Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor.
Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu? Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja. Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya. “Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main. Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang. ‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya. “Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya. Aisyah tak sadar, bahwa saat ini tangannya masih saja melingkar di pinggang Galih. “Dasar modus kamu ya! Kamu sengaja kan... Biar aku bisa peluk kamu?” Omel Aisyah tak terima. “Hem... Lagian kamu juga menikmati banget, sampai motor jalannya udah pelan aja pegangannya juga belum di lepas!” Ucap Galih. Aisyah tersadar. Gadis itu segera menarik tangannya dari pinggang Galih. Kini, mereka sudah tiba di depan rumah gadis itu. Aisyah langsung turun dan berjalan, tanpa mengucapkan terima kasih karena ia masih kesal pada pria itu. “Hey... Tunggu!” Seru Galih. Aisyah berbalik badan, “Apa lagi sih?” Tanyanya. “Kamu belum memberi imbalan untukku!” Jawab Galih. Aisyah mengerutkan kening, “Kamu mau apa? Uang ongkos? Dasar preman, gak ikhlas banget nolonginnya!” Gadis itu berdecih, kemudian membuka dompetnya. “Bukan uang yang aku mau! Tapi, aku mau kamu menerima lamaranku besok sebagai tanda terima kasih kamu ke aku karena sudah menolongmu!” Ucap Galih dengan percaya dirinya. Tak menunggu jawaban dari Aisyah, pria itu langsung saja melajukan motornya, meninggalkan Aisyah yang berdiri terpaku dengan ucapan Galih barusan. ‘Menerima lamarannya? Yang benar aja, kenal juga nggak! Udah gak waras tuh orang!’ Aisyah bergegas masuk ke dalam rumahnya. Tetapi, tiba-tiba seseorang datang dengan membawa motor yang ia tinggalkan tadi di tepi jalan. “Waah... Bannya udah gak kempes lagi?” Ucap Aisyah dengan mata berbinar-binar. “Iya, Mbak. Sudah saya isi angin, bannya hanya kempes saja bukan bocor!” jawab lelaki itu. “Alhamdulillah... Makasih banyak ya, Mas. Berapa ongkosnya??” Lelaki itu menggeleng, “Sudah aman, Mbak. Sudah di bayarin sama Mas Galih. Kalau begitu saya permisi Mbak. Mari...” jawabnya. Pria itu bergegas pergi meninggalkan tempat tersebut. “Galih? Ooh... Jadi namanya Galih?” Gumam Aisyah. Aisyah pun berjalan sambil membawa motornya, memasukkan ke dalam rumah. Keadaan rumah tampaknya sudah sepi, sepertinya para penghuni rumah sudah tertidur. “Mbak?” Panggil Fadil, adik Aisyah. “Hey, ngagetin Mbak aja kamu, Dil!” Ujar Aisyah, “Kamu belum tidur?” Tanya gadis itu kemudian. Fadil menggeleng, “Mbak dari mana?” Bukannya menjawab, Fadil malah balik nanya pada kakaknya itu. Aisyah terdiam. Ia tak mungkin menceritakan yang sebenarnya pada Fadil. “Aku tadi dengar Paman lagi ngobrol sama Tante Rina tentang pernikahan, Mbak. Apa Mbak udah yakin bakal nikah dengan Mas Rian??” Ucap Fadil dengan sorot mata penuh khawatir. “Fadil...” Aisyah duduk di ruang tamu, Fadil pun mengikutinya. “Mbak udah putus sama Rian, Dil!” Ungkap Aisyah. “Serius, Mbak?” Tanya Fadil dengan mata berbinar. Aisyah mengangguk, “Kok kamu senang?” Selidik Aisyah. “Syukurlah... Mas Rian bukan laki-laki yang baik, Mbak. Laki-laki itu gak pantes buat Mbak Aisyah!” Katanya, membuat Aisyah mengernyit, heran. “Kamu tau sesuatu ya?” Selidik Aisyah. “Maaf, Mbak. Sebenarnya... Udah beberapa kali aku lihat Mas Rian jalan dengan perempuan lain, tapi selama ini aku gak berani cerita karena Mbak terlihat sangat bucin pada Mas Rian itu.” Aisyah menghela napas panjang. Rupanya selama ini, ia benar-benar di bodohi oleh janji manis Rian. “Uum... Ya udah, tidur sana Dil. Mbak gak apa-apa kok, kamu gak usah mikirin hal seperti ini, kamu masih kecil. Belajar yang rajin aja ya!” Tukas Aisyah, gadis itu bangkit dari duduknya. “Mbak! Aku bukan lagi anak kecil. Mbak bisa minta tolong sama aku kalau ada apa-apa!” Ucap Fadil, jiwa kelakiannya muncul setelah melihat satu-satunya orang yang peduli padanya terlihat bersedih. “Iya... Nanti Mbak bakalan minta bantuan kamu. Tapi tidak sekarang.” Fadil menghela napas berat. Ia tatap kakak satu-satunya itu yang melangkah pergi meninggalkannya. ‘Kalau Mbak Aisyah udah putus, lalu siapa orang yang dimaksud Paman yang bakal nikahin Mbak Aisyah??’ Batinnya penasaran. Ada kecemasan tersendiri dari dalam hati bocah berusia enam belas tahun itu. Fadil merasa takut, jika nanti sang kakak menikah maka ia akan ditinggal sendiri. Selama ini hanya Aisyah lah yang peduli setelah kedua orang tuanya meninggalkannya. °°°°° Sementara itu, di kediaman juragan Bram. Galih tengah duduk di kursi depan kolam ikan. Angin malam berembus masuk sampai ke tulangnya. Tapi tetap saja, ia tinggal duduk di tempat itu. “Galih, kau serius ingin menikahi gadis itu?” Tanya Rais, tak habis pikir. “Hem... Kamu pikir aku main-main, Rais??” Rais berdecak, “Ck, kau punya uang dari mana buat bayar hutang si Herman itu?” Rais menggelengkan kepala, merasa bahwa temannya ini kini salah lawan, “Lagi pula, juragan Bram pasti akan marah jika dia tau kamu menikungnya. Asal kau tau, juragan Bram itu sudah mengincar Aisyah sejak masih SMA!” Tutur Rais. Galih tercengang. Lelaki tua beristri tiga itu ternyata sudah lama mengincar gadis itu? Sebagai anak buah senior juragan Bram, Rais tahu apapun tentang lelaki tua itu. “Jadi, juragan sengaja membuat pancingan agar bisa menikahi gadis itu??” Tanya Galih, penasaran. Pria itu baru bekerja pada juragan Bram seminggu yang lalu. Rais mengangguk, “Juragan paham betul bagaimana sifat Herman dan istrinya yang matre itu. Ia sengaja menawarkan pinjaman terus menerus, karena juragan yakin, mereka sudah pasti tak akan mampu membayar hutang dan bunganya.” Galih manggut-manggut, pria itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu. “Jangan nekat kalau kau tidak mau dapat masalah, Galih! Banyak gadis cantik lainnya di kampung ini. Ya meskipun tak secantik Aisyah, tapi gampang lah bagi pemuda seperti kamu ini untuk mencari istri cantik dan orang sini.” Ujar Rais mengingatkan. Galih hanya menanggapi ucapan Rais dengan senyuman penuh arti. Ia bangkit dari duduknya sambil menepuk pundak Rais. “Tidurlah, Rais. Kamu tunggu besok, akan ada kejutan yang saya siapkan!” Ucap Galih. Berjalan meninggalkan Rais yang diliputi rasa penasaran. °°°°°“Aisyah lagi dikamar sedang mandi. Kamu jangan keseringan gitu, Galih. Kasihan istri kamuagi hamil, dia pasti juga butuh suaminya ada di sampingnya. Kerja boleh, tapi jangan lupakan kewajibanmu sama istrimu!!” ungkap Renita lagi. Ingin putra semata wayangnya itu tahu.“Galih gak lupa kok, Ma. Sebisa mungkin Galih akan memprioritaskan Aisyah!!” Tegas Galih, senyumnya seketika mengembang saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan wajah yang segar sehabis mandi.Galih berjalan menghampiri istrinya, hendak memeluk Aisyah begitu saja, tetapi istrinya itu segera mengelak.“Mandi dulu, Mas. Mas kan habis dari luar,” Pinta Aisyah membuat Galih cemberut.“Tapi Mas mau peluk kamu dulu!” rengek Galih, sudah kangen berat pada istri tercintanya itu.“Enggak, Mas. Pokoknya Mas mandi dulu!!” Tegas Aisyah.“Hmm... gitu ya, sayang? Jadi kamu gak mau di peluk sama Mas nih?” Galih mulai merajuk.“Galih kamu mandi dulu baru boleh menyentuh istri kamu! Jangan sampai kuman-kuman di tubuhmu itu menempel
