“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut.
Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa yang akan di sampaikan oleh Paman dan Tantenya itu? “Jadi ini... Gadis yang ingin kau gunakan untuk menebus semua hutangmu pada Bos kami??” Tanya salah satu preman itu, menatap lekat wajah Aisyah. Hah? Aisyah terperanjat. Mata gadis itu sontak mengerjab, ia terkejut mendengar penuturan pria dengan penampilan seperti preman itu. “Penebus hutang??” Tanyanya dengan sorot mata penuh kekecewaan. “Iya, Syah. Anggap saja semua ini balas budi kamu terhadap Paman, karena selama ini Paman sudah mau menampung kamu dan adikmu di rumah ini. Jadi, kamu harus bersedia menikah dengan juragan Bram untuk melunasi hutang Paman!” Ucap Herman dengan entengnya. Himpitan ekonomi membuat Herman dan istrinya gelap mata. Sehingga rela mengorbankan keponakannya sendiri sebagai alat penebus hutang. Aisyah menahan rasa perih di dadanya saat Herman mengatakan hal seperti itu. “Menikah? Pak Bram juragan tanah itu, yang istrinya udah tiga??” Tanyanya dengan suara bergetar. “Ya! Dan kamu akan menjadi istri ke empatnya!” Ungkap Herman lagi. Dada Aisyah semakin terasa sesak. Ia harus menjadi istri ke empat juragan tanah itu? Aisyah menggeleng cepat, “Enggak Paman! Aisyah gak mau!” Tolaknya dengan tegas. Menjadi istri kedua saja sama sekali belum pernah terbayangkan, apalagi harus menjadi istri ke empat. Meskipun Bram itu juragan tanah terkaya di kampung itu, tapi tetap saja, ia tidak akan mau melakukan hal gila itu. “Ini bukan penawaran, Aisyah! Ini perintah!! Mau tidak mau, kamu harus terima. Kecuali... Kamu bisa membayar hutang Paman senilai seratus juta itu!” Ungkap Herman. Hati Aisyah begitu sakit. Herman memaksanya untuk menikah dengan Bram, juragan tanah itu. Jika tidak, ia harus melunasi hutang sebanyak itu. Uang dari mana? “Paman sudah gila! Uang dari mana sebanyak itu?? Lagi pula Paman berhutang sebanyak itu untuk apa??” Tanya Aisyah, ia tatap Herman dengan penuh rasa kecewa. “Kamu turutin saja permintaan Paman kamu, Aisyah. Jangan membantah! Kalau kamu tidak ingin hidup kita penuh penderitaan!! Lagi pula juragan Bram itu kan hartanya banyak, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja setelah menikah nanti...” Ujar Rina. Aisyah terperangah. Ia tatap Rina, wanita itu juga sama dengan Herman. Memaksakan kehendak mereka. Tak menyangka dengan perkataannya. “Nggak, Tante! Bagaimana mungkin Tante tega menyuruhku menjadi istri ke empat juragan Bram?” Air mata Aisyah seketika keluar. Sebenarnya Rina memiliki anak kandung seorang gadis, yaitu Syahnaz. Namun, ia memilih Aisyah sebagai penebus hutang walaupun Syahnaz memiliki wajah yang jauh lebih cantik. Alasan utamanya karena Aisyah hanya keponakannya. Selain itu, Aisyah tidak memiliki masa depan cerah, ia hanya bekerja di sebuah konveksi dan juga cafe yang gajinya tak seberapa. Sedangkan Syahnaz, saat ini sedang merintis karier di perusahaan luar kota. Dengan semua pertimbangan itu, tentu saja Rina tidak akan rela mengorbankan Syahnaz yang merupakan anak kandungnya sendiri. Apalagi kepada seorang pria tua beristri tiga seperti juragan Bram. “CUKUP!!” Sentak salah satu dari anak buah juragan Bram. Pria itu menatap Aisyah, “Aku tak suka melihat wanita menangis! Kalau kamu tidak mau menikah dengan juragan Bram, maka menikah saja denganku!” Ucap pria bertato dengan pakaian lusuh, serta celana yang sobek di bagian lututnya. Pria itu adalah Galih Pratama, anak buah juragan Bram. Semua yang ada di ruangan itu, sontak terkejut setelah mendengar apa yang di lontarkan Galih barusan. “Galih?” Ucap Rais, teman Galih. Mengernyitkan kening. “Apa maksud kamu, Galih?” Tanya Rais lagi, “Bisa di pecat juragan kamu, kalau sampai kamu menikahi gadis