Danny Laksana keluar dari mobil lalu masuk ke rumah sang kakek. Ia tidak peduli dengan tatapan kebencian Eric kepadanya. Toh, bukan dia yang mau berada di posisi ini, siapa suruh tidak bisa mengambil hati sang kakek, malah asyik bermain perempuan.
“Dasar belagu, awas kamu!” umpat Eric sembari mengepalkan tangan kirinya dan mengarahkannya ke Danny yang sedang melangkah.“Tuan,” tegur Elgard.“Sekarang, kamu juga berada di posisinya?”“Bukan seperti itu, Tuan. Tetapi, sekarang dia juga cucu Tuan Besar. Saya harus menghormatinya.”“Cih!” kesal Eric lalu masuk ke mobil.Ia harus menemui papanya untuk membicarakan hal ini. Kenapa beliau tidak memberitahunya tentang Danny?“Papa!” teriak Eric saat sampai rumah.“Apa teriak-teriak begitu? Papa ini gak tuli, Ric!”“Kenapa Papa gak bilang soal Danny sama Eric? Dan kenapa pula Papa biarkan dia mendapatkan posisi kepemimpinan di perusahaan kakek?” terang Eric panjang lebar kepada sang papa.Lelaki berumur 67tahun itu duduk dengan wajah masam. Bukan beliau tidak ingin memberitahunya, tetapi sejak kemarin Eric sendiri tidak berada di rumah. Mungkin asyik bercinta dengan wanita di luar sana. Beliau tahu betul kebiasaan anaknya yang menuruninya.“Memangnya sejak kemarin kamu di rumah?”“Enggak sih.”“Terus, kenapa nyalahin Papa? Kamu sendiri keluyuran dan baru pulang.”“Ya maaf, Pa. Tapi, bagaimana bisa kakek menemukan lelaki itu? Dan bisa-bisanya kakek memberikan kekuasaan kepadanya? Seharusnya kan kita yang mendapatkan posisi itu. Papa akan anak sulung kakek,” protes Eric panjang lebar seraya menempatkan dirinya di sofa depan sang papa.Tuan Ibra menghela nafas panjang, “Kamu pasti tahu alasannya kan?”“Ah, sial!” umpat Eric, memang dia sudah tahu alasan sang kakek, tapi tetap ia tidak bisa menerimanya.“Apa bakal diam saja posisi kita direbut olehnya? Lakukan sesuatu, Pa!” perintah Eric kepada papanya.“Tidak perlu kamu suruh, Papa juga akan melakukan sesuatu, Ric.”“Apa? Eric siap membantunya.”Mereka berdua pun merencanakan rencana demi rencana agar bisa merebut posisi yang sekarang dimiliki oleh Danny. Mereka berdua tidak bisa terima begitu saja tiba-tiba Danny berada di posisi paling atas dari keluarga Laksana.****“Saya merasa tidak enak, Kek. Sama Paman Ibra dan Eric. Apa posisi saya sekarang tidak berlebihan? Saya tidak apa-apa jika harus bekerja menjadi karyawan bawah, Kek.” Danny berujar sambil memijit kaki sang kakek yang saat itu ingin istirahat.Tuan Willam tersenyum menanggapi ucapan Danny. Ia bangga sekaligus terharu sebab sikap rendah hati Danny persis seperti Fandy. Fandy tidak pernah menggunakan kekayaan sebagai temeng dan pamer kepada yang lain.“Tidak, Dan. Kakek sangat yakin kalau kamu adalah orang yang pas untuk menjaga perusahaan Kakek.”Danny terdiam. Menurut saja apa kata sang kakek. Lagian ia bisa gunakan hal ini untuk memperlihatkan kepada Eric dan Cintya yang sudah berselingkuh di didepannya. Ia yakin, Cintya pasti menyesal karena sudah mengakhiri hidupnya.“Kek, besok saya ke rumah papa sebentar ya. Ada yang ingin aku ambil di sana.”“Iya, pergilah.”“Apa sampai sekarang pamanmu belum menemukan petunjuk tentang Pembunuhan mereka, Dan?” tanya Tuan Willam dengan raut wajah sedih.“Belum, Kek. Mungkin beliau sedang berusaha mencarinya.”Tuan Willam menghela nafas panjang, “Heran, biasanya Ibra cepat menemukan pelaku. Tetapi, kenapa ini tidak ada kabar sama sekali?” gumam Tuan Willam.Danny mengemati ucapan sang kakek. Rasa curiga muncul di dalam hatinya, namun ia berusaha keras untuk percaya. Danny berniat ingin mencari bukti kematian kedua orang tuanya sendiri.Keesokan harinya, Danny mengunjungi rumah kedua orangtuanya. Hawa dingin masuk ke relung hati dan tulangnya saat melihat ruangan demi ruangan yang sekarang sepi tak berpenghuni.Danny melangkah ke ruang tamu di mana tempat terakhir kali Danny menemukan mereka dalam kondisi mengenaskan.