Share

7. Calon Istri

Penulis: NingrumAza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-22 22:09:16

Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.

Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona.

"Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.

Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu.

"Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?"

"Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah.

"Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan.

"Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman.

"Owh, begitu."

Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.

Bu Sukoco menghentikan langkahnya, diikuti Syakila yang juga berhenti.

"Itu pasti Devan. Kita tunggu sebentar, ya," ujar Bu Sukoco.

Benar saja, lelaki dengan pakaian kerja lengkap dengan jasnya terlihat melewati pintu masuk.

Seketika saja lelaki itu memelankan langkahnya saat pupil mata

tajam itu menangkap bayangan gadis cantik yang sedang berdiri bersama sang ibu seperti menyambut kedatangannya.

Sempat tak mengenali Syakila, beberapa detik kemudian lelaki itu tersadar bahwa wanita yang bersama ibunya pasti adalah gadis yang bekerja di kiosnya.

Mata pria itu masih tak berkedip memandang wajah cantik Syakila. Hatinya betul-betul mengagumi paras gadis yang selama ini dianggapnya sebagai anak kecil.

'Kenapa dia bisa secantik dan seanggun ini sekarang?'

Perlahan tapi pasti, langkah Devan semakin dekat. Sorot matanya tak mampu berpaling dari Syakila, membuat gadis itu salah tingkah.

'Kenapa Mas Devan lihat aku kayak begitu, ya? Jangan-jangan penampilanku norak walau hanya untuk menghadiri acara ulang tahun anak kecil,' batin Syakila.

Ia celingak-celinguk untuk membuang grogi, dan berusaha terlihat tenang.

"Matanya, loh! Kedip!" tegur Bu Sukoco pada Devan, sembari menepuk pelan pundak pria itu.

Devan terlonjak. Wajahnya pun bersemu menahan malu.

Belum sempat Devan mengucap kalimat untuk menimpali ibunya, sebuah suara terdengar mengucapkan salam.

Sontak ketiganya menoleh dan melihat siapa yang datang.

Mata Syakila melebar sempurna. Irama jantungnya berkali lipat lebih kencang, ketika melihat wanita seumuran Bu Sukoco yang datang bertamu.

Itu adalah Bu Sundari---mamanya Kamil, orang tua dari mantannya yang sudah menaburkan garam di luka tusuk pada hatinya, akibat ulah putranya beberapa bulan silam.

Sungguh, Syakila belum siap bertemu keluarga itu kembali seperti ini.

Dirinya belum bisa membuktikan apa pun. Ia belum mampu berdiri di kakinya sendiri sebagai wanita hebat yang tak bisa lagi direndahkan oleh siapa pun.

Bu Sundari semakin mendekat. Syakila memejamkan mata sejenak untuk menetralisir perasaan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan.

"Halo, Jeung Sukoco, apa kabar?" sapa Bu Sundari sembari mengulurkan tangan.

"Eh, Jeung Sundari. Alhamdulillah kabar saya baik. Sangat baik malah," sahut Bu Sukoco sambil menyambut uluran tangan teman arisannya itu.

"Syukurlah kalau begitu. Owh iya, mana cucunya, Jeung? Saya sudah siapkan kado spesial, loh. Mewah, dan pastinya mahal."

Bu Sundari membanggakan diri. Tangan yang menenteng sebuah paper bag diangkat ke atas.

"Aduh, jadi ngerepotin ... padahal gak perlu repot-repot begitu, Jeung. Sudah datang saja saya sudah senang," sahut Bu Sukoco.

"Gak papa, kok. Kalau cuma kado mah, saya gak repot. Itung-itung sedekah sama anak yatim. Apalagi anak saya sekarang sudah punya pangkat di kantor. Kecil itu, mah."

Terdengar biasa saja kalimat penuh kesombongan yang diucapkan Bu Sundari bagi Syakila, tetapi tidak dengan lelaki di samping Bu Sukoco. Wajah itu terlihat datar dan dingin. Rahangnya mengeras seperti menahan marah.

