Share

4. Gelagat Aneh

P.O.V Salsa

Aku terkikik geli melihat sang sekretaris s0ng0ng yang sombong sedang menggerutu sambil mencuci piring kotor bekas makanku.

Ditambah kedatangan Naura yang terus merengek minta ditemenin main.

Aku yakin, saat ini dia pasti tengah merutuki nasib apesnya, sebab mendapat serangan balasan tak terduga dariku.

"Kenapa sih, Sayang? Kok ketawanya begitu. Lihat apa, sih?" tanya Mas Zein penasaran. Kepalanya sampai melongok pada benda pipih di tanganku yang terhubung langsung dengan CCTV di rumah ini.

"Ini loh, sekretaris baru Mas, lucu," sahutku mendekatkan handphone padanya.

Terlihat di layar persegi ini, Misyka sedang menenangkan Naura yang terus-menerus memanggilnya untuk segera bermain.

Penampilannya sudah sangat kacau. Rambut lurus super mengkilapnya, acak-acakan. Kemeja panjang warna maroon dengan hiasan rempel di bagian kancingnya, sudah berantakan. Makeup-nya juga terlihat luntur.

"Kok ada Naura, Sayang?" tanya Mas Zein. Matanya masih menatap layar handphone, tapi wajahnya menengok padaku.

"Iya. Tadi aku yang telpon."

"Maksudnya?" Mas Zein beralih sempurna menghadapku.

"Aku yang telpon Naura untuk keluar kamar, minta ditemenin Misyka kalau mau main, Mas," terangku.

Aku memang menghubungi Naura melalui telpon rumah di kamarnya, ketika Mas Zein sedang fokus bekerja pada ponsel pintar miliknya.

Meminta Naura untuk keluar kamar dan bermain dengan Misyka. Awalnya Naura menolak. Tapi, Setelah aku katakan kalau Misyka suka main kuda-kudaan, anak cantikku akhirnya bersedia, sebab Naura pun paling suka dengan permainan itu, dengan syarat tidak boleh memberi tahu di mana aku dan Mas Zein berada, serta harus menunggu pekerjaan Misyka selesai.

 "Ada-ada saja kamu ... Kalau nanti Misyka mengundurkan diri kamu yang tanggung jawab ya. Mas gak enak sama Pak Danu nanti," ucap Mas Zein setelah aku ceritakan bagaimana Naura bisa muncul di dapur.

"Gak bakal terjadi Mas. Tenang saja."

"Bisa seyakin itu kamu, Dek?"

"Tentu saja. Aku tahu maksud kedatangan dia ke sini, Mas. Makanya aku bisa yakin kalau Misyka itu pasti tidak akan resign."

"Memangnya apa tujuannya?"

"Apalagi kalau bukan caper sama Mas."

"Caper?"

"Iya. Mas Zein kan ganteng, baik, punya duit, pasti banyak wanita yang suka."

Mas Zein tertawa mendengar pujian dan pemikiranku tentang Misyka.

"Yang penting hati Mas cuma buat kamu seorang," rayunya mencubit hidungku.

"Maas ... Ih. Sakit tahu!" ujarku pura-pura merajuk.

"Iya, Maaf. Ya sudah, kamu istirahat dulu ya. Mas ke sofa dulu sebentar mau buka laptop." Mas Zein bergerak turun dari ranjang setelah mengacak pucuk rambutku.

-----

"Sayang ... Bangun, yuk. Shalat Zhuhur dan makan dulu."

Samar-samar aku merasakan tepukan lembut pada pipiku.

Due kelopak mata yang entah sejak kapan saling menaut ini, perlahan aku buka.

Bayangan lelaki dengan garis wajah nyaris sempurna menjadi pemandangan pertama saat mata ini terbuka sempurna. Senyumnya merekah, memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi dengan bibir merah alami. Sungguh, Mas Zein adalah anugerah terindah selain anakku.

"Bangun dulu, shalat Zhuhur. Udah mau abis loh waktunya. Kamu juga belum makan siang bukan?" ucap Mas Zein.

Perlahan aku bergerak, meregangkan otot lalu duduk.

"Jam berapa sekarang, Mas? Aku ketiduran, ya?"

"Jam dua siang. Gak apa-apa, nanti habis shalat dan makan kamu boleh tidur lagi, kok."

Beberapa detik kemudian aku teringat pada Misyka. Aku ketiduran, lalu apa yang terjadi padanya ya.

Tunggu, rambut Mas Zein basah. Apa suamiku ini habis mandi? Tapi tidak biasanya Mas Zein mandi siang. Kalau sudah mandi pagi, maka mandinya lagi sore. Tapi ini, kok. Jangan-jangan ... Tidak. Aku tidak boleh berpikir buruk.

CCTV, ya, aku harus melihat CCTV.

Aku memindai kasur mencari handphone. Tapi kosong. Di bawah bantal pun tak ada.

"Cari apa sih, Dek?" 

"Handphone aku, Mas."

"Itu." Mas Zein menunjuk nakas di mana benda persegi tergeletak di sana. "Baterainya habis. Itu lagi diisi daya dulu. Mau ngapain?"

