.
.
Di tengah jalan, Maya membuang semua prasangka buruk. Bisa saja ucapan Bu Joko tadi bukan dituduhkan olehnya namun kendati melupakan semua kejadian di depan rumahnya tadi, Maya tetap saja merasa janggal dengan ucapan Bu Joko yang mengatakan untuk berhati-hati ketika akan memberikan pinjaman pada tetangga seakan-akan Maya adalah peminjam dan Dahlia adalah penagih hutang.
Sesampainya di depan Restoran, ia dibuat heran dengan banyaknya pengunjung siang ini. Hampir lima bulan Restoran ini dibangun, hanya sekali saja Maya menginjakkan kaki mengingat dulu tempat tinggalnya cukup jauh dari Restoran cabang kedua milik suaminya ini. Itupun ia datang bersama Suaminya setelah pulang dari rumah mertua.
Beberapa pekerja memang mengingat Maya dengan baik, tapi para pekerja baru dan juga kepala pelayan baru belum pernah bertemu Maya sebelumnya.
"Mbak Maya?" sapa Eti kaget. "Mau cari suami ya? Ya ampun, segitunya jadi istri sampai suami kerja pun dicariin," cibirnya. "Tapi dari tadi aku duduk kayanya nggak kelihatan suamimu deh, Mbak. Jangan-jangan dia pura-pura kerja padahal ... lagi di rumah istri yang lain."
Eti terkekeh padahal ucapannya bukanlah sebuah gurauan yang pantas ia lontarkan.
"Sama siapa, Mbak Eti?" tanya Maya mengalihkan pembicaraan. Eti mendengkus kesal dan menjawab, "Sama suami lah! Suamiku itu Bos di Restoran ini," jawab Eti pongah.
Maya mengerutkan kening mendengar penuturan Eti. Bos ...? Siapa yang Eti maksud sementara Bos atau pemilik Restoran ini adalah suaminya.
"Bos ...?"
"Dih, cantik-cantik budek!" desis Eti lirih namun masih bisa terdengar oleh telinga Maya. "Iya, Bos! Dia itu kepala pelayan disini, tau kan artinya kepala pelayan? Posisi tertinggi di Restoran mewah tempat suami kamu bekerja ini, jadi ... suami Mbak Maya itu kacung suamiku, Mbak."
Eti tertawa mengejek sambil sesekali meneguk minuman segar di atas mejanya. Maya hanya menggeleng melihat tingkah norak yang Eti tunjukkan.
"Kenapa, Sayang?"
Suara bariton di belakang Maya membuat wanita itu menoleh dan mengernyit ketika melihat name tag "Satria Lesmana" yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kepala Pelayan yang itu artinya ... Satria yang suami Maya maksud adalah suami dari Eti.
"Ah enggak, Mas. Ini loh ada tetangga kita mau nyari suaminya. Mas kenal kan sama suami Mbak Maya?"
"Duh, mana Mas tau, Sayang. Orang-orang bawahan seperti mereka tidak pantas mendapatkan sedikit saja ingatan dari otak Mas," sahut Satria sombong, "Memang siapa nama suaminya, Mbak?"
Maya mematung melihat pemandangan di depan matanya. Satria ... pria yang Abian pikir adalah pria bertanggung jawab dan bisa mengemban amanah dengan baik ternyata adalah pria sombong yang mungkin juga ... culas!
"Hei, Mbak Maya! Suamiku tanya loh ini."
"Ehm ... maaf, tapi ... anda Mas Satria kepala Pelayan baru kan?"
Satria melengos tidak senang, "Meskipun aku baru, tapi jabatanku lebih tinggi dari suami kamu. Siapa sih nama suaminya, Dek? Sekalian biar aku pecat, lancang sekali istrinya bertanya hal-hal pribadi seperti ini."
Maya mengedarkan pandangan mencari beberapa pekerja yang ia kenal. Tapi nihil ... pekerja di Restoran cabang milik suaminya ini sudah banyak yang berganti padahal terakhir ia kesini beberapa bulan yang lalu setelah Restoran ini diresmikan.
