Share

6. Menantu

Sekitar 45 menit, mobil yang dikendarai Devan berbelok pada sebuah pusat perbelanjaan.

Syakila yang sedari awal naik hanya memandang ke luar jendela dibuat bingung, kenapa dirinya di bawa ke tempat seperti ini? Tetapi, gadis yang sejak tadi diam itu tak memiliki sedikit nyali, walau sekedar bertanya pada lelaki berwajah datar di sampingnya.

Tanpa terdengar satu katapun, Devan keluar dari mobil yang telah terparkir apik di basement, meninggalkan gadis yang ia bawa begitu saja.

"Kok aku ditinggal, sih?" cibir Syakila. Ia sedikit takut dengan tempat sepi seperti ini.

Selain karena tidak terbiasa datang ke tempat seperti ini, gadis itu memang penakut dengan tempat-tempat yang terlihat seperti lorong ataupun bawah tanah.

"Ya Tuhan ... Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?" Gadis itu terus bermonolog sendiri.

Ia masih berdiam diri di dalam mobil mewah milik anak dari juragannya.

Syakila terlonjak, ketika sebuah ketukan keras terdengar dari balik kaca mobil di mana ia berada.

Ketakutan gadis itu mengendur, saat tahu bahwa yang mengetuk adalah lelaki yang membawanya ke sini. Ia kemudian bergegas keluar, dan mendekat pada pria itu. Sungguh, Syakila tak ingin lagi ditinggal sendirian.

"Kamu kenapa?" tanya Devan sedikit heran melihat wajah Syakila yang sudah memucat.

Syakila menggeleng. Mencoba menutupi ketakutannya dengan mengedipkan matanya berulang kali. Napas pendek memburunya juga sekuat mungkin ia atur agar terdengar normal.

"Kamu takut?" Devan kembali bertanya.

"Enggak, kok!" elak Syakila.

"Ya sudah, ayok." Devan berjalan lebih dulu, diikuti Syakila di belakangnya.

Dug!

Tanpa sengaja tiba-tiba Syakila menabrak punggung kokoh pria di depannya. Gadis itu berjalan menunduk, sehingga tak melihat ketika pria itu berhenti. Reflek, gadis itu mengelus kepalanya yang sedikit terasa nyeri akibat membentur punggung berotot tersebut.

"Kalau jalan lihat-lihat. Jangan meleng!" sungut Devan. Ia kemudian bergeser lalu menyuruh Syakila berjalan di depan.

"Habis, Mas berhenti gak bilang-bilang dulu."

"Sana Kamu jalan di depan!"

"Tapi saya gak tahu arah, Mas." Syakila kembali menunduk diam.

Devan benar-benar dibuat tidak sabar dengan tingkah gadis cantik yang kini memakai jilbab maroon itu. Dari pada berdebat, akhirnya lelaki itu menggandeng tangan Syakila untuk berjalan beriringan dengannya.

'Kenapa tangannya dingin dan sedikit bergetar? Apa dia benar-benar ketakutan?' batin Devan merasakan telapak tangan Syakila yang masih dingin.

'Aduh, kok digandeng, sih? Kan jadi ketahuan kalau aku sebenarnya takut.' Syakila pun ikut membatin.

Mereka kemudian masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, di mana Bu Sukoco sudah menunggu.

Syakila nampak kaget saat tiba di tempat makan yang berada di lantai tiga itu. Ia melihat Bu Sukoco sudah lebih dulu berada di tempat itu. Padahal, dia merasa dirinya dan Devan-lah yang sampai lebih dulu di tempat ini.

"Jangan heran. Selain becak, si Asep juga punya usaha taksi online. Makanya Ibu cepat sampai sini," terang Bu Sukoco seperti tahu isi hati Syakila.

"Tapi 'kan–?"

"Sudah. Ayok makan siang dulu."

Bu Sukoco ingin meraih tangan Syakila, tetapi ia mengurungkan niatnya, sebab tangan itu masih berada di genggaman tangan putranya.

Bu Sukoco pun pura-pura tak melihat.

Wanita paruh baya itu lantas berjalan mendahului dua orang yang lebih muda darinya itu, menuju sebuah meja kosong untuk makan siang.

