Share

3. Buntu

Penulis: NingrumAza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-02 11:30:06

Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming.

Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.

Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.

Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.

Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya.

Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu.

"Sekarang jadi gak asik."

"Jadi malas nonton."

"Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."

Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.

Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan Bu Sukoco yang masih memberikan saweran pada Syakila. Itupun tidak setiap malam, sebab sang cucu tak lagi suka melihat live Syakila.

Hal itu tentu diketahui Bu Sukoco, tetapi Syakila terus berkelit ketika bosnya itu membicarakan tentang penonton yang semakin berkurang.

"Namanya juga manusia, Bu. Pasti ya, ada bosannya kalau terus-terusan mendengar dongeng. Apalagi dongeng saya kan dongeng asal-asalan saja," ujar Syakila.

"Ibu jadi gak enak sama kamu, Sya. Jangan-jangan karena kamu sambil jualan, makanya penonton kamu jadi pada kabur," sahut bu Sukoco tak enak.

"Enggak, kok, Bu. Pasti bukan karena itu. Malah saya senang kok live sambil dagang. Lumayan, jadi dapat bonus. He he he." Syakila memang selalu pintar dalam menjaga perasaan orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

"Kamu bisa aja, Sya. Ya udah, biar kamu bisa fokus ke konten kamu yang utama, kamu gak usah sambil dagang lagi. Lagian, baju-baju Ibu di pasar juga lumayan laris. Ya, kan?"

"Eh, jangan, Bu. Syakila gak papa kok sambil dagang. Kan yang nonton juga masih ada, Bu. Bukan yang ilang semua. Pas awal-awal saya live malah gak ada yang nonton. tapi lama kelamaan ada, trus jadi banyak. Ibu tenang aja, nanti penggemar Syakila bakal pada balik lagi, kok." Syakila tertawa di ujung kalimatnya.

Gadis berusia 23 tahun itu memang sangat pandai menyembunyikan kegundahannya. Ia selalu sukses berakting baik-baik saja di depan umum.

"Beneran gak apa-apa, Sya?" Bu Sukoco pun sebenarnya tak enak. Mau keukeuh melarang Syakila dagang di online, takut anak itu masih minat. Tapi membiarkan berlanjut pun sebenarnya tak tega.

"Beneran, Bu. Udah, gak papa. Nanti Syakila tetap bawa sampelnya ya, Bu."

"Ya udah kalau begitu. Semoga berhasil ya."

"Siap, Bu Bos!" Syakila memeragakan seolah-olah tentara yang sedang memberi hormat pada atasannya. Hal itu membuat Bu Sukoco tertawa.

***

"Live-nya basi! Kenapa sih selalu muncul di berandaku?"

Seseakun dengan nama 'Yumnakece' memberikan komentar pedas saat Syakila live.

Syakila tak menggubris. Ia masih asik mendongeng dan berceloteh.

"Empet banget denger suara loe! Tahu, gak!"

"Mana selalu pake filter. Muka loe borokan ya? Makanya loe tutupin terus!"

Komentar pedas dari orang yang sama terus beruntun menjelekkan Syakila.

Bukan ingin mencari ribut, Syakila hanya merasa risih, sehingga mau tak mau ia harus menanggapi komentar tersebut.

"Kakak kalau gak suka boleh skip, Kak. Gak papa kok," ucap Syakila.

Kemudian Syakila melanjutkan dongengnya. Bercerita ke kanan dan ke kiri. Tanpa mempedulikan lagi komentar-komentar pedas lainnya.

"Alhamdulillah ... Akhirnya selesai juga," ucap Syakila seraya merenggangkan otot-ototnya setelah live berakhir.

Gadis itu merasa lega tidak terpancing emosi oleh netizen yang mulai mengusik dirinya. Baginya, selama masih ada yang meminati kontennya, ia akan terus berkicau di platform yang telah memperbarui hari-harinya.

Kantuk mulai menyerang.

Drrt!

Mata Syakila sudah mulai meredup, tiba-tiba ponsel miliknya terus bergetar, menandakan beberapa pesan masuk.

