Share

4. Haters Syakila

"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."

Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas.

'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila.

"Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.

Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."

Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun.

"Ayok! Buruan!" pekik Devan.

"Ke mana?" Syakila pun ikut memekik.

"Buka kiosnya! Masih mau kerja tidak?" Devan menaikkan nada bicaranya sedikit lebih tinggi.

Syakila gelagapan. Gadis itu lupa kalau ia harus menemukan kuncinya segera.

Matanya kembali bergerak mengelilingi sekitar dengan tangan yang juga sibuk meraba apapun yang ada di dekatnya.

"Pakai Ini. Cepetan!" Devan menyodorkan kunci cadangan yang sengaja Bu Sukoco berikan sebelum Devan ke pasar.

Bu Sukoco kurang enak badan, makanya ia menyuruh anaknya untuk menengok kios sebentar.

Siapa sangka, ternyata Syakila terlambat datang.

Syakila meraih kunci di tangan Devan dengan kikuk lalu membuka kios dengan tergesa, sampai-sampai Syakila hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

"Dasar ceroboh!" gumam Devan.

***

Hari ini adalah hari paling melelahkan bagi Syakila, selama ia bekerja pada Bu Sukoco.

Devan benar-benar tak membiarkan dirinya istirahat. Lelaki itu selalu menyuruh dia ini dan itu. Sangat berbeda dengan Bu Sukoco yang sangat pengertian dengan Syakila. Entahlah, kadang Syakila merasa Devan tak menyukai dirinya.

Seperti halnya Kamil yang memandang rendah dirinya karena berasal dari kampung dan tidak berpendidikan tinggi, Syakila pun berfikir hal serupa pada Devan.

Satu-satunya hal yang bisa menghibur Syakila saat sebelum istirahat malamnya adalah dengan membawakan dongeng-dongeng di live-nya.

Seperti biasa, pukul 20.30 Syakila memulai live. Kali ini, memakai filter kartun untuk menutupi wajahnya.

"Assalamualaikum ... Hai semuanya. Selamat malam."

Syakila mulai menyapa. Satu persatu penonton mulai muncul. Dongeng Syakila mengalir dengan indahnya meski tanpa teks apapun. Semua murni datang dari ide dalam pikirannya yang secara spontan muncul begitu saja.

Di sisi lain, dua orang wanita tengah menggerutu seraya memandang benda berlayar di tangan masing-masing.

Dengan posisi duduk bersama di sofa panjang, kakak beradik itu kompak mengomentari live dengan tema dongeng kancil dan harimau.

"Sebenarnya siapa sih orang ini, Kak? Muncul terus deh di berandaku. Bikin BT aja!" ucap Jasmin.

"Gak tahu. Aku juga mual denger suara dia!" sahut Yumna.

Benar, dua bersaudara itu adalah kakak dan adik dari Kamil.

Algoritma toktok membuat mereka sama-sama sedang mendengarkan dongeng yang sedang diceritakan oleh Syakila.

"Tau! Udah di skip, masih aja nongol!"

"Iya. Mana dongeng gitu isinya. Norak!"

"Eh, kita bikin rusuh di komentar yuk. Biar tau rasa! Biar gak nongol lagi dia."

"Yuk, Kak. Ide bagus itu!"

Mereka mulai melancarkan aksi jahatnya. Menghina, merendahkan, dan menjatuhkan Syakila. Padahal, mereka belum tahu kalau ternyata orang yang sedang dirusuhi itu adalah mantan calon iparnya.

Belum tau aja, udah begitu jahat.

Apa jadinya, kalau tahu itu adalah Syakila?

"Konten gak mutu! Recehan!"

"Buang-buang kuota aja!"

"Yang lagi nonton, udahan aja. Gak mual emang? Denger cerita receh begitu?

"Kasian, ditinggal kabur penonton!"

"Emang pantes sih, gak guna soalnya! Cuma jadi sampah aja!"

Dan masih banyak lagi komentar rusuh dari dua orang itu.

Dari arah belakang, Kamil datang karena penasaran dengan dua saudaranya yang sedang tertawa puas.

"Ada apa, sih? Rame bener," tanya Kamil sembari menjatuhkan badannya di kursi yang sama dengan saudara-saudaranya.

"Lagi ngerjain orang di toktok. Biar mampoes!" jawab Yumna.

"He'em. Nongol terus sih." Jasmin pun ikut menimpali.

"Siapa? Memangnya kalian kenal?" Kamil kembali bertanya.

"Gak tau. Namanya Sang Pemimpi. Mukanya selalu ditutup pake filter. Pasti karena muka dia jelek!"

Kamil terkejut ketika kakaknya itu menyebutkan nama akun yang baru saja dikerjai.

Berhubungan selama dua tahun, tentu Kamil sangat mengenal dengan aku bernama Sang Pemimpi itu.

Dulu, Kamil sendiri yang membuat nama itu.

Saat itu, Syakila bertanya tentang sebuah nama yang cocok untuk akun sosial medianya pada Kamil.

"Aku mau bikin akun di toktok, ah. Kira-kira, nama yang cocok buat akunku apa ya, Mas?"

"Sang Pemimpi," jawab Kamil asal ceplosnya. Sebab Kamil menganggap Syakila hanya seorang pemimpi yang bisa bersanding dengan laki-laki tampan seperti dirinya.

Siapa sangka, nama itu benar-benar dipakai oleh Syakila.

"Hei! Kok malah ngelamun. Kamu kenal, dengan orang itu?" Yumna menepuk lengan Kamil, membuat ia yang sedang teringat masa lalu kembali terlonjak.

"I–tu…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status