Share

7. Calon Istri

Pukul 14.15 wib, mobil yang ditumpangi Bu Sukoco dan Syakila tiba di rumah mewah Bu Sukoco.

Bangunan tinggi menjulang dengan hiasan taman itu, mempercantik halaman di sana, membuat Syakila terpesona.

"Ayo, masuk! Aira pasti senang lihat kamu," ajak Bu Sukoco.

Sambil terus melangkah, Syakila mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada bos wanitanya itu.

"Memangnya Aira kenal sama saya, Bu?"

"Kenal, dong. 'Kan, dia itu penggemar berat kamu di toktok. Tiap malam loh, Aira menantikan dongeng kamu sebelum tidur," ujar Bu Sukoco semringah.

"Ibu cerita kalau itu saya?" tanya Syakila memastikan.

"Enggak. Ibu cuma janji bakal membawa tukang dongeng kesayangannya ke sini. Sebagai nenek yang baik, Ibu harus menepati janji, dong," sahut Bu Sukoco sembari melebarkan senyuman.

"Owh, begitu."

Tepat ketika Syakila dan Bu Sukoco akan berbelok ke ruang tengah yang terhubung langsung pada pintu menuju kolam renang, sebuah mobil terdengar memasuki halaman rumah itu.

Bu Sukoco menghentikan langkahnya, diikuti Syakila yang juga berhenti.

"Itu pasti Devan. Kita tunggu sebentar, ya," ujar Bu Sukoco.

Benar saja, lelaki dengan pakaian kerja lengkap dengan jasnya terlihat melewati pintu masuk.

Seketika saja lelaki itu memelankan langkahnya saat pupil mata

tajam itu menangkap bayangan gadis cantik yang sedang berdiri bersama sang ibu seperti menyambut kedatangannya.

Sempat tak mengenali Syakila, beberapa detik kemudian lelaki itu tersadar bahwa wanita yang bersama ibunya pasti adalah gadis yang bekerja di kiosnya.

Mata pria itu masih tak berkedip memandang wajah cantik Syakila. Hatinya betul-betul mengagumi paras gadis yang selama ini dianggapnya sebagai anak kecil.

'Kenapa dia bisa secantik dan seanggun ini sekarang?'

Perlahan tapi pasti, langkah Devan semakin dekat. Sorot matanya tak mampu berpaling dari Syakila, membuat gadis itu salah tingkah.

'Kenapa Mas Devan lihat aku kayak begitu, ya? Jangan-jangan penampilanku norak walau hanya untuk menghadiri acara ulang tahun anak kecil,' batin Syakila.

Ia celingak-celinguk untuk membuang grogi, dan berusaha terlihat tenang.

"Matanya, loh! Kedip!" tegur Bu Sukoco pada Devan, sembari menepuk pelan pundak pria itu.

Devan terlonjak. Wajahnya pun bersemu menahan malu.

Belum sempat Devan mengucap kalimat untuk menimpali ibunya, sebuah suara terdengar mengucapkan salam.

Sontak ketiganya menoleh dan melihat siapa yang datang.

Mata Syakila melebar sempurna. Irama jantungnya berkali lipat lebih kencang, ketika melihat wanita seumuran Bu Sukoco yang datang bertamu.

Itu adalah Bu Sundari---mamanya Kamil, orang tua dari mantannya yang sudah menaburkan garam di luka tusuk pada hatinya, akibat ulah putranya beberapa bulan silam.

Sungguh, Syakila belum siap bertemu keluarga itu kembali seperti ini.

Dirinya belum bisa membuktikan apa pun. Ia belum mampu berdiri di kakinya sendiri sebagai wanita hebat yang tak bisa lagi direndahkan oleh siapa pun.

Bu Sundari semakin mendekat. Syakila memejamkan mata sejenak untuk menetralisir perasaan dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan.

"Halo, Jeung Sukoco, apa kabar?" sapa Bu Sundari sembari mengulurkan tangan.

"Eh, Jeung Sundari. Alhamdulillah kabar saya baik. Sangat baik malah," sahut Bu Sukoco sambil menyambut uluran tangan teman arisannya itu.

"Syukurlah kalau begitu. Owh iya, mana cucunya, Jeung? Saya sudah siapkan kado spesial, loh. Mewah, dan pastinya mahal."

Bu Sundari membanggakan diri. Tangan yang menenteng sebuah paper bag diangkat ke atas.

"Aduh, jadi ngerepotin ... padahal gak perlu repot-repot begitu, Jeung. Sudah datang saja saya sudah senang," sahut Bu Sukoco.

"Gak papa, kok. Kalau cuma kado mah, saya gak repot. Itung-itung sedekah sama anak yatim. Apalagi anak saya sekarang sudah punya pangkat di kantor. Kecil itu, mah."

