Share

3. Buntu

Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming.

Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.

Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.

Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.

Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya.

Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu.

"Sekarang jadi gak asik."

"Jadi malas nonton."

"Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."

Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.

Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan Bu Sukoco yang masih memberikan saweran pada Syakila. Itupun tidak setiap malam, sebab sang cucu tak lagi suka melihat live Syakila.

Hal itu tentu diketahui Bu Sukoco, tetapi Syakila terus berkelit ketika bosnya itu membicarakan tentang penonton yang semakin berkurang.

"Namanya juga manusia, Bu. Pasti ya, ada bosannya kalau terus-terusan mendengar dongeng. Apalagi dongeng saya kan dongeng asal-asalan saja," ujar Syakila.

"Ibu jadi gak enak sama kamu, Sya. Jangan-jangan karena kamu sambil jualan, makanya penonton kamu jadi pada kabur," sahut bu Sukoco tak enak.

"Enggak, kok, Bu. Pasti bukan karena itu. Malah saya senang kok live sambil dagang. Lumayan, jadi dapat bonus. He he he." Syakila memang selalu pintar dalam menjaga perasaan orang lain, tanpa memikirkan dirinya sendiri.

"Kamu bisa aja, Sya. Ya udah, biar kamu bisa fokus ke konten kamu yang utama, kamu gak usah sambil dagang lagi. Lagian, baju-baju Ibu di pasar juga lumayan laris. Ya, kan?"

"Eh, jangan, Bu. Syakila gak papa kok sambil dagang. Kan yang nonton juga masih ada, Bu. Bukan yang ilang semua. Pas awal-awal saya live malah gak ada yang nonton. tapi lama kelamaan ada, trus jadi banyak. Ibu tenang aja, nanti penggemar Syakila bakal pada balik lagi, kok." Syakila tertawa di ujung kalimatnya.

Gadis berusia 23 tahun itu memang sangat pandai menyembunyikan kegundahannya. Ia selalu sukses berakting baik-baik saja di depan umum.

"Beneran gak apa-apa, Sya?" Bu Sukoco pun sebenarnya tak enak. Mau keukeuh melarang Syakila dagang di online, takut anak itu masih minat. Tapi membiarkan berlanjut pun sebenarnya tak tega.

"Beneran, Bu. Udah, gak papa. Nanti Syakila tetap bawa sampelnya ya, Bu."

"Ya udah kalau begitu. Semoga berhasil ya."

"Siap, Bu Bos!" Syakila memeragakan seolah-olah tentara yang sedang memberi hormat pada atasannya. Hal itu membuat Bu Sukoco tertawa.

***

"Live-nya basi! Kenapa sih selalu muncul di berandaku?"

Seseakun dengan nama 'Yumnakece' memberikan komentar pedas saat Syakila live.

Syakila tak menggubris. Ia masih asik mendongeng dan berceloteh.

"Empet banget denger suara loe! Tahu, gak!"

"Mana selalu pake filter. Muka loe borokan ya? Makanya loe tutupin terus!"

Komentar pedas dari orang yang sama terus beruntun menjelekkan Syakila.

Bukan ingin mencari ribut, Syakila hanya merasa risih, sehingga mau tak mau ia harus menanggapi komentar tersebut.

"Kakak kalau gak suka boleh skip, Kak. Gak papa kok," ucap Syakila.

Kemudian Syakila melanjutkan dongengnya. Bercerita ke kanan dan ke kiri. Tanpa mempedulikan lagi komentar-komentar pedas lainnya.

"Alhamdulillah ... Akhirnya selesai juga," ucap Syakila seraya merenggangkan otot-ototnya setelah live berakhir.

Gadis itu merasa lega tidak terpancing emosi oleh netizen yang mulai mengusik dirinya. Baginya, selama masih ada yang meminati kontennya, ia akan terus berkicau di platform yang telah memperbarui hari-harinya.