"Apa para pekerja banyak yang resign? Kenapa saya rasa banyak sekali waiters baru ya, Mas?"
Brak ...!!!
Pyaar ...!!!
Satria menggebrak meja dengan keras membuat gelas milik Eti tumpah dan terjatuh menimbulkan bunyi cukup nyaring. Semua pengunjung Restoran melihat ke arah dimana keributan sedang terjadi sementara Maya mulai nampak geram dengan tingkah Satria yang menurutnya semena-mena dan sok berkuasa.
"Punya hak apa kamu bertanya hal-hal seperti itu di Restoran kami, hah?" teriak Satria lantang. "Pergi dari Restoran ini atau kupecat suamimu!"
"Siapa nama suaminya, Sayang?" tanya Satria pada Eti dengan air muka geram. "Wanita lancang ini harus diberi pelajaran, berani-beraninya dia ikut campur urusan disini, suami kamu itu cuma pekerja biasa, atau jangan-jangan tukang cuci piring baru itu suami kamu, iya?"
"Edo! Panggil tukang cuci piring yang baru itu sekarang, cepat!"
Pria yang bernama Edo segera berlari menuju dapur bagian paling belakang. Tidak butuh waktu lama, ia berjalan sembari menggandeng pergelangan tangan pria di belakangnya dengan sedikit menyeret.
"I-- ini, Pak. Namanya Abbas, pekerja cuci piring yang baru, dia baru seminggu bekerja di Restoran kita."
"Tidak perlu, bawa dia kembali ke belakang," pinta Maya tegas. "Jangan sampai keributan ini membuat nama baik Restoran Cemara memburuk."
Satria menatap jengah dan geram pada sosok Maya yang dianggapnya sok memiliki kuasa di tempat ini.
"Jadi dia suami kamu?"
Pria bernama Abbas menjawab, "Bu-- bukan, Pak. Saya bukan suami wanita itu."
"Diam, kamu!" bentak Satria. "Aku tanya pada wanita nggak jelas ini, kenapa bisa dia tiba-tiba datang ke Restoran dan berlagak seakan-akan suaminya adalah orang paling berkuasa disini!"
Maya bersedekap dada. Napasnya memburu mendengar Satria menghinanya dan mengatakan bahwa dirinya adalah wanita tidak jelas. Sejurus kemudian ia menatap pada sosok Eti yang tersenyum sinis sambil memegang handphone nya. Merekam semua kejadian yang ada dan nanti akan ia perlihatkan pada semua tetangganya di rumah.
"Jadi benar semua pekerja disini sudah berganti dengan pekerja baru? Pantas saja tidak akan yang mengenaliku."
"Ck! Usir saja dia, Mas! Bikin malu, tuh para pengunjung sampai melihat ke arah kita," ucap Eti kesal.
Satria memainkan kode mata ke arah Edo dan pria itu segera mengangguk patuh lalu berjalan menuju pos satpam depan Restoran. Tidak lama, Edo datang bersama dua orang satpam yang juga ... baru!
"Berani sekali kamu mengganti semua pekerja disini, hah?" Suara Maya meninggi ketika mendapat dua orang satpam yang asing baginya.
"Bawa dia keluar! Bikin ribut saja! Dasar wanita tidak tau malu!" tutur Satria sarkas.
"Jangan-jangan dia memang agak kurang waras," sahut Eti tak kalah pedas. "Usir saja, Pak Satpam, jangan sampai Restoran suami saya ini sepi gara-gara kejadian barusan."
Maya terkekeh. "Restoran suami kamu?"
Eti membuang muka geram. Niatnya ingin bersombong-sombong ria dengan mengatakan bahwa ini restoran suaminya tapi Maya justru menertawakan ucapannya barusan.