“Egard,” panggil Danny karena dia datang bersamanya. Lelaki itu sekarang akan menjadi buntut dirinya. kemanapun ia pergi, Egard akan selalu ada.“Iya, Tuan.”“Apa hubungan paman dan papa selama ini baik-baik saja? Apa selama ini paman tahu tempat tinggal kita?” tanya Danny ingin tahu.Egard menggeleng, “Setahu saya tidak, Tuan. Beliau tidak tahu tempat tinggal Tuan Fandy dan Anda,” jawab Egard sesuai dengan apa yang ia ketahui.Danny mengangguk, seharusnya jawaban Egard cukup membuatnya mengusir rasa curiga terhadap lelaki paruh baya tersebut. Tetapi, entah kenapa Danny masih merasa janggal.“Kamu tunggu saja di sini. Aku ingin mengambil sesuatu di kamar papa,” ujar Danny.“Baik, Tuan.”Danny masuk ke kamar papanya dengan hati yang bedenyut pilu. Sungguh ia tidak menduga akan kehilangan mereka seperti ini. Takdir memang tidak ada yang tahu.Danny membuka lemari kedua orangtuanya yang sudah usang, namun masih kokoh untuk menyimpan pakaian mereka.“Apa ini?” Danny menemukan sesuatu di bawah tumpukan baju kedua orangtuanya.****Kakek Willam berhasil Danny tenangkan, beliau dibawa pulang dan istirahat di rumah. Danny terus mendampingi sang kakek agar tidak kembali nekat seperti tadi.“Istirahat, Kek. Semoga impi ayah,” pesan Danny lalu menarik selimut menutupi tubuh kakeknya.“Maafin Kakek, Dan.”“Kakek tidak salah apa-apa,” jawab Danny, hatinya ikut sesak melihat beliau sesedih ini.Siapa yang tidak syok mendapati anaknya membunuh anaknya yang lain. Tuan Willam tidak pernah menduga Ibra akan melakukan hal kejam tersebut. Ternyata, harta membuat buta memang buukan isapan belaka. Bukan hanya cinta yang membuat buta, harta juga.“Jangan lakukan hal nekat seperti tadi, Kek. Ayah tidak suka dengan orang yang mudah putus asa,” kata Danny.Tuan Willam kembali bersedih, rasa rindu terhadap anak bungsunya membuncah. Seandainya saja dulu beliau tidak mengusir dan menerima istri Fandy, pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Sekarang beliau menyadari, bahwa tidak semua orangtua benar dan anak selalu salah, terkad
[Tidak, Tuan. Memangnya kenapa?][Beliau tidak ada di rumah, Gard!][Apa!]Danny menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar suara Egard yang melengking kuat, reaksi Egard sungguh luar biasa. Sambungan telepon langsung dimatikan, tidak lama kemudian Egard datang ke rumah untuk memastikan perkataan Danny. Danny sampai terkejut melihat kedatangan Egard yang cepat sampainya. “Naik apa kamu? Pesawat? Cepet banget datangnya!” Danny malah melawak. “Saya khawatir dengan keadaan Tuan Besar, Tuan. Bisa saja beliau berada dalam masalah besar,” ujarnya membuat kening Danny berkerut. “Masalah besar apa maksudmu?”Egard menelan Salivanya, saking khawatirnya dengan sang majikan, ia sampai keceplosan bicara. Egard bingung harus jawab apa, pasalnya sang majikan melarangnya untuk berbicara apa-apa kepada Danny. Tidak mau membuat cucunya itu semakin terlihat masalah. “Egard, masalah apa yang sedang kakek hadapi, katakan padaku!” desak Danny. “Maaf, Tuan.” Egard menggeleng. Beru