Bagaimana tidak. Anak yang dibilang yatim itu adalah putri dari CEO perusahaan besar. Lalu dengan entengnya perempuan yang tidak dikenalnya itu mengatakan akan bersedekah padanya.

Bu Sukoco melirik sekilas pada Devan.

"Eh, Ini pasti Nak Devan, ya?" tanya Bu Sundari dengan binar bahagia.

Tangan perempuan paruh baya itu kembali terulur. Ingin menyalami Devan.

Laki-laki itu bergeming. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Kedua tangannya masih setia berada di saku celananya.

Merasa tak enak, Bu Sukoco menyenggol lengan putranya sebagai isyarat untuk menyambut uluran tangan tamunya itu.

Devan pun akhirnya mengeluarkan satu tangannya, berniat menempelkan sekilas ujung jarinya pada tangan Bu Sundari.

Namun, siapa sangka justru Bu Sundari menggenggam erat tangan Devan, membuat lelaki itu membelalakkan mata.

Syakila yang tadinya tegang, seketika menahan tawa melihat wajah Devan yang terkejut.

"Ya ampun ... kamu tampan sekali. Pantas saja, Yumna kagum banget sama kamu," celetuk Bu Sundari.

Tangannya masih erat memegang telapak tangan lelaki berkulit putih itu.

Dengan sekali hentakan, tangan yang dikuasai Bu Sundari berhasil terlepas.

"Jaga sikap Anda, Bu!" sentak Devan.

Pria berumur 32 tahun itu memang tidak suka basa basi. Ia cenderung datar dan apa adanya.

Orang tua dari Kamil itu sempat mengaduh ketika tiba-tiba tangannya terhempas ke udara. Andai itu bukan Devan, lelaki kaya yang digadang-gadang untuk berjodoh dengan Yumna, pasti sudah sedari tadi ia memaki.

"Saya cuma senang saja bertemu dengan kamu. Owh iya, tunggu sebentar." Bu Sundari melongok seperti mencari sesuatu.

Begitu pun Bu Sukoco dan Syakila yang mengikuti arah kepala Bu Sundari menatap. Tetapi tidak dengan Devan, ia masih berada di mode es yang beku.

"Cari siapa, Jeung?" tanya Bu Sukoco penasaran.

"Anak saya, Jeung. Tadi katanya dia mau datang juga ke acara ini," jawab Bu Sundari yang sukses membuat Syakila semakin tak keruan.

Belum hilang rasa cemas berhadapan dengan ibu dari mantannya, kini ia juga harus bertemu dengan mantan calon kakak iparnya sekaligus.

Keringat dingin sebesar biji jagung perlahan keluar dari pelipis dan hidung mancung Syakila.

"Nah, itu dia!" ujar Bu Sundari antusias yang dari tadi tidak memperhatikan Syakila.

Ia terlihat menyambut girang kedatangan anak pertamanya itu.

"Maaf, Ma. Tadi jalannya macet. Acaranya belum selesai, 'kan?" tanya Yumna, setelah berada di dekat mamanya.

"Belum. Ayo, salim dulu sama Tante Sukoco dan Nak Devan," titah Bu Sundari.

Tergesa, wanita seumuran Devan itu menyodorkan tangan pada sang pria, Bu Sukoco, dan juga Syakila.

Cukup lama Yumna memperhatikan wajah Syakila. Wajah yang seperti tidak asing di matanya. Namun, ia segera membuang jauh-jauh dugaannya itu. 'Mana mungkin wanita kampungan itu berada di sini.'

Terbesit perasaan khawatir kalau Yumna dapat mengenali dirinya. Tetapi, Syakila harus bernapas lega, sebab baik Bu Sundari maupun Yumna tak mengenalinya kali ini.

"Apa kabar, Mas?" Yumna menyapa Devan.

"Baik!" jawab Devan datar.

