Setelah mempertimbangkan banyak hal, Abian dan Maya sepakat memperkerjakan semua pekerja tanpa ada yang dia keluarkan tidak hormat mengingat kinerja mereka memang benar-benar bagus. Pun Edo, dia melaksanakan titah Satria karena mengira jika pria itu adalah orang paling berkuasa dan paling dipercaya oleh pemiliknya Restoran. "Kalian semua saya ijinkan kembali bekerja tapi dengan satu syarat," ucap Abian tegas. "Jangan pernah biarkan Satria masuk ke Restoran ini lagi. Mengerti?!""Alhamdulillah, terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau kami gagal mengenali Bos kami yang sebenarnya," ucap Edo."Alhamdulillah, doa Emak saya di kampung diijabah Allah," sahut pekerja yang lain sambil merebak."Terima kasih banyak, Pak ... Bu ... kami akan bekerja dengan lebih baik lagi," ucap yang lainnya pula.Abian dan Maya mengangguk percaya. Setelah memastikan semua pekerja Restoran kembali pada posisi mereka masing-masing, Abian dan Maya berjalan bersisian menuju tempat dimana dua orang satpam berada."P-
"Gila! Darimana aku uang sebanyak itu, Mbak Eti!" pekik Hesty. "Kalau mau pinjam, kira-kira dong! Dua ratus juta itu nggak sedikit!" Eti melengos kesal. "Kalau sedikit aku nggak perlu susah cari pinjaman, Hes," sahut Eti. "Bagaimanapun caranya aku harus bisa bebaskan Mas Satria, atau tetangga baru itu merasa menang dan merasa paling kaya disini.""Sudahlah, Mbak Eti, lagipula untuk apa berkorban demi suami yang ternyata punya istri selain kamu. Buang-buang tenaga, biarkan saja dia di penjara.""Kalau nggak bisa kasih pinjaman jangan hina suamiku dong!" Eti nyolot. "Lagipula istri pertama Mas Satria itu jelek, bentar lagi juga dicerai, jadi siapa yang harusnya berkorban kalau bukan aku?" "Ya itu kamunya aja yang bodoh, Mbak," cibir Hesty.Eti yang semula duduk di teras rumah Bu Sur seketika berdiri dan berkacak pinggang. Kedua matanya melotot menatap Hesty yang sedang menggendong putrinya di depannya."Jaga mulutmu, Hesty!" bentak Eti lantang. "Kalau nggak punya duit sebanyak itu, bi
Maya menggenggam ponselnya dengan erat. Entah apa yang Sarah pikirkan, setelah tiga bulan kematian Nabil, wanita itu justru menolak pergi dari rumah mertuanya dengan dalih bayangan Nabil masih selalu mengikuti.Setelah meredam emosi sehabis membaca pesan Sarah, Maya menekan nomor Abian dengan risau. Satu kali ... dua kali ... bahkan hingga dering yang kesekian kalinya panggilan Maya belum mendapat jawaban.Tidak habis akal, Maya beralih menekan nomor Dama dan mengatakan sesuatu sampai membuat pria di seberang sana mendelik kaget."Oke, kamu tenang saja, May. Aku akan cari tau semuanya," tutur Dama sebelum menutup sambungan telepon.Maya mengangguk cepat meskipun tau jika anggukan kepalanya tidak bisa Dama lihat. Hampir sepuluh menit lamanya dia menunggu kedatangan Abian namun suaminya itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Rasa khawatir tiba-tiba menyeruak dalam dada. Takut jika Abian terperangkap dalam permainan Sarah dan meninggalkan Maya yang sedang menunggunya.Wanita ca
"Mbak, semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap Pak RT. "Ayo bubar, bubar semuanya! Ada tetangga ribut kalian malah diam saja, bubar!"Sorak sorai para tetangga membuat Maya geleng-geleng. Eti menangis, menjerit sambil memegangi kepalanya yang hampir botak membundar karena tarikan tangan Nabila terlampau kencang sedangkan Bu Saroh memeluk putrinya seolah tengah melindungi istri kedua Satria itu dari penjahat."Maaf atas keributan yang saya ciptakan, Pak. Kedatangan saya kesini hanya untuk mengabarkan kalau surat gugatan cerai sudah saya kirim ke Pengadilan Agama, itu saja," jelas Nabila tenang. "Tapi dia memang wanita tidak tau diri, sudah lah merebut suami orang, menghancurkan mimpi-mimpi anak saya, eh ternyata nggak punya muka pula," cibir Nabila sengit."Mana ada pelakor yang punya muka," imbuh Bu Sur mengompori. "Harusnya timpuk saja kepalanya pakai batu!""Jaga mulutmu, Sur!" teriak Bu Saroh sengit. "Urusan kita sudah selesai, jangan kau ikut-ikutan masalah anakku lagi!"Bu Sur me
