***"Sebenarnya ini bukan jam kerja kita, Gas. Hanya saja karena Vano adalah teman baik kami, mau tidak mau kami datang untuk mengurus cecunguk ini," celetuk Nando sarkas. "Kita bisa langsung jebloskan dia ke penjara karena ada banyak bukti dan saksi."Lelaki yang terduduk lemah itu menggeleng samar. "Tolong ... anak dan istri saya hanya berdua di rumah. Tolong lepaskan saya, Mas Bagas ... saya ... saya hanya menjalankan misi karena tergiur dengan bayaran tinggi."Rahang Bagas mengeras. Jika pelaku begitu khawatir dengan keluarganya lalu bagaimana bisa dia mempunya pikiran untuk menghancurkan keluarga orang lain?"Ck, pengecut! Pria macam apa yang memberi makan anak dan istri dengan uang haram?" sindir Bagas. "Jangan memelas, kami bukan kalangan orang-orang yang mudah terpedaya. Penjarakan saja, Bang. Setelah dia, aku pastikan otak dari teror ini akan tertangkap!""Oke," sahut Nando tanpa basa-basi. Dia membawa orang suruhan Seila ke dalam mobil polisi. Pria itu meraung-raung meminta
***"Berani menyentuh Sea, kupastikan kalian semua berakhir menderita!" Suara Tirta melengking di ruangan. Suasana malam yang hening dan mencekam membuat tawa para anak buah Nayna menggema mengerikan."Ha ... ha ..., lihat dia, Bos. Berani sekali mengancam kami. Kamu tau siapa kami, hah?""Aku tidak peduli siapa kalian dan di bawah perintah siapa kalian bertindak. Berani menyakiti calon istriku maka aku berjanji kalian semua tidak akan aku lepaskan!"Nayna menoleh dengan perasaan yang hancur. Tirta secara terang-terangan mengatakan jika Sea adalah calon istrinya di depan semua orang termasuk dirinya."Calon istri?" Nayna tersenyum sinis. "Bersiap-siaplah melihat calon istrimu dinodai di depan matamu sendiri, Tirta!"***"Bagas!" Suara Tomi memecah keheningan di dalam rumah Halimah. "Bagaimana keadaan Sea? Bodoh ... aku bodoh sekali karena terlalu lama tidak memperhatikan ponsel," gerutu Tomi menyesal. Dia datang bersama Gina, dan beberapa saat sebelum datang ke rumah Bagas, pria paruh
***"Hal ... Halimah!" Suara teriakan Diah di depan rumah membuat Halimah terlonjak. Dia melepaskan pelukan Gina dan sedikit berlari menuju ke sumber suara. "Hal, buka pintunya, Halimah!""Ada apa, Bu Diah?" tanya Halimah panik. "I-- ini kenapa pada ramai-ramai ke rumah saya?"Diah berkacak pinggang. Sudah sangat larut untuk mencari gara-gara di rumah orang lain. Tapi Diah benar-benar merasa takut karena dia hampir saja terlibat dalam urusan bunuh membunuh. Ya. Diah berpikir jika Vano dan anak buahnya akan membunuh lelaki yang datang tadi, lelaki yang awalnya mengaku sebagai teman masa lalu putrinya."Interogasi, Pak RT! Kalian memang budek, sudah tau di rumah Halimah ada pertunjukan besar malah tidak ada yang keluar!" gerutu Diah geram. "Tadi saya hampir saja celaka tau tidak? Apalagi Vano ... dia bilang kalau akan memberi pelajaran pada ... hiihhh, sumpah ... Vano sepertinya adalah seorang pembunuh!""Jaga ucapan anda, Bu Diah!" ben
***"Buang semua pikiran buruk, Bu. Kenapa tiba-tiba meragukan Ayah, saya paham sekali tindakan apa yang harus diambil untuk mengancam musuh, dan Ayah ... saya yakin sekali kalau Ayah mengatakan membunuh hanya untuk menggertak. Percaya sama saya, setelah Ayah pulang Ibu bisa tanyakan semuanya."Halimah sedikit lebih tenang, begitupun dengan Gina. Asam garam kehidupan tidak lantas membuat keduanya bisa berpikir jernih dan logis pada situasi yang genting seperti sekarang.Pikiran mereka terlalu lelah. Halimah dengan segala masalah yang menimpa putranya, dan Gina dengan kabar Sea yang diculik entah oleh siapa. Masih menjadi misteri bagi ketiga wanita itu siapa yang sudah membawa Sea pergi dan ada masalah apa sebenarnya?