.
.
"A-- ah, ada Bu Joko. Mari masuk, Bu!" ucap Dahlia gugup.
Bu Joko berkacak pinggang di depan rumah Dahlia. Wajahnya yang tegas membuat siapapun yang melihat pasti takut. Tapi memang itulah tujuannya, kalau wajah lembek sudah pasti banyak orang-orang licik yang tidak mau membayar cicilan utang padanya.
"Jangan bermanis-manis mulut kau, Lia! Sudah berapa kali aku kesini tapi rumahmu selalu tertutup, hah?"
Dahlia meneguk ludahnya kasar sambil sesekali melirik ke arah Maya yang sedang mengeluarkan motor dari dalam halaman rumahnya.
"Waktu berhutang saja kau pandai merayu bilang mau nyicil tepat waktu segala macam. Sekarang apa ...? Bagaimana kenyatannya ...?"
"Aku tidak mau tau, hari ini juga cicil semua hutang-hutangmu atau emas-emas itu aku ambil!"
Dahlia kelabakan. Hari ini suaminya belum gajian sementara uang bulanan dari Sang Suami pun sudah habis tak bersisa.
"Ehm ... anu, Bu Joko ...."
"Aku tidak menerima alasan apapun, Lia!" bentak Bu Joko.
Dahlia segera menarik pergelangan tangan Bu Joko dan membawa wanita pemberi hutang itu untuk masuk ke dalam rumah. Sedikit berbisik-bisik Dahlia berbicara sampai akhirnya Bu Joko luluh dan duduk dengan pongah di ruang tamu rumah Dahlia.
"Mbak ... Mbak Maya!" teriak Dahlia ketika Maya sudah bersiap pergi. Maya mematikan mesin motornya dan bertanya, "Ada apa, Mbak Lia? Maaf, saya buru-buru."
Dahlia mencebik sembari menautkan sepuluh jemarinya. "Anu ... itu ... boleh saya pinjam uang 300 ribu? Dompet saya kebetulan ikut terbawa suami, semua kartu ATM dan uang tunai ada disana. Tolong ya, Mbak," rengeknya pelan. Tentu dengan memantau keadaan di sekitar. Takut jika ada tetangga yang melihat aksinya sekarang.
"Nanti kalau suami sudah pulang, bakal saya ganti."
Maya menimbang-nimbang permintaan Dahlia. Pasalnya ia adalah orang baru di tempat ini, dan berurusan dengan uang adalah hal yang paling menakutkan bagi Maya. Hutang adalah pemutus silaturahmi paling mengerikan.
"Tolong dong, Mbak Maya. Saya pinjam loh ini bukan minta-minta. Buruan, udah ditunggu sama teman di dalam."
"Maaf, Mbak Lia, tapi ...."
"Jangan lama-lama, Lia!" teriak Bu Joko dari ambang pintu. Wanita itu sudah seperti rentenir dengan gayanya yang bersedekap dada sambil melotot ke arah dimana Dahlia dan Maya berada.
"Ayo dong, Mbak Maya. Kita tetangga loh ini, saya pinjam dan janji kalau suami pulang saya balikin. Masa nggak percaya sama tetangga depan rumah sih?" sindir Dahlia. "Cuma 300 ribu, nggak banyak kok!"
"Buruan, Mbak!" desak Dahlia tidak sabaran.
Maya mau tidak mau mengeluarkan dompet dari dalam tas kecilnya dan membukanya tepat di depan Dahlia. Wanita itu membelalak ketika melihat banyak sekali pecahan seratus ribuan di dalam sana.
Srettt ...!!!
Belum sepenuhnya Maya mengeluarkan uang dari dalam dompet, Dahlia dengan sigap menarik tiga lembar uang berwarna merah dari genggaman Maya.
"Gitu dong, sama tetangga harus saling tolong menolong," ucap Dahlia setengah berbisik. "Ya sudah, Mbak Maya mau pergi kan? Silahkan!"
Maya mengangguk ragu dan menyalakan mesin motornya. Dahlia segera berlari kembali ke rumahnya sebelum ada tetangga yang melihat.
Samar-samar telinga Maya mendengar suara Bu Joko berkata, "Lain kali kalau mau ngasih pinjaman ke tetangga, lihat-lihat orangnya! Untung uang kamu bisa balik, kalau enggak gimana, Lia? Cicilan bakalan makin seret nanti!"