Kemudian dengan tidak tahu malunya, kakak dari Kamil itu berdiri begitu dekat di samping Devan.

"Jeung, gimana kalau kita jodohkan mereka berdua? Sama-sama single dan sangat serasi bukan?" Tiba-tiba Bu Sundari berceletuk.

"Maaf, saya sudah punya calon istri!" tegas Devan menyela.

Kemudian ia berjalan menuju Syakila.

Tangan lelaki itu terulur meraih telapak tangan Syakila dan membawa gadis itu masuk meninggalkan tiga orang wanita yang sama-sama melongo tak percaya.

"Hah?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (22)
goodnovel comment avatar
Amelyamega Safitri
heh kanapa selalu ada hambatan..pakai buka kunci🥲
goodnovel comment avatar
Amelyamega Safitri
lanjut donk jngn bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Sahwoto
lanjut biar asyik bacanya, jadi penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   229

    Bamantara segera memanggil dokter. Sementara Sukoco, Amber dan Devan berdiri di sisi ranjang persalinan Syakila."Silakan menunggu di luar. Kami akan segera melakukan tindakan. Cukup suaminya saja yang berada di sini," ucap dokter sesaat setelah ia memeriksa pembukaan Syakila yang sudah genap."Baik, Dok." Mereka semua keluar, menyisakan Devan yang gemetar menemani Syakila.Dibantu beberapa perawat, dokter perempuan spesialis kandungan mengarahkan Syakila untuk mengatur napas.Suara erangan Syakila terus menggema di ruang bersalin. Devan tidak melepaskan genggaman tangannya, matanya memerah, dan hatinya penuh doa yang tak putus. Keringat deras membasahi dahi Syakila, tetapi semangatnya tak tergoyahkan."Sayang, kamu kuat. Sebentar lagi selesai," bisik Devan, suaranya bergetar menahan rasa cemas yang menyelubungi hatinya.Dokter memberi isyarat kepada Syakila untuk kembali mendorong dengan tenaga terakhir. "Ayo, Bu, sekali lagi! Tarik napas dalam dan dorong sekuat tenaga!"Dengan satu

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   228

    Mendengar teriakkan Renata, seketika membuat Devan dan ibunya panik. Sementara dokter segera mengambil tindakan dengan memberikan obat penenang. Terpaksa hal itu harus dilakukan kembali karena keadaan Renata yang belum bisa stabil mengontrol dirinya.Perlahan tapi pasti, teriakan Renata melemah dan akhirnya dia terbaring dengan mata terpejam di tempat tidur."Kira-kira, apa Renata bisa sembuh, Dok?" tanya Sukoco setelah mereka berada di luar ruangan."Semua kemungkinan tetap ada, Bu. Kita hanya bisa berusaha, selebihnya Tuhan yang akan menentukan," sahut dokter."Lakukan yang terbaik untuk Renata, Dok. Saya serahkan pada tim dokter di sini sembari membantu dengan doa," timpal Devan."Tentu, kami akan melakukan yang terbaik untuk pasien.""Terima kasih. Kalau begitu, kami pamit dulu, Dok. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya.""Baik, Pak Devan. Terima kasih kembali."Kemudian mereka berpisah di lorong yang berbeda tujuan. Devan dan Sukoco berjalan pulang, sementara

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   227

    Suasana mendadak sunyi seakan menunggu jawaban Devan. Entah karena memang ingin mengetahui kabar Renata, atau karena bingung dengan reaksi Devan yang berubah mimik ketika ibunya bertanya, semua yang duduk lesehan di ruang tengah menatapnya.Menghembuskan napas panjang, Devan pun akhirnya menjawab setelah beberapa saat terdiam, "Renata sekarang berada di rumah sakit, Bu. Keadaannya tidak baik-baik saja.""Innalillahi ... Apa dia sakit di penjara?" Dengan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan, Sukoco kembali bertanya."Devan juga kurang tahu, Bu. Rencananya besok Devan akan menjenguk untuk melihat keadaannya. Semoga dia baik-baik saja.""Kasihan sekali dia. Lalu, apakah Rosa tahu kalau Renata sakit?""Sepertinya belum, karena Tante Rosa sudah lama pindah dan Devan tidak tahu tempat tinggalnya yang baru."Sukoco mendesah pelan. Rasa iba seketika menghinggapi mengingat Renata pernah tinggal bersamanya. Meskipun akhir-akhir ini sikap gadis itu melewati batas, tetapi Sukoco tahu bahwa s