Akad jual beli rumah, beserta sapi dan kandangnya pun terlaksana di hari berikutnya. Galih merasa tidak rugi, justru ia bisa untung banyak karena nantinya sapi itu akan ia kelola dan menjadi bisnis barunya.Kedua istri juragan tidak ada yang paham akan harga asli pembelian sapi itu, mereka hanya menurut karena menurut Arni dan Fira nominal itu sudah sangatlah besar. Padahal Galih membelinya di bawah harga pasaran.“Gila kau Galih! Ternyata uang kamu banyak sekali sampai bisa membeli semua ini,” ucap Rais yang ikut menyaksikan akad jual beli itu.Galih hanya tersenyum, ia menunjuk Rais untuk mengurus sapi-sapi yang telah menjadi miliknya itu.“Jaga baik-baik sapi ini, Rais. Aku percaya kamu bisa mengurus semua ini. Tenang saja, aku akan menggajimu dua kali lipat di banding juraganmu itu,” kata Galih membuat senyum Rais mengembang.Tak hanya Rais, semua pekerja di kandang sapi itu juga di ambil alih oleh Galih.Mereka semua menurut saja dari pada kehilangan pekerjaan, apalagi mereka jug
“Hai istri-istri juragan yang terhormat,” Sapa Galih setelah berhasil menemui kedua istri juragan di kediaman pria tua beristri banyak itu.“Tidak usah basa-basi! Katakan apa maksud kamu ke sini? Kamu mau bebaskan suami kami?” Tanya Arni menatap tajam ke arah Galih yang terlihat tampak sangat tenang sekali.“Bebaskan?? Memangnya kalian masih butuh suami seperti juragan?” Ucap Galih seraya tertawa mengejek, ia sengaja ingin memancing emosi dua wanita di hadapannya itu.Arni dan Fira saling melempar pandang, belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Galih inginkan.“Masa hukuman juragan akan lebih lama karena dia menyuruh orang untuk meneror ke rumahku, bahkan melakukan pengeroyokan terhadap saya!!” Ungkap Galih.“A-Apa?!” Pekik Arni dan Fira terkejut.“Ya, apa kalian yakin selama juragan di penjara kalian masih akan tetap bisa hidup enak? Sementara semua pekerjaannya tentu terbengkalai, gak ada yang mengurus ratusan ekor sapinya, gak ada juga yang berkeliling menagih hutang para nasaba
“Yang rajin ya sekolahnya, Dil. Jangan ikut-ikutan tawuran gak jelas,” Ucap Galih memberikan nasihat.Fadil hormat pada Galih sambil tersenyum, “Siap, Bang!” Jawabnya, “Fadil pamit ke sekolah dulu ya bang, mbak!” Fadil menyalami Galih dan Aisyah kemudian segera berlalu karena supir sudah menunggu.Setiap pagi, Fadil selalu di antar oleh supir menuju ke sekolahannya. Rasa syukurnya semakin besar setiap hari, lantaran kehidupannya kini jauh lebih baik dari pada dulu.Fadil tak pernah menyangka kehidupannya akan menjadi seperti anak sultan yang pulang pergi ke sekolah di antar oleh supir dengan mobil mewah.Banyak teman-teman yang mengatakan Fadil beruntung karena menjadi adik ipar dari pengusaha tajir seperti Galih. Sebagian mereka juga ada yang iri dan mengatakan bahwa Fadil hanyalah orang kaya baru yang norak.Padahal, apanya yang norak? Mereka saja yang terlalu iri melihat kehidupan Fadil sekarang. Fadil sendiri tidak pernah mengubris ucapan-ucapan sumbang di belakangnya. Ia benar-be
“Kita ke dalam saja ya sayang, di sini bahaya. Takutnya ada letusan lagi yang lainnya.” Dengan cepat Galih mengajak istrinya itu untuk masuk ke dalam rumah.Bau dari letusan itu sangat menyengat, Galih tidak mau jika Aisyah yang lagi hamil sampai menghirup banyak aroma tak sehat itu.Sesampainya di dalam rumah, terlihat Fadil langsung menghampiri Galih dan Aisyah.“Tadi itu suara apaan, Bang?” Tanya Fadil, ia juga sempat mendengar letusan tersebut.“Abang juga gak ta, Dil. Abang belum ngecek karena buru-buru bawa Aisyah untuk masuk. Tolong kamu jagain Kakak kamu dulu ya, Abang mau keluar dulu cari tau penyebabnya,” Pinta Galih, berbalik badan kembali keluar rumah.“Oke Bang. Hati-hati ya,” sahut Fadil cepat.Sedang Aisyah masih terdiam, jantungnya masih berdebar karena terkejut. Ledakan tadi benar-benar seperti berada di belakangnya.“Mbak, ini minum dulu ya.” Ucap Fadil memberikan segelas air putih untuk kakaknya itu.Dengan pelan, Aisyah meneguk air tersebut hingga tak bersisa.“Itu
