Share

Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga
Dikira Miskin Saat Menghadiri Hajatan Tetangga
Penulis: Lian Nai

Hanya Karena Perhiasan

"Haduh, nggak banget lihat Maya. Pergelangan tangan kosong, jari-jarinya kosong, lehernya juga nggak ada perhiasan, cuma anting aja itu yang melekat di telinganya," Bu Surti berbicara sambil melirik jijik ke arah Maya.

"Maklum lah, Bu Sur ... suaminya cuma pegawai Restoran, mana bisa dia bebelian perhiasan macam kita," sahut Dahlia, tetangga depan rumah Maya.

"Kasihan sekali ya, masih muda tapi hidupnya susah. Beruntung kita-kita yang udah berumur matang ini nggak salah pilih suami," celetuk Bu Hanum. "Pakaian sih boleh bagus, tapi kalau nggak ada perhiasan yang nempel, ah ... ketahuan miskinnya."

Ketiganya terkekeh seakan membenarkan ucapan Bu Hanum. Maya yang menyadari sedang diperhatikan pun menoleh dan mengangguk samar pada trio julider's di Perumahan-nya. Wanita cantik itu berdiri sebentar di depan akses masuk tenda pernikahan yang sudah dihias banyak sekali bunga. Telepon dari Sang Suami membuatnya sedikit menjauh setelah mengangguk menyapa tiga tetangga yang ia kenal.

"Dih, pakai senyum-senyum lagi. Dikiranya kita level apa berteman sama dia. Ya nggak, Bu Sur?"

Bu Surti mengangguk, kemudian bergidik membuat Maya sedikit canggung dengan respon yang tetangga barunya itu berikan.

"Hati-hati, Bu Sur ... besok-besok kalau dia mau bertamu, pastikan dulu kedatangannya mau apa. Takutnya minjam duit," sambung Dahlia. "Ya ... antisipasi aja sih, jaman sekarang kan banyak orang susah. Apalagi Maya itu warga baru, pendatang juga. Jangan sampai Bu Sur kena tipu!"

Bu Surti lagi-lagi mengangguk. Selama ini ia memang dikenal sebagai orang paling kaya di perumahan ini. Perumahan biasa, bukan perumahan mewah yang rumahnya menjulang tinggi. 

Setelah mematikan sambungan telepon, Maya berjalan mendekati Dahlia, tetangga yang dia kenal lebih dulu. 

"Eh, dia berjalan kesini. Duh, enggak banget. Males sama model orang miskin, ya nggak sih, Bu?"

Bu Sur dan Bu Hanum mengangguk, kemudian membuang muka saat Maya sudah ada di depan meja mereka. "Boleh saya gabung ibu-ibu? Kebetulan belum banyak tetangga yang saya kenal," ucap Maya ramah.

Dahlia mengangguk kikuk sementara dua wanita di sebelahnya tidak menanggapi ucapan Maya. 

"Lia, coba kamu lihat ... gelang saya ini model terbaru loh, Hesti yang beliin. Bagus kan?"

Dahlia antusias sekali melihat-lihat gelang keroncong di pergelangan tangan Bu Sur. "Wah, ini sih gelang mahal, Bu Sur. Hebat banget ya Mbak Hesti, pasti suaminya kaya makanya bisa beli banyak perhiasan buat Ibunya. Anak dan menantu yang berbakti," puji Dahlia menggebu-gebu.

"Iyalah, Lia. Jaman sekarang itu harus pintar-pintar cari suami. Kalau suami kaya, kita jadi Ratu. Kalau suami miskin yang ada kita jadi babu. Malu kalau keluar rumah nggak pakai perhiasan, kelihatan sekali kalau hidup orang itu nggak bahagia." Bu Hanum berbicara sambil sesekali melirik ke arah Maya.

Maya yang mendengar obrolan mereka hanya sesekali tersenyum tipis. "Ya nggak, Mbak Maya? Betul kan omongan saya?" tanya Bu Hanum.

"Ada benarnya, dan ada tidaknya menurut saya, Bu. Tidak semua suami kaya bisa memperlakukan istrinya seperti ratu, begitupun sebaliknya. Dan maaf, sepertinya tidak semua orang suka memakai perhiasan, jadi bagi saya ... perhiasan bukan tolok ukur kebahagiaan seseorang."

Bu Hanum mencebik. Dia meletakkan dua tengannya di atas meja dan memamerkan dua cincin di jari kanan serta tiga cincin di jari kiri. "Ah, kalau saya sih mikirnya gitu. Pasti orang-orang yang nggak pakai perhiasan itu tertekan hidupnya. Gimana enggak, buat makan aja susah apalagi buat bebelian emas. Kasihan!"

Maya lagi-lagi hanya mengulas senyum tipis. Bukan ia tidak mengerti arti sindiran ketiga tetangganya. Hanya saja, bagi orang baru seperti Maya lebih baik menghindari perdebatan untuk menjaga citranya sebagai warga pendatang.

"Yuk ah, itu pelaminannya udah sepi. Keburu sore ini," ajak Bu Sur. Tangannya sengaja ia naik turunkan ke atas agar gelang-gelang yang ia pakai mengeluarkan bunyi gemerincing. Belum lagi jilbab yang ia singkap ke belakang membuat kalungnya yang menjuntai panjang dengan bandul besar terlihat dari luar. 

Ketiganya berdiri dan berjalan mendekati dua pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan. Maya yang merasa tidak dianggap hanya mengekor di belakang. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti tiga tetangga sombongnya daripada harus naik sendirian. Canggung.

"Selamat ya, Eti. Semoga menjadi keluarga yang Sakinah," ucap Bu Sur basa-basi. Lagi-lagi ia menggerakkan pergelangan tangannya. "Maharnya emas berapa gram?" bisik Bu Sur membuat Dahlia dan Bu Hanum terkekeh. "Pasti gede dong ya, secara suami kamu kan Bos."

