Kilatan cahaya menyilaukan mata. Suara tembakan bersahut-sahutan. Jeritan Rio terdengar menusuk telinga Ayu. Waktu seakan melambat.Ayu menutup telinga dan memejamkan mata, tubuhnya bergetar hebat. Ia yakin semuanya sudah berakhir.Namun, ketika ia membuka mata kembali… Rio masih berdiri. Bom di lehernya memang berkedip lebih cepat, tapi tidak meledak. Remote di tangan Reza berasap, rusak oleh peluru yang ditembakkan Ashraf tepat pada waktunya.“Tidak… ini tidak mungkin!” Reza menggeram, menatap remote yang hancur di tangannya.Sarah, dengan wajah pucat berlumuran darah, ikut terengah. “Aku bilang padamu, Reza. Kau terlalu percaya diri.” Ia tersenyum samar meski tubuhnya gemetar.Namun, ketegangan belum usai. Arya masih menodongkan pistol ke arah Ashraf, jari di pelatuknya. “Kau menyelamatkan Rio… tapi aku tetap tidak bisa membiarkanmu ada di sisinya, Ashraf. Kau adalah sumber semua masalah ini.”Ayu menoleh cepat. “Arya! Tidak! Jangan lakukan ini!”Arya menatap Ayu dengan mata berkac
Hening menyelimuti ruangan yang penuh debu setelah kepergian Sarah. Hanya suara batuk Ayu dan tarikan napas berat Ashraf yang terdengar. Ayu masih terisak, tubuhnya gemetar hebat, sementara Ashraf mengepalkan tinjunya hingga buku jarinya memutih.“Dia membawa Rio…” suara Ayu bergetar. “Anak itu… satu-satunya alasanku bertahan hidup… Sarah membawanya…”Ashraf mendekat, meraih bahu Ayu. “Tenang. Kita akan menemukannya.”Tatapan Ashraf tajam, seakan berjanji pada dirinya sendiri.Arya, yang sejak tadi diam, menatap keduanya dengan mata gelap. “Masalahnya, Sarah bukan sekadar musuh. Dia tahu semua langkah kita. Kalau kita terburu-buru, Rio bisa jadi taruhannya.”Ayu menoleh, matanya penuh amarah. “Kau selalu bicara logika, Arya. Tapi ini anakku! Aku tidak peduli jika aku harus menyerahkan nyawaku, asalkan Rio selamat!”Arya membalas tatapan Ayu, seolah ingin mengatakan sesuatu—namun menahannya.---Beberapa jam kemudian, sebuah pesan misterius tiba. Kertas tipis, ditinggalkan di depan pin
Suara tembakan masih bergema di ruangan sempit itu. Asap tipis mengepul, menyisakan bau mesiu yang menusuk hidung. Semua orang terdiam, waktu seakan berhenti.Ayu menahan napas, matanya terpaku pada sosok yang terjatuh di lantai. Darah merah mengalir, membasahi lantai dingin.Arya berteriak, "Tidak!!!" lalu segera merunduk, mendekati tubuh yang roboh.Ternyata, yang tertembak adalah Sarah.Peluru menembus bahunya, membuatnya meringis kesakitan. Wajah cantiknya kini berubah pucat, namun matanya masih menyalakan api kebencian."Reza… kau brengsek," desis Sarah dengan napas terengah.Reza tertawa pelan, suaranya dingin. "Kau pikir aku tidak tahu permainanmu, Sarah? Aku selalu satu langkah di depanmu."Ashraf berdiri tegak, pistolnya masih terarah pada dada Reza. Tubuhnya penuh luka, wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam seperti pisau."Sudah cukup, Reza," ucap Ashraf pelan, tapi penuh ancaman. "Lepaskan Ayu. Kau hanya akan menambah musuh jika terus memainkannya."Reza tersenyum sinis.
Tubuh Ayu terhempas ke tanah, darah hangat merembes membasahi bajunya. Nafasnya tersengal, matanya berkunang-kunang. Suara dunia di sekelilingnya terdengar samar, bercampur antara derap langkah, teriakan, dan desingan peluru yang entah dari mana datangnya.Dalam kabut kesadarannya, ia mendengar suara Arya."Ayu! Bertahanlah!" seru Arya, wajahnya panik. Ia berlari ke arah Ayu, berlutut, lalu menekan luka di dada Ayu dengan tangannya yang gemetar. "Kau tidak boleh meninggalkanku… aku tidak akan membiarkanmu pergi!"Namun, suara lain terdengar, dingin, menusuk hati. Sarah."Jangan sentuh dia, Arya." Suaranya tegas. "Biarkan saja. Itu mungkin jalan yang terbaik untuknya."Arya menoleh dengan mata yang berapi-api. "Diam, Sarah! Jangan bicara omong kosong!"Ayu ingin mengatakan sesuatu, ingin menjerit, ingin menolak semua pengkhianatan yang menjeratnya. Tapi suaranya hanya keluar lirih, nyaris tak terdengar. "Kenapa… kalian…"Kesadarannya meredup, seperti lilin yang hampir padam.---Gelap.
Ayu terbangun di sebuah ruangan asing. Kepalanya terasa sakit, tubuhnya lemas. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi ingatannya masih kabur. "Di mana aku?" tanya Ayu, suaranya serak. Seorang wanita mendekat. Wajahnya lembut, tapi matanya menyimpan kesedihan. "Kau aman sekarang, Ayu," kata wanita itu. "Kau berada di tempat yang aman." "Siapa kau?" tanya Ayu, merasa curiga. "Namaku Sarah," jawab wanita itu. "Aku adalah teman Ashraf." Ayu terkejut. "Teman Ashraf? Tapi bagaimana-" "Aku tahu semuanya, Ayu," potong Sarah. "Tentang Reza, tentang masa lalu Ashraf, tentang semua yang terjadi." Ayu merasa bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku di sini?" Sarah menarik napas dalam-dalam. "Kau mengalami kecelakaan, Ayu. Mobil itu sengaja menabrakmu." Ayu terkejut. "Sengaja? Siapa yang melakukannya?" Sarah menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Tapi aku tahu itu bukan orang baik." "Di mana Ashraf? Apa dia baik-baik saja?" tanya Ayu, merasa khawatir. Sarah terdiam sejenak.
Ayu memeluk foto itu erat-erat, air matanya membasahi kertas. Ancaman itu begitu nyata, begitu dekat. Rio, satu-satunya alasan ia bertahan, kini menjadi sasaran. Ia harus bertindak cepat, tapi bagaimana?Dengan tangan gemetar, Ayu meraih ponselnya dan menghubungi Ashraf. Nada sambung berdering panjang, tapi tak ada jawaban. Perasaan panik semakin mencengkeramnya. Ia harus bertemu Ashraf, sekarang juga.Ayu menitipkan Rio pada tetangga terdekat yang bisa dipercaya, Bu Ratih, dengan alasan ada urusan mendesak. Ia berjanji akan segera kembali. Dengan jantung berdebar, Ayu melajukan mobilnya menuju bengkel tempat Ashraf bekerja.Sesampainya di sana, Ayu melihat bengkel itu sepi. Beberapa mekanik terlihat sedang mengobrol di pojok, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Ashraf."Maaf, Mas Ashraf ada?" tanya Ayu pada salah seorang mekanik.Pria itu menggeleng. "Mas Ashraf tidak masuk hari ini, Mbak. Katanya ada urusan keluarga."Ayu merasa firasat buruk semakin kuat. "Apa Mas Ashraf bilang m