Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan.
Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Halah... Uang makan sehari-hari kamu bilang? Uang yang kamu kasi itu kurang, Syah! Makanya Paman kamu sampai berhutang biar bisa membiayai hidup kita! Pokoknya Tante gak mau tau, kamu harus nikah sama juragan Bram! Kalau enggak, berarti kamu durhaka! Gak tau balas budi!” Ucap Rina dengan sorot mata tajam. “Astaghfirullah. Tante... Aisyah bukan gak mau balas budi, tapi Aisyah gak mau kalau harus jadi istri ke empat juragan Bram! Apa Tante gak kasihan sama Aisyah?” Ujar Aisyah. Dadanya terasa sesak. “Kamu yang gak kasihan sama Tante, Aisyah! Selama ini Tante sudah menampung kalian berdua, adik kamu juga Tante yang urusin! Sekarang Tante cuma minta kamu nikah sama juragan saja, kamu juga menolak! Padahal yang bahagia nanti kan kamu sendiri!” Rina mengungkit semua jasa-jasanya terhadap Aisyah dan juga Fadil. Padahal, walaupun tinggal serumah, Rina jarang sekali memperhatikan Aisyah dan Adiknya. “RINA... BAWA AISYAH KEMARI!” Teriak Herman dari arah ruang tamu. Jantung Aisyah berdegup kencang. Perasaannya mulai tak enak. “Aisyah pamit kerja dulu, Tante!” Aisyah buru-buru menyambar tasnya, kemudian keluar dari kamar. “Aisyah, tunggu!” Jerit Rina, wanita itu mengejar Aisyah. Saat melewati ruang tamu, Aisyah terkejut setelah melihat kedatangan juragan Bram dan juga dua orang preman yang kemarin datang, termasuk Galih. Aisyah mencoba mengabaikan semua orang yang tengah duduk di ruang tamu. Ia terus melangkahkan kaki keluar rumah. Tapi gadis itu di halang oleh Rais anak buah juragan Bram. “Ssst... Minggir!” bisik Galih pada Rais. Rais pun menggeser tubuhnya, membiarkan Galih menggantikan tempatnya yang berdiri tepat di hadapan Aisyah. Mata Aisyah mendelik, memberi kode agar Galih minggir. Namun, pemuda itu malah tetap diam berdiri dengan tersenyum manis. “Jangan khawatir!” Katanya lirih. Aisyah menggeleng. Ia ingin segera pergi. Bahkan ia tidak akan pulang lagi jika Pamannya terus memaksanya untuk menikah dengan juragan Bram. “Aisyah! Jangan kurang ajar kamu!” Bentak Herman penuh emosi melihat Aisyah yang mencoba ingin kabur. “Tenang, Herman... Tenanglah. Mungkin Aisyah masih malu-malu.” Ucap Bram, juragan tanah dan juga seorang rentenir yang sudah berusia lima puluh tahunan itu. Bram menatap Aisyah dari atas sampai bawah tanpa berkedip. Kembang desa incarannya itu kini sebentar lagi akan jadi miliknya. “Aisyah... Duduk, sayang!” Ucap Bram, menepuk-nepuk sofa lusuh tepat di sampingnya. Aisyah terperanjat. Perutnya serasa mual mendengar panggilan sayang itu. Gadis itu hanya diam, tak mengikuti perintah juragan Bram. “Baiklah... Gak apa-apa. Dulu Fira juga malu-malu saat aku lamar.” Ucapnya dengan penuh percaya diri. Fira adalah istri keduanya, wanita itu seorang janda yang ditinggal suaminya karena kecelakaan. “Maaf, juragan. Terus terang saya ingin mengatakan, kalau saya tidak mau menikah dengan juragan!” Aisyah memberanikan diri untuk menepis semua impian juragan tanah itu. Bukannya marah, juragan Bram malah tertawa terbahak-bahak. “Hahaha... Aisyah, Aisyah! Kamu