"Maksutku Restoran yang diurus suamiku. Ck, gitu aja kaget! Lagipula sebentar lagi Restoran ini juga akan menjadi milik Mas Satria, dia sudah menandatangani surat pembelian tempat ini. Tau kamu?!"
Maya terbahak mendengar bualan Eti. Saat dua satpam hendak mencekal pergelangan tangannya, Maya berkata dengan tegas. "Jangan sentuh saya! Biarkan panggilan video ini membuat kalian mengerti siapa saya sebenarnya."
Bersambung
Tubuh Gading mematung. Lagi-lagi pertemuannya dengan Laura membawa kilas pedih pada masa lalu. "O-- oh, hai, Ra," sapa Gading kikuk. "Sama suami kamu lagi?"Laura bergeming sementara Hesty menatap heran ke arah suaminya. "Mas kenal suami Laura?" tanya Hesty menyelidik.Gading mengedikkan bahu. Dia menurunkan Seila dan menjawab. "Kapan hari kan Mas ketemu Laura sama suaminya. Gading, Mas!" Gading menjulurkan tangannya di depan Reyhan. "Reyhan, Mas," sahut mantan suami Hesty datar. "Kalau begitu kami pamit dulu. Permisi!"Reyhan berjalan sembari menggandeng tangan Mazaya sementara Laura mengekor di belakang mereka dengan air mata yang menganak sungai. "Mas ...." Panggil Hesty lirih. Gading menoleh. Wajahnya berubah sendu ketika bertemu Laura untuk yang kesekian kalinya. "Dia ... mantan suamiku," aku Hesty."Dia?"Hesty mengangguk. "Sepertinya dia baru keluar dari penjara. Entah bagaimana ceritanya, Mas Reyhan ... tidak mau membahas luka yang sudah aku ciptakan."Gading seketika men
"D-- dia istri kamu, Mas?" tanya Hesty gagap. Kedua matanya memanas melihat Mazaya, gadis kecil yang begitu Reyhan lindungi ternyata putri dari wanita yang sudah ia hancurkan rumah tangganya. "D-- dia ...?"Reyhan terkekeh getir. Dia melepaskan genggaman tangannya pada Mazaya dan mempersilahkan wanita di sampingnya menggendong putri kecil yang beberapa menit lalu ia cari-cari."Kalau wanita seperti kamu saja bisa membuangku tanpa berpikir dua kali, apa kamu pikir ada wanita lain yang mau menerimaku sebagai suami, Hes?" tanya Reyhan perih. "Aku hanyalah pria kotor yang rela melakukan apa saja demi memenuhi gaya hidup istriku dan keluarganya. Tapi itu dulu ... sekarang, aku hanyalah seorang pria yang berjuang untuk keluarganya. Untuk Emak dan Bapakku di kampung. Apalagi setelah aku tahu bahwa putriku hidup dengan layak, sepertinya memang aku harus meredam ego. Demi masa depannya. Demi mentalnya. Jaga dia!"Reyhan melengos sembari mengusap sudut matanya yang berair. Sejenak kemudian, dia
"Apa kabar, Hes?" Reyhan bertanya dengan nada dingin. Bertanya kabar mantan istrinya dengan air muka begitu tenang. "Putriku sudah sebesar ini ya? Boleh aku gendong?"Seila menggeleng kata tangan Reyhan terangkat ke udara. Gadis kecil itu berlari bersembunyi di belakang tubuh Bu Sur dan berceloteh gemas. "Kata Papa gak boleh! Jangan gendong Seila, Om," ucapnya cadel. Hati Reyhan berdenyut nyeri. Seila, bayi mungil yang dulu selalu nyaman berada dalam gendongannya kini menolak pelukan darinya dengan dalih dilarang oleh Papa. Papa siapa yang Seila maksud, batin Reyhan."Om cuma mau peluk. Boleh?"Seila menggeleng takut. Kedua mata Reyhan memanas dengan satu tangan yang kembali menggenggam erat jemari Mazaya. Gadis kecil yang usianya sepadan dengan Seila."M-- Mas sudah bebas?" tanya Hesty dengan suara bergetar. Ada perasaan bersalah yang teramat dalam untuk mantan suakmunya itu. Bagaimana dulu Hesty memilih bercerai karena Reyhan kedapatan tertangkap polisi sedang mengedarkan barang ha