Getar pertama masih Syakila abaikan. Namun, getar kedua mulai membuatnya terusik. Hingga getar ketiga yang artinya ada 3 pesan masuk, berhasil membuat Syakila mengecek siapa yang sudah mengganggu jam istirahatnya.

"Siapa, sih!" gumam Syakila jengkel sembari membuka kunci pada ponselnya.

Terlihat nomor tanpa nama tertera di layar.

Dari pada penasaran, Syakila membuka dan membaca pesan itu satu persatu.

[Iya ... Kamu pasti lelah, jangan menyerah, jangan lari, kamu harus semangat dan hadapi! Semoga Allah memudahkan.]

[Jangan pernah berhenti berharap, jika doamu belum terwujud.]

[Sabar dan tunggu. Sesuatu yang indah akan segera Tuhan berikan untukmu.]

Ujung bibir Syakila terangkat ke atas, menciptakan lengkungan manis di bibir ranum alaminya.

Tiga pesan yang dikirim nomor tanpa nama itu sedikit mengobati gundah di hatinya. Siapapun dia, Syakila harus mengucapkan terima kasih.

[Terima kasih.] Balas Syakila.

Akhirnya gadis itu bisa tidur dengan nyenyak.

Hanya saja, keesokan harinya, Syakila bangun kesiangan.

Jam sembilan pagi dia baru sampai di pasar.

Itu pun ia terpaksa harus meninggalkan sarapannya.

Sampai di depan kios, Syakila masih harus menghadapi masalah. Kunci kiosnya lupa menaruhnya. Padahal, seingat dia sudah memasukkannya ke dalam tas.

"Duh, kok gak ada, sih." Syakila terus mencari di setiap sudut tas dan kantong celananya.

Saat sedang sibuk mencari, tiba-tiba ada yang bertanya pada Syakila.

"Cari apa, Mba?"

"Cari kunci kios, Mas. Ini kok gak ada ya, dalam tas saya," jawab Syakila sekenanya tanpa menoleh pada si penanya.

Dirinya masih sibuk menggeledah tas jinjing miliknya.

"Jam segini kios belum buka! Niat kerja apa tidak!" sentak orang yang tadi bertanya.

Syakila terlonjak kaget kala menyadari Devan, anak dari Bu Sukoco itu sudah ada di depannya.

Tas jinjingnya bahkan sampai terlempar ke atas, hingga isi di dalamnya berhamburan ke sembarang arah, dan mengenai pria yang berteriak tadi.

"Ma-maaf. Maaf Mas, Devan. Saya tidak sengaja," ucap Syakila semakin tak enak.

Apesnya, jidat mulus pria yang terkenal pendiam itu terkena timpukan bedak miliknya, yang tadi tidak sengaja berhamburan.

Rupanya, seorang dengan nama lengkap Devan Abhar sudah sejak tadi memperhatikan Syakila.

Hening. Untuk sesaat suasana mendadak sunyi.

Devan bergeming. Tangannya masih sibuk mengelus jidat yang terasa sedikit cenut-cenut.

"Mas Devan gak papa?" Syakila memberanikan bertanya, karena sedari tadi orang di depannya masih mengelus kepalanya. Gadis itu ingin menolong, tetapi sungkan. Sebab, anak pertama dari bu Sukoco itu selalu jutek dengannya.

Mendapat pertanyaan demikian, lelaki itu justru memberi tatapan tajam pada Syakila.

Membuat nyali gadis itu semakin menciut.

Wajah Syakila menunduk dalam setelah sempat melirik sekilas manik pria itu. Jantungnya berdebar menahan takut.

'Masalah apalagi ini. Ya Allah ... Tolong hamba.'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Anisa Wagi Wagi
gemes sama sodara kamil
goodnovel comment avatar
Heri Prambanan
lebay banget, kurang menarik
goodnovel comment avatar
Dewi Jamilah
pandai menyembunyikan perasaan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   229

    Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   228

    Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   227

    Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   226

    "Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   225

    Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   224

    Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status