“Tangan kamu bekas sunscreen itu Iho, sayang... Jadi, biar Mas aja yang suapin ya sayang?!!”Aisyah pun mengangguk seraya tersenyum malu, karena sejak tadi Galih tak berhenti menatapnya dengan intens.Setelah makan beberapa potong buah, Aisyah menatap suaminya itu dengan tatapan penuh cinta. “Mas, aku ingin makan di taman samping rumah ya?” Pinta Aisyah, suaranya terdengar lembut.Galih segera menyetujui permintaan istrinya. la tidak pernah menolak keinginan Aisyah, terutama sejak istri tercintanya hamil. Galih merasa ini adalah momen di mana ia bisa lebih dekat dengan istrinya dan memastikan kesehatan fisik Aisyah terjaga dengan baik.“Ayo, Sayang,” Jawab Galih.Dengan hati-hati, Galih membantu Aisyah berdiri. Setiap gerakan di lakukan dengan penuh kehati-hatian, seolah-olah Aisyah adalah sesuatu yang sangat rapuh yang perlu di lindungi. Tangan Galih menggandeng tangan Aisyah erat-erat saat mereka berjalan perlahan menuju taman samping rumah.Taman itu sangat indah, di penuhi dengan
Malam harinya, semua penghuni di rumah besar milik majikan Rina sudah berada di dalam kamar masing-masing.Sebelum tidur, Rina harus memastikan lebih dahulu bahwa semua sudut ruangan sudah rapi agar esok hari pekerjaannya tidak menumpuk.Ia berjalan ke ruang tengah, matanya tiba-tiba menangkap sebuah dompet yang ada di sofa depan televisi.“Dompet siapa ini?” gumam Rina.Ia kemudian meraih dompet itu, hatinya berdebar antara penasaran dengan isi dompet itu, tetapi juga rasa takut bila ketahuan pemiliknya.‘Sepertinya ini dompet suaminya Bu Sandra,’ batin Rina melihat model dompet dengan khas laki-laki itu.Rina mengedarkan pandangan, menatap ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya.‘Sepertinya aman.’ Batinnya lagi.Dengan perlahan, Rina membuka dompet tersebut. Matanya seketika melebar saat melihat banyaknya uang di dalam dompet itu. Tak hanya uang, berbagai kartu ATM pun tampak berjejer di dalamnya.“Ya ampun... Dompet ini isinya banyak sekali,” gumamnya
“Bu? Jadi Ibu juga nyalahin Mas Arman??” Tanya Syahnaz ingin tahu. [lyalah, Ibu suruh dia tanggung jawab gara-gara dia kamu seperti itu!] Syahnaz menghela napas kasar, pantas saja mantan suaminya itu malah pulang tak masuk menjenguknya. Pria itu pasti kesal dengan tuduhan ibu Syahnaz. “Ibu ini gimana sih! Aku begini bukan gara-gara Mas Arman Bu! Malah Mas Arman yang nolong aku, Bu. Ibu ishhh, pantesan aja Mas Arman gak jengukin aku,” Ucap Syahnaz, kesal. [Halah, udahlah Naz... Ibu pusing, Naz!! Udah, Ibu sekarang mau kerja lagi, nanti di marahin majikan gara-gara telponan terus] Rina mematikan panggilan sepihak. “Ibu benar-benar keterlaluan banget sih,” gerutu Syahnaz seraya menahan nyeri di perutnya. Rasanya Syahnaz benar-benar ingin menangis sekarang juga. Di tengah rasa sakit yang masih terasa, hatinya juga ikut sakit akibat sikap Rina yang tak memperdulikannya. ‘Padahal Ibu yang nyuruh aku ke kota ini untuk mencari Ray, andai saja bukan karena desakan Ibu, mungkin aku gak a
“Apa aku bilang, Ma? Keluarga Syahnaz itu suka cari masalah, makanya aku malas untuk menghubungi mereka,” Ujar Arman seraya mengembuskan napas berat.“Ya terus sekarang gimana dong, Arman? Masa kita harus ngurusin mantan istri kamu itu sampai sembuh?” Tiara mendengus kesal. Ia memang kasian, tetapi bukan berarti harus mengurus Syahnaz juga.“Mama gak mau tau ya, Arman!! Pokoknya Mama gak mau kamu kasih celah buat wanita itu!!” Ujar Tiara memperingati putranya agar tak ada keinginan untuk kembali lagi pada Syahnaz.Tiara mulai waspada, sebab wanita ular seperti Syahnaz pasti akan menjadikan sakitnya itu sebagai senjata agar bisa rujuk kembali pada Arman.Semalaman menunggu Syahnaz di rumah sakit, Arman juga belum masuk ke ruangan menjenguk Syahnaz. Padahal, operasi wanita itu sudah selesai, begitu pun dengan Syahnaz yang sudah sadar dan sudah di pindahkan ke ruangan pasien.Tiara menjaga putranya itu agar jangan sampai bertemu dengan mantan menantunya. Tiara takut Arman akan merasa iba