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   226

    "Maafkan aku, Veen. Aku gak tega menyembunyikan dari mereka, terlebih kamu harus melewatinya hanya bersama Mas Devan. Ya, meskipun aku tahu, kalian pasti bisa melewati semuanya," terang Nita menyela ucapan Syakila.Sahabatnya itu benar-benar tak tega saat menjenguknya beberapa waktu lalu di rumah sakit, sehingga keceplosan bilang pada Bamantara saat bertemu di butik. Nita pikir, dengan adanya do'a dari keluarganya, mungkin bisa mengurangi rasa sakit Syakila."Jangan salahkan Nita, Nak. Kita yang memaksanya untuk bicara," timpal Bamantara, memandang cucu angkatnya dengan sendu. Rasanya tak tega melihat wanita itu diuji terus menerus sejak dulu. Walaupun cuma cucu angkat, tapi Bamantara benar-benar menyayanginya."Lagian, kenapa kamu menyembunyikannya dari kami, hem?" tanya Amber sembari mengusap kepala Syakila.Istri dari Devan itu hanya menunduk. "Kila hanya tidak ingin terus menerus menambah beban pikiran kalian," lirihnya."Apa yang kamu katakan, Sayang. Kamu ini bukan beban, tapi k

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   225

    Devan meletakkan ponselnya di meja dengan tangan bergetar. Napasnya terasa berat, dan pikirannya dipenuhi kekhawatiran yang membingungkan. Wajahnya pucat, membuat Syakila semakin cemas.“Mas, apa yang mereka katakan?” tanyanya dengan nada panik.Devan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Polisi bilang... Renata dalam kondisi buruk di penjara. Dia sering membuat keributan, dan itu membuat dia harus ditempatkan di ruang isolasi dan kemungkinan akan dipindahkan ke tahanan rumah sakit kejiwaan. Mereka minta aku datang.”“Astaghfirullah. Kenapa bisa begitu, Mas?" ucap Syakila tak kalah terkejut."Mas juga gak tahu, Sayang. Mas akan telepon Pak Herman saja untuk mengurusnya."Syakila tertegun sejenak. Ia tak tega melihat suaminya dilanda banyak masalah dan tanggung jawab. Andai bisa, ia ingin sekali membantu, tetapi kondisinya yang lemah mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Untuk itu Syakila ingin mengurangi beban pikiran suaminya dengan pulang dan istirahat di Jakarta saja supaya l

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   224

    Renata duduk di sudut ruangan. Tubuhnya yang dulu anggun kini hanya menyisakan bayang-bayang kesengsaraan dengan rambutnya yang kusut."Mas Devan... tolong aku," lirihnya, hampir tak terdengar. Namun, suara itu terus diulang-ulang, seolah menjadi satu-satunya pegangan di tengah kegelapan.Para narapidana lain di sel besar itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang iba, tapi lebih banyak yang mencemooh. Salah satu dari mereka, wanita bertubuh kekar dengan tato di lehernya, mendekat sambil menyeringai."Kau pikir orang yang kau sebut namanya itu akan menyelamatkanmu? Hah! Kau ini cuma boneka yang sudah dibuang. Lihat dirimu sekarang!" Wanita itu meludahi tanah, matanya memandang Renata dengan jijik.Renata memejamkan matanya, mencoba mengabaikan ejekan itu. Tapi pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang ingatan tentang Devan. Pria itu—satu-satunya yang dia anggap mampu menyelamatkannya dari tempat ini."Mas Devan pasti akan datang," gumam Renata. Suaranya nyaris tak terdengar, t

