"Ardhi..." Ucap Pak Darmawan setelah tawanya selesai. Kali ini mimik wajahnya terlihat lebih serius.Ardhi mengangkat wajahnya, menatap wajah ayahnya yang terlihat teduh dan bijaksana."Kamu harus sadar dia masih dalam masa pemulihan. Selain itu, kamu adalah pewaris Darmawan group. Kalau hubungan kalian diketahui publik terlalu dini, akan menimbulkan fitnah yang merugikan"Ardhi mengangguk perlahan, kini wajahnya lebih serius. “Saya tahu. Karena itu saya nggak akan terburu-buru. Saya hanya ingin mendampingi dia sebagai teman, atasan, atau apapun peran yang bisa membuat dia merasa aman.”Pak Darmawan menatap putranya dengan tatapan bangga yang terselip di balik kekhawatiran. “Kalau memang kamu yakin dengan perasaanmu, jalani dengan cara yang benar. Tapi jangan sampai kamu justru menaruh beban baru di pundaknya. Ingat statusnya saat ini adalah ibu tunggal dengan dua anak, pikirkan segalanya sebelum bertindak semakin jauh Ardhi...”Ardhi menelan ludah pelan, menyadari bahwa kalimat terak
Rahayu baru selesai membereskan makan malamnya bersama Athala dan Arkana saat telepon di apartemenya berbunyi."Halo" jawab Rahayu, sesaat setelah menyaut gagang telepon dan mendekatkanya ke telinga."Bu Rahayu, ada yang ingin bertemu. Namanya Sadewo" ucap resepsionis dari lobi apartemen."Jangan ijinkan dia naik, tolong minta sekuriti untuk mengamankan jika dia memaksa!" Ucap Rahayu tegas. Rahayu menarik napas dalam, dalam hatinya ia tahu bahwa Sadewo tak akan menyerah hanya dengan satu penolakan.Tak lama setelah ia meletakkan gagang telepon, ponsel Rahayu berdering. Nomor Sadewo tertera jelas di layar. Ia menatapnya sejenak, ragu untuk menjawab, tapi rasa penasaran dan khawatir mendorong jarinya menyentuh tombol hijau setelah memastikan kedua anaknya tertidur pulas."Ayu, aku mohon, aku cuma mau bicara baik-baik. Jangan egois. Aku bapaknya Athala dan Arkana," suara Sadewo memaksa, terdengar berat dan memelas.Rahayu menarik napas dalam. “Mas, kamu datang ke sini tanpa izin. Kamu pi
Ardhi kembali membuka kontak Rahayu di ponselnya. Jempolnya sempat ragu mengetik. Berkali-kali ia hapus dan tulis ulang pesannya. Lagi-lagi dia mempunyai alasan agar bisa dekat dengan ibu dua anak itu."Rahayu, sebagai tugas tambahan, tolong besok bawakan bekal makan siang buatanmu!" Pesan terkirim.Ia meletakkan ponsel ke meja, pura-pura sibuk membaca dokumen. Tapi matanya melirik layar setiap lima detik sekali, menunggu notifikasi.Di sisi lain, Rahayu yang baru saja selesai menyiapkan pakaian tidur anak-anak, terkejut melihat pesan dari Ardhi.Alisnya terangkat. "Tugas tambahan? Bekal makan siang?" Gumamnya dengan perasaan aneh.Ia membaca ulang pesan itu beberapa kali. Kalimatnya terdengar resmi dan seperti perintah pekerjaan. Tapi Rahayu bukan gadis dua puluh tahun yang mudah dibohongi.Ia tahu ini bukan sekadar tentang bekal makan siang.Namun, ia memilih membalas dengan sopan."Baik, Pak. Besok saya akan bawakan. Ada permintaan khusus, atau saya buatkan seperti bekal yang biasa
“Mama… kita beneran tinggal di sini?” tanya Athala, matanya berbinar.Sore itu, Rahayu tiba di depan gedung apartemen yang disebut Ardhi. Ia sempat ragu turun dari mobil, memandangi bangunan tinggi dengan arsitektur modern dan penjagaan yang ketat di lobi depan. Namun ia memantapkan hati bahwa ini semua demi kebaikan anak-anaknya.“Iya, Nak. Tapi ini hanya sementara,” jawab Rahayu dengan senyum gugup.Arkana sibuk memperhatikan ke sekeliling, “Waaah… itu kolam renang, Mah!” ucap Arkana dengan takjub.Senyum Rahayu perlahan tumbuh. Ia menggandeng kedua anaknya masuk ke dalam lobi. Petugas keamanan langsung menyapa dengan ramah dan mengarahkan mereka ke lift menuju lantai delapan. Ardhi sudah mengirimkan akses unit dan petunjuk lokasi.Saat pintu apartemen terbuka, Rahayu terdiam. Ruang tamu langsung menyambut dengan pencahayaan hangat, sofa empuk berwarna krem yang elegan, rak buku minimalis yang sudah terisi setengah, dan tanaman hijau di sudut ruangan memberi kesan hidup. Lantai kayu
Di jam istirahat, suasana kantor di perusahaan Darmawan Group mulai lengang. Beberapa karyawan memilih makan siang di kantin perusahaan, ada juga yang memilih untuk makan di luar kantor, beberapa lainya membawa bekal sehingga memilih makan siang di pantry.Rahayu terlihat masih sibuk dengan pekerjaanya. Matanya menatap layar laptop dengan serus, satu tangan di atas keyboard dan satu lagi di atas tumpukan dokumen CV."Rahayu, kamu tidak makan siang?" Ucap Ardhi tiba-tiba, hampir mengagetkan Rahayu yang sedang fokus."Saya masih membuat laporan hasil rekrutmen untuk cabang kantor baru, Pak Ardhi" jawab Rahayu, menoleh sebentar ke Ardhi lalu melanjutkan pekerjaanya."Kamu bawa bekal makan siang?" Ardhi bertanya lagi."Enggak Pak, saya hanya sempat membuat sarapan dan bekal untuk anak-anak saja""Kalau begitu, kita makan siang bersama. Ada tempat makan baru yang ingin kucoba siang ini""Tapi Pak Ardhi... Saya masih...""Cepat tutup pekerjaanmu dan ku tunggu di mobil" ucap Ardhi, sebelum pr
“Terima kasih Pak Ardhi...” suara Rahayu lirih, nyaris seperti bisikan. “Kalau bukan karena Bapak, aku mungkin… aku mungkin tidak akan melihat anak-anakku lagi.” ucap Rahayu. Rahayu duduk di kursi tengah mobil mewah Ardhi sambil mendekap Arkana yang tertidur di pangkuannya. Athala bersandar lelah di bahu Rahayu, jari-jarinya masih mencengkeram erat lengan ibunya, ketakutan dan trauma masih menyelimuti perasaan bocah kecil itu. Ardhi yang duduk di samping Rahayu menoleh, memandangi Rahayu yang masih tampak syok namun mulai tenang. Tatapan mereka bertemu, Rahayu menunduk.“Kamu ibu mereka, Rahayu. Mereka butuh kamu. Dan kamu pantas mendapatkan keadilan.”Air mata menggenang di mata Rahayu. Ia menunduk, mencium kening Arkana, lalu menatap Ardhi dengan penuh rasa syukur, ada perasaan aneh dan canggung di hati Rahayu. Ia merasa apa yang Ardhi lakukan padanya berlebihan jika dinilai sebagai seorang atasan dan bawahan, namun tak dapat dipungkiri Rahayu membutuhkan bantuan Ardhi.“Aku nggak