"Tentu, Bu. Emas 30 gram termasuk kalung, gelang, tiga cincin dan satu gelang kaki," sahut Eti sombong.

Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia menganga lebar mendengar mahar yang didapatkan Eti. "Tuh kan, apa saya bilang ... kalau dapat suami kaya pasti bahagia. Soalnya punya banyak perhiasan jadinya kan." Suara Bu Hanum memecah keheningan. Tidak ada yang menimpali ucapannya karena Dahlia dan Bu Sur berkutat dengan pikirannya sendiri.

"Selamat ya, Mbak Eti. Semoga pernikahan ini langgeng," doa Maya sembari menyalami mempelai wanita. Tentu saja dengan menyelipkan amplop putih di tangan Eti.

"Makasih," sahut Eti enggan. Dia mengusap tangannya jijik setelah Maya terlihat turun dari atas pelaminan. Disusul Bu Sur, Bu Hanum dan Dahlia hingga ketiganya pun mengikuti langkah Maya.

Mereka pulang dengan berjalan kaki. Obrolan-obrolan seputar perhiasan pun masih menghiasi bibir merah tiga wanita beda generasi itu. Seperti biasa, Maya hanya menanggapi dengan tersenyum.

"Sombong sekali si Eti, tau nggak, Mbak Maya ... dia tadi usap-usap tangan waktu Mbak Maya udah turun. Udah macam orang paling kaya saja dia," kata Dahlia mengompori. "Baru punya perhiasan dari hasil mahar saja gayanya kayak yang udah paling kaya di Perumahan ini. Gemes!"

"Itu juga salah Maya, kamu nggak punya perhiasan ya?" tanya Bu Sur lancang. "Ya ... gimana ya, bagi kami kaya itu banyak perhiasan. Kalau cincin saja kamu nggak punya, pasti hidup kamu sengsara sekali, ya kan?"

"Alhamdulillah Mas Abian menafkahi saya lebih dari cukup, Bu," sahut Maya tak acuh. "Saya punya kok perhiasan, cuma memang jarang pakai saja. Buat tabungan."

Bu Sur mencebik, "Jangan sampai pinjam uang ke saya loh, kan kamu punya tabungan. Emas lagi," sindirnya ketus.

Maya menatap kepergian tiga wanita itu di depan rumahnya. Kebetulan rumah Maya berada paling ujung. Dahlia tanpa menoleh lagi sudah berbelok pulang setelah cipika-cipiki dengan Bu Sur dan Bu Hanum. Padahal rumah mereka hanya berjarak beberapa rumah saja. 

"Ada-ada saja," gumam Maya.

***

Tiga hari kemudian ....

"Assalamualaikum, Dek ... bisa ke Restoran Cemara sebentar?"

"Waalaikumsalam, ada apa, Mas? Apa ada masalah serius?"

"Ah enggak, tadi Satria bilang banyak bahan dapur yang kosong tapi uang pendapatan bulan ini minus. Kamu cek ya, Mas masih ada urusan, pembangunan restoran baru kita sudah 90%, kalau enggak dipantau takut bakalan lama."

Maya mengangguk mengerti. "Mas belum cek pendapatan bulan ini? Kenapa nggak bilang sama aku?"

"Maaf, Sayang. Mas pikir Satria bisa dipercaya, lagipula kasihan kamu kalau harus bolak-balik dari rumah ke Restoran, lepas itu ke rumah Ibu. Capek di jalan!"

"Ck! Satria itu kepala dapur baru kan?"

"Iya, tolong ya?"

"Baiklah."

"Terima kasih, Sayang."

"Sama-sama. Cepat pulang, dan hati-hati ya."

"Tentu. Assalamualaikum, istriku."

"Waalaikumsalam."

Setelah mematikan sambungan telepon. Maya gegas berganti pakaian dan menyambar tas kecil di antara banyak sekali tas koleksi miliknya.

"Mau kemana, Mbak Maya? Itu rumah sepi sekali ya, suami kerja apa sih kok sampai nggak pulang-pulang, bukannya pelayanan restoran ya?"

Maya menghentikan gerakan tangannya yang sedang membuka pintu pagar. "Siapa bilang, Mbak?"

"Ah, banyak kok yang bilang. Ibu-ibu yang pernah nongkrong di restoran cempaka sering lihat suami Mbak Maya melayani pengunjung."

"Gitu ngakunya banyak emas, Mbak. Suaminya kerja jadi pelayan aja bicaramu sombong sekali."

Setelah mengatakan demikian, Dahlia berbalik hendak kembali masuk ke dalam rumah. Maya mematung di tempatnya sambil menatap punggung Dahlia yang hampir menghilang. 

Sampai seseorang berhenti di depan rumah Dahlia dan berkata. "Kapan kau mau bayar cicilan emas-emas itu, Lia!"

"Jangan kau sukanya ngutang tapi nggak mau bayar ya! Capek aku nagih tiap minggu kesini tapi rumahmu selalu saja tertutup! Pandai kau ya main petak umpet samaku!"

Dahlia menoleh. Wajahnya memucat serta dengan cekatan tangannya menyembunyikan gelas serta dua cincin di balik jilbabnya yang lebar. 

Bersambung

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Sayuri Yosita
dikehidupan jg sesuai dgn ceritanya
goodnovel comment avatar
Maria Helena Anu
cerita ini bagus saya suka . apakah penulisnya ibu Lili Nay orang Bajawa.
goodnovel comment avatar
Nuniee
dasar tetangga julid..repot nih hidup berdampingan modelan gitu mahh,,apa2 dihargai dengan banyak nya perhiasan tpi ngutang.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status