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   223

    Meski sudah berbulan-bulan tak sadarkan diri, kakak kandung almarhum Kamil itu masih sangat mengenali pria gagah di hadapannya. Pria yang dulu begitu didambanya, tetapi pada akhirnya dia harus merelakan ia berjodoh dengan yang lain meskipun awalnya penuh ketidakrelaan."Syukurlah akhirnya kamu sadar, Yum. Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa yang kamu keluhkan?" Devan memberondong Yumna dengan pertanyaan setelah dokter selesai memeriksanya.Tak menjawab, Yumna menyunggingkan senyum tipis. Dokter kemudian menjelaskan bahwa kondisi Yumna sudah lebih baik, hanya saja ada beberapa hal yang ingin dokter sampaikan pada Devan tetapi tanpa sepengetahuan Yumna. Melalui sebuah kode, dokter itu menyuruh Devan untuk ikut dengannya ke ruangan."Kamu istirahatlah, aku keluar dulu," ucap Devan. Yumna mengangguk lemah.***"Maaf sebelumnya, apakah Anda suami dari pasien?" tanya dokter ketika mereka sudah berada di ruangan konsultasi."Bukan, Dok. Saya temannya. Atas permintaan almarhum adiknya, saya ya

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   222

    Di lorong rumah sakit, Devan duduk termenung di salah satu bangku, menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkelana, memikirkan dua wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya—Sundari dan Yumna. Pesan terakhir Kamil masih terngiang jelas dalam ingatannya."Tolong jaga mamaku yang sedang struk, juga Kak Yumna yang masih koma."Suara langkah kaki membuat Devan menoleh. Perawat yang tadi menangani Sundari datang menghampirinya."Pak Devan, saya sudah memeriksa keadaan Bu Sundari. Sejauh ini stabil, tapi... sepertinya beliau sangat berharap Pak Kamil datang," ujar perawat itu hati-hati.Devan mengangguk lemah. "Saya mengerti. Saya akan mencari waktu yang tepat untuk bicara dengannya."Perawat itu ragu sejenak sebelum melanjutkan. "Saya yakin Pak Kamil ingin yang terbaik untuk keluarganya. Tapi beban ini tentu tidak mudah bagi Anda. Jika butuh bantuan, kami di sini siap mendukung."Devan tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur oleh perhatian perawat itu. "Terima kasih. Sa

  • Dikira Gadis Kampungan Ternyata Sultan   221

    Beberapa saat kemudian, perawat yang tadi berjanji kembali memasuki ruangan. Wajahnya tampak sedikit tegang, tapi dia mencoba tersenyum agar tidak menambah kecemasan pasiennya."Ibu, saya sudah coba hubungi Pak Kamil," katanya lembut.Sundari, yang terbaring di tempat tidur, berusaha menggerakkan bibirnya untuk bertanya. Namun, hanya gumaman lemah yang keluar. Perawat itu segera mendekat, menggenggam tangan Sundari dengan hati-hati."Pak Kamil sedang sibuk, Bu. Tapi beliau titip pesan bahwa beliau sangat sayang sama Ibu dan akan segera datang jika urusannya selesai," lanjutnya dengan suara penuh kebohongan yang terdengar begitu tulus.Mata Sundari sedikit berkaca-kaca. Meskipun tidak bisa berkata-kata, ia mencoba menunjukkan rasa terima kasih dengan menggenggam lemah tangan perawat tersebut."Tenang saja, Bu. Saya akan pastikan Ibu tetap sehat supaya bisa bertemu beliau nanti," ucap perawat itu sambil menyeka sudut matanya yang mulai basah.Namun di dalam hatinya, perawat itu merasa s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status