, sofa empuk berwarna krem yang elegan, rak buku minimalis yang sudah terisi setengah, dan tanaman hijau di sudut ruangan memberi kesan hidup. Lantai kayu
Di jam istirahat, suasana kantor di perusahaan Darmawan Group mulai lengang. Beberapa karyawan memilih makan siang di kantin perusahaan, ada juga yang memilih untuk makan di luar kantor, beberapa lainya membawa bekal sehingga memilih makan siang di pantry.Rahayu terlihat masih sibuk dengan pekerjaanya. Matanya menatap layar laptop dengan serus, satu tangan di atas keyboard dan satu lagi di atas tumpukan dokumen CV."Rahayu, kamu tidak makan siang?" Ucap Ardhi tiba-tiba, hampir mengagetkan Rahayu yang sedang fokus."Saya masih membuat laporan hasil rekrutmen untuk cabang kantor baru, Pak Ardhi" jawab Rahayu, menoleh sebentar ke Ardhi lalu melanjutkan pekerjaanya."Kamu bawa bekal makan siang?" Ardhi bertanya lagi."Enggak Pak, saya hanya sempat membuat sarapan dan bekal untuk anak-anak saja""Kalau begitu, kita makan siang bersama. Ada tempat makan baru yang ingin kucoba siang ini""Tapi Pak Ardhi... Saya masih...""Cepat tutup pekerjaanmu dan ku tunggu di mobil" ucap Ardhi, sebelum p
“Terima kasih Pak Ardhi...” suara Rahayu lirih, nyaris seperti bisikan. “Kalau bukan karena Bapak, aku mungkin… aku mungkin tidak akan melihat anak-anakku lagi.” ucap Rahayu. Rahayu duduk di kursi tengah mobil mewah Ardhi sambil mendekap Arkana yang tertidur di pangkuannya. Athala bersandar lelah di bahu Rahayu, jari-jarinya masih mencengkeram erat lengan ibunya, ketakutan dan trauma masih menyelimuti perasaan bocah kecil itu. Ardhi yang duduk di samping Rahayu menoleh, memandangi Rahayu yang masih tampak syok namun mulai tenang. Tatapan mereka bertemu, Rahayu menunduk.“Kamu ibu mereka, Rahayu. Mereka butuh kamu. Dan kamu pantas mendapatkan keadilan.”Air mata menggenang di mata Rahayu. Ia menunduk, mencium kening Arkana, lalu menatap Ardhi dengan penuh rasa syukur, ada perasaan aneh dan canggung di hati Rahayu. Ia merasa apa yang Ardhi lakukan padanya berlebihan jika dinilai sebagai seorang atasan dan bawahan, namun tak dapat dipungkiri Rahayu membutuhkan bantuan Ardhi.“Aku nggak
Brakh!!Pintu rumah reyot itu terdobrak dengan keras, daun pintunya menghantam dinding dengan keras hingga nyaris copot dari engselnya. Suara dentuman itu menggema di seluruh ruangan, membuat Yanti dan Luna tersentak ketakutan."Apa-apaan ini?!" teriak Yanti kaget, wajahnya pucat pasi.Luna langsung berdiri, matanya membelalak saat melihat Ardhi berdiri di ambang pintu, diapit oleh empat bodyguard bertubuh kekar yang mengenakan seragam hitam. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras, tatapannya penuh amarah yang membara.Di belakang Ardhi, Rahayu muncul dengan napas memburu. Matanya merah dan basah oleh air mata, tetapi sorot matanya tajam, penuh keberanian."Di mana anak-anakku?!" suara Rahayu bergetar, tapi penuh tekanan.Yanti mundur beberapa langkah, panik. “Ka-Kalian tidak boleh masuk!”Ardhi hanya melirik sekilas ke arah bodyguardnya. Salah satu dari mereka langsung melangkah maju, menyingkirkan Yanti dengan mudah seperti boneka kain.Luna ikut ketakutan, tangannya mencengkeram ujung
Rahayu tiba di sekolah Arkana dan Athala setelah pulang kerja untuk menjemput kedua putranya."Maaf Ibu, tadi anak-anak sudah dijemput oleh Omanya" ucap seorang guru yang terbiasa mengajar Athala."Omanya?" ucap Rahayu heran, seingatnya mertuanya Yanti tak pernah peduli pada kedua putranya. Tumben sekali dia mau menjemputnya. Pikiran buruk mulai melintas di kepala Rahayu.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Dengan tangan gemetar, Rahayu mengangkatnya.Suara di seberang terdengar dingin dan penuh kepuasan.“Kau mencari anak-anakmu, Rahayu?” suara Yanti terdengar tajam.Rahayu langsung menegang. “Di mana mereka?! Apa yang kau lakukan pada anak-anakku, Yanti?!”Terdengar tawa sinis dari seberang. “Jangan panik begitu, Rahayu. Mereka baik-baik saja bersamaku, ingat aku ini neneknya!.”Rahayu merasakan tubuhnya lemas, tapi ia memaksakan diri tetap berdiri. “Jangan macam-macam, Yanti. Kembalikan mereka sekarang juga!”“Kembalikan? Hah! Setelah semua yang kau lakukan padaku dan Sadew