Terdengar biasa saja kalimat penuh kesombongan yang diucapkan Bu Sundari bagi Syakila, tetapi tidak dengan lelaki di samping Bu Sukoco. Wajah itu terlihat datar dan dingin. Rahangnya mengeras seperti menahan marah.

Bagaimana tidak. Anak yang dibilang yatim itu adalah putri dari CEO perusahaan besar. Lalu dengan entengnya perempuan yang tidak dikenalnya itu mengatakan akan bersedekah padanya.

Bu Sukoco melirik sekilas pada Devan.

"Eh, Ini pasti Nak Devan, ya?" tanya Bu Sundari dengan binar bahagia.

Tangan perempuan paruh baya itu kembali terulur. Ingin menyalami Devan.

Laki-laki itu bergeming. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Kedua tangannya masih setia berada di saku celananya.

Merasa tak enak, Bu Sukoco menyenggol lengan putranya sebagai isyarat untuk menyambut uluran tangan tamunya itu.

Devan pun akhirnya mengeluarkan satu tangannya, berniat menempelkan sekilas ujung jarinya pada tangan Bu Sundari.

Namun, siapa sangka justru Bu Sundari menggenggam erat tangan Devan, membuat lelaki itu membelalakkan mata.

Syakila yang tadinya tegang, seketika menahan tawa melihat wajah Devan yang terkejut.

"Ya ampun ... kamu tampan sekali. Pantas saja, Yumna kagum banget sama kamu," celetuk Bu Sundari.

Tangannya masih erat memegang telapak tangan lelaki berkulit putih itu.

Dengan sekali hentakan, tangan yang dikuasai Bu Sundari berhasil terlepas.

"Jaga sikap Anda, Bu!" sentak Devan.

Pria berumur 32 tahun itu memang tidak suka basa basi. Ia cenderung datar dan apa adanya.

Orang tua dari Kamil itu sempat mengaduh ketika tiba-tiba tangannya terhempas ke udara. Andai itu bukan Devan, lelaki kaya yang digadang-gadang untuk berjodoh dengan Yumna, pasti sudah sedari tadi ia memaki.

"Saya cuma senang saja bertemu dengan kamu. Owh iya, tunggu sebentar." Bu Sundari melongok seperti mencari sesuatu.

Begitu pun Bu Sukoco dan Syakila yang mengikuti arah kepala Bu Sundari menatap. Tetapi tidak dengan Devan, ia masih berada di mode es yang beku.

"Cari siapa, Jeung?" tanya Bu Sukoco penasaran.

"Anak saya, Jeung. Tadi katanya dia mau datang juga ke acara ini," jawab Bu Sundari yang sukses membuat Syakila semakin tak keruan.

Belum hilang rasa cemas berhadapan dengan ibu dari mantannya, kini ia juga harus bertemu dengan mantan calon kakak iparnya sekaligus.

Keringat dingin sebesar biji jagung perlahan keluar dari pelipis dan hidung mancung Syakila.

"Nah, itu dia!" ujar Bu Sundari antusias yang dari tadi tidak memperhatikan Syakila.

Ia terlihat menyambut girang kedatangan anak pertamanya itu.

"Maaf, Ma. Tadi jalannya macet. Acaranya belum selesai, 'kan?" tanya Yumna, setelah berada di dekat mamanya.

"Belum. Ayo, salim dulu sama Tante Sukoco dan Nak Devan," titah Bu Sundari.

Tergesa, wanita seumuran Devan itu menyodorkan tangan pada sang pria, Bu Sukoco, dan juga Syakila.

Cukup lama Yumna memperhatikan wajah Syakila. Wajah yang seperti tidak asing di matanya. Namun, ia segera membuang jauh-jauh dugaannya itu. 'Mana mungkin wanita kampungan itu berada di sini.'

Terbesit perasaan khawatir kalau Yumna dapat mengenali dirinya. Tetapi, Syakila harus bernapas lega, sebab baik Bu Sundari maupun Yumna tak mengenalinya kali ini.

"Apa kabar, Mas?" Yumna menyapa Devan.

"Baik!" jawab Devan datar.

Kemudian dengan tidak tahu malunya, kakak dari Kamil itu berdiri begitu dekat di samping Devan.

"Jeung, gimana kalau kita jodohkan mereka berdua? Sama-sama single dan sangat serasi bukan?" Tiba-tiba Bu Sundari berceletuk.

"Maaf, saya sudah punya calon istri!" tegas Devan menyela.

Kemudian ia berjalan menuju Syakila.

Tangan lelaki itu terulur meraih telapak tangan Syakila dan membawa gadis itu masuk meninggalkan tiga orang wanita yang sama-sama melongo tak percaya.

"Hah?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status