“Kejam sekali mereka.” Meysa geram mengetahui pelaku pembunuhan orangtua Danny.“Terkadang, musuh terbesar adalah saudara sendiri, kadang juga mereka adalah orang yang paling berjasa,” kata Danny penuh makna.Memang, terkadang musuh terbesar seseorang adalah orang terdekat, namun terkadang mereka adalah orang yang paling berjasa. Bergantung dari saudara itu sendiri.Entah apa yang ada di dalam pikiran Tuan Ibra dan anaknya, sehingga mereka tega menghabisi nyawa saudaranya sendiri. Hanya karena sebuah harta, mereka tega berbuat keji. Seharusnya, mereka berusaha menyayangi, bukannya menyakiti.Mungkin, kalau sang kakek tidak berniat memberikan warisan kepada orangtua Danny, mungkin Tuan Ibra tidak membunuh mereka. Padahal, selama ini sang ayah sudah pergi menjauh dan tidak pernah merepotkan mereka. Beliau mampu membuktikan bahwa bisa hidup dengan tenang dan damai tanpa embel-embel keluarga besar yang kaya raya. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan sama mereka?” tanya Meysa ingin
“Hay, Kek. Perkenalkan, saya Cintya. Kekasih Danny.” Cintya mengulurkan tangannya kearah Tuan Willam. Begitu pd-nya memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Danny. Memang wanita tidak tahu malu. “Kekasih Danny?” Tuan Willam memandang Cintya tidak percaya. Beliau lalu beralih memandang Danny. Meminta kepastian lelaki tersebut. Tuan Willam tidak yakin kalau Danny lelaki buaya. “Bukan, Kek. Tapi, mantan.” Danny menatap tajam mata Cintya. Kesal karena berani mengaku-ngaku sebagai kekasihnya. “Oh, cuman mantan....” Tuan Willam pun merasa lega atas jawaban cucunya. Cintya tersenyum kaku, menahan malu, namun ia sudah bertekad bahwa akan merebut Danny kembali. “Mas, apa boleh kita bicara sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu, Mas.”“Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Lebih baik kamu pergi. Kamu tidak lihat aku sedang makan bersama keluarga?” Danny menolak mentah-mentah ajakan Cintya. Danny yakin, Cintya hanya akan membicarakan soal keinginannya kembali kepadanya la
Eric menenggak minuman, suasana siang itu sedang panas, sama seperti suasana hatinya yang tengah terbakar api cemburu melihat kemesraan Danny dan Meysa tadi. Drrrrttt! Ponselnya berdering, dengan malas ia melihat layar ponselnya, memastikan siapa yang menghubunginya. Apa dia tidak tahu kalau saat ini hatinya sedang patah? “Wanita ini lagi!” keluh Eric memandang nama Cintya. Eric hampir meletakkan kembali ponselnya, namun tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. [Iya?] Akhirnya, Eric menjawab panggilan dari Cintya. [Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu? Kita ketemuan ya.][Oke!]Dibalik telepon, Cintya sangat senang sekali mendengar jawaban Eric.Segera Eric mematikan ponselnya, lalu bergegas bertemu dengan Cintya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan dengan wanita itu. Eric berharap, Cintya bisa melakukan apa yang ia inginkan. Mereka berdua di sebuah restoran sederhana, tidak mewah seperti dulu sebab saat ini Eric tengah menerima hukuman dari sang kakek, hukuman yang membuat diri
Kedatangan Tuan Willam ke kantor membuat seluruh karyawan yang bertemu dengan beliau segera membungkuk, memberikan hormat kepada pemilik perusahaan. Keadaan kantor pun mendadak sunyi, biasanya mereka akan bising dengan pekerjaan mereka, namun kali ini hanya tangan dan mata mereka yang bekerja, mulut mereka kunci rapat-rapat sebab Tuan Willam tidak suka dengan orang yang banyak mulut. “Papa?”“Kakek?”Tuan Ibra dan Eric sama-sama memanggil nama beliau lalu membungkukan setengah badan mereka, begitu juga dengan Meysa. Wanita tersebut mengikuti apa yang dilakukan oleh banyak karyawan. Sejenak, pandangan Meysa bertemu dengan Danny. Bertanya lewat tatapan kenapa sang kakek tiba-tiba datang ke kantor. Danny yang kini berdiri di belakang sang kakek mengedikan bahunya. Ia juga tidak tahu kenapa sang kakek ingin ikut ke kantor. “Kalian semua ikut ke ruangan saya!” perintahnya lalu melangkah ke ruangan Danny yang dulu menjadi ruangan beliau. Tuan Ibra dan Eric memicingkan kedua bola