"Mas ...."
Abian menoleh dan mendapati kedua mata istrinya sudah siap meluncurkan hujan."Lihat, ini Bu Saroh kan ... eh, eh ... tapi ... wah ternyata Bu Saroh berbohong ya, lihat ini, Bu RT!" Bu Puji menyodorkan ponsel yang sengaja ia bawa meskipun ke masjid sekalipun."Astaghfirullah, ternyata Bu Saroh ...."Kepalang malu, Bu Saroh melenggang pergi tanpa berkata-kata lagi. Hatinya kesal dan geram. Rencana yang sudah ia buat bersama Eti ternyata tidak berjalan mulus.Tetangga membubarkan diri dan melanjutkan langkah menuju masjid yang ada di ujung Perumahan Citra Kencana, sementara Abian sedang memeluk Sang Istri yang tengah menangis pilu."Hei, tenanglah, May!"Maya semakin terisak. Teringat bagaimana sumpah Bu Saroh terucap dengan begitu lantang di depan rumahnya. Bayi yang dia tunggu selama bertahun-tahun mendapat doa buruk dari orang lain. Bayi itu tidak akan hadir di rahimnya. May"Kamu jangan malu-maluin Ibu dong, Hes! Bisa-bisanya ngaku itu rumah kamu di depan Maya dan Suaminya. Kalau sudah begini, malu kan jadinya," gerutu Bu Sur. "Mana ternyata yang punya rumah itu mereka. Argh, mau ditaruh mana muka Ibu nanti kalau bertemu Maya. Belum lagi tadi ada Bu Hanum, fix ... besok kamu dan Ibu bakal jadi bulan-bulanan mereka di tempat Kang Sayur."Hesty menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sementara Reyhan mengambil alih putri kecil mereka dari gendongan Hesty dan menimangnya penuh kasih sayang."Y-- ya, siapa tahu kalau rumah itu ternyata punya mereka, Bu," elak Hesty. "Tadi aku itu iseng mau nunjukin betapa kaya kita, eh nggak taunya ternyata mereka jauh lebih kaya. Ngeselin!"Bu Sur mencebik. Dia duduk di ruang tamu sambil berselonjor meskipun suara adzan sudah berkumandang. Suami Bu Sur baru saja keluar dari dalam kamar sambil menguap lebar. "Eh, kapan datang, Hes?""Ck! Bapak masih nganggur? Jangan enak-enakan begini dong, aku sama Mas Reyhan nggak mungkin ti
"P-- Pak Abian?" gagap Satria saat menyadari Abian dan Maya sudah berdiri di depan mejanya. Abian bersedekap dada, rencananya hari ini dia akan merombak total semua pekerja pilihan Satria, agar tidak ada hal yang ia takutkan terjadi. Seperti sekarang. Pria itu tanpa rasa bersalah justru dengan mudahnya keluar dan masuk ke dalam Restoran."Sepertinya aku perlu ukur, apakah tembok ini jauh lebih tebal dari mukamu," sindir Abian sarkas. "Kau tidak lupa kalau Restoran ini milik siapa kan?"Satria gugup. Sesekali dia melirik ke arah dimana seorang wanita cantik duduk di sebelahnya sambil menggendong bayi dan menyuapi satu anak kecil berusia sekitar empat tahun. "Ah, itu, Pak ... bisa saya bicara berdua dengan Pak Abian?""Tidak perlu, angkat kakimu dari Restoran kami sekarang juga!" sela Abian tegas. "Ingat, Sat, waktu yang kuberikan untukmu hanya tersisa empat hari, jika kebaikanku selama satu minggu belakangan tidak kau manfaatkan dengan baik dan tidak segera kau kembalikan semua uang y
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Abian dan Maya sepakat memperkerjakan semua pekerja tanpa ada yang dia keluarkan tidak hormat mengingat kinerja mereka memang benar-benar bagus. Pun Edo, dia melaksanakan titah Satria karena mengira jika pria itu adalah orang paling berkuasa dan paling dipercaya oleh pemiliknya Restoran. "Kalian semua saya ijinkan kembali bekerja tapi dengan satu syarat," ucap Abian tegas. "Jangan pernah biarkan Satria masuk ke Restoran ini lagi. Mengerti?!""Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau kami gagal mengenali Bos kami yang sebenarnya," ucap Edo."Alhamdulillah, doa Emak saya di kampung diijabah Allah," sahut pekerja yang lain sambil merebak."Terima kasih banyak, Pak ... Bu ... kami akan bekerja dengan lebih baik lagi," ucap yang lainnya pula.Abian dan Maya mengangguk percaya. Setelah memastikan semua pekerja Restoran kembali pada posisi mereka masing-masing, Abian dan Maya berjalan bersisian menuju tempat dimana dua orang satpam berada."P-
"Gila! Darimana aku uang sebanyak itu, Mbak Eti!" pekik Hesty. "Kalau mau pinjam, kira-kira dong! Dua ratus juta itu nggak sedikit!" Eti melengos kesal. "Kalau sedikit aku nggak perlu susah cari pinjaman, Hes," sahut Eti. "Bagaimanapun caranya aku harus bisa bebaskan Mas Satria, atau tetangga baru itu merasa menang dan merasa paling kaya disini.""Sudahlah, Mbak Eti, lagipula untuk apa berkorban demi suami yang ternyata punya istri selain kamu. Buang-buang tenaga, biarkan saja dia di penjara.""Kalau nggak bisa kasih pinjaman jangan hina suamiku dong!" Eti nyolot. "Lagipula istri pertama Mas Satria itu jelek, bentar lagi juga dicerai, jadi siapa yang harusnya berkorban kalau bukan aku?" "Ya itu kamunya aja yang bodoh, Mbak," cibir Hesty.Eti yang semula duduk di teras rumah Bu Sur seketika berdiri dan berkacak pinggang. Kedua matanya melotot menatap Hesty yang sedang menggendong putrinya di depannya."Jaga mulutmu, Hesty!" bentak Eti lantang. "Kalau nggak punya duit sebanyak itu, bi
