Share

003. Akan Ada Kejutan...

Penulis: Dilla Maharia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-12 17:13:56

Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor.

Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu?

Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja.

Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya.

“Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main.

Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang.

‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya.

“Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya.

Aisyah tak sadar, bahwa saat ini tangannya masih saja melingkar di pinggang Galih.

“Dasar modus kamu ya! Kamu sengaja kan... Biar aku bisa peluk kamu?” Omel Aisyah tak terima.

“Hem... Lagian kamu juga menikmati banget, sampai motor jalannya udah pelan aja pegangannya juga belum di lepas!” Ucap Galih.

Aisyah tersadar. Gadis itu segera menarik tangannya dari pinggang Galih.

Kini, mereka sudah tiba di depan rumah gadis itu. Aisyah langsung turun dan berjalan, tanpa mengucapkan terima kasih karena ia masih kesal pada pria itu.

“Hey... Tunggu!” Seru Galih.

Aisyah berbalik badan, “Apa lagi sih?” Tanyanya.

“Kamu belum memberi imbalan untukku!” Jawab Galih.

Aisyah mengerutkan kening, “Kamu mau apa? Uang ongkos? Dasar preman, gak ikhlas banget nolonginnya!” Gadis itu berdecih, kemudian membuka dompetnya.

“Bukan uang yang aku mau! Tapi, aku mau kamu menerima lamaranku besok sebagai tanda terima kasih kamu ke aku karena sudah menolongmu!” Ucap Galih dengan percaya dirinya.

Tak menunggu jawaban dari Aisyah, pria itu langsung saja melajukan motornya, meninggalkan Aisyah yang berdiri terpaku dengan ucapan Galih barusan.

‘Menerima lamarannya? Yang benar aja, kenal juga nggak! Udah gak waras tuh orang!’

Aisyah bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tetapi, tiba-tiba seseorang datang dengan membawa motor yang ia tinggalkan tadi di tepi jalan.

“Waah... Bannya udah gak kempes lagi?” Ucap Aisyah dengan mata berbinar-binar.

“Iya, Mbak. Sudah saya isi angin, bannya hanya kempes saja bukan bocor!” jawab lelaki itu.

“Alhamdulillah... Makasih banyak ya, Mas. Berapa ongkosnya??”

Lelaki itu menggeleng, “Sudah aman, Mbak. Sudah di bayarin sama Mas Galih. Kalau begitu saya permisi Mbak. Mari...” jawabnya. Pria itu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut.

“Galih? Ooh... Jadi namanya Galih?” Gumam Aisyah.

Aisyah pun berjalan sambil membawa motornya, memasukkan ke dalam rumah. Keadaan rumah tampaknya sudah sepi, sepertinya para penghuni rumah sudah tertidur.

“Mbak?” Panggil Fadil, adik Aisyah.

“Hey, ngagetin Mbak aja kamu, Dil!” Ujar Aisyah, “Kamu belum tidur?” Tanya gadis itu kemudian.

Fadil menggeleng, “Mbak dari mana?” Bukannya menjawab, Fadil malah balik nanya pada kakaknya itu.

Aisyah terdiam. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada Fadil.

“Aku tadi dengar Paman lagi ngobrol sama Tante Rina tentang pernikahan, Mbak. Apa Mbak udah yakin bakal nikah dengan Mas Rian??” Ucap Fadil dengan sorot mata penuh khawatir.

“Fadil...” Aisyah duduk di ruang tamu, Fadil pun mengikutinya.

“Mbak udah putus sama Rian, Dil!” Ungkap Aisyah.

“Serius, Mbak?” Tanya Fadil dengan mata berbinar.

Aisyah mengangguk, “Kok kamu senang?” Selidik Aisyah.

“Syukurlah... Mas Rian bukan laki-laki yang baik, Mbak. Laki-laki itu gak pantes buat Mbak Aisyah!” Katanya, membuat Aisyah mengernyit, heran.