Bersambung
. . Di tengah jalan, Maya membuang semua prasangka buruk. Bisa saja ucapan Bu Joko tadi bukan dituduhkan olehnya namun kendati melupakan semua kejadian di depan rumahnya tadi, Maya tetap saja merasa janggal dengan ucapan Bu Joko yang mengatakan untuk berhati-hati ketika akan memberikan pinjaman pada tetangga seakan-akan Maya adalah peminjam dan Dahlia adalah penagih hutang.Sesampainya di depan Restoran, ia dibuat heran dengan banyaknya pengunjung siang ini. Hampir lima bulan Restoran ini dibangun, hanya sekali saja Maya menginjakkan kaki mengingat dulu tempat tinggalnya cukup jauh dari Restoran cabang kedua milik suaminya ini. Itupun ia datang bersama Suaminya setelah pulang dari rumah mertua.Beberapa pekerja memang mengingat Maya dengan baik, tapi para pekerja baru dan juga kepala pelayan baru belum pernah bertemu Maya sebelumnya."Mbak Maya?" sapa Eti kaget. "Mau cari suami ya? Ya ampun, segitunya jadi istri sampai suami kerja pun dicariin," cibirnya. "Tapi dari tadi aku duduk k
. . "Ah, banyak omong! Seret wanita ini keluar, tunggu apa lagi, hah?" Dua orang satpam saling pandang lalu menarik tangan Maya dengan kasar. Hampir saja ponselnya terlepas dari genggaman sehingga membuat Maya naik pitam. "Lepaskan!" bentak Maya geram. Bruk ...!!! Maya didorong kasar oleh seseorang yang tidak lain adalah Eti. "Bikin malu tau nggak, Mbak?" Dada Maya naik turun. Dia berusaha berdiri dan mengibaskan celananya yang kotor akibat terjatuh di halaman Restoran. "Nih lihat, video kamu viral di Perumahan kita," ucap Eti sinis. "Makanya, jangan cari gara-gara di Restoran suamiku. Sana pergi! Suamimu pasti ada di rumah wanitanya yang lain, buktinya saja dia tidak keluar dan membelamu. Menyedihkan!" Kedua tangan Maya mengepal. Belum sempat Eti berbalik, Maya dengan cepat menarik rambut tetangganya itu membuat Eti mengadu kesakitan. "Aakkkhhh ... Mas, tolong ...!!!" Satria berlari keluar dan berteriak, "Bantu istriku, bodo
. . "A-- apa sih, Mbak Maya! Tanya-tanya nggak jelas!" sahut Dahlia gugup. Maya bersedekap dada. Telinganya terngiang-ngiang ucapan sang suami bahwa setelah ini dia harus berani bersikap tegas dan pemberani. "Bagian mana yang nggak jelas? Ah, kalau begitu biar saya kirim rekaman CCTV di depan rumah saya ke grup, biar semua orang tau kalau sebenarnya ...."Bu Sur dan Bu Hanum saling pandang, lalu ...."Ha ... ha ... ha ...." Mereka tertawa lebar bersama membuat Dahlia pun mau tidak mau menarik garis bibirnya. "Rekaman CCTV? Setelah tabungan emas, bikin keributan di Restoran Eti, ngutang ke Lia, sekarang dia bilang kalau di depan rumahnya ada rekaman CCTV? Astaga, Mbak Maya ... sebegitu halu-nya ya, kamu," ucap Bu Hanum setelah meredakan tawanya.Bu Sur terlihat menyeka sudut matanya karena tertawa terlampau terbahak. "Sudahlah, Bu Hanum. Beri dia kesempatan buat nunjukin rekaman CCTV itu. Mana?""Sejujurnya aku takut kalau ternyata suami yang selama ini kamu akui itu ternyata suami o
. . "Buru-buru amat?" Abian menoleh, "Ada sedikit masalah di Restoran cabang. Titip urusan disini ya, kalau ada apa-apa segera hubungi aku." "Sudah kuduga ada yang nggak beres di Restoran kamu yang satu itu," sahut Dama. Abian menghela napas kasar. Dama adalah sepupunya yang merangkap menjadi orang kepercayaan Abian di Restoran pertama milik Abian. Restoran yang paling besar dibandingkan dengan Restoran cabang yang lain. Tentu. Anggap saja itu sebagi Restoran utama. Bisnis pertama yang Abian geluti bahkan sebelum menikah dengan Maya. "Beberapa hari belakangan saat kamu bilang Restoran itu sepi dan minus pendapatan per bulan ini, aku udah merasa janggal," papar Dama. "Pasalnya, tiga hari belakangan aku selalu melewati tempat itu, hanya saja ... maaf, Restoran itu masih tetap ramai seperti sebelum-sebelumnya, Bian." Abian mengurungkan dirinya masuk ke dalam mobil. Sore ini ia mendadak meminta Dama untuk datang ke tempat pembangunan Restoran baru untuk menggantikan dirinya meman