Maya menggenggam ponselnya dengan erat. Entah apa yang Sarah pikirkan, setelah tiga bulan kematian Nabil, wanita itu justru menolak pergi dari rumah mertuanya dengan dalih bayangan Nabil masih selalu mengikuti.Setelah meredam emosi sehabis membaca pesan Sarah, Maya menekan nomor Abian dengan risau. Satu kali ... dua kali ... bahkan hingga dering yang kesekian kalinya panggilan Maya belum mendapat jawaban.Tidak habis akal, Maya beralih menekan nomor Dama dan mengatakan sesuatu sampai membuat pria di seberang sana mendelik kaget."Oke, kamu tenang saja, May. Aku akan cari tau semuanya," tutur Dama sebelum menutup sambungan telepon.Maya mengangguk cepat meskipun tau jika anggukan kepalanya tidak bisa Dama lihat. Hampir sepuluh menit lamanya dia menunggu kedatangan Abian namun suaminya itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak dalam dada. Takut jika Abian terperangkap dalam permainan Sarah dan meninggalkan Maya yang sedang menunggunya.Wanita ca
"Mbak, semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap Pak RT. "Ayo bubar, bubar semuanya! Ada tetangga ribut kalian malah diam saja, bubar!"Sorak sorai para tetangga membuat Maya geleng-geleng. Eti menangis, menjerit sambil memegangi kepalanya yang hampir botak membundar karena tarikan tangan Nabila terlampau kencang sedangkan Bu Saroh memeluk putrinya seolah tengah melindungi istri kedua Satria itu dari penjahat."Maaf atas keributan yang saya ciptakan, Pak. Kedatangan saya kesini hanya untuk mengabarkan kalau surat gugatan cerai sudah saya kirim ke Pengadilan Agama, itu saja," jelas Nabila tenang. "Tapi dia memang wanita tidak tau diri, sudah lah merebut suami orang, menghancurkan mimpi-mimpi anak saya, eh ternyata nggak punya muka pula," cibir Nabila sengit."Mana ada pelakor yang punya muka," imbuh Bu Sur mengompori. "Harusnya timpuk saja kepalanya pakai batu!""Jaga mulutmu, Sur!" teriak Bu Saroh sengit. "Urusan kita sudah selesai, jangan kau ikut-ikutan masalah anakku lagi!"Bu Sur me
"Mas, itu kenapa mobil kita yang di belakang berhenti?" tanya Maya ketika menyadari mobil mereka yang berisi para tetangga justru menepi setelah lampu lalu lintas berubah hijau. "Berhenti, Mas!" pinta Maya. "Takut ada yang kenapa-kenapa, barangkali mabok kendaraan," khawatirnya lagi.Bu Puji dan Bu RT serta dua tetangga yang lain ikut menoleh. Mereka saling pandang dan mengernyit ketika melihat mobil yang berisi Bu Sur dan kawan-kawan menepi di sisi trotoar."Lah, itu keluar semua. Mau pada kemana mereka?" tanya Bu Puji heran. "Loh ... Loh, itu bukannya ...."Maya dan Abian menghentikan langkah sementara Bu Puji, Bu RT dan dua tetangga yang lain berlari menyusuri trotoar menuju ke tempat dimana para tetangganya berkerumun."Itu Hesty kan, Mas?" selidik Maya. "Aku nggak salah lihat kan, itu Hesty sama suaminya kan, Mas?"Abian mengedikkan bahu kemudian kembali melangkah mendekat untuk memastikan apa yang sedang terjadi."Ya ampun, Hesty ... kami enggak nyangka kalau kamu ternyata jadi
"Astaghfirullah, benar-benar mental pengemis itu Hesty," cibir Bu Puji sambil geleng-geleng. "Pantas bisa bebelian ini itu, nggak taunya hasil minta-minta," imbuh Bu Hanum."Gila ya, jadi pengemis bisa sampai beli mobil," sahut Ibu-ibu yang lain. Hesty melengos ketika mendapati para tetangga menatapnya penuh selidik. Mau tidak mau, ia menerima bingkisan dari wanita tua itu dan berlalu tanpa mengucapkan terima kasih.Setelah Hesty pergi, wanita dengan pakaian sederhana itu berbalik dan kembali melanjutkan jalan untuk pulang."Eh, Bu ... maaf, anu ... sering ya ngasih uang ke wanita itu?" tanya Dahlia kepo. Wanita tua di depannya menoleh ke arah dimana telunjuk Dahlia mengarah. "Oh, pengemis yang bawa anak itu? Kalau ada rejeki ya saya kasih, Mbak," jawabnya jujur. "Ya ... mau gimana lagi, saya ini penjual kue keliling, dapat upah juga enggak seberapa, jadi kalau ada uang atau sembako lebih ya saya kasih, itung-itung bantu dia biar bisa makan," paparnya iba.Dahlia dan para tetangga s