“Kamu tau sesuatu ya?” Selidik Aisyah.

“Maaf, Mbak. Sebenarnya... Udah beberapa kali aku lihat Mas Rian jalan dengan perempuan lain, tapi selama ini aku gak berani cerita karena Mbak terlihat sangat bucin pada Mas Rian itu.”

Aisyah menghela napas panjang. Rupanya selama ini, ia benar-benar di bodohi oleh janji manis Rian.

“Uum... Ya udah, tidur sana Dil. Mbak gak apa-apa kok, kamu gak usah mikirin hal seperti ini, kamu masih kecil. Belajar yang rajin aja ya!” Tukas Aisyah, gadis itu bangkit dari duduknya.

“Mbak! Aku bukan lagi anak kecil. Mbak bisa minta tolong sama aku kalau ada apa-apa!” Ucap Fadil, jiwa kelakiannya muncul setelah melihat satu-satunya orang yang peduli padanya terlihat bersedih.

“Iya... Nanti Mbak bakalan minta bantuan kamu. Tapi tidak sekarang.”

Fadil menghela napas berat. Ia tatap kakak satu-satunya itu yang melangkah pergi meninggalkannya.

‘Kalau Mbak Aisyah udah putus, lalu siapa orang yang dimaksud Paman yang bakal nikahin Mbak Aisyah??’ Batinnya penasaran.

Ada kecemasan tersendiri dari dalam hati bocah berusia enam belas tahun itu. Fadil merasa takut, jika nanti sang kakak menikah maka ia akan ditinggal sendiri. Selama ini hanya Aisyah lah yang peduli setelah kedua orang tuanya meninggalkannya.

°°°°°

Sementara itu, di kediaman juragan Bram. Galih tengah duduk di kursi depan kolam ikan. Angin malam berembus masuk sampai ke tulangnya. Tapi tetap saja, ia tinggal duduk di tempat itu.

“Galih, kau serius ingin menikahi gadis itu?” Tanya Rais, tak habis pikir.

“Hem... Kamu pikir aku main-main, Rais??”

Rais berdecak, “Ck, kau punya uang dari mana buat bayar hutang si Herman itu?” Rais menggelengkan kepala, merasa bahwa temannya ini kini salah lawan, “Lagi pula, juragan Bram pasti akan marah jika dia tau kamu menikungnya. Asal kau tau, juragan Bram itu sudah mengincar Aisyah sejak masih SMA!” Tutur Rais.

Galih tercengang. Lelaki tua beristri tiga itu ternyata sudah lama mengincar gadis itu?

Sebagai anak buah senior juragan Bram, Rais tahu apapun tentang lelaki tua itu.

“Jadi, juragan sengaja membuat pancingan agar bisa menikahi gadis itu??” Tanya Galih, penasaran. Pria itu baru bekerja pada juragan Bram seminggu yang lalu.

Rais mengangguk, “Juragan paham betul bagaimana sifat Herman dan istrinya yang matre itu. Ia sengaja menawarkan pinjaman terus menerus, karena juragan yakin, mereka sudah pasti tak akan mampu membayar hutang dan bunganya.”

Galih manggut-manggut, pria itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

“Jangan nekat kalau kau tidak mau dapat masalah, Galih! Banyak gadis cantik lainnya di kampung ini. Ya meskipun tak secantik Aisyah, tapi gampang lah bagi pemuda seperti kamu ini untuk mencari istri cantik dan orang sini.” Ujar Rais mengingatkan.

Galih hanya menanggapi ucapan Rais dengan senyuman penuh arti. Ia bangkit dari duduknya sambil menepuk pundak Rais.

“Tidurlah, Rais. Kamu tunggu besok, akan ada kejutan yang saya siapkan!” Ucap Galih. Berjalan meninggalkan Rais yang diliputi rasa penasaran.