"Misyka sama Naura, Mas. Terus kamu, apa yang terjadi selama aku tertidur?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Misyka sudah pulang sejak tadi. Kalau Naura, sekarang lagi tidur siang setelah aku suapi makan. Kalau Mas, Mas sejak tadi temenin kamu sambil membalas email yang masuk."

Aku memicingkan mata. Seketika perasaan tak enak menghinggapi.

"Jam berapa Misyka pulang, terus sama siapa, Mas?"

"Sekitar jam satu kayaknya. Pulangnya ya sendiri dong. Kan dia bawa mobil ke sini."

"Beneran, bukan Mas yang antar?"

"Enggaklah, ngapain."

"Beneran ..." kataku terdengar menyelidik.

"Iya. Kenapa sih?"

"Enggak! Awas ya kalau macam-macam."

"Ya ampun istri tercintaku ... Mana mungkin Mas macam-macam, kalau sudah ada dua bidadari yang Mas miliki. Dan juga ada satu lagi calon bidadari atau jagoan di sini." Mas Zein mengelus perutku.

Aku tersipu, Mas Zein memang selalu pintar mengembalikan moodku yang terkadang suka tiba-tiba buyar.

Entah karena hormon kehamilan, atau karena aku sering baca novel online tentang perselingkuhan, perasaanku jadi lebih sensitif.

Padahal sebelumnya aku tidak pernah menyimpan curiga apapun pada suamiku.

Pun sekarang, harusnya aku tidak boleh berpikir hal-hal aneh tentang Mas Zein, sebab perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah berubah sejak dulu.

"Hemmm ... Mulai deh bengongnya." Mas Zein menepuk pelan pundakku.

"Enggak bengong kok," elakku.

"Sudah semakin sore, sana ambil wudhu dulu."

"Iya, Sayangnya aku ...."

"Mulai deh, genitnya. Sudah sana." Mas Zein kemudian bangkit dari duduknya.

----

Selepas shalat dan makan siang yang tertunda, aku duduk santai di taman depan bersama Mas Zein.

Ditemani dua cangkir teh hangat, kami duduk bersisihan, bercerita tentang jenis kelamin calon bayi yang masih berada di rahimku.

"Aku berharap bayinya nanti laki-laki, biar bisa jagain aku sama Naura," ucapku.

"Apa saja yang penting kalian berdua sehat. Mas sudah sangat bahagia," sahut suamiku.

"Iya sih. Tapi kalau boleh minta, maunya cowok aja. Ceweknya udah ada Naura."

"Semoga saja, ya."

Mulutku sudah terbuka bersiap mengucapkan sesuatu, tetapi harus kembali aku tutup karena ponsel Mas Zein berdering.

Dirogohnya saku celana pendek, Mas Zein mengambil benda yang sudah menyala.

Aku tidak tahu siapa yang menelpon Mas Zein, karena aku tidak berhasil melihat dengan jelas nama yang tertera di layar itu.

Mas Zein melirikku sekilas, lalu berdiri menjauh dari ku tanpa mengatakan apapun sambil menempelkan ponselnya di pipi.

"Kenapa menjauh? Biasanya gak pernah begitu," monologku heran.

"Apa aku nguping saja ya, dari pada penasaran."

"Tapi gak, ah. Buat apa. Nanti juga ketahuan kalau ada yang dia sembunyikan dariku."

Kuputuskan untuk berselancar di dumay saja untuk menghilangkan pikiran buruk tentang sikap Mas Zein barusan.

Saat sedang asyik bergulir di aplikasi bergambar huruf, tak sengaja aku melihat foto wanita yang hari ini datang ke rumahku.

"Misyka? Sejak kapan aku berteman dengannya. Kenapa bisa muncul di berandaku," gumamku.

Penasaran, aku klik gambar itu. Terlihat, Misyka sedang berpose cantik di sebuah kafe. Dengan caption 'menunggumu'.

"Bodo amatlah da mau ngapain."

Mengabaikan Misyka, aku berniat masuk saja ke rumah. 

Mas Zein masih berbicara di telepon dengan entah siapa. Mungkin ada hal penting makanya agak lama.

Baru beberapa langkah berjalan, Mas Zein memanggilku.

"Sayang, Mas pergi dulu bentar ya. Ada hal penting yang harus Mas urus."

"Ke mana?"

"Eee ... Ke-mau ke kantor sebentar," jawab Mas Zein tergagap.

"Baiklah."

"Terima kasih, Sayang, Mas pergi dulu." Meraih kepalaku lalu mencium sekilas pucuknya.

Curiga? Tentu saja. Tapi untuk sementara, biar aku ikuti dulu permainan Mas Zein.

Aku meneruskan langkah menuju rumah tanpa menunggu mobil Mas Zein melaju. Tiba-tiba ponsel digenggaman bergetar.

Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Pesan berisi sebuah foto.

Aku berhenti sejenak untuk melihat isi foto itu. Foto SS percakapan seseorang yang berhasil membuatku mematung.

[Saya lagi dijalan sebentar lagi sampai. Jangan kemana-mana. Tunggu.]

Bukan hanya kalimat dalam foto itu yang membuat aku bagai tersambar petir, tetapi juga nomor pengirim yang tertera di sana.

Aku hafal betul nomor itu. Nomor yang aku belikan dulu untuk suamiku, Mas Zein.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status