itu!” Sambungnya. Sementara itu, Galih hanya tertawa sumbang, meremehkan Rais di hadapannya. Herman tertawa miris mendengar ucapan pria itu, “Kamu ini gimana? Orang keponakan saya mau saya jadikan penebus hutang, kok malah kamu yang minta dia menikah denganmu? Memangnya kamu sanggup membayar semua hutangku pada juragan Bram?” Tantang Herman dengan nada mengejek. “Gampang! Itu bisa di atur!!” Jawab Galih dengan tenang. “Galih?” Rais masih bingung. “Kamu diam saja, Rais! Ayo kita pulang...” Kata Galih, ia bangkit dari duduknya. Pria itu melirik sekilas pada Aisyah yang masih terpaku dengan ucapannya. “Tunggu! Aku juga gak mau menikah denganmu!!” Seru Aisyah, membuat Galih menatap gadis itu sekejap. “Pilihan ada di tangan kamu! Kamu rela menjadi istri ke empat juragan Bram? Atau menjadi istriku??” setelah mengatakan hal itu, Galih langsung beranjak keluar meninggalkan kediaman Herman. Rina menatap suaminya. Wanita itu ketar ketir terhadap penawaran Galih barusan pada keponakannya. “Pak, gimana ini? Kok malah jadi preman itu yang mau nikahin Aisyah? Nggak jadi kaya dong kita!” Tanya Rina. Herman tertawa kecil, “Kamu ini, Ma. Mana mungkin dia beneran mau nikahin Aisyah. Punya uang dari mana dia untuk melunasi hutangku? Gaji dia di juragan Bram aja, paling cuma cukup untuk untuk makan dan minum sehari!” Kata Herman. “Iya juga sih, Pak. Pokoknya Aisyah harus menikah dengan Juragan Bram! Biar hidup kita gak susah lagi!” Ucap Rina seraya menatap Aisyah dengan sinis. “Astaghfirullah... Tante kenapa setega itu sama aku? Apa tante rela melihat aku di jadikan istri ke empat dari lelaki yang seusia dengan Paman?” Tanya Aisyah, kecewa. “Ingat ya, Aisyah! Selagi ada uang, hidup kita bisa tenang! Pokoknya kamu gak ada hak untuk menolak!” Tegas Rina. Hati Aisyah mencelos mendengar ucapan wanita itu. Sungguh, ini sama sekali tak pernah terbayangkan oleh gadis itu sebelumnya. Aisyah berdiri dari duduknya. Ia melangkah pergi dari hadapan Herman dan Rina. Meninggalkan mereka dengan perasaan penuh kekecewaan. Berjalan menuju kamarnya. Gadis itu membaringkan tubuhnya ke kasur lapuk yang sudah berpuluh tahun tak pernah di ganti. Uang hasil jerih payahnya selama ini, ia berikan untuk Rina. Namun, semua itu seolah tak ternilai di mata mereka. Bahkan Herman dan Rina, tega menjual dirinya hanya terobsesi ingin menjadi kaya.“Aisyah lagi dikamar sedang mandi. Kamu jangan keseringan gitu, Galih. Kasihan istri kamuagi hamil, dia pasti juga butuh suaminya ada di sampingnya. Kerja boleh, tapi jangan lupakan kewajibanmu sama istrimu!!” ungkap Renita lagi. Ingin putra semata wayangnya itu tahu.“Galih gak lupa kok, Ma. Sebisa mungkin Galih akan memprioritaskan Aisyah!!” Tegas Galih, senyumnya seketika mengembang saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan wajah yang segar sehabis mandi.Galih berjalan menghampiri istrinya, hendak memeluk Aisyah begitu saja, tetapi istrinya itu segera mengelak.“Mandi dulu, Mas. Mas kan habis dari luar,” Pinta Aisyah membuat Galih cemberut.“Tapi Mas mau peluk kamu dulu!” rengek Galih, sudah kangen berat pada istri tercintanya itu.“Enggak, Mas. Pokoknya Mas mandi dulu!!” Tegas Aisyah.“Hmm... gitu ya, sayang? Jadi kamu gak mau di peluk sama Mas nih?” Galih mulai merajuk.“Galih kamu mandi dulu baru boleh menyentuh istri kamu! Jangan sampai kuman-kuman di tubuhmu itu menempel