°°°°°

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    181.

    “Halo Dio, ada apalagi? Mama gak kuat liat Papamu lama-lama,” Ucap Renita masih dengan suara parau. [Maa... Papa, Ma...] “Iya, Mama sudah memaafkannya Dio. Bilang sama Papamu, Mama sudah memaafkannya!” Ujar Renita dengan dada yang sesak. [Maa... Papa pergi, Ma. Papa pergi...] “Pergi? Pergi ke mana maksud kamu Dio?” Tanya Renita, jantungnya seketika berdebar-debar. [Papa pergi meninggalkan kita untuk selamanya, Ma...] Deg! Tubuh Renita seketika lemas. “Ka-Kamu gak bohong kan Dio?” Tanyanya dengan suara bergetar. [Enggak, Ma. Ini Dio lagi di RS, tadi abis nelpon Mama, Papa langsung drop, pas perjalanan ke RS kondisi Papa makin lemah, dokter barusan bilang kalau Papa udah gak ada, Ma...] [Dio bingung, Ma. Ini jenazah Papa mau dimakamkan di mana?] “INNALILAHI WAINNAILAIHI RAJI'UN... Bawa ke sini Dio. Makamkan di sini saja!” Jawab Renita tanpa banyak pikir. [Jenazah Papa di bawa pulang ke rumah?] “Iya, rumah itu akan menjadi milikmu kelak, dan kamu berhak membawa Papamu ke sana

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    180.

    Beberapa bulan berlalu sejak hasil tes DNA itu keluar, hubungan Dio dan Renita tetap baik-baik saja, bahkan di katakan jauh lebih baik dari sebelumnya. Renita sama sekali tak mengurangi kasih sayangnya, hanya saja terkadang Dio sendiri yang merasa sungkan karena merasa tak pantas mendapatkan semua kasih sayang dari Renita. Terasa berat untuk menerima kenyataan ini bagi Renita. Namun, ia sudah ikhlas. la yakin bahwa apa yang di gariskan Tuhan dalam hidupnya tidak akan pernah salah. Setelah hasil tes DNA itu keluar, Dio juga akhirnya meminta Wijaya untuk mengatakan dimana letak pemakaman anak kandung Renita yang sebenarnya. Ternyata Wijaya memakamkan anaknya di dekat makam keluarganya. Renita dan yang lainnya pun langsung mendatangi makam itu. Meskipun makam bayi, ternyata Wijaya memberikan tempat yang istimewa, bahkan di tata dan di rawat selayaknya makam orang dewasa. Renita juga tak bisa menyalahkan Wijaya sepenuhnya, lagi-lagi ia berusaha ikhlas dalam menerima takdir dalam hidu

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    179.

    “Bisa langsung to the point saja gak sih, Bang?!” Pinta Dio jengah, lelah membuatnya enggan banyak bertanya. “Nunggu Mama dulu. Sebentar lagi Mama turun,” Jawab Galih. Dio menghela napas panjang, ia pun beristirahat sambil menunggu Ibunya turun. Beberapa menit kemudian, Renita akhirnya turun juga dan langsung menyapa putranya yang baru saja datang. “Bagaimana perjalananmu, Dio? Macet gak?” Tanya Renita sambil berjalan menghampiri kedua putranya. “Gak kok, Ma. Buktinya Dio bisa sampai sini tepat waktu,” Jawab Dio. la memang berangkat tengah malam agar pagi-pagi sudah sampai di rumah. Tak mau membuang waktu, Renita pun akhirnya menjelaskan maksudnya kenapa meminta Dio pulang kali ini. la menceritakan semua kronologinya mulai dari cerita Wijaya yang tak di percaya oleh Renita itu. “Jadi Papa bilang aku bukan anak kandung Mama?” Ulang Dio, memastikan bahwa kabar yang baru di dengar itu tidak salah. Renita mengangguk. “Itu hanya ucapan Papa kamu aja, Dio. Nyatanya Mama mengandung

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    178.