Kantuk mulai menyerang.

Drrt!

Mata Syakila sudah mulai meredup, tiba-tiba ponsel miliknya terus bergetar, menandakan beberapa pesan masuk.

Getar pertama masih Syakila abaikan. Namun, getar kedua mulai membuatnya terusik. Hingga getar ketiga yang artinya ada 3 pesan masuk, berhasil membuat Syakila mengecek siapa yang sudah mengganggu jam istirahatnya.

"Siapa, sih!" gumam Syakila jengkel sembari membuka kunci pada ponselnya.

Terlihat nomor tanpa nama tertera di layar.

Dari pada penasaran, Syakila membuka dan membaca pesan itu satu persatu.

[Iya ... Kamu pasti lelah, jangan menyerah, jangan lari, kamu harus semangat dan hadapi! Semoga Allah memudahkan.]

[Jangan pernah berhenti berharap, jika doamu belum terwujud.]

[Sabar dan tunggu. Sesuatu yang indah akan segera Tuhan berikan untukmu.]

Ujung bibir Syakila terangkat ke atas, menciptakan lengkungan manis di bibir ranum alaminya.

Tiga pesan yang dikirim nomor tanpa nama itu sedikit mengobati gundah di hatinya. Siapapun dia, Syakila harus mengucapkan terima kasih.

[Terima kasih.] Balas Syakila.

Akhirnya gadis itu bisa tidur dengan nyenyak.

Hanya saja, keesokan harinya, Syakila bangun kesiangan.

Jam sembilan pagi dia baru sampai di pasar.

Itu pun ia terpaksa harus meninggalkan sarapannya.

Sampai di depan kios, Syakila masih harus menghadapi masalah. Kunci kiosnya lupa menaruhnya. Padahal, seingat dia sudah memasukkannya ke dalam tas.

"Duh, kok gak ada, sih." Syakila terus mencari di setiap sudut tas dan kantong celananya.

Saat sedang sibuk mencari, tiba-tiba ada yang bertanya pada Syakila.

"Cari apa, Mba?"

"Cari kunci kios, Mas. Ini kok gak ada ya, dalam tas saya," jawab Syakila sekenanya tanpa menoleh pada si penanya.

Dirinya masih sibuk menggeledah tas jinjing miliknya.

"Jam segini kios belum buka! Niat kerja apa tidak!" sentak orang yang tadi bertanya.

Syakila terlonjak kaget kala menyadari Devan, anak dari Bu Sukoco itu sudah ada di depannya.

Tas jinjingnya bahkan sampai terlempar ke atas, hingga isi di dalamnya berhamburan ke sembarang arah, dan mengenai pria yang berteriak tadi.

"Ma-maaf. Maaf Mas, Devan. Saya tidak sengaja," ucap Syakila semakin tak enak.

Apesnya, jidat mulus pria yang terkenal pendiam itu terkena timpukan bedak miliknya, yang tadi tidak sengaja berhamburan.

Rupanya, seorang dengan nama lengkap Devan Abhar sudah sejak tadi memperhatikan Syakila.

Hening. Untuk sesaat suasana mendadak sunyi.

Devan bergeming. Tangannya masih sibuk mengelus jidat yang terasa sedikit cenut-cenut.

"Mas Devan gak papa?" Syakila memberanikan bertanya, karena sedari tadi orang di depannya masih mengelus kepalanya. Gadis itu ingin menolong, tetapi sungkan. Sebab, anak pertama dari bu Sukoco itu selalu jutek dengannya.

Mendapat pertanyaan demikian, lelaki itu justru memberi tatapan tajam pada Syakila.

Membuat nyali gadis itu semakin menciut.

Wajah Syakila menunduk dalam setelah sempat melirik sekilas manik pria itu. Jantungnya berdebar menahan takut.

'Masalah apalagi ini. Ya Allah ... Tolong hamba.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status