"Mas, itu kenapa mobil kita yang di belakang berhenti?" tanya Maya ketika menyadari mobil mereka yang berisi para tetangga justru menepi setelah lampu lalu lintas berubah hijau. "Berhenti, Mas!" pinta Maya. "Takut ada yang kenapa-kenapa, barangkali mabok kendaraan," khawatirnya lagi.Bu Puji dan Bu RT serta dua tetangga yang lain ikut menoleh. Mereka saling pandang dan mengernyit ketika melihat mobil yang berisi Bu Sur dan kawan-kawan menepi di sisi trotoar."Lah, itu keluar semua. Mau pada kemana mereka?" tanya Bu Puji heran. "Loh ... Loh, itu bukannya ...."Maya dan Abian menghentikan langkah sementara Bu Puji, Bu RT dan dua tetangga yang lain berlari menyusuri trotoar menuju ke tempat dimana para tetangganya berkerumun."Itu Hesty kan, Mas?" selidik Maya. "Aku nggak salah lihat kan, itu Hesty sama suaminya kan, Mas?"Abian mengedikkan bahu kemudian kembali melangkah mendekat untuk memastikan apa yang sedang terjadi."Ya ampun, Hesty ... kami enggak nyangka kalau kamu ternyata jadi
"Astaghfirullah, benar-benar mental pengemis itu Hesty," cibir Bu Puji sambil geleng-geleng. "Pantas bisa bebelian ini itu, nggak taunya hasil minta-minta," imbuh Bu Hanum."Gila ya, jadi pengemis bisa sampai beli mobil," sahut Ibu-ibu yang lain. Hesty melengos ketika mendapati para tetangga menatapnya penuh selidik. Mau tidak mau, ia menerima bingkisan dari wanita tua itu dan berlalu tanpa mengucapkan terima kasih.Setelah Hesty pergi, wanita dengan pakaian sederhana itu berbalik dan kembali melanjutkan jalan untuk pulang."Eh, Bu ... maaf, anu ... sering ya ngasih uang ke wanita itu?" tanya Dahlia kepo. Wanita tua di depannya menoleh ke arah dimana telunjuk Dahlia mengarah. "Oh, pengemis yang bawa anak itu? Kalau ada rejeki ya saya kasih, Mbak," jawabnya jujur. "Ya ... mau gimana lagi, saya ini penjual kue keliling, dapat upah juga enggak seberapa, jadi kalau ada uang atau sembako lebih ya saya kasih, itung-itung bantu dia biar bisa makan," paparnya iba.Dahlia dan para tetangga s
Mobil mereka sampai di depan rumah Ibu. Rumah yang biasanya terlihat berpenghuni kini seolah menunjukkan tidak ada kehidupan di dalam sana. Sepi.Lampu teras masih menyala. Daun-daun dari pohon mangga di halaman rumah berserakan dimana-mana serta gorden yang terlihat masih menutupi semua jendela."Sepi sekali, Bian," celetuk Ibu heran. "Sepertinya Sarah nggak pulang ke rumah ini," lanjutnya.Maya membuka pintu mobil. Dia berjalan mendekati ibu-ibu yang terlihat sedang bercengkerama di depan rumah tetangga yang jaraknya tidak jauh dari rumah Ibu."Permisi, Ibu-ibu ....""Eh, Mbak Maya. Mau ambil baju Ibu ya?" sapa tetangga yang memang mengenal Maya. "Tadi itu saya mau lihat keadaan Ibu, Mbak, cuma mobil yang bawa Ibu sama Mbak Sarah buru-buru pergi," jelas tetangga Ibu bernama Bu Kela."Baju?" tanya Maya sembari memicing. "Bu Kela yakin itu Ibu? Soalnya ... ibu ada sama saya dan Mas Abian. Itu di dalam mobil," tunjuk Maya.Bu Kela nampak mengingat-ingat apa yang dia lihat lalu berseru
"Pasien yang baru datang atas nama Sarah Amalia ada di ruangan Anggrek nomor 14, Pak. Silahkan, dari sini anda lurus saja, nanti ada jalan bercabang empat, Bapak belok kanan, itu sudah ruangan Anggrek ya, Pak. Tinggal cari nomor kamarnya saja," papar salah seorang pegawai RS di bagian administrasi.Abian mengangguk paham dan mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya berlalu dan memimpin jalan menuju ruangan yang mereka cari.Tepat di depan kamar nomor 14, seorang wanita terlihat terbaring lemah sementara di sisi ranjangnya ada kedua orang tua Sarah dan kakak laki-lakinya serta Sang Istri."Assalamualaikum," ucap Abian memecahkan keributan di dalam kamar inap.Mereka semua menoleh. Kakak Sarah yang bernama Chiko tiba-tiba melayangkan tinjunya tepat di rahang Abian, tapi sayang ... gerakannya bisa dibaca dengan mudah oleh pria berparas tenang itu."Jangan tunjukkan siapa dirimu di depan orang lain, Mas," tukas Abian dingin. "Kami kesini ingin meluruskan banyak hal, bukan ingin berkelahi