Akad jual beli rumah, beserta sapi dan kandangnya pun terlaksana di hari berikutnya. Galih merasa tidak rugi, justru ia bisa untung banyak karena nantinya sapi itu akan ia kelola dan menjadi bisnis barunya.Kedua istri juragan tidak ada yang paham akan harga asli pembelian sapi itu, mereka hanya menurut karena menurut Arni dan Fira nominal itu sudah sangatlah besar. Padahal Galih membelinya di bawah harga pasaran.“Gila kau Galih! Ternyata uang kamu banyak sekali sampai bisa membeli semua ini,” ucap Rais yang ikut menyaksikan akad jual beli itu.Galih hanya tersenyum, ia menunjuk Rais untuk mengurus sapi-sapi yang telah menjadi miliknya itu.“Jaga baik-baik sapi ini, Rais. Aku percaya kamu bisa mengurus semua ini. Tenang saja, aku akan menggajimu dua kali lipat di banding juraganmu itu,” kata Galih membuat senyum Rais mengembang.Tak hanya Rais, semua pekerja di kandang sapi itu juga di ambil alih oleh Galih.Mereka semua menurut saja dari pada kehilangan pekerjaan, apalagi mereka jug
“Hai istri-istri juragan yang terhormat,” Sapa Galih setelah berhasil menemui kedua istri juragan di kediaman pria tua beristri banyak itu.“Tidak usah basa-basi! Katakan apa maksud kamu ke sini? Kamu mau bebaskan suami kami?” Tanya Arni menatap tajam ke arah Galih yang terlihat tampak sangat tenang sekali.“Bebaskan?? Memangnya kalian masih butuh suami seperti juragan?” Ucap Galih seraya tertawa mengejek, ia sengaja ingin memancing emosi dua wanita di hadapannya itu.Arni dan Fira saling melempar pandang, belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Galih inginkan.“Masa hukuman juragan akan lebih lama karena dia menyuruh orang untuk meneror ke rumahku, bahkan melakukan pengeroyokan terhadap saya!!” Ungkap Galih.“A-Apa?!” Pekik Arni dan Fira terkejut.“Ya, apa kalian yakin selama juragan di penjara kalian masih akan tetap bisa hidup enak? Sementara semua pekerjaannya tentu terbengkalai, gak ada yang mengurus ratusan ekor sapinya, gak ada juga yang berkeliling menagih hutang para nasaba
“Yang rajin ya sekolahnya, Dil. Jangan ikut-ikutan tawuran gak jelas,” Ucap Galih memberikan nasihat.Fadil hormat pada Galih sambil tersenyum, “Siap, Bang!” Jawabnya, “Fadil pamit ke sekolah dulu ya bang, mbak!” Fadil menyalami Galih dan Aisyah kemudian segera berlalu karena supir sudah menunggu.Setiap pagi, Fadil selalu di antar oleh supir menuju ke sekolahannya. Rasa syukurnya semakin besar setiap hari, lantaran kehidupannya kini jauh lebih baik dari pada dulu.Fadil tak pernah menyangka kehidupannya akan menjadi seperti anak sultan yang pulang pergi ke sekolah di antar oleh supir dengan mobil mewah.Banyak teman-teman yang mengatakan Fadil beruntung karena menjadi adik ipar dari pengusaha tajir seperti Galih. Sebagian mereka juga ada yang iri dan mengatakan bahwa Fadil hanyalah orang kaya baru yang norak.Padahal, apanya yang norak? Mereka saja yang terlalu iri melihat kehidupan Fadil sekarang. Fadil sendiri tidak pernah mengubris ucapan-ucapan sumbang di belakangnya. Ia benar-be
“Kita ke dalam saja ya sayang, di sini bahaya. Takutnya ada letusan lagi yang lainnya.” Dengan cepat Galih mengajak istrinya itu untuk masuk ke dalam rumah.Bau dari letusan itu sangat menyengat, Galih tidak mau jika Aisyah yang lagi hamil sampai menghirup banyak aroma tak sehat itu.Sesampainya di dalam rumah, terlihat Fadil langsung menghampiri Galih dan Aisyah.“Tadi itu suara apaan, Bang?” Tanya Fadil, ia juga sempat mendengar letusan tersebut.“Abang juga gak ta, Dil. Abang belum ngecek karena buru-buru bawa Aisyah untuk masuk. Tolong kamu jagain Kakak kamu dulu ya, Abang mau keluar dulu cari tau penyebabnya,” Pinta Galih, berbalik badan kembali keluar rumah.“Oke Bang. Hati-hati ya,” sahut Fadil cepat.Sedang Aisyah masih terdiam, jantungnya masih berdebar karena terkejut. Ledakan tadi benar-benar seperti berada di belakangnya.“Mbak, ini minum dulu ya.” Ucap Fadil memberikan segelas air putih untuk kakaknya itu.Dengan pelan, Aisyah meneguk air tersebut hingga tak bersisa.“Itu