pikir kamu bisa menolak? Paman kamu ini sudah menandatangani surat perjanjian, apabila kamu gak mau menikah, itu artinya Herman harus membayar hutangnya sebesar seratus lima puluh juta!” Jawab Bram, terkekeh. Pria tua yang sudah berumur itu yakin. Jika Aisyah tak akan bisa menolak lagi. “Seratus lima puluh juta? Bukannya kemarin Paman katakan seratus juta??” Aisyah menoleh ke arah Herman. “Lima puluh juta-nya lagi itu bunganya!” Jawab Herman dengan santai. Aisyah terperangah. Apa-apaan ini? “Apa?? Tapi, Paman_” “Kalau kamu tetap menolak, maka Herman harus mendekam di penjara!” lagi-lagi Bram menggertak Aisyah, membuat mental Aisyah terasa terguncang. “Kamu gak mau di anggap sebagai anak durhaka kan, Syah? Atau, kamu memang ingin melihat pamanmu di penjara?” Ucap Rina, membuat Aisyah semakin tertekan. Pikiran Aisyah benar-benar kalut. Sungguh, Aisyah tak ingin mengorbankan dirinya untuk melunasi utang itu, tetapi ia juga tak mau kalau sampai Pamannya di penjara. Bagaimana pun juga, Aisyah sudah menganggap Herman seperti orang tuanya sendiri. “Penawaran yang aku tawarkan kemarin masih berlaku. Jika kamu ingin bebas dari juragan!” Galih yang sedari tadi diam akhirnya mengangkat bicara. Bram menatap Galih dengan tatapan penuh tanda tanya, “Apa maksud kamu, Galih?” Tanyanya, bangkit dari duduknya. Suasana mendadak tegang. Apalagi saat Galih hanya tersenyum miring pada Bram, tak menjawab pertanyaannya. Pria itu kembali menatap pada gadis itu, “Bagaimana?” Tanya Galih lagi pada Aisyah yang masih terdiam. Aisyah terdiam sejenak. “Baik! Aku akan terima tawaran kamu itu!” Ucap Aisyah pada akhirnya. Aisyah tak punya pilihan lain saat ini. Meskipun ia ragu dengan pria di hadapannya itu. Selain ragu, apakah Galih bisa melunasi hutang Herman, Aisyah juga ragu tentang diri pemuda itu. Pasalnya, yang ia ketahui, Galih hanyalah anak buah juragan Bram yang berpenampilan seperti preman. Apa pemuda itu bisa menjadi suami yang baik bagi dirinya? Pikir Aisyah. Namun, daripada harus menjadi istri ke empat juragan Bram, Aisyah akhirnya memilih menerima penawaran untuk menikah dengan Galih. Entah bagaimana nasib ke depannya, setidaknya ia tak menjadi istri ke empat bandit tua itu. “GALIH! APA YANG KAU TAWARKAN PADANYA, HAH!” Bentak Bram. Bram maju tepat di hadapan Galih. Ia tarik kerah baju pemuda itu sekaligus anak buahnya. Galih melepaskan tangan Bram dengan pelan, “Santai, juragan. Saya hanya memberi penawaran. Kalau Aisyah tidak mau menikah dengan juragan, maka ia menikah saja denganku! Soal hutang Pamannya itu, biar saya yang bayar!” Ungkap Galih dengan tenang. Bola mata Bram seketika melotot tajam, lelaki tua itu mendorong tubuh Galih hingga terbentuk ke dinding. “Kurang ajar! Punya apa kamu mau bayar hutangnya, hah!” Sentak Bram, wajahnya merah padam. “Kirim saja nomor rekeningnya, juragan. Pasti saya bayar!” Lagi-lagi Galih menjawabnya dengan tenang. Bugh! Tak kuasa menahan emosi, Bram pun memukul perut Galih. Merasa kesal dengan jawaban pemuda itu yang terkesan menantangnya. “Juragan!” Teriak Rais, panik. Meski Rais juga merasa kesal dengan sikap lancang Galih, tetapi ia juga tak mau jika sampai temannya itu mati di tangan juragannya.