    Galih masih tercengang setelah mendengar cerita Renita, “Jadi sebenernya yang ngejar itu Tante Indri? Bukan papa?” Tanya Galih memastikan. “Halah sama saja! Papa kamu aja yang bodoh! Sudah Mama peringatkan sejak dulu, masih aja bisa ketipu sama si janda itu. Entah apa yang di lakukan si janda itu sampai papamu akhirnya tergoda. Dasarnya bajingan ketemu wanita bajingan ya begitu.” Ungkap Renita, berusaha menahan kesal dalam dada, ia sudah berusaha untuk mengikhlaskan semuanya. “Ma...” Panggil Galih pelan, merasa sangat iba, ia menatap Ibunya dengan raut wajah yang sendu. “Mama gak apa-apa, Nak. Mama sudah ikhlas, sekarang biarkan Papamu menikmati hasil dari apa yang lakukan. Mama juga gak akan balas dendam pada mereka. Biarkan karma berjalan sesuai dengan ketentuan Tuhan. Mama sudah cukup puas dengan mengalihkan semua aset dan berpisah dari lelaki itu.” Ujar Renita seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang menutupi segala kesakitannya. “Mama hebat! Galih sangat bangga sama Mama!” U

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    177.

    Indri mendadak berdiri dari kursinya, wajahnya memerah dengan amarah bercampur kepanikan. “Ini pasti salah, Dokter! Anda pasti salah memeriksa,” Ujar Indri dengan suara gemetar. Masih tak bisa menerima. Tanpa menunggu jawaban dari dokter, Indri menoleh ke arah Rian yang tampak bingung dan cemas. “Ayo, kita pulang saja, Rian! Tidak ada gunanya periksa di sini!” Indri segera melangkah keluar ruangan dengan terburu-buru, air mata mulai mengalir di pipinya. Hati Indri begitu kalut, tak sanggup menerima kenyataan pahit yang baru saja ia dengarkan. Sementara itu, Rian masih duduk terpaku, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Dengan berat hati, ia menatap ke dokter dengan serius. “Dok, saya mohon, tolong jelaskan bagaimana cara penyembuhan penyakit ini? Apa yang harus kami lakukan?” Tanya Rian dengan nada penuh harap. Dokter menghela napas sejenak lalu menjelaskan dengan tenang bahwa HIV memang belum bisa di sembuhkan sepenuhnya, tetapi dengan pengobatan yang tepat, pasien

  • Dikira Preman Suamiku Ternyata Sultan    176.

    Sebelum menemui istrinya di balkon kamar, Galih lebih dulu masuk ke kamar Ibunya. Ternyata Renita sudah tertidur pulas, wanita itu terlihat pucat, tak seperti biasanya. Galih menghampiri dan berdiri di samping ranjang, ‘Ma, lekas sehat ya, besok Mama harus melakukan tes!! Galih gak akan maafin Papa kalau sampai Mama tertular penyakit itu!’ Batin Galih. Ia tak akan bisa memaafkan perbuatan Wijaya yang berimbas hal fatal seperti ini. Galih kemudian membetulkan selimut Renita, kemudian mengecup kening Ibunya dengan penuh kasih sayang. Ia pun keluar dan menutup pintu dengan hati-hati. “Mama sudah tidur ya, Mas?” Tanya Aisyah. Mereka kini berada di balkon kamarnya yang ada di lantai atas. Galih mengangguk, “Iya, Sayang...” Jawabnya lembut. “Syukurlah, kasian Mama, Mas... Sepertinya Mama lagi banyak pikiran sampai akhirnya drop seperti itu,” Ujar Aisyah merasa iba pada Ibu mertuanya. “Mama masih sering nangis gak, sayang?” Tanya Galih, penasaran. Ingin tahu apa saja yang di lakukan I

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status