"Nanti siang aku mampir ke Restoran ya, Mas?"Hesty yang sedang menyuapi putrinya berbicara manja pada Gading. Sejak setahun yang lalu suaminya bekerja di Restoran milik Abian dan kehidupan Hesty perlahan-lahan mulai membaik. Gaji yang Abian tawarkan memang tidak kaleng-kaleng. Apalagi selama ini Restoran itu terkenal dengan hidangan yang lezat. Ada harga, ada rasa."Memangnya nanti siang mau kemana?" tanya Gading menelisik. "Jalan-jalan?"Hesty nyengir. Dia mengangguk ragu dan melirik Bu Sur yang juga tengah sarapan bersama mereka di ruang makan. "Boleh ya, Mas?""Boleh, sekalian ajak Ibu."Bu Sur mengangkat kepalanya. Matanya memanas. Untuk pertama kalinya dia merasakan kehangatan dari hubungan rumah tangga Hesty. Kegagalan di masa lalu membuat wanita muda itu banyak belajar bahwa menerima kekurangan pasangan jauh lebih baik daripada harus saling menuntut."Bapak gak sekalian, Ding?"Gading tertawa lebar. "Ki
"Apa kabar anak Ayah hari ini? Bunda nakal gak? Kamu menyusu dengan baik kan?" goda Abian sembari mengambil alih sang putra dari gendongan Ibunya. "Jelas dengan baik lah, kan Ayah sudah kehilangan jatah menyusu," sahut Ibu sarkas.Maya dan Abian mematung. Keduanya tergelak ketika menyadari ucapan Ibu terlalu frontal sore ini."Ibu apa-apaan sih, ada Bu Saroh tuh, gak baik bicara seperti itu. Bikin kita malu aja!" gerutu Abian yang dibalas tawa renyah oleh Ibu."Diskusi apa sama Maya, Ibu boleh tau?"Abian mengangguk. Mereka berjalan menuju ruang makan sementara Abimanyu ia serahkan pada Bu Saroh."Tolong ajak Abimanyu sebentar ya, Bu.""Dengan senang hati, sini anak manis," sahut Bu Saroh yang tersenyum lebar mendapatkan tubuh Abimanyu yang mungil dalam dekapan. "Jadi aku tadi mampir ke rumah Mbak Hesty, Bu," kata Abian bercerita. "Kebetulan kepala dapur di Restoran Cempaka resign, dia ikut istrinya pulang kampung dan cari kerja disana saja katanya. Aku pikir, daripada aku ambil ora
Satu minggu kemudian ....Abian pulang dengan membawa rasa rindu pada istri dan anaknya. Bahkan pria itu sekarang lebih sering berada di rumah dan menghandle Restoran dari rumah. "Baru pulang, Mas Gading?" Abian yang menutup pintu pagar sengaja menyapa Gading yang baru pulang dari bekerja. Mamang pergi mengantar Emak dan Bapak yang sudah kembali ke kampung, itu sebabnya sekarang Abian membawa mobil sendiri."Iya, Mas," sahut Gading sambil mengulas selarik senyum. Gading terlihat kelelahan mendorong gerobak yang sudah ia pisahkan dari motornya. Peluh membasahi bajunya yang nampak lusuh. Benar-benar ... kesalahan membuat Gading dan Hesty berubah banyak beberapa bulan belakangan. Abian merasa kasihan. Dulu, ia sengaja menolak memperkerjakan Gading karena memang kurang suka dengan gaya bicara tetangganya itu. Apalagi dulu Gading masih menjunjung tinggi sikap sombong dan pongah membuat Abian jengah dan enggan beruru