“Ikut aku, Renita!!” Seru Wijaya kemudian mendorong tubuh Renita untuk masuk ke dalam mobil. “Apa-apaan kamu, Wijaya?!” Bentak Renita tak terima Wijaya hanya diam, tak menggubris teriakan Renita. Ia kemudian ikut masuk ke kursi pengemudi, lalu segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Kamu mau bawa aku ke mana kamu, Wijaya?? Hentikan mobilnya sekarang juga!!! Kamu itu udah gak punya hak untuk bawa aku seperti ini!!” Teriak Renita sedikit panik. Wijaya tersenyum menyeringai, menoleh sejenak pada Renita yang menatapnya tajam, “Kenapa tidak? Kamu saja bebas melakukan apa yang kamu mau kan, maka aku juga bisa bebas melakukan apa yang aku mau!!” Jawab Wijaya. Napas Renita jadi memburu, ia sekarang benar-benar takut dengan Wijaya yang bisa saja melakukan sesuatu di luar kendali. “Renita, Renita... Aku sudah berusaha membujuk kamu dengan baik-baik. Tapi, kamu sepertinya memang sudah tidak bisa di ajak bicara baik-baik!” Ucap Wijaya lagi, membuat Renita semakin ketakutan. “Janga
“Mas, kita mau ke mana?” Tanya Indri penasaran. Kini, mereka berada di dalam taksi yang sama. Wijaya juga tak bisa membawa mobilnya, karena dalam isi surat perjanjian pra nikah itu memang semua aset termasuk mobil dan segalanya akan menjadi hak milik Renita apabila Wijaya sampai terbukti berselingkuh. “Sekarang kita ke rumah kamu,” Jawab Wijaya, santai. Indri terkejut mendengar ucapan Wijaya, “Ke rumahku, Mas? Kamu mau tinggal sama aku?” Tanyanya lagi memastikan, raut wajahnya begitu bahagia. Wijaya mengangguk. “Untuk sementara waktu, sampai Renita mau melunakkam hatinya dan mau memaafkan aku!” Jawabnya. “Emang sebenernya gimana sih, Mas? Kok bisa kamu di usir dari rumah kamu sendiri? Terus kenapa kamu juga gak bawa mobil?!” Tanya Indri lagi, penasaran. Indri sangat yakin jika Wijaya tak akan mungkin bisa miskin. la menebak pasti hanya Renita lah yang merencanakan itu semua. Wijaya hanya diam, matanya menatap lurus ke depan. Memikirkan bagaimana caranya agar Renita mau memaafkan
“Apa kurang jelas perkataan saya tadi? Rumah ini bukan lagi milik Pak Wijaya!! Rumah ini adalah milik Mama saya. Jadi, Silakan Tante bawa aja ini laki-laki, urus Pak Wijaya dengan baik ya!!” ucap Galih mempertegas kemudian memanggil asisten rumah tangga yang sudah ia suruh untuk membereskan semua pakaian Wijaya. “Bi, tolong berikan koper itu pada wanita itu!” Titah Galih pelan, membuat Bi Nun mengangguk pelan. “Apa apaan ini, Galih?! Kenapa kamu usir Papa kamu sendiri?!” Tanya Indri heran. “Loh? Katanya Tante mau sama Papa? Ya sana bawa aja Papa pergi, kurang baik apa coba? Mama udah gak mau sama Papa. Itu kan yang Tante inginkan?” Jelas Galih seraya tersenyum sinis ke arah Indri. Indri menatap Wijaya serius untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, pria itu hanya diam, Wijaya benar-benar seperti orang bodoh yang tak bisa bersuara membela dirinya lagi. “Udah, cepetan! Sana bawa Papa! Semua milik Papa buat Tante deh.” Ucap Galih lagi kemudian mendorong koper itu ke arah Indri.