. . Maya membuka pintu dan bersedekap dada menatap Dahlia di depan pagar rumahnya."Keterlaluan kamu, Mbak Maya!" ucap Dahlia, "Sadar diri dong, Mbak ... kamu itu orang baru di sini, jangan bikin onar apalagi ngirim-ngirim rekaman CCTV di grup!"Maya menaikkan satu alisnya. "Memang ada larangan kalau orang baru nggak boleh membela diri, Mbak Lia?"Dahlia meradang. "Aku bisa laporkan ini ke polisi loh, Mbak Maya," ancamnya sambil tersenyum sinis. "Orang susah kayak kamu yakin bisa mengelak dari jerat hukum?"Maya tertawa lebar. Dia mengibaskan tangan di udara dan memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan Dahlia yang mengomel di depan rumahnya. Tak jarang wanita itu mengumpat dan menghina Maya dengan teriakan-teriakan lantang.Ting ....|Karena grup mulai tidak kondusif, saya selaku ketua RT untuk sementara mengaktifkan mode senyap dan hanya admin yang bisa berkirim pesan||Sekiranya Mbak Lia memang bersalah, tidak ada salahnya meminta maaf pada Mbak Maya||Karena dari pengamatan saya
. . Maya sudah bersiap dengan setelan blazer berwarna nude dengan kaos ketat berwarna putih sebagai dalamannya. Tak lupa, kalung berlian berbentuk bulat dengan aksen mungil melingkar indah di lehernya yang putih dan jenjang. Satu gelang dan satu cincin emas putih menambah kesan betapa mewah dan elegan tampilan Maya kali ini. "Mau pakai mobil apa motor?" tawar Abian. Maya yang sedang memoles bibir pun menoleh. "Mobil dong, Mas. Sekalian ke rumah Ibu sepulang dari Restoran nanti."Abian mengangguk patuh. Dia memilih keluar dan memanaskan mesin mobil terlebih dahulu.Setelah dirasa cukup, Maya membuka lemari tas-nya dan mengambil salah satu koleksi tas paling mahal miliknya. Tas kecil berwarna putih semakin menyempurnakan tampilan Maya siang ini."Wah, Mbak Maya sudah siap juga ternyata. Mau ikut gabung di mobilnya Bu Sur?" Bu RT menyapa Maya yang kebetulan hendak membuka pintu pagar. "Saya bareng Mas Abian saja, Bu," tolak Maya halus. "Sepulang nanti mau sekalian berkunjung ke rumah
. . "Masih punya muka mau ikut makan-makan di Restoran Mas Sat, Mbak Maya?" sindir Eti. "Eh, pakai bawa-bawa suami lagi. Ketemu dimana, di rumah istri barunya?""Kalau aku jadi Mbak Maya, nggak kebayang gimana malunya, ya nggak, Bu Sur?" celetuk Bu Hanum sambil melirik Bu Sur yang terlihat mulai antusias. "Sudah bikin keributan, jambak-jambak rambutnya Eti, eh ... sekarang datang bawa suami mau makan gratis. Astaga ...."Dahlia dan Bu Sur tergelak. Juga beberapa ibu-ibu yang lain yang hidupnya hanya sebatas ikut-ikutan saja. Sementara Bu RT dan Bu Puji saling pandang, merasa suasana sebentar lagi pasti memanas."Kalau sudah puas menghina istri saya, mari masuk!" Abian merangkul bahu Maya dengan mesra membuat bibir Eti mencebik dan menoleh ke belakang dimana Satria berdiri terpaku dengan keringat dingin yang mulai bercucuran."Mas, ayo! Masa yang ngajakin ibu-ibu masuk malah dia sih, harusnya kan kamu. Tuan rumah di Restoran ini," teriak Eti kesal. "Jangan lupa sama janji kamu kemari
.."Sudah, cukup!" Suara bariton Abian membuat suasana yang semula memanas jadi makin panas. "Kamu yang menjelaskan, atau saya yang mengatakan kebenarannya di depan semua orang, Satria?"Eti menoleh. Wajahnya memerah mendengar Abian memanggil suaminya tanpa embel-embel "Pak.""Ngelunjak ya kamu!" desis Eti. "Pekerja seperti ini masih kamu pertahanan? Iya, Mas?""Diam, Eti. Diam!" bentak Satria lantang. "Aku lama-lama muak mendengar suaramu. Bisa tidak kamu diam?"Eti terperanjat. Kedua matanya memanas bahkan kristal bening sudah siap meluncur karena ini kali pertama Satria membentaknya di depan banyak orang."Ka-- kamu bentak aku, Mas?""Kamu ... kamu lebih membela suami Mbak Maya ini daripada aku, iya?""Apa susahnya kamu pecat dia, Mas? Dia cuma tukang cuci piring, itu kan yang kamu bilang?""Setelah apa yang Mbak Maya lakukan ke aku, rambutku rontok, kepalaku pusing, dia jambak-jambak aku di depan Restoran dan sekarang kamu justru membela suaminya?" "Apa yang ada di otak kamu, Ma