Share

Kau Pasti Anakku

"Kau Arga anakku, kan?" tanya pria itu lagi.

Arga mematung saat melihat sorot yakin pada mata pria kaya tersebut.

Diperhatikannya kembali penampilan pria di hadapannya ini; sangat nyentrik dan berkelas. Arga yakin orang ini pasti pengusaha sukses.

Lalu, kenapa orang sepertinya bisa berpikir Arga adalah anaknya? 

‘Bukankah, banyak orang di dunia ini memiliki wajah sama tapi tidak memiliki hubungan darah? Mungkin, inilah yang sedang terjadi,’ pikir Arga.

Beberapa detik, ia berpikir, hingga akhirnya Arga membalas ucapannya, "Bukan, Tuan. Orang tua saya hanya petani. Dan, saya bekerja sebagai sopir pribadi. Jadi, tidak mungkin bila saya adalah anak Anda." 

Namun, tidak ada jawaban dari pengusaha kaya itu.

Ia malah tampak berbisik-bisik dengan asistennya.

Seketika, Arga teringat perintah Nyonya Askara. Bila ia terlalu lama berada di sini, Arga yakin wanita itu pasti akan memarahinya di depan umum.

Dia harus segera pergi dari tempat ini!

"Kau pasti anakku yang hilang." 

Suara pria kaya itu terdengar lagi, hingga Arga membuang nafas kasar. 

Dia benar-benar bisa kena marah oleh sang Nyonya kalau sampai terlambat datang menemuinya. 

“Maaf, saya harus pergi,” pamit Arga lalu berlalu–mengabaikan lawan bicaranya.

"Tunggu!" 

Baru dua langkah meninggalkan dua pria tak jelas itu, langkah Arga kembali terhenti.

Arga lantas membalikkan tubuhnya agar bisa menatap pria yang memanggilnya tadi.

Ia harus menegaskan bahwa mereka hanya kebetulan mirip!

"Tuan, saya mohon jangan menambah masalah dalam hidup saya. Saat ini, saya sedang tertimpa musibah dan harus segera bekerja,” ucapnya tenang, “jadi, saya mohon untuk menghentikan omong kosong ini.”

“Saya bukan anak Anda. Saya berasal dari kampung yang jauh dari sini." 

Tanpa disadari, suara pria itu sudah naik satu oktaf.

Segera, Arga berlalu dari tempat itu.

Sang asisten hendak mengejarnya. Namun, ditahan oleh Bosnya.

"Dia pasti anakku," lirih pria yang mirip Arga itu tiba-tiba.

"Saya juga berpikir demikian, Tuan Gavin. Jadi, biarkan saya mengejarnya," ucap sang bawahan–hormat.

Namun, pria kaya itu menggeleng.

"Tidak perlu. Mungkin, dia masih ada urusan. Tolong perintahkan anak buah kita untuk menyelidiki keberadaannya. Kita tunda kepulangan ke Jerman.” 

“Kita harus bisa memastikan dia benar-benar anakku," ucapnya lagi. 

Pria itu mengepalkan tangan. Sepertinya, saat ini, bukan waktu yang tepat untuk mendatangi Arga tanpa bukti. 

Namun, hati kecil Gavin tidak bisa dibohongi. Ia yakin pemuda yang barusan berlalu dari hadapannya–benar-benar anaknya.

Asisten Gavin pun mengangguk mendengar ucapan atasannya. "Baiklah, Tuan. Mari kita menuju hotel, biar anak buah saya yang mencari tahu tempat tinggal Tuan Muda."

******

"Aku pasti kena marah lagi oleh Nyonya Askara. Beliau sama sekali tidak pernah bersikap baik padaku," gumam Arga sambil terus berjalan menuju ke butik langganan istri majikannya itu.

Begitu tiba, pria itu pun masuk ke dalam butik dan menghampiri bosnya. 

Benar saja, wanita itu kini sudah menatap tajam ke arah Arga–siap memarahinya di depan umum, seperti biasa.

"Dari mana saja kau, hah? Sudah aku katakan, kan? Aku tidak punya waktu lama untuk berada di sini,” cecarnya, “apa kau malah bersantai dan membiarkanku menunggu terlalu lama di tempat ini?" 

Arga menarik napas dalam. Seandainya, ada pekerjaan lebih baik dari ini, ingin rasanya Arga menghentikan pengabdiannya pada keluarga Askara. Ia merasa tak punya harga diri sama sekali.

"Maaf, Nyonya. Tadi, saya sedikit lama memarkirkan mobilnya," jawab Arga memberi alasan.

Namun, wanita itu malah menatapnya semakin tajam.