{Mas, kamu di mana Mas! Gawat, kita harus ketemu, Mas!} Indri mengirim pesan pada Wijaya.Namun sampai sepuluh menit belum ada tanda-tanda balasan dari lelaki itu.Gigi Indri gemeretak kesal, bagaimana kalau dia viral di sosial media?“Pak, lebih cepat lagi ya, Pak!” Titah Indri pada supir taksi.Tujuan Indri saat ini adalah ke rumah Wijaya. Mau tak mau ia harus mencari pria itu di sana. Tak peduli jika nantinya bertemu dengan Renita. Yang penting sudah bertemu dengan Wijaya.Sampai di depan gerbang rumah yang besar itu, Indri akhirnya menghela napas lega.“Rumah masa depan... Huhh, gak sabar banget jadi nyonya di sini,” Gumam Indri kemudian berjalan ke depan gerbang usai membayar taksi.“Permisi...” Teriak Indri sambil mengetuk pintu pagar.Namun, beberapa menit belum ada tanda-tanda satpam menghampirinya. la pun mencari bel yang ternyata ada di pojok pintu gerbang.Dua, bahkan sampai lima kali Indri memencet bel, tapi tak kunjung ada seseorang yang datang membukakan gerbang.“Satpam
“Ya maaf, Ma. Mila kan hanya nanya saja.” Ucap Mila merasa tak enak hati. la pun segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.Di dalam kamar, ternyata Rian baru saja selesai mandi. Sampai saat ini, laki-laki itu belum mau membuka hati untuk istrinya.“Mas, mobil Mama mogok katanya,” ucap Mila memberitahu suaminya.Mata Rian memicing. “Biarin aja, gak usah ikut campur urusan Mama!” Jawabnya ketus.Deg!Mila terperanjat. Hatinya seketika terasa perih mendengar perkataan sang suami.“Ikut campur? Aku cuma kasih tau Mas, aku gak ada ikut campur apa pun,” Balas Mila denga ketus.“lya. Pokoknya jangan pernah ikut campur urusan Mama. Aku kasih tau dari sekarang!” Ujar Rian kemudian segera keluar dari dalam kamar, meninggalkan Mila yang tertegun.Mila menatap pintu kamar yang sudah di tutup Rian itu dengan helaan napas kasar.“Sampai kapan begini sih? Lama-lama aku gak tahan menjalani rumah tangga ini!” Gumam Mila.Sebagai wanita, ia tentu juga ingin di perlakukan dengan baik oleh suaminya.
“Usir Papamu dari sini, Nak. Mama gak rela rumah penuh perjuangan ini di injak oleh lelaki yang sudah menodai hati Mama dengan wanita lain, Mama gak ikhlas Galih, Mama gak relaaaa...” Titah Renita, tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah di dada putranya. Mata Galih seketika menyorot tajam ke arah Wijaya. Satu tangannya mengusap lembut punggung Renita, tetapi satu tangannya lagi mengepal dengan erat. la sungguh geram dengan perbuatan Wijaya. Demi apa pun Galih tak pernah melihat Renita serapuh seperti sekarang. Dari getar suara Ibunya saja sudah bisa terbaca bagaimana rasa sakit yang saat ini di alami oleh Renita. “Papa gak tuli kan? Cepat pergi sebelum aku yang bertindak kasar, Pa!” ucap Galih dengan tajam. Wijaya langsung berlutut di hadapan Galih dan Renita, “Maa... Maafkan, Papa, Ma. Papa sadar Papa sudah menyakiti Mama. Tolong kasih kesempatan Papa satu kali lagi, Ma.” Suara Wijaya begitu sendu membuat Galih mencebik kesal. “Harusnya dari awal Papa mikir kalau deng