“Tangan kamu bekas sunscreen itu Iho, sayang... Jadi, biar Mas aja yang suapin ya sayang?!!”Aisyah pun mengangguk seraya tersenyum malu, karena sejak tadi Galih tak berhenti menatapnya dengan intens.Setelah makan beberapa potong buah, Aisyah menatap suaminya itu dengan tatapan penuh cinta. “Mas, aku ingin makan di taman samping rumah ya?” Pinta Aisyah, suaranya terdengar lembut.Galih segera menyetujui permintaan istrinya. la tidak pernah menolak keinginan Aisyah, terutama sejak istri tercintanya hamil. Galih merasa ini adalah momen di mana ia bisa lebih dekat dengan istrinya dan memastikan kesehatan fisik Aisyah terjaga dengan baik.“Ayo, Sayang,” Jawab Galih.Dengan hati-hati, Galih membantu Aisyah berdiri. Setiap gerakan di lakukan dengan penuh kehati-hatian, seolah-olah Aisyah adalah sesuatu yang sangat rapuh yang perlu di lindungi. Tangan Galih menggandeng tangan Aisyah erat-erat saat mereka berjalan perlahan menuju taman samping rumah.Taman itu sangat indah, di penuhi dengan
Malam harinya, semua penghuni di rumah besar milik majikan Rina sudah berada di dalam kamar masing-masing.Sebelum tidur, Rina harus memastikan lebih dahulu bahwa semua sudut ruangan sudah rapi agar esok hari pekerjaannya tidak menumpuk.Ia berjalan ke ruang tengah, matanya tiba-tiba menangkap sebuah dompet yang ada di sofa depan televisi.“Dompet siapa ini?” gumam Rina.Ia kemudian meraih dompet itu, hatinya berdebar antara penasaran dengan isi dompet itu, tetapi juga rasa takut bila ketahuan pemiliknya.‘Sepertinya ini dompet suaminya Bu Sandra,’ batin Rina melihat model dompet dengan khas laki-laki itu.Rina mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya.‘Sepertinya aman.’ Batinnya lagi.Dengan perlahan, Rina membuka dompet tersebut. Matanya seketika melebar saat melihat banyaknya uang di dalam dompet itu. Tak hanya uang, berbagai kartu ATM pun tampak berjejer di dalamnya.“Ya ampun... Dompet ini isinya banyak sekali,” gumamnya
“Bu? Jadi Ibu juga nyalahin Mas Arman??” Tanya Syahnaz ingin tahu. [lyalah, Ibu suruh dia tanggung jawab gara-gara dia kamu seperti itu!] Syahnaz menghela napas kasar, pantas saja mantan suaminya itu malah pulang tak masuk menjenguknya. Pria itu pasti kesal dengan tuduhan ibu Syahnaz. “Ibu ini gimana sih! Aku begini bukan gara-gara Mas Arman Bu! Malah Mas Arman yang nolong aku, Bu. Ibu ishhh, pantesan aja Mas Arman gak jengukin aku,” Ucap Syahnaz, kesal. [Halah, udahlah Naz... Ibu pusing, Naz!! Udah, Ibu sekarang mau kerja lagi, nanti di marahin majikan gara-gara telponan terus] Rina mematikan panggilan sepihak. “Ibu benar-benar keterlaluan banget sih,” gerutu Syahnaz seraya menahan nyeri di perutnya. Rasanya Syahnaz benar-benar ingin menangis sekarang juga. Di tengah rasa sakit yang masih terasa, hatinya juga ikut sakit akibat sikap Rina yang tak memperdulikannya. ‘Padahal Ibu yang nyuruh aku ke kota ini untuk mencari Ray, andai saja bukan karena desakan Ibu, mungkin aku gak a
“Apa aku bilang, Ma? Keluarga Syahnaz itu suka cari masalah, makanya aku malas untuk menghubungi mereka,” Ujar Arman seraya mengembuskan napas berat.“Ya terus sekarang gimana dong, Arman? Masa kita harus ngurusin mantan istri kamu itu sampai sembuh?” Tiara mendengus kesal. Ia memang kasian, tetapi bukan berarti harus mengurus Syahnaz juga.“Mama gak mau tau ya, Arman!! Pokoknya Mama gak mau kamu kasih celah buat wanita itu!!” Ujar Tiara memperingati putranya agar tak ada keinginan untuk kembali lagi pada Syahnaz.Tiara mulai waspada, sebab wanita ular seperti Syahnaz pasti akan menjadikan sakitnya itu sebagai senjata agar bisa rujuk kembali pada Arman.Semalaman menunggu Syahnaz di rumah sakit, Arman juga belum masuk ke ruangan menjenguk Syahnaz. Padahal, operasi wanita itu sudah selesai, begitu pun dengan Syahnaz yang sudah sadar dan sudah di pindahkan ke ruangan pasien.Tiara menjaga putranya itu agar jangan sampai bertemu dengan mantan menantunya. Tiara takut Arman akan merasa iba