"Tadi aku nyetirnya pelan, dan kamu terlalu lama di basement. Makanya pas mobil Kang Asep datang kamu gak lihat." Di tengah-tengah langkah mereka, Devan mencoba menerangkan lebih detil tentang Bu Sukoco yang lebih dulu berada di tempat makan ini, sebab wajah Syakila terlihat sekali masih menyiratkan sebuah tanya.

Syakila hanya mengangguk paham, sambil terus mengikuti langkah anak bos-nya dengan tangan yang saling menaut tanpa ia sadari.

Setelah makan siang dan shalat Zhuhur di pusat perbelanjaan itu, Syakila diajak oleh Bu Sukoco ke sebuah salon kecantikan.

Sementara Devan, lelaki itu pamit ke kantor sebentar untuk menuntaskan pekerjaannya. Lelaki itu berjanji akan segera kembali setelah pekerjaannya selesai.

"Mau ngapain kita ke sini, Bu?" tanya Syakila heran.

Sayangnya, Bu Sukoco hanya tersenyum simpul menanggapinya.

"Tolong buat gadis cantik ini seanggun bidadari. Yang natural aja, tapi elegan." Bu Sukoco justru berbicara pada salah satu laki-laki kemayu yang sudah berdiri menyambut.

"Tenang marindang Bu Sukoco ... Aku akan buat dia makin cantik sampai-sampai Ibu sendiri tidak mengenalnya nanti," sahut si lelaki kemayu yang bernama Susi, alias Susilo, dengan logat mendayu-dayu.

"Bagus. Ayok segera diproses," ujar Bu Sukoco.

"Calon mantu, ya?" bisik Susi.

"Iya. Sudah, jangan banyak tanya lagi."

Syakila sempat memperhatikan interaksi keduanya. 'Sepertinya tempat dan orang-orang di sini sudah akrab dengan Bu Sukoco,' batin Syakila.

Lalu, gadis itu pasrah ketika wajahnya di bubuhi berbagai cream yang sebelumnya tak pernah ia pakai. Bahkan ntuk namanya saja, Syakila tidak tahu.

Beberapa menit dipoles, kini Syakila sudah siap dengan riasan cantik di wajahnya, membuat gadis itu semakin cantik nan elegan.

"Bagaimana hasilnya? Oke, pakai banget, kan?" ucap si lelaki gemulai membanggakan hasil karya jari jemari lentiknya.

Beberapa detik Bu Sukoco benar-benar pangling dengan wajah polos Syakila yang sudah menjelma menjadi cantik mempesona bak bidadari.

Sungguh, hanya butuh sedikit polesan saja, wanita itu sudah dapat mengalahkan kecantikan artis-artis yang sering nongol di TV.

"Sempurna!" puji Bu Sukoco seraya menggerakkan jarinya membentuk lingkaran.

Syakila sendiri pangling dengan penampakan dirinya ketika di cermin. Ia ingin memungkiri bahwa itu bukan dirinya, tetapi faktanya wajah dalam cermin itu adalah pantulan dari dirinya yang sudah disulap oleh Susi.

"Sekarang tinggal bajunya. Susi ... Keluarkan koleksi baju muslim modern terbaik kamu yang paling cocok untuk Syakila," titah Bu Sukoco, dan segera dilaksanakan oleh Susi dan beberapa asistennya.

"Apa tidak berlebihan, Bu? Memangnya, saya mau diajak kemana?" tanya Syakila.

"Mau ke acara ulang tahun cucu Ibu," jawab Bu Sukoco.

Kening Syakila mengernyit. "Terus, kenapa malah saya yang didandani, kenapa bukan Ibu?"

"Iya, nanti Ibu juga di-make up, kok."

Syakila akhirnya diam menurut. Termasuk ketika pada akhirnya harus berganti pakaian dengan baju yang Susi pilihkan untuknya.

"Calon mantunya cantik, pasti mau ada acara lamaran ya?" bisik Susi lagi pada Bu Sukoco.

Deg!

Kali ini telinga Syakila dapat mendengarnya dengan jelas. Hatinya bertanya-tanya tentang lamaran yang diucapkan lelaki kemayu itu.

'Siapa yang lamaran?'

Gadis itu menggeleng cepat, untuk menghilangkan bayangan menyakitkan saat mantan kekasihnya mempermalukan dirinya di acara pertunangan mantannya dahulu.

Sepertinya, Syakila trauma dengan acara-acara pesta seperti itu ... Mampukah dia menghadapinya suatu saat nanti?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status