"Kau pikir, aku anak kecil yang akan percaya begitu saja dengan ucapanmu? Dasar sampah, sudah miskin belagu pula!" bentaknya kasar.

Arga hanya memilih diam dan menunggu perintah selanjutnya dari sang Nyonya.

Ia tidak akan pernah membalas ocehan wanita yang selalu siap mempermalukan dirinya.

Terlebih, di sana, banyak karyawan butik dan pengunjung yang tengah berbisik-bisik merasa kasihan terhadap Arga yang dimarahi di depan umum.

Dan benar saja, emosi wanita itu mereda, hingga mulai memerintah Arga kembali, "Bawakan barang-barangku! Sekarang, kita langsung kembali ke rumah."

Segera Arga mengambil dua tumpukan kardus penuh barang milik Nyonya Askara. Pria itu pun mengikuti sang Nyonya yang berjalan menuju ke depan lobby.

****

Di sisi lain, Tuan Askara tampak berhadapan dengan sang adik di kediaman mereka.

Pria itu siap membicarakan rencananya pada Maria.

"Apa kau sibuk adikku?" tanya Tuan Askara membuka pembicaraan.

Maria tampak menggeleng. Wanita cantik itu hanya melirik Tuan Askara dengan ekor matanya, lalu kembali fokus pada buku bacaan yang dibawanya.

"Apa kakak boleh bicara denganmu?" tanya Tuan Askara lagi. 

Maria pun mengangguk. 

Melihat respons Maria, Tuan Askara lalu duduk di samping sang adik. 

Ia akan berusaha memberi pengertian pada Maria agar mau menikah dengan Arga. 

Saat ini, hanya pria itulah yang mau menikahi adiknya yang memiliki gangguan mental.

“Ekhem,” deham Tuan Askara menetralkan suara. "Maria, kau tahu i kalau kakak iparmu tidak bisa memberi keluarga kita keturunan, kan? 

“Jadi, harapan keluarga kita hanya padamu," tambah Tuan Askara.

Maria sontak menghentikan niatnya membaca buku. 

Dia menatap ke arah sang kakak dengan ekspresi datar. 

Tuan Askara seketika menjadi salah tingkah.

"Maria, dengarkan kakak. Kita hanya terlahir berdua saja di keluarga ini. Ketika kakak tak mampu, maka kaulah yang harus memberi keturunan pada keluarga kita," ucapnya lagi menjelaskan.

Namun, Maria masih diam. Bahkan, perempuan itu tak merespons sama sekali–seolah menunggu kelanjutan ucapan kakaknya. 

"Dua hari lagi, kakak akan menikahkanmu dengan Arga–sopir kita di rumah ini. Kakak janji setelah kalian memberikan anak laki-laki pada keluarga kita, kakak akan memintanya untuk segera menceraikanmu." 

Begitu selesai mengucapkannya, detak jantung Tuan Askara berdebar begitu kencang. Ia harap-harap cemas menunggu jawaban sang adik.

Namun, besar harapannya, Maria mau menerima tawarannya. 

Di sisi lain, wanita cantik itu hanya diam.

‘Menikah? Apa dia sudah gila mau menikahkanku dengan sopirnya? Aku benci harus selalu mengikuti kemauannya. Aku bahkan mau menjadi gadis yang hanya menghabiskan waktu di dalam rumah agar dia tidak menggangguku,’ gumam Maria dalam hati, “kalau saja aku tidak ingat ucapan terakhir Ayah dan Ibu, mungkin aku memilih pergi dari rumah ini.’ 

Maria teringat masa kelam itu.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Maria yang bawel mendadak berubah menjadi gadis pendiam. Bahkan, ia enggan untuk berbasa-basi dengan kakaknya.

Orang-orang sampai menganggap Maria bisu. Itu semua karena….

"Maria Kau mau kan menikah dengan Arga?" tanya sang kakak, membuyarkan lamunan Maria. 

Akan tetapi, Maria tetap diam.

Tuan Askara sampai membuang nafas kasar karena merasa frustasi setiap kali berbincang dengan sang adik. Kerap kali, ia tidak mendapat jawaban apa pun.

"Kakak mohon, Maria. Dua hari lagi, persiapkan dirimu untuk menikah dengan Arga. Kakak janji tidak akan ada pesta pernikahan. Hanya keluarga besar kita saja yang hadir," ucap pria itu lalu pergi meninggalkan Maria.

Praaaaaang! Bunyi pecahan kaca terdengar tepat setelah Tuan Askara menutup pintu kamar sang adik. Maria menatap nanar pintu di hadapannya.

"Ck ... sampai berapa lama lagi aku harus berpura-pura seperti ini untuk mengawasi kakakku ini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aliimron
sangat menarik terus berkarya agar banyak orang terinspirasi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status