***"Mas Tirta!" teriak Sea takut. Pisau kecil dengan ketajaman yang tidak bisa diragukan lagi tengah menempel sempurna di leher Sea. Sedikit saja bergerak maka bisa dipastikan kulitnya tersayat saat itu juga. "To ... lon
***Dua tamparan mendarat sempurna di pipi mulus Nayna. Wanita cantik itu meringis, sudut bibirnya berdarah. Tomi menatap nyalang pada sosok wanita di depannya. Bagaimana bisa seorang wanita menyakiti wanita yang lain? Sekalipun itu bukan Sea yang menjadi korban, tetap saja Tomi merasa geram karena sudah bermain-main dengan nyawa."Jalang?" Tomi mengulang ucapan Nayna. "Putriku jalang kamu bilang?""Ya! Dia jalang yang sudah merebut Tirta dariku!" teriaknya lantang. "Putrimu tidak pantas hidup karena sudah merebut kekasihku!"Sea melepaskan pelukan Vano. Sorot matanya yang redup kini mulai terbuka cukup lebar. Dia melangkah tertatih, kakinya yang bengkak dan memerah akibat ikatan yang cukup kuat membuatnya sedikit meringis menahan perih."Lalu siapa yang pantas hidup disini? Kamu?" tanya Sea dengan suara bergetar. "Wanita iblis sepertimu apakah pantas untuk hidup? Bahkan untuk dicintai saja rasanya sangat tidak pantas!""Tutup mulutmu, Jalang!""Kamu yang jalang!" teriak Sea tersengal
***"Siapa nama wanita tadi, Mas?"Tirta menoleh. Beberapa menit yang lalu ia terlihat termenung di dalam mobil tanpa berbicara sedikit kalimat pun."Nayna.""Kalian sudah lama berpacaran?""Kami sudah berbagi ranjang, Gas."Bagas meneguk ludahnya kasar. Pantas saja kelakuan Nayna begitu berani, berbeda dengan Seila yang bersembunyi di balik para orang-orang suruhannya."Kamu putuskan dia karena jatuh cinta pada Sea?"Tirta terkekeh. Dia tau pasti Bagas menganggapnya sebagai pria yang kurang ajar, brengsek, tidak bertanggung jawab. Apalagi ketika dengan terang-terangan dia mengatakan kalau dirinya dan Nayna pernah berbagi ranjang. Dulu ... zina menjadi hal yang sangat biasa bagi Tirta. Nauzubillah!"Apa aku sebrengsek itu, Gas?"Bagas mengedikkan bahu. "Entahlah, Mas. Aku belum mendengar cerita lengkapnya dari mulut kamu. Tapi jika memang yang kukatakan itu benar, demi apapun ... Pakde pasti me
***"Sea!" Gina yang tengah dipeluk oleh Halimah buru-buru melepaskan diri. Wanita paruh baya itu berlari mendekati anak dan suaminya yang kini sudah berdiri di ambang pintu. Belum lama dari kedatangan Tomi, Pandu sudah berada di rumah Halimah karena memang Gina sempat mengabarkan jika Sea diculik beberapa preman."Kamu baik-baik saja kan, Sayang? Kamu tidak ...." Gina menutup kedua matanya erat. Bibirnya bergetar hebat ketika penglihatannya menangkap pada pemandangan kaki jenjang Sea yang memerah bekas ikatan kuat dari anak buah Nayna. "Kenapa harus kamu ... punya masalah apa kamu dengan para penculik itu, Sea?"Gina memeluk Sea sambil menangis. Tomi segera membawa masuk istri dan putrinya agar tidak memancing keributan para tetangga. Pandu mendekat, dia membawa Sea ke dalam pelukan yang cukup erat. "Maaf," bisik Pandu. "Harusnya Mas bisa menjaga kamu, Se.""Aku baik-baik saja," sahut Sea lirih. Dia melipat bibirnya tipis agar tidak kembali bergetar karena menangis. "Tidak peduli me
***"Lalu bagaimana keadaan Sea?" Astri meredam emosinya pada Tirta. Bagaimanapun dia ikut andil dalam kesalahan yang Tirta perbuat, seharusnya dia bisa memperhatikan putranya yang semakin dewasa itu dengan baik, bukan malah menyibukkan diri dengan urusan Cafe yang sebenarnya mudah sekali untuk dihandle. "Apa dia tahu kalau kamu dan wanita itu ... siapa namanya tadi?""Nayna, Ma.""Iya. Apa Sea tau tentang semuanya?"Tirta mengangguk lemah. Otaknya terlalu lelah memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Sea. Andai kata Sea menerima, bagaimana dengan Tomi dan Gina? Rela kah kedua orang tua itu memberikan restu pada pria yang hampir saja membuat nyawa putrinya melayang di tangan wanita lain.Astri menatap langit-langit Rumah Sakit dengan pikiran yang penuh dengan segala kemungkinan buruk. Sejak Vano dan Bagas pamit untuk pulang, Ibu dan anak itu terlibat obrolan yang cukup serius. Tapi tetap saja tidak ada jalan keluar yang bisa keduanya